21 Februari 2013

[IBHAR VOL. 1] Senthong Suwung: Sebuah Ekspresi dalam Kosong

Oleh: Muthia Esfand *)

Muthia2Marilah mulai berbareng berfikir, tanpa membuka lembar demi lembar buku berjudul Gerakan Perlawanan Dari Masjid Kampus, tanpa bernostalgia panjang tentang kemenangan masa 1998 lampau, tanpa senyum bangga sebagai salah satu subjek pengguling tirani. Tutup dan putuskan semua kenangan itu, beranjak memasuki senthong suwung pikiran kita. Ruang yang hanya sisi objektif yang menjadi penghuninya.

Terlampau sering memang; kritik, masukan, saran, kecaman, dari pihak manapun juga melayang masuk di atas meja barisan pegiat gerakan mahasiswa yang baru berumur pendek ini. Entah membangun ataupun tidak, diterima atau tidak, menjadi bahan refleksi ataupun tidak. Satu hal yang jelas, tidak pernah gerakan ini berjalan begitu saja, ibarat melaju mulus di atas jalan tol baru, tanpa kritik, pujian, kecaman atau apapun namanya itu. Anehnya, kritikan yang persis sama bisa terus bertahan lama dari tahun ke tahun tanpa perubahan substansi. Hanya person, redaksi, waktu dan tempat munculnya yang berubah. Apakah disebabkan kompleks dan bertumpuknya permasalahan yang ada, atau panjangnya deretan program kerja yang mesti diselesaikan, atau bisa jadi memang belum terfikirkan formula untuk menjawab beragam kritikan yang terungkapkan.

Ada dualisme kepribadian yang menjangkiti diri saya ketika mencoba melakukan mekanisme berfikir kritis tanpa batas tentang sebuah gerakan mahasiswa yang mencatat nama seorang saya sebagai salah satu personilnya. Bukan karena darah Jawa mengalir deras dalam diri saya, sehingga karakter ewuh pakewuh mendominasi alur awal sistematika berfikir, atau karena termasuk dalam jajaran panglima kecilnya—dalam lingkungan istana kecil pula—bukan itu. Mungkin, antara merasa, “Ah, sudahlah! Tak perlu pusing mikirin KAMMI, wong sudah ada yang mikirin. Wong sama temen sendiri,” atau beranggapan, “Percuma! Ngasih masukan banyak juga nggak pernah didengerin,” atau bahkan, “Wah, nanti saya masuk ‘daftar hitam’, dicap ‘pemberontak’. Wong jadi kader kok senengnya mendekonstruksi, mbrontak!” Entahlah.

Tapi yang jelas, saya sudah jejek manteb, niat ingsun bersuara lagi. Hambok bilih dimirengaken lan ditampi. Maka, beginilah ceritanya:

Ada proses adaptasi yang memang dituntut untuk secepat mungkin dilakukan oleh para kader gerakan mahasiswa ketika pertama kali menancapkan kukunya di kancah gerakan dan perpolitikan negeri Nusantara ini. Adaptasi antara suasana yang mengharuskan menyembunyikan dan memasukkan sepasang sandal atau sepatu yang dikenakan ketika bertandang menuntut ilmu, menjaga serahasia mungkin aktivitas rutinnya, serta piranti yang terkait di dalamnya. Menuju suasana yang mengharuskannya menampakkan diri dan maju ke depan kerumunan massa yang tengah bergejolak karena silang sengkarut masalah bangsa ini.

Adaptasi antara seorang aktivis masjid dan musholla kampus yang alim dan lembut, menjadi orator ulung yang keras lantang menyerukan teriakan pembebasan rakyat. Menjadi barisan demonstran yang garang melakukan amar ma’ruf nahi munkar di jalanan. Menjadi seorang politisi yang ikut merumuskan keberlangsungan negara.

Adaptasi dari bacaan yang didominasi karya Hasan al-Banna, Yusuf Qaradhawi, Said Hawwa, Sayyid Quthb hingga kepada referensi baru karya Karl Marx, Samuel Huntington, Tan Malaka ataupun deretan bacaan politik dan pergerakan lainnya. Adaptasi antara menjadi bagian dari invisible group menjadi bagian komunitas berlabel “gerakan mahasiswa.”

***


Tujuh tahun yang telah berjalan ternyata tidak cukup untuk melepaskan diri dari logika aktivis dakwah kampus menjadi seorang aktivis gerakan mahasiswa tulen. Gerakan mahasiswa hanya menjadi label pilihan segmentasi dakwah yang belum mampu disikapi dengan serius. Ketika mencoba memperluas jaringan dakwah Islam ini, dengan menjadikan jurusan gerakan mahasiswa sebagai salah satu lahan garap, proses dan alur gerakan yang dibuat pun selayaknya sesuai dengan logika sebuah gerakan mahasiswa. bukan berarti tiada ruh seruan Islam di sana, hanya pola pikir dan implementasi kerja yang berbeda dengan, misalnya, aktivitas dakwah kampus.

Ada ketakutan tersendiri yang terlihat mewarnai atmosfer kerja dan pikir para pegiatnya. Ketakutan—bahkan bisa dikatakan keengganan—untuk berlepas logika dengan LDK yang selama ini membesarkannya untuk kemudian berdiri tegak dengan baju yang berbeda, dengan pola pikir dan gerak yang berlainan.

Dimanapun pejuang Islam berada, pasti akan memahami bahwa dakwah ini hanya bisa tersebar luas dan merata di setiap sendi kehidupan umat hanya ketika ia disebarluaskan dengan segmentasi beragam. Dan, ketika setiap segmentasi diharap mampu memberikan kontribusi optimal, pengelolaan dan pengembangannya pun harus secara profesional dan maksimal.

Ketika frame utuh sebagai gerakan mahasiswa (Islam) telah terpatri, ia pun akan memenuhi persyaratan umum yang biasa dimiliki oleh gerakan semacam itu. Telah banyak pihak, setahu saya, yang mengungkapkan bahwa sudah selayaknya input dan output kadernya berbeda dengan yang dihasilkan oleh segmen dakwah yang lain, kampus misalnya. Mengenai dasar keislaman yang umum memang sama, spesifikasi lokal lahan dakwah saja yang berbeda.

Seorang anggota gerakan mahasiswa Islam haruslah paham—paling tidak—tentang sistem dan sejarah politik Islam, konstelasi gerakan mahasiswa, tokoh gerakan, rekayasa sosial, sosiologi masyarakat, strategi demonstrasi dan berbagai macam wawasan dasar tentang politik dan GM. Dan yang lebih penting kepahaman akan ideologi dan kekhasan yang menjadi ruh geraknya. Semuanya dikemas dalam suatu paket pendidikan politik yang bertahap, beralur dan berjenjang dengan berbagai sarana penunjang sehingga akan meningkatkan kemampuan intelektual, kepahaman gerak, keterikatan diri, kesesuaian visi dan misi, dan tentunya partisipasi politik.

Dengan komposisi dan perpaduan yang adil antara pemahaman keislaman dengan pemahaman politik yang diterimanya, bukan tidak mungkin pemimpin masa depan akan bermunculan dari gerakan ini. Pemimpin masa depan yang qualified dan punya kapabilitas tinggi.

Dan, ketika identitas GM telah bersemayam utuh dalam pikirannya, ia tidak akan sungkan dan risih lagi membangun alisansi dengan pihak lain yang terkait, tidak hanya dengan mereka yang memiliki satu pola pemikiran atau ideologi, tetapi juga pihak yang berlainan. Apabila hubungan baik telah terjalin, tidak perlu lagi rasa takut dan khawatir yang berlebihan muncul saat aksi aliansi digelar, ataupun merasa dirugikan yang terlalu subjektif ketika massa KAMMI lebih besar dan lebih ‘alim’. GM ini akan punya ideologi, punya prinsip!

Keberhasilan dan kecantikannya bermain di lapangan keras dunia politik bergantung pula pada pemanfaatan jaringan internal yang dimiliki serta keuletan membuka jaringan baru dengan pihak luar yang menunjang kerjanya.

Menjalin hubungan baik dengan media—misalnya—akan mempermudah akses penyebaran opini kepada publik. Membina hubungan yang baik pula dengan bermacam lembaga atau LSM akan mempermudah geraknya sampai ke ruang sempit. Yang pasti, tidak ada ruginya melakukan itu semua.

***


Sebagai sebuah GM, tentulah strategi aksi turun ke jalan masih dirasa cukup efektif untuk menyerukan kebenaran kepada penguasa. Ibarat sebuah toko, demonstrasi massa adalah etalase kaca yang mampu dilihat orang dengan mudah. Maka, perencanaan, pengorganisasian dan penyelenggaraannya pun haruslah terencana secara utuh serta atraktif.

Sebuah pagelaran demonstrasi massa harus dibuat seatraktif mungkin, karena tidak semua isu yang dibawa telah diketahui dan dipahami oleh rakyat kebanyakan. Untuk itu, perlu ada sebuah manajemen aksi yang menarik, agar rakyat mengerti isu tersebut serta bersimpati dengan simulasi aksi yang dilakukan.

Terkadang selama ini, aksi-aksi yang diselenggarakan oleh KAMMI jarang mendapat porsi yang memadai di berbagai macam media. Walaupun massa aksi cenderung lebih besar, namun dari segi kreasi aksi sangatlah rendah. Akhirnya, yang  terjadi adalah aksi-aksi yang monoton tanpa variasi.

Jika kita memahami sebuah aksi demonstrasi sebagai bagian dari jihad, maka semua piranti dan komponen yang ada di dalamnya harus bekerja sesuai dengan tugasnya. Seorang korlap atau kordum adalah pemegang komando utama yang dibantu korlap-korlap lainnya. Orator adalah pembangkit semangat dan propagandis isu ke masyarakat dengan orasinya. Agitator adalah pembangkit semangat dengan agitasinya—lagu, yel dan sorak-sorai. Petugas kesehatan pun tidak kalah penting artinya. Kurir sebagai peretas jalan, keamanan adalah penanggungjawab keamanan massa dan ketertiban situasi, semenjak pemberangkatan hingga penutupan aksi. Bahkan kadang menjadi tameng terdepan saat aparat mulai represif.

Keamanan tidak hanya berjalan di samping barisan atau menertibkan lalu lintas, tanpa sebuah pemahaman bahwa dialah yang bertanggungjawab bila terjadi hal-hal yang membahayakan massa aksi. Seringkali, bahkan setiap kali, aksi yang dilakukan tidak dengan pengamanan yang sungguh-sungguh bahkan cenderung lalai. Anggapan bahwa aksi KAMMI tidak akan pernah disikapi keras oleh pihak lain perlu segera disingkirkan. Ketika aksi yang diinginkan adalah suatu bentu aksi massa yang profesional, fokus kerja setiap perangkat pun haruslah profesional.

Bisa jadi memang, hal-hal yang terungkap di atas cenderung berasal dari sisi subjektif saya sebagai seorang mahasiswa Sastra yang senang berwacana dan sebagai seorang “keamanan” yang selalu miris dan geram melihat sistem pengamanan yang dimiliki KAMMI. Permasalahan yang diderita KAMMI bisa jadi lebih banyak dan kompleks, namun hal-hal di atas bisa jadi adalah salah satu akar maslaah.

***


Senantiasa memberi saran, kritik dan masukan—bahkan kecaman atau ancaman—adalah sebuah keniscayaan bagi seseorang yang mengakuoi pilihan dakwan ini sebagai salah satu pembuluh darahnya, sebagai bukti kepedulian dan kontribusi minimal yang bisa dihadirkannya. Dengan beragamnya isi kepala setiap orang, berbedanya sudut pandang melihat sesuatu tidak perlu dipertentangkan. Biarkan nilai rasa dan pikir yang menentukan arah mana yang terbaik. Hidup konkret-absurd ataukah hidup absurd-konkret yang menjadi pilihan.

Begitu saja mungkin. Masih panjang waktu yang merentang. Semoga. Hingga kepak-kepak sayapnya bisa menjuru melebar luas dan menukik tajam ke sasaran. Sepira gedhening sengsara yen tinampa amung dadhi coba. Jejering satrio iku tansah solah ing bawa lan piguna ing karya.[]

Sudut sempit Timoho, 6 April


[ketika teringat sister My with her Red things!]


 *) Muthia Esfand, Presiden Partai Bunderan dan Sekretaris Departemen Kajian Strategis KAMMI Daerah Istimewa Yogyakarta 2004-2006, mahasiswa Fakultas Sastra UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar