26 Februari 2013

[IBHAR VOL. 2]Ketika Pendulum itu Bergeser ke Kanan: Demokrasi Liberal, Islam Politik dan Timur Tengah

oleh: Okta Undang Suhara, SIP


“Demokrasi adalah sistem yang paling buruk, masalahnya pada saat ini tidak ada yang lebih baik dari Demokrasi…”

[Sir Winston Churchill]


GambarPEMILU Legislatif di Palestina tanggal 25 Januari 2006 yang lalu telah menghasilkan Hamas (Harakah al-Muqâwwamah al-Islâmiyah) sebagai pemenang Pemilu (dengan perolehan 57% kursi di legislatif). Sebelumnya, pada akhir Desember 2005, di Mesir, gerakan al- Ikhwan al-Muslimun (IM) dalam Pemilu legislatif—meskipun belum mampu menggeser rezim Hosni Mubarak—mampu mengantongi 88 kursi di parlemen. Suatu hasil yang cukup fantastis dibandingkan 17 kursi pada pemilu tahun 2000 yang lampau. Di belahan dunia yang lain, Pemilu di Iran, telah memenangkan Mahmoud Ahmadinejad yang kini telah melenggang sebagai Presiden Iran.

Dalam lanskap politik global, fenomena-fenomena ini tidak muncul secara tiba-tiba. Para tokoh atau kelompok-kelompok yang muncul sebagai pemenang pemilu tersebut adalah golongan yang selama ini dikenal sangat anti terhadap kebijakan politik luar negeri Amerika, dan pada umumnya, mereka ini berada pada kuadran yang sering disebut sebagai kubu Islamis atau Fundamentalis.

Kelompok-kelompok ini, misalnya Hamas adalah kelompok yang oleh media Barat dipandang paling radikal, tidak kooperatif, dan tidak mengakui eksistensi Negara Israel serta berkata “Tidak !” untuk tiap perundingan damai yang disponsori oleh AS dan Uni Eropa. Bagi Hamas, jalan menuju Kemerdekaan Palestina adalah dengan menggusur Israel dari negeri para nabi ini. Tentu dalam pemilu lampau yang diharapkan menang oleh Barat (AS dan UE) adalah Fatah, yang mana selama ini cukup kooperatif dan mau berunding dengan Israel. Kemenangan Hamas di Palestina, bagi para pengamat militer dan sejumlah analis di Barat, menyiratkan bahwa pintu perdamaian akan segera ditutup rapat-rapat dan Timur Tengah kembali memulai suatu babak yang penuh dengan airmata dan darah (Kompas 26/12/05).

Hal ini  menurut sejumlah analisa akan mendorong penduduk Israel untuk memilih Partai Likud pada Pemilu di Israel medio April 2006 besok, yang selama ini memang dikenal sebagai partai ultranasionalis yang memiliki tradisi kebijakan tegas dan keras  terhadap masalah keamanan di Palestina. Tentu saja sejumlah asumsi seperti ini akan berujung pada satu kesimpulan bahwa Naiknya sejumlah gerakan yang selama ini dikenal Radikal tersebut akan membahayakan proses perdamaian di Timur Tengah dan demokratisasi yang sedang dibangun. Benarkah demikian?

Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa kemenangan yang diraih oleh Hamas, IM (pemilu legislatif) dan Ahmadineejad (pemilu Presiden) di atas melalui suatu mekanisme pemilu yang cukup jujur dan adil (survei The Carter Center, 2006) dimana proses pemilihan yang terjadi relatif kondusif dan minim dari tindak kecurangan (dalam perspektif elektoral minimum), dengan pengecualian di Irak, yang menurut Jimmy Carter “merupakan pemilu yang agak artifisial dan terlampau dipaksakan..”. Meskipun begitu kubu Islamis di Irak mampu mendulang hampir 50% suara didalam kondisi yang tidak sehat tersebut (dalam keadaan “perwalian” oleh Amerika). Bahkan di Afganistan, hampir 75% kursi di parlemen dikuasai oleh kelompok Jihad. Sementara Ahmadinejad sendiri di Iran adalah seorang mantan pengawal Imam Khomeini yang sangat anti terhadap kebijakan AS, tertutama menyangkut kebijakan “Nuklir Damai” Iran.

Liberal Democracy versus Illiberal Democracy

Naiknya kubu-kubu yang selama ini dikenal fundamentalis dan radikal tersebut tentu saja mengkhawatirkan Barat. Proses transisi demokrasi yang selama ini diagung-agungkan oleh Amerika dan dijadikan proyek Demokratisasi Timur Tengah dan Dunia Arab oleh Bush Jr. kini seolah mentah di jalan. Menurut sejumlah penasihat Bush di Gedung Putih, kelompok-kelompok yang ada tersebut telah memanfaatkan mekanisme pemilu untuk membunuh proses demokrasi itu sendiri. Seolah-olah rakyat di Timur Tengah dihadapkan pada dilema. Di Mesir, rakyat harus menentukan pilihan antara kubu Hosni Mubarak yang otoriter atau memilih kubu Ikhwanul Muslimin yang mendapat stereotype fundamentalis. Sementara di Palestina, penduduk harus memilih antara Hamas yang dicap radikal atau Fatah yang ditengarai korup. Seolah-olah masa depan kebebasan di Timur Tengah dalam pasungan. Akan tetapi, yang jelas rakyat telah menentukan pilihan.

Meskipun begitu, harus diakui proses pemilu yang telah berlangsung adalah pemilu yang cukup jujur (The Carter Center, 2006). Dan partai pemenang pemilu telah mendapat mandat serta legitimasi yang sah dari konstituen yang telah memilihnya. Pemilu itu sendiri sebagai mekanisme demokrasi elektoral, sejatinya adalah produk dari demokrasi liberal. Dalam mekanisme ini, terjadi suatu proses kandidasi dan kontestasi. Melalui proses pemilu, partai sebagai instrumen politik yang paling hebat yang pernah diciptakan pada sistem politik modern, berfungsi untuk melakukan rekruitmen dan artikulasi gagasan yang disatukan dalam sebuah platform yang sama dan pada akhirnya memobilisasi massa (kerumunan/crowd) secara sinergis untuk menuju satu artikulasi kebijakan politik tertentu (Zakariya, 2003).

Semua proses ini adalah suatu fase yang mau tidak mau akan dialami oleh semua negara pada abad 21 ini sesuai dengan ramalan Fukuyama dalam The End of History-nya, setelah terjadi Gelombang Ketiga Demokrasi (Third Wave of Democration—Samuel P. Huntington). Pada akhirnya, tiap entitas akan mengalami proses liberalisasi menuju kebebasan individu. Dalam teori-teori klasik mengenai studi tentang demokrasi, salah satu pondasi yang paling fundamental dalam demokratisasi adalah liberalisasi. Tidak akan ada demokrasi kecuali tanpa liberalisasi. Karena pada fase liberalisasi tersebut, diharapkan kekuatan civil society akan terkonsolidasi dalam perebutan kuasa pada arena pubic sphere, sehingga pada akhirnya semua elemen akan menerima liberalisasi tersebut sebagai prasyarat negara demokratis yang akan membawa peradaban dunia pada akhir sejarah yang penuh kebebasan dan perdamaian. Dunia telah mencapai satu konsensus yang luar biasa terhadap demokrasi liberal. Demokrasi liberal adalah semacam titik akhir dari evolusi ideologi atau bentuk final dari bentuk pemerintahan (Fukuyama, 1989).

Akan tetapi yang terjadi belakangan ini justru sebaliknya. Para analis mengkhawatirkan akan naiknya rezim yang otoriter, justru dengan memanfaatkan instrumen yang demokratis tersebut, misalnya saja kasus Perves Musharraf di Pakistan. Di sini, demokrasi dijadikan klaim untuk legalitas tindakan kelompoknya.  Dalam contoh di atas, kekhawatiran orang-orang di Gedung Putih adalah kelompok-kelompok “Bawah Tanah” dan “Gerakan Jalanan” seperti Hamas dan Ikhwanul Muslimin yang telah bermetamorfosa—dengan berubah menjadi Partai dan mau ikut Pemilu—justru di masa depan akan membahayakan proses demokrasi yang telah mengantarkan kemenangan mereka (misalnya dengan melarang Pemilu di masa depan karena tidak ada klaimnya dalam syariah). Kelompok-kelompok yang semula dianggap tidak demokratis di atas ternyata menggunakan strategi mobilitas vertikal politis tersebut untuk dapat bertanding secara resmi dalam pemilu lokal dengan mempergunakan “jubah demokrasi” (Guntur Romli, www.islamlib.com, 30/1/’06).

Dari berbagai spekulasi diatas, telah terjadi proses illiberal democracy disini. Menurut Fareed Zakariya, seorang kolumnis di NewsWeek International dan editor Jurnal the Foreign Affair, transisi demokrasi yang ada telah dibajak (hijacking democracy). Illiberal Democracy sendiri adalah antitesis dari demokrasi liberal, yakni demokrasi yang tidak liberal. Fareed yang sedang naik daun berkat bukunya, The Future of Freedom, (2003) mengatakan bahwa proses pembusukan terhadap demokrasi yang sedang tumbuh justru dengan mengunakan instrumen demokrasi itu sendiri. Suatu mekanisme yang sah dan legal menurut produk konstitusi liberal.  Bahkan ekstremnya, negara yang dipimpin oleh rezim yang un-democratic tersebut pada akhirnya akan menjelma menjadi “pemerintahan yang fanatis” atau Negara Fasis.

Hal ini tentunya problematis, karena bagaimanapun juga idealnya (dalam perspektif demokrasi maksimalis), sebuah rezim demokrasi sejatinya tidak boleh sekali-kali berfantasi akan dapat melenyapkan gagasan atau eksistensi suatu kelompok yang bahkan sebetulnya (juga) tidak menerima demokrasi. Meskipun begitu, dalam realitasnya bisa jadi kenyataan tersebut terjadi pada sebuah proses demokratisasi. Hal inilah yang sebetulnya menunjukkan kelemahan dari sistem demokrasi itu sendiri, bahkan Winston Churcill tahu betul akan problem epistemologis yang mungkin timbul dari proses demokrasi tersebut.

Yang jelas proyek Bush di dalam mengkampayekan demokrasi di dunia Islam kini nampaknya harus ditinjau-ulang, sebagaimana Fukuyama perlu untuk merevisi tesisnya. Karena bagaimanapun juga suatu proses demokrasi yang diinjeksikan secara instan tidak akan pernah berhasil dan bahkan justru dapat menjadi bumerang. Sebuah proses yang sarat akan kepentingan pada akhirnya akan mentah karena tidak terinternalisasi dengan matang. Masalah-masalah yang ada di atas menurut Lary Diamond, seorang pakar teoretisi transisi demokrasi, adalah problem crafting the democracy; meracik demokrasi, yang seharusnya berakar pada modal kultural itu sendiri (identitas dan world view kelompok lokal). Dalam hal ini, identitas rakyat di Timur Tengah sebagai umat Islam.

Perubahan Peta Dunia

Kelompok-kelompok yang selama ini bergerak di bawah tanah telah bangkit. Kini, dengan adanya dinamika internal dan peluang eksternal, mereka semakin melunak, semakin kompromistis, dan semakin menjadi bagian dari sistem. Pada akhirnya, dengan dukungan legitimasi publik, mereka menjadi Government bahkan State itu sendiri. Di Timur Tengah, bandul pendulum berayun kearah kanan (Islamis) sementara itu di Amerika Latin, bandul berayun ke arah kiri (Sosialis).

Terpilihnya Tabare Vazquez sebagai presiden kiri Uruguay pertama,  (1/11/’06) menandai sebuah perubahan bersejarah dalam politik di negara-negara Amerika Selatan. Vazquez menambah daftar pemimpin kiri terpilih secara demokratis di Amerika Selatan, seperti Luiz Inacio Lula da Silva (2002) dari Brasil, Nestor Kirchner (2003) dari Argentina, Lucio Gutierrez (2002) dari Ekuador, Ricardo Lagos (2000) dari Cile, dan Hugo Chavez (1998) dari Venezuela (Kompas, 12/1/06).  Apakah mereka ini akan menjadi kelanjutan dari the Axis of Evil (Poros Setan) ala Bush?

Dari tiga negara, dua adalah negeri muslim (Iran dan Irak) dan satu (Korea Utara) adalah komunis. Kalau dikatakan aliansi, alangkah naifnya. Yang jelas definisi poros (axis) menurut Bush sekarang dibandingkan dengan Axis pada masa Perang Dunia ke-2 sungguh berbeda. Apakah jangan-jangan Bush hendak menggelar perang jenis baru? Ataukah dari pola-pola yang meskipun terlihat acak (mozaic pattern) di atas akan terbentuk semacam the Invisible of Allience, yang pada akhirnya akan menjadi semacam koalisi permanen untuk melawan kediktatoran politik unilateralisme AS?

Jika di masa lampau musuh Amerika adalah negara Komunis—tidak peduli apakah negara itu demokratis atau tidak—sehingga Amerika bisa bermesraan dengan rezim totaliter semacam Reza Pahlevi di Iran atau Pinochet di Chili, kini yang menjadi “ancaman perdamaian dunia” bagi Amerika adalah negara yang tidak demokratis—tidak peduli apakah komunis atau bukan. Maka dengan meminjam “pedang demokrasi” dari Amerika itu sendiri, rakyat di negara-negara dunia ketiga yang telah muak dengan arogansi kekuasaan dan imperialisme ekonomi-politik AS akan bersatu dalam suatu kebangkitan untuk menggusur “setan dunia” tersebut. Lalu, dimanakah posisi umat Islam Indonesia kini? []

*) Okta Undang-Suhara, aktivis KAMMI Komisariat UPN, saat ini sedang berjuang keras menyelesaikan skripsi di jurusan Hubungan Internasional FISIPOL Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar