26 Februari 2013

[IBHAR VOL. 2] Gerakan Islam Merebut Identitas Globalisasi

Oleh: Syarifudin *)


Identitas itu ibarat garmen | Ia dikenakan di atas diri kita yang bugil. (James Baldwin)



Cinta hadir melalui proses identifikasi. (Syarifudin)


syarifudinBERBICARA globalisasi dan gerakan Islam, yang terlintas dalam benak Antum pertama bisa jadi kesan pertentangan dan pertarungan. Ada hitam dan ada putih. Tak ada wilayah abu-abu, karena menurut sebagian orang itu wilayah subhat dan jelas bid’ah dholalah-nya. Saya tidak ingin membicarakan itu, penulis lebih tertarik untuk membicarakan tema ini dalam konteks identitas.


Bagaimana perebutan identitas terjadi dalam lapangan kehidupan kita. Perebutan identitas itulah yang kemudian memproduksi banyak hal. Bagaimana kerinduan terhadap identitas terjadi dan menggerakkan hidup seseorang atau komunitas tertentu. Aktivitas manusia pun dapat ditarik ulur dalam wilayah pencarian identitas.


Identitas terhadap apa? Identitas terhadap yang lain. Goenawan Muhammad menulis dalam Eksotopi: Tentang Kekuasaan, Tubuh dan Identitas, “Pembentukan identitas melalui satu proses pertemuan dengan yang-lain. Pada akhirnya sebuah identitas bisa terkait dengan diri seseorang namun juga bisa berubah, karena konsteks pertemuan yang berubah.”


Apakah identitas globalisasi dan apakah identitas gerakan Islam? Pada akhirnya keduanya pun akan berhadapan secara vis-à-vis. Namun bagiku bukan untuk berkelahi dan saling mengalahkan. Tapi untuk saling memperkuat identitas masing-masing. Itulah makna eksotopi yang pernah dikemukakan oleh Mikhail Bakhtin. Berbeda dengan dialektika yang saling menegasikan. Eksotopi merupakan aktivitas dialog yang bahkan tidak menuntut munculnya sintesa, seperti yang terjadi dalam dialektika.


Dalam eksotopi, cukuplah aku menjadi aku yang lebih aku dan kamu menjadi kamu yang lebih kamu. Aku menjadi semakin sempurna dengan keakuanku dan kamu menjadi lebih sempurna dengan kekamuanmu. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Ini adalah proses eksotopi. Bukan egoisitas tapi dialog untuk menguatkan identitas masing-masing.


Watsuji Tetsuro dalam karyanya menunjukkan secara implisit bahwa identitas tidak datang dari sebuah asal-usul. Kaum pasca-strukturalis bahkan menambahkan lebih jauh, bahwa identitas lahir dari perbedaan. Artinya, identitas bukanlah jati diri. Karena jati diri mengasumsikan sesuatu yang “jati”, yang benar, yang asli, murni, kekal, dalam diri kita. Sesuatu yang lahir dari perbedaan bukanlah sesuatu yang hadir secara ontologis.


***


Setelah kita mendapatkan sekelumit pemahaman tentang identitas, mari kita meloncat ke wilayah yang lain. Identitas gerakan Islam pun lahir dan kian menguat saat saat ada pemaknaan terhadap “yang-lain” yang semakin kuat dan asing. Nilai-nilai asing yang semula asing itu pun secara tidak langsung menguatkan nilai identifikasi umat Islam terhadap diri.


Etnisitas bukanlah kekuatan yang cukup untuk membendung globalisasi yang dimaknai sebagai nilai-yang-lain. Etnisitas tak terlalu punya kuasa untuk menegasikan globalisasi yang memiliki kecepatan informasi dan kekuatan mobilisasi modal dalam sekejab.


Menarik sekali saat kita mengajak Foucault ikut berbicara dalam diskusi kita ini. Menjinakkan adalah menguasai. Sejarah imperialisme yang kini telah basi, berganti dengan globalisasi. Globalisasi adalah hasil mutasi genetik imperialisme yang paling canggih—paling tidak untuk saat ini. Berbeda dengan imperialisme yang mengisyaratkan monopoli kekuasaan di tangan seorang despot—Marx membahasakannya dengan “modus produksi Asiatik”—,globalisasi menjanjikan kesempatan yang setara di pelbagai penghuni di beragam wilayah dunia.


Ketika wacana universalisme menegasikan nilai-nilai lokal. Tampaklah sebuah wujud yang baru yang ingin dipaksaterapkan. Ilusi “dusun global” yang dihembuskan oleh MacLuhan tampaknya tak menemukan pijakan yang kuat. Sebuah ilusi jika membayangkan sebuah satuan geografis dengan batas nasional akan musnah dan sebuah kesatuan yang di mana-mana pun terbuka tanpa rasa curiga. Realitas yang ada, orang tetap terikat dalam tubuh dan letak geografis. Pertemuan yang agresif tanpa batas yang ditawarkan globalisasi justru kian mempertajam kesadaran teritorial kebudayaan. Konteks pun semakin kuat saat membaca tawaran globalisasi. Seperti esai Baldwin, identitas dipertanyakan ketika si orang asing memasuki pintu gerbang.


Apakah nilai-nilai globalisasi dapat meremukkan nilai-nilai budaya lokal. Saat globalisasi menawarkan nilai universalitas, patut kita tanyakan otentisitas universalitas itu. Jangan-jangan yang tampak dan muncul ialah universalitas-palsu dari ilusi-ilusi pencerahan yang menjebak.


Kebangkitan gerakan-gerakan Islam di mana pun justru semakin menguat dengan adanya pertarungan identitas. Globalisasi yang menjadi ikon negara-negara kapitalis mencoba mendesakkan diri ke negara-negara dunia ketiga. Saat nilai-nilai lokal yang satu tak sanggup menghadapi imperialisme modal itulah, nilai lokal yang lain mulai dicari. Saat pencarian identitas masyarakat marginal menemukan Islam sebagai satu kekuatan pendobrak globalisasi yang semena-mena, gerakan Islam menemukan konteks untuk mengkonsolidasikan diri dalam kekuatan yang militan dan fundamental.


Walau pada akhirnya sama saja, ketika bisa jadi gerakan Islam menemukan momentum dan kekuatan penetrasi kepada kebudayaan superior ia pun menciptakan nilai-nilai universalitas tersendiri. Universalitas-palsu dimuncul bagi pihak yang inferior. Siapa yang bisa menciptakan nilai universal-global itulah yang akan melakukan dominasi.


Islam cukup optimis untuk memproduksi nilai-nilai universalitas-yang-lain. Yang berbeda dengan nilai-nilai universalitas-barat yang selama ini kita kenal, semacam demokrasi, HAM, humanisme, egalitarian. Proses mereduksi nilai-nilai universalitas barat hanya dapat terjadi dengan menguatkan nilai identitas Islam sebagai sebuah gerakan. Tidak sekedar Islam sebagai kode etik atau moralitas.


Globalisasi tidak akan pernah netral. Globalisasi pada esensinya ialah ruang kekuasaan yang diciptakan oleh kekuatan imperialisme modal. Proses identifikasi yang kuatlah yang dapat memberikan kekuatan baru. Seperti saat Islam muncul dalam budaya jahiliyyah yang sudah sangat universal saat itu. Islam kemudian memproduksi nilai universal-yang-lain walau kadang tidak harus baru. Dengan kata lain, perjuangan gerakan Islam saat ini ialah proses menggeser sentralisasi gagasan yang saat ini dimiliki oleh barat. Politik identitas memberikan kita keleluasaan untuk menciptakan multipolar penafsiran terhadap nilai yang-seharusnya.


Kolaborasi gerakan-gerakan Islam fundamentalis dalam satu identitas massal menjadi lawan tangguh identitas barat. Apakah konfrontasi identitas akan terjadi seperti yang diramalkan Huntington? Terlepas dari segala kelemahan tesisnya, ramalan Huntington dapat kita tafsirkan sebagai hasil proses identifikasi himpunan identitas-identitas yang memang senantiasa carut-marut.


Sebaliknya seperti yang terjadi di Barat saat ini, keangkuhan Barat terhadap Islam muncul saat mereka melakukan identifikasi terhadap Islam. Walau di sini harus kita cermati: Islam yang bagaimanakah yang diidentifikasikan oleh barat untuk ia sandingbedakan dengan barat. Apakah kesalahpahaman barat yang terjadi selama ini karena proses identifikasi yang salah. Atau bisa jadi kesalahan-identifikasi itu dilakukan secara sadar oleh barat untuk menguatkan keakuan dan superioritas barat. Seperti yang dimaksudkan oleh Mohamed Arkoun, Islam yang dikenal Barat pertama kali bukanlah Islam klasik di zaman keemasannya, akan tetapi Islam era skolastik repetitif.


Bagaimana selanjutnya, terserah Antum, ana ’kan sekadar memantik diskusi ini. Minimal membuat jalinan pikiran Antum tambah semrawut! [*]



Berfikir berarti mengidentifikasikan.


(Theodore Adorno)



*) Syarifudin, S.IP., baru saja diwisuda dari Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM. Pernah menjadi Ketua KAMMI Korfak Fisipol UGM, juga menjadi pendiri dan dewan redaksi majalah Ummahat serta Smart.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar