M.
Sadli Umasangaji
Aktivis KAMMI Kota Ternate
Saya
menjadi tertarik membaca mengenai ritme KAMMI Kultural. Bagaimana KAMMI
Kultural lahir sampai pada gagasannya. Saya merasa cocok dengan itu. Karena
sederhananya ada ‘kader-kader KAMMI’ (KAMMI Kultural) yang selalu menyediakan
ruang diskusi serta ruang penciptaan gagasan untuk KAMMI dalam pandangan ‘KAMMI
Kultural’. Saya tertarik dengan KAMMI Kultural, pertama, saya tertarik karena
ada ruang dimana penciptaan gagasan dan diskusi. Kedua, mengenai diskursus
KAMMI. Diskursus yang menjadi diskusi dalam internal KAMMI bahkan merata
terjadi dalam semua internal KAMMI se-Indonesia, pertama, diskursus PKS-KAMMI,
kedua, lemahnya budaya literasi kader, apalagi digiring untuk budaya baca buku
‘filsafat dan kiri’ dan tulis-menulis, identitas dan ideologi KAMMI, KAMMI
dengan gaya ke-LDK-an, KAMMI-Ikhwanul Muslimin, KAMMI-partisipan lain.
Ketiga,
kultural dijadikan sebagai silahturahim antara lintas generasi. Setiap generasi
bebas untuk berbagi gagasan untuk KAMMI dalam pandangan mereka, mungkin
subjektif, tapi pertama, setidaknya menghidupkan khasanah intelektual dalam
tubuh KAMMI, kedua, ada sesuatu tentang keKAMMIan yang dapat dikaji, ada
pelajaran yang dapat diambil dalam lintas generasi itu. Secara pribadi, saya
mungkin bukan orang yang doyan membaca dan mengoleksi ‘buku filsafat dan buku
kiri’.
Karena
dari awal saya tidak berada pada tataran pikiran dengan dinamika seperti itu
tapi bukan untuk membatasi. Sebelum terlibat dalam KAMMI, saya sudah
kecenderungan membaca dan menulis. Walaupun buku bacaan saya pada waktu itu
lebih kepada novel seperti Andrea Hirata, Ahmad Fuadi, autobiografi, bahkan
buku-buku sejenis pengembangan diri seperti buku Andrias Harefa, dan
kepenulisan. Dan ketika terlibat di KAMMI, dari itu, kini saya memproklamasikan
diri saya sebagai orang yang dengan sangat keras untuk terus membaca buku-buku
‘Ikhwanul-Muslimin’ seperti Sayyid Qutbh, Hasan Al-Banna, dan lainnya serta
senang bergelut dengan pemikiran Islam lain seperti Nurcholish Madjid, Buya
Hamka, Anis Matta, Hilmi Aminudin, Fahri Hamzah dan lainnya. Atau kecenderungan
untuk senang membaca pemikiran Islam dalam pandangan orientalis dan islamolog.
Karena
dengan itu bagi saya, dapat terbentuk kader yang jauh lebih radikal dalam
pemikiran dibanding hanya sekedar membaca buku ‘kiri dan filsafat’. Cukup
terkesan ketika saya membaca tulisan “Tentang KAMMI (1)” yang dituliskan oleh
Akhuna Ali Akbar Hasibuan. Tentang hematnya mengenai Kredo
Gerakan KAMMI telah memperlihatkan wajahnya dengan dua kata kunci yakni
“kebebasan berpikir” dan “keberanian berposisi”. Atau yang ia ceritakan tentang
ichwanus-shafa’ (persaudaraan kesunyian). Hingga pada kata-katanya “Tapi bagi
saya, bagaimana mungkin kegersangan dan panasnya pemikiran di Timur Tengah
hendak dijadikan landasan berfikir di negeri yang sejuk nan sarat budaya ini?
Seharusnya rombak semua judul buku-buku yang menjadi daftar mantuba tersebut.
Penuhi dengan ide-ide segar kekinian dalam konteks Indonesia (made in Indonesia). Tidak mungkin
permasalahan sosial atau agama di Indonesia bisa diselesaikan dengan semacam
buku Ma’alim Fi Ath-Thariq - Sayyid Quthb. Sekali lagi, ganti!”.
Sekali
lagi saya ‘kurang setuju’ mengenai gagasan mengganti secara total daftar
mantuba untuk made in Indonesia
seperti disarankan Akhuna Ali Akbar Hasibuan tapi kalau mereformulasi
mantuba saya setuju. Terutama dalam buku-buku tertentu yang sudah sulit untuk
dijangkau (terkhusus untuk daerah ‘Indonesia Timur’). Termasuk buku-buku
keKAMMIan yang telah lapuk. Dan sudah seharusnya kader KAMMI berani untuk
menyediakan buku bacaan yang dituliskan oleh kadernya sendiri entah dari senior,
alumni maupun junior. Sebagai khasanah tentang keKAMMIan.
Kondisi
parsial dalam karakter pengkaderan KAMMI sebagai wujud karakter kader cenderung
terjadi. Kondisi itu terjadi karena kita memahami pengkaderan KAMMI (tarbiyah)
secara parsial. Kalaupun kita memahami secara komprehensif tapi dalam tindakan
kita memang cenderung parsial. Itu karena sisi manusiawi kita, keotentikan
kader. Ada kader yang cara berpikirnya begini, dan ada kader yang cara
berpikirnya begitu, itu lumrah. Akan
tetapi membaca buku-buku mantuba (manhaj tugas baca) KAMMI seharusnya membuat
kita jauh lebih berani dalam bergulat secara pemikiran bahkan dibandingkan
dengan OKP lain yang cenderung mempelajari itu-itu saja dan tak ada pedoman
yang menjadi alur secara jelas sesuai dengan manhaj. Kader KAMMI bagi saya
dipersiapkan untuk memiliki pemikiran Islam Komprehensif. Bila dibandingkan
dengan pengkaderan OKP lain (dalam pembacaan draft-nya), saya merasa mereka
terjebak pada mission ke-organisasi-an mereka, bahkan terlihat pada pengkaderan-pengkaderan
lanjutan mereka seperti HMI misalkan hanya cenderung
mempelajari mission HMI, NDP, yang bagi saya entahlah apa itu,
walaupun saya sendiri senang membaca buku Nurcholish Madjid.
Di
KAMMI, telaahlah materi-materi Daurah Marhalah II, kader jauh dipersiapkan
dengan konsep-konsep Islam yang komprehensif. Materi-materi seperti Konsep
Ummah (Masyarakat Islami), Studi Kritis Pemikiran-Pemikiran Tokoh-Tokoh
Pergerakan Islam Kontemporer, Konsepsi Negara Perspektif Islam. Dengan
buku-buku bacaan seperti Majmu’atur Rasail, Ma’alim Fi Ath-Tariq, Anatomi
Masyarakat Islam, Pilar-Pilar Kebangkitan Umat, dan lainnya. Seharusnya membuat
kader lebih berani bergelut dalam pemikiran. ‘Daripada hanya sekedar mengatakan
begitulah mereka, beginilah mereka, jauhilah mereka dan lainnya’. Padahal
mengutip kata-kata Sayyid Quthb ‘mereka-mereka itu’ hanya sekedar
intelektual-intelektual yang minder, teori tanpa aplikatif, ‘perlabelan Islam’.
Tentu berbeda dengan KAMMI, dan yang seharusnya kader-kader KAMMI tidak harus
merasa rendah di depan mereka tapi bukan berarti angkuh.
Bagi
saya, orang yang terlalu bergumul dengan teori tanpa aplikatif dan implementasi
itu (perlabelan Islam), mereka telah ‘kehilangan’ fitrahnya. Mengutip kata
Andrias Harefa, mereka terkena sindrom ‘kemunafikan psiko-spritual’, atau
mungkin juga bahkan ‘kemunafikan psiko-intelektual’. Atau kata Sayyid Qutbh
sebagai ‘intelektual-intelektual yang minder’. Bahkan ‘mereka-mereka’ ini lebih
‘jahat’ dari yang disebut sebagai ‘Islam radikal’, ‘mereka-mereka’ ini adalah
problematika umat kontemporer.
Tapi
apakah kader KAMMI berani mengatakan ‘mereka-mereka itu’ sebagai problematika?
Ataukah KAMMI sendiri mulai tergerus dalam fenomena itu? Sayyid Quthb
menegaskan, umat Islam adalah sekelompok manusia yang kehidupan, konsepsi,
sikap, tatanan, nilai-nilai dan pertimbangannya terpancar dari manhaj Islam. Membaca
buku mantuba KAMMI yang berasal dari buku-buku tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin
(dalam fase ideologis), bukan berarti saya pro dengan PKS, kagum dengan
Ikhwanul Muslimin semata atau lainnya. Karena bagi saya terlalu naif untuk
pembicaraan mengenai itu, yang paling mendasar bagaimana membentuk fikrah
islami yang komprehensif, daripada hanya setengah-setengah, entah
‘kiri-filsafat-islami’. Termasuk kekeliruan fatal adalah berkiblat pada
metodologi pemikiran Barat, berikut produk-produknya, dalam kajian-kajian
ke-Islaman (Quthb, 2012).
Bahkan
Sayyid Quthb dapat dijadikan contoh ril, dimana ia adalah seseorang yang telah
menghabiskan waktunya, selama kurang lebih 40 tahun, untuk membaca. Selama itu,
ia lebih banyak meluangkan waktunya untuk menelaah dan meneliti hampir semua
bidang ilmu pengetahuan manusia, beberapa ilmu memang menjadi spesialisasinya
dan sebagian lainnya karena hobi (membaca). Kemudian ia kembali membaca
sumber-sumber akidah dan ideologi Islam. Tak disangka, sedikit demi sedikit
dari apa yang pernah ia pelajari di Barat, ternyata ia menjumpainya dalam
perbendaharaan Islam yang kaya, memang demikian adanya.
Perlu
kita ambil pelajaran dari pengkaderan Hizbut Tahrir yang kelihatan ‘taat pada
teoritisasi khilafah-nya’ daripada harus mengikuti gaya ke-HMI-an, ke-PMII-an,
ke-IMM-an. Saya lebih senang bergelut dengan harakah Islam daripada harus
bergelut mengikuti arus organisasi mahasiswa ‘perlabelan Islam’. Dengan itu
tidak ada istilah Islam-Ke-Indonesian, yang entahlah, agak aneh. Menurut Sayyid
Quthb, sesungguhnya agama ini bukanlah sebuah proklamasi pembebasan manusia
bangsa Arab, bukan pula sebuah misi khusus untuk komunitas Arab. Sasaran
proklamasi ini adalah manusia, ras manusia, dan medannya adalah bumi, seluruh
penjuru bumi.
Kembali
mengutip Sayyid Quthb, ia menuliskan masyarakat Islami adalah masyarakat
terbuka untuk semua suku, bangsa, dan warna kulit tanpa terkendala oleh
sekat-sekat fisik yang sempit. Apabila yang menjadi ikatan fundamental atas
kebersamaan dalam suatu masyarakat adalah akidah, konsepsi, fikrah, dan manhaj
kehidupan yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Kebersamaan semacam ini
mencerminkan ciri khas manusia yang paling berharga, yakni ruh (spirit) dan
akal pikiran. Jadi buat apa kita harus meng-Indonesia-kan Islam? Terlalu
aneh. Lebih lanjut Sayyid Quthb juga menuliskan Islam selalu bergerak maju
untuk menyelamatkan insan di bumi dari ketundukkan kepada selain Allah, ia tidak
boleh berhenti pada batas-batas geografis, tidak pula mengisolasi diri dalam
sekat-sekat etnis.
Individu-individu
yang hatinya telah steril dari penghambaan selain Allah, hendaknya bersatu
dalam sebuah komunitas Islam. Komunitas dimana hati para anggotanya telah
steril dari penghambaan kepada selain Allah secara keyakinan, peribadatan, dan
peraturannya, inilah yang akan mendirikan masyarakat Muslim. (Quthb, 2012). Kondisi
ini karena bagi saya, KAMMI dan Islam adalah sesuatu yang harusnya menyatu
padu. Membangun komunitas, harakah, dan akidah dalam waktu bersamaan seperti
halnya yang digagas Sayyid Quthb. Dan Allah menghendaki pembangunan masyarakat
dan harakah yang berakidah, dan membangun akidah yang memiliki masyarakat dan
harakah. Allah menghendaki akidah menjadi realitas masyarakat yang berharakah,
dan menghendaki realitas masyarakat berharakah yang sebenarnya menjadi entitas
ril dari akidah. Konsepsi Islam harus tercermin dalam kemanusiaan, sistem yang
dinamis, dan harakah yang nyata. Oleh sebab itu, konsepsi Islam bersifat
teoritis sekaligus realistis. Konsepsi Islam bukanlah teori yang lepas dari
realitas, akan tetapi mengejawantahkan dalam realitas yang dinamis. (Qutbh,
2012).
Sekali
lagi tulisan ini bukan karena saya pro terhadap gerakan PKS, jamaah tarbiyah,
atau sebaliknya ‘anti’ terhadap mereka atau partai politik (praktis), tidak
sama sekali atau boleh dibilang saya terkagum dengan konsepsi Ikhwanul Muslimin
dan pemikiran Sayyid Quthb dan tokoh Ikhwan lain. Tapi yang paling intinya
adalah saya ingin mengkonsepkan KAMMI sebagai harakah Islam yang tidak hanya
terbatas sebagai gerakan mahasiswa.
Sehingga
dengan tegas saya mengutip yang dituliskan Sayyid Quthb, Islam cukup dikatakan
Islam, titik. Islam memiliki kepribadian, konsepsi, aturan main sendiri. Islamlah
yang akan mewujudkan semua cita-cita kemanusiaan dengan aturan mainnya. Kembali
mengutip kata Sayyid Qutbh, “Sungguh sempurna semua itu. Sementara orang-orang
yang menegakkan agama ini dalam konsep negara, peraturan, perundangan, dan
hukum-hukum, sebelumnya mereka telah menegakkannya di dalam sanubari dan
kehidupan mereka dalam konsep akidah, akhlak, ibadah, dan tingkah laku. Mereka
mengejar satu janji ketika hendak menegakkan agama Islam. Satu janji yang tidak
bisa ditundukkan atau dikalahkan. Hanya demi tegaknya agama Islam di tangan
mereka. Satu janji yang tidak berkaitan dengan apa pun di dunia ini. Satu janji
itu adalah surga”. Mungkin itulah janji dari diskursus tentang KAMMI sebagai
harakah Islam bukan hanya terbatas sebagai gerakan mahasiswa.
Mantaff (y)
BalasHapus