21 Februari 2013

[IBHAR VOL.1] Menjadi Lebih dari Soe Hok Gie

Oleh: Akbar Tri Kurniawan *)


Gambar“Kalau ingin bebas, kita harus melawan,” satu petikan kata yang terucap dari mulut Soe Hok Gie dalam film Gie. Menarik membicarakan film ini, dan saya kira masyarakat akan terbelah beberapa faksi dalam memandang film ini. Saya meleburkan diri menjadi bagian dari salah satu faksi, yaitu dari sudut pandang saya sebagai aktivis KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia).

Patutlah kita ucapkan terimakasih kepada seluruh tim pembuat film Gie ini, karena penonton akan lebih memiliki imajinasi mengenai aktivitas seorang aktivis mahasiswa, meskipun imajinasi tersebut banyak terpengaruh dengan alur cerita dalam film Gie. Namun cukup bagi saya, bahwa aktivitas aktivis mahasiswa yang diperankan dapat mewakili aktivitas mahasiswa yang otentik, yaitu melawan, membaca, menulis, berdiskusi, nonton film lalu membedahnya, demonstrasi, tapi—maaf—tidak untuk berciuman (sekali lagi ini sudut pandang saya sebagai aktivis KAMMI).

Film Gie mengajari prinsip yang teguh terhadap keyakinan yang tidak luntur karena derasnya arus atau popularitas sebuah tradisi. Gie yang tidak mau bergabung dengan arus gerakan mahasiswa bagi saya adalah sebuah prinsip. Bahkan melahirkan fenomena perlawanan baru yaitu mahasiswa pecinta alam (mapala). Boleh jadi prinsip ini sangat tidak populis jika dipandang dalam konteks politik mahasiswa yang vulgar. Namun Gie berani untuk memilihnya.

Gie dalam film ini menggambarkan pula bentuk antagonis antara prinsip dan amal. Gie digambarkan penganut faham-faham perlawanan, revolusioner, pembela rakyat miskin. Namun saya tidak sepakat orang sehebat Gie dalam berfikir menemukan kemandegan atau tidak progresif dalam menerjemahkan faham-faham tersebut dalam bentuk amal lapangan, sederhananya kenapa harus melulu dengan menggelar musik, naik gunung dan sempat-sempatnya untuk bercumbu (bahkan berciuman) untuk melakukan perlawanan terhadap kemunafikan secara revolusioner.

Oleh karena itu saya menulis “Gie yang menganut faham-faham perlawanan, revolusioner…”, bukan “Gie yang berideologi perlawanan, revolusioner…”, karena saya tidak ingin mengotori makna sakral ideologi. Ideologi adalah kefahaman yang mampu diinternalisasikan pada diri sehingga berani untuk mengambil semua resiko, sedangkan faham hanyalah sebatas mengerti namun tidak terinternalisasi sehingga memungkinkan terjadinya pengaburan antara bibir dan amal.

Kesakralan ideologi justru nampak pada peran Han (teman Gie) yang tergabung dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) dan harus mati ditembak militer. Han merupakan sosok yang ideologis. Han adalah sosok pemuda yang yakin akan prinsip sehingga membawanya untuk bergabung dengan PKI yang dianggapnya memperjuangkan nasib rakyat miskin, sehingga ia berani untuk tidak meninggalkan identitas PKI-nya yang berujung pada kematiannya.

Secara sepintas film Gie mengarahkan penonton untuk berfikir bahwa politik, partai politik, dan  kekuasaan adalah barang kotor, seperti salah satu petikan kalimat Gie “politik adalah tai kucing”. Cukup bagus alur cerita dengan tampilan bukti yang menyudahi pada kesimpulan tersebut. Dan sepertinya beberapa kalangan juga akan sepakat jika konteks gerakan politik baik parpol, gerakan mahasiswa pada waktu itu adalah bentuk kemunafikan yang menggunakan senjata “membela rakyat” hanya untuk kekuasaan, inilah yang dimaksudkan dengan “tai kucing”.

Prinsip yang kuat, keyakinan terhadap arah berfikir serta dipadu dengan ego yang tinggi mengantarkan Gie untuk memilih jalur “netral” yaitu netral untuk tidak ikut-ikutan tergerus dalam Gerakan Mahasiswa seperti GMNI, HMI, dan PMKRI serta tidak pula condong ke PKI yang saat itu menjadi cukup populis. Namun “netralitas” yang ingin dipertahankan Gie untuk tidak berpihak kepada salah satu gerakan mahasiswa dengan ‘mengagungkan’ prinsip berfikirnya tetap mengantarkannya pada pilihan positivistik yaitu “Turunkan Soekarno dan Bubarkan PKI ”, sehingga Gie turut bergabung dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang di dalamnya ada tokoh aktivis mahasiswa yang Gie sendiri menolaknya secara prinsip.

Keyakinan Gie yang begitu kuat dipatahkan oleh suatu peristiwa. Peristiwa tersebut yang menjadi titik awal Gie untuk berfikir mengenai absurditas pemikirannya, yang tertumpahkan dalam sebuah artikel “Di Sekitar Pembunuhan Besar-Besaran Di Bali”. Keyakinannya goyah sehingga ia mulai “menyesali” demonstrasi yang ia lakukan bersama KAMI untuk menggaungkan dan memenangkan pilihan positivistiknya, hanya mengantarkan penguasa baru yaitu Soeharto dan Militer bukan perubahan baru yang ia impikan yaitu keadilan. Kegamangan Gie inilah yang mengantarkan pada kesimpulan bahwa yang salah bukan Politik, Partai Politik dan Kekuasaan tetapi Kemunafikan.

Absurditas inilah yang menyimpulkan Gie yang diperankan tak ubahnya seorang pemimpi yang susah terbangun oleh kebisingan dunia. Gie adalah pemuda bermental pemimpi bukan pemuda yang bermental penggerak dan membangun.

Saya meyakini ada muatan kepentingan yang ingin ditampilkan, tapi bagi saya cukuplah film Gie ini menjadi perlawanan arus perfilman yang cenderung menampilkan glamouritas dan pragmatisme pemuda Indonesia seperti yang dikatakan Gie dengan istilah “Wajah Bopeng”.

Akhirnya, apakah sosok Gie yang ditampilkan ini menjadi prototype idealnya aktivis mahasiswa? Jawabannya akan tergantung di posisi manakah Anda sekarang.

Dan patut kita renungkan apa yang disampaikan Muhammad Hatta, “Selama pemuda masih hidup dengan cita-cita untuk membangun Indonesia di masa datang, yang ia tenggelam dalam romantisme politik untuk menggambarkan wajah Indonesia di masa mendatang, selama itu pula ia dapat menentukan rolnya atau bagiannya dalam perjuangan membangun Indonesia[]

*) Akbar Tri Kurniawan, Ketua Umum KAMMI UGM 2004-2005, mahasiswa Fakultas Pertanian UGM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar