22 Februari 2013

KAMMI dalam Politik Sjahrir: Sebuah Renungan

Oleh: Dharma Setyawan *)

Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural

580695_3878319410145_901819808_n“ Ia berjuang untuk Indonesia Merdeka, melarat dalam pembuangan untuk Indonesia Merdeka, ikut serta membina Indonesia Merdeka, tetapi ia sakit dan meninggal dalam tahanan Republik Indonesia yang merdeka. Bukankah itu suatu tragedi?” (Moh. Hatta dalam pemakaman Sutan Sjahrir 19 April 1966)

Politik Bung Kecil

Houd je mond”(tutup mulutmu), kata itu diucapkan Sjahrir kepada Soekarno saat bernyanyi dengan keras di kamar mandi. Sontak Soekarno marah, “walaupun di pembuangan saya tetap seorang Presiden”. Saat di pembuangan bersama Soekarno dan Hatta itu, Sjahrir telah menunjukkan perbedaannya terhadap Soekarno. Beberapa tahun kemudian sikap berbeda para founding fathers itu muncul dalam perbedaan mengelola negara, perbedaan yang sangat jauh dalam mendefinisikan demokrasi. Tiga kali Sjahrir menjadi perdana menteri Indonesia hingga akhirnya digantikan oleh Amir Syarifudin. Kehidupan Sjahrir berakhir sebagai tahanan politik akibat beroposisi terhadap pemerintahan Soekarno atas demokrasi terpimpin-nya.


Kita mengenalnya sebagai “bung kecil”, sosok yang harus kalah dalam demokrasi masa lalu yang gagal membangun kaderisasi rakyat. “Sutan Sjahrir telah meletakkan politik sebagai pertaruhan hidup untuk memenangkan kehidupan itu sendiri” ungkap Ignas Kleden.[2] Sjahrir bersama Bung Hatta memilih jalan meenjadi pendidik demokrasi ditengah mabuknya Soekarno dalam kekuasaan. Sjahrir memilih jalan sepi untuk tidak populis tapi mengasah nalar berfikirnya ditengah rakyat yang semangat dan merindui kemerdekaan sejak sekian lama. Terlalu jauh jarak pemikiran Sjahrir, Hatta dengan rakyat nir pendidikan untuk memimpikan sebuah negara yang dibangun dengan pengkaderan yang jelas. Membaca Sjahrir adalah mengingat kembali atas kegelisahannya untuk berfikir kembali, membaca kegagalan bangsa ini dan membuang jauh pengaruh fasisme dalam kehidupan Indonesia. Gaya fasisme  yang seenaknya menuding pihak-pihak yang tidak sepaham sebagai separatis, teroris dan anti demokrasi. Kata Fasisme itu mirip dengan otoritrianisme yang menyelubung dalam demokrasi.

Rosihan Anwar menyebut fasisme dengan analogi dalam dalam kehidupan sehari-hari “kamu fasis” dan yang dimaksudnya ialah “kamu tidak demokratis, tukang paksa, abang kuasa, mau menang sendiri, penindas.” Dalam hal ini kata “fasis” telah memperoleh perluasan makna, melampaui makna orisinalnya, namun intisari pengertiannya masih ada.[3] Fasisme sangat dibenci Sjahrir sebagai sikap tidak ada penghargaan terhadap humanisme. Nasionalisme yang dibangun dalam ke-Indonesiaan kita menurut Sjahrir akan dapat berubah menjadi fasisme manakala mengorbankan kemanusiaan kita untuk berbuat adil kepada siapapun dan golongan apapun. Selama ide-ide apapun yang diagaungkan untuk kepentingan Indonesia tapi berubah wajah menjadi arogansi kekuasaan hal ini yang Sjahrir sebut sebagai fasisme.

Sjahrir menggambarkan kondisi Indonesia pasca kemerdekaan yaitu dimana telah terjadi pembunuhan terhadap penduduk bangsa asing seperti Belanda, Indo, Tionghoa, juga bangsa sendiri seperti Ambon dan Manado. Pembunuhan itu berlangsung saat negeri ini penuh dengan kemiskinan rakyatnya dan bangkit mengisi kemerdekaan. Luapan emosi yang hadir akibat fasisme yang lebih bisa diserap pasca pelatihan tentara Jepang kepada pemuda-pemuda Indonesia. Fenomena ini akibat rakyat tidak diajak berfikir sejak awal menyambut hadirnya kemerdekaan. Yang ada adalah euforia terhadap kebebasan itu sendiri dan membabi buta terhadap gejala kemenangan bangsa yang belum siap mewujudkan infrastruktur kenegaraan. Sehingga yang terjadi adalah kita tidak dapat membedakan mana penjajah dan mana penjajah bangsa lain. Sjahrir sangat prihatin dengan kondisi bangsa yang terbawa oleh sikap fasisme baru. Setelah bangsa ini terjajah, pada akhirnya kita menjadi bangsa yang saling menjajah terhadap bangsanya sendiri.

”Pemuda kita itu umumnya hanya mempunyai kecakapan untuk menjadi serdadu yaitu berbaris, menerima perintah menyerang, menyerbu, dan berjibaku dan tidak pernah diajar memimpin. Oleh karena itu dia tidak berpengetahuan lain. Cara dia mengadakan propaganda dan agitasi pada rakyat banyak itu seperti dilihatnya dan diajarnya dari Jepang yaitu fasilitas. Sangat menyedihkan keadaan jiwa pemuda kita,” tulis Sjahrir. Kita menjadi fasisme baru dalam kegagalan kita untuk memberi pendidikan akal, pendidikan moral dan pendidikan kepemimpinan. Kegelisahan Sjahrir juga tidak jauh dari fakta bahwa bangsa ini terlalu prematur untuk memahami fasisme dalam berbagai coraknya.

Atas kejengkelan pribumi terhadap etnis China kita pernah fasis terhadap mereka, atas ketidaksukaan pemimpin nasionalis kita terhadap politik Islam kita fasis terhadap Hamka dan M Natsir dan memenjarakannya dalam tahanan politik. Atas ketidaksukaan terhadap PKI, bangsa ini lewat Orde Baru menghalalkan 3 juta darah anggotanya untuk dibunuhi. Hari ini kita pun masih merasakan fasis itu dalam ketidaksukaan ideologi yang melimpah ruah di tengah demokrasi yang anti klimaks ini. Kita belum mengenal kemanusiaan secara utuh, sedangkan Sjahrir sudah melontarkan itu sejak tahun 1945. Kita menjadi penjajah (fasis) baru ditengah kran demokrasi yang sudah dibuka untuk meng-akomodir bangsa ini bergerak lebih baik. Bahkan kita tidak pernah sadar bahwa politik fasis menyelimuti demokrasi kita. Fasis masih ada dalam partai politik, tokoh politik, system politik, media, pemangku hukum, pendidikan kita.

Bung Kecil dan Partai Politik

Membaca Sjahrir dalam politik adalah membaca seorang founding fathers yang tidak ingin terjebak populisme sempit. Sjahrir adalah seorang demokrat sejati bersama Hatta. Sangat jelas karakter pendidik demokrasi ini saat-saat pahit di pembuangan. Sjahrir adalah sosok yang sadar benar bahwa rakyat Indonesia sangat tergantung pada sosok-sosok pendobrak seperti Soekarno, Hatta dan lainnya. Kemampuan rakyat untuk mengeja akalnya sendiri, tentang Indonesia yang dibayangkan secara konsepsi konstitusional sangatlah minim. Sejauh bayangan penulis secara pribadi, negarawan secara konstutusional yang percaya dengan ideologinya dan di-demokrasikan secara terbuka adalah M Natsir bersama kawan-kawannya di Masyumi. Partai yang dibentuk atas pendidikan politik dan pengkaderan hasil Jong Islamiten Bond (JIB) ini hadir dengan kader yang jelas dan tidak terjebak populisme satu tokoh individu.

Sjahrir menulis dalam Perjuangan Kita “Partai politik sebaiknya berbentuk partai kader dan bukan partai massa, karena dengan partai kader para anggota partai yang mempunyai pengetahuan dan keyakinan politik dapat ikut memikul tanggungjawab politik, sedangkan dalam partai massa keputusan politik diserahkan seluruhnya ke tangan pemimpin politik, dan massa rakyat tetap tergantung dan tinggal dimobilisasi menurut kehendak sang pemimpin”. Kita masih melihat demokrasi kita hari ini jauh nilai dari apa yang dicitakan Sjahrir. Demokrasi yang terjebak pada populisme itu pada akhirnya melahirkan otoritarianisme terselubung. Sjahrir dan Hatta pada akhirnya memilih jalan demokratis dan menghindari sikap populis Soekarno. Penulis tidak ingin menyudutkan sejarah Soekarno dalam tulisan ini, karena Soekarno kita akui adalah anak zaman yang hadir untuk mengobarkan semangat rakyat yang tidak punya kompas yang jelas tentang demokrasi. Kita juga bisa membayangkan bagaimana Soekarno dengan tidak mudah berjuang “membayangkan Indonesia” dan menyatukan negara-negara yang terpisahkan oleh ribuan pulau ini.

Sjahrir sadar-sesadar-sadarnya bahwa bukan untuk berkonfrontasi dengan Soekarno dirinya membentuk Partai Sosialis Indonesia. Tapi jauh dari itu Bung kecil ini menyadarkan kita dimasa sekarang untuk menghindari jebakan populis satu tokoh yang membuat arah demokrasi kita menjadi fasisme oleh individu yang terlalu kuat dan angkuh mengkooptasi kebijakan. Ignas Kleden menambahkan, pada tahun 1948 dijadikan dasar bagi partai politik yang didirikannya yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ahli ilmu politik dan Indonesianis terkemuka, Herbert Feith, menulis bahwa PSI merupakan jelmaan politik sosial-demokrasi di Indonesia. Akan tetapi menurut pendapatnya, partai ini lebih tepat dinamakan liberal-sosialis dari pada sosial demokratis, seandainya saja istilah “liberal” dalam pemakaian bahasa politik di Indonesia tidak telanjur diasosiasikan dengan kapitalisme yang tak terkendali. Usulnya ini didasarkannya pada dua alasan. Pada satu pihak, istilah “demokrasi” tak begitu cocok karena partai ini hanya mempunyai sedikit pengikut di kalangan massa rakyat biasa.[4]

Keanggotaannya lebih terbatas pada kalangan kelas menengah perkotaan yang berpendidikan tinggi, sementara pengaruh politiknya tidak diperoleh melalui cara-cara populer seperti rally politik atau mobilisasi. Pada pihak lainnya, partai ini memperlihatkan suatu kekhasan yang membedakannya dari parta politik lainnya, dalam perhatian besar yang diberikan kepada kebebasan individual, keterbukaan yang leluasa terhadap paham-paham intelektual di dunia, serta penolakan tegas terhadap berbagai bentuk obskurantisme, chauvinisme dan kultus pribadi. Sebetulnya benih-benih organisasi PSI sudah ada semenjak 1932, saat Sjahrir dan Hatta kembali dari studi mereka di negeri Belanda. Keduanya sepakat mendirikan PNI Baru yang bertujuan mendidik kader-kader politik, sehingga para kader ini sanggup meneruskan perjuangan kaum nasionalis, seandainya para pemimpinnya ditangkap atau dibuang. PNI Baru, seperti kita tahu, tidak mempunyai banyak waktu untuk berkiprah mewujudkan cita-cita tersebut, karena hanya dua tahun kemudian pada 1934 kedua pemimpin itu ditangkap oleh pemerintah Belanda, dibuang ke Digul dan selanjutnya ke Banda Neira dan baru dibebaskan pada 31 Januari 1942.[5]

Sjahrir menyatakan bahwa, Gerakan kebangsaan yang memabukkan dirinya dengan nafsu membenci bangsa-bangsa asing untuk mendapat kekuatan niscaya pada akhirnya akan berhadapan dengan seluruh dunia dan kemanusiaan. Nafsu kebangsaan yang pada mulanya dapat merupakan suatu kekuatan itu, mesti tiba pada satu jalan buntu dan akhirnya mencekik dirinya sendiri dalam suasana jibaku. Kekuatan yang kita cari adalah pada pengorbanan perasaan keadilan dan kemanusiaan. Hanya semangat kebangsaan yang dipikul oleh perasaan keadilan dan kemanusiaan dapat mengantar kita maju di dalam sejarah dunia. Nyata pula bahwa kaum pemuda, terutama yang terpelajar yang sekarang berkobar-kobar dengan semangat kebangsaan tak akan dapat menjalankan terus kewajibannya sebagai perintis, jika semangat kebangsaannya itu tidak diisi dengan semangat kerakyatan dan semangat kemasyarakatan, demikian tulis Sjahrir pada tahun 1945

Demokrasi : Kapitalisme atau Sosialisme?

Dalam memahami demokrasi, pejuang-pejuang saat itu hampir semua memilih jalan sosialisme. Mulai dari gerakan Pan-Islamisme Jamaludin al-Afghani, Serikat Islam Hos Tjokroaminoto dalam bukunya “Islam dan Sosialisme”, begitu juga kaum nasionalis seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Haji Agus Salim.

Maka kita tidak heran jika kemudian sosialisme komunis dan Sosialisme Islam Indonesia ini hadir pada rahim yang sama Serikat Islam. Hingga pada akhirnya pecah menjadi SI Merah dan Putih. Dalam semangat melawan imperalisme itu, Sosialisme adalah rujukan perlawanan bangsa Timur atas penjajahan, juga sebagai jalan menghadirkan kesetaraan kedudukan manusia. Sangat mustahil melawan Imperalisme Barat dengan kolinialismenya (penjajahannya) dan kapitalisme sebagai induknya menggunakan cara-cara di luar itu. Tan Malaka dan DN Aidit yang terlahir dari keluarga Islam yang taat pun tidak heran jika kemudian memilih komunisme. Diruang ini kita tidak dapat menemukan fakta yang jelas apakah keduanya meninggalkan ajaran Islam, karena Komunisme beda dengan atheisme. Jadi hemat penulis menjadi komunis tidak harus menjadi atheisme.

Begitupun Sjahrir dan Hatta yang terlahir dari Sumatra Barat yang kental dengan Islamnya. Mendirikan partai sosialis Indonesia adalah pilihan demokratis ditengah nalar kebangsaan Indonesia yang sudah mejemuk sejak awal. Bahkan Hatta pernah bercita-cita ingin mendirikan Partai Sosialis Islam Indonesia. Berbeda dengan anak-anak didikan JIB oleh Haji Agus Salim, PSI yang didirikan oleh Sjahrir adalah kumpulan intelektual menengah ke atas  dan mayoritas berasal dari kota. Sjahrir dalam memahamkan sosialisme kerakyatan tujuannya adalah “membebaskan dan memperjuangkan kemerdekaan dan kedewasaan manusia, yaitu bebas dari penindasan serta penghinaan oleh manusia terhadap manusia”.

KAMMI dan Pemikiran Sjahrir?

KAMMI sebagai organisasi yang sadar sebagai organisasi kader selesai untuk tidak terjebak dalam organisasi populis. Kader KAMMI yang memimpin organisasi ini bukanlah orang yang dipilih atas sikap pupulisnya. Tapi sejak awal KAMMI menyadari dirinya untuk membangun kesadaran awal sebagaimana Sjahrir bercita-cita tentang Demokrasi menolak populisme Soekarno (baca : Demokrasi Terpimpin). 67 tahun negeri ini merdeka tentu tidak bisa disamakan dengan masa awal merdeka dan saat itu negeri kita hanya memiliki segelintir intelektual yang berperilaku sebagai seorang demokrat. KAMMI perlu membaca sejarah ulang bahwa Sosok demokratis itu lahir atas penghargannya terhadap pendapat orang lain, ideologi orang lain, komunitas orang lain. Sampai disini penulis menemukan sosok seperti Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, M Natsir, Haji Agus Salim dalam sosok demokratis. Cirinya adalah pribadi mereka tidak menjadi pelaku dominan dalam organisasinya atau partai politik yang mereka bangun.

Mereka adalah sosok-sosok biasa, yang berfikir dan bekerja secara lauar biasa. Demokrasi yang didinginkan Sjahrir juga tidak untuk memenangkan kekuasaan dan meraih kekuasaan sebagaimana demokrasi hari ini. Lebih dari itu, Sjahrir memiliki cita-cita besar untuk melakukan pendidikan politik sebagai bagian penting menjalankan demokrasi yang benar untuk benar-benar memahami “demos” dan “kratos”. Maka akan heran dan begitu primitif manakala suara akar rumput (grass root) dari sebuah organisasi kader tidak menjadi bagian dari pendapat yang sah dari kedaulatan rakyat akar rumput.

Di sini, KAMMI perlu menyadari dirinya bukanlah organisasi ketokohan secara kaderisasi, namun secara publik sangat mungkin dilakukan sebagai bentuk kemampuan KAMMI menghadirkan sosok bermutu dan muncul di ruang populis. Tanpa kemudian KAMMI harus terjebak untuk mengkiblatkan cara berfikir KAMMI dimasa yang akan datang dengan tokoh populis hasil pengkaderan KAMMI tersebut.

Organisasi KAMMI adalah bentuk politik moral, ketegasan sikap bukan ketegasan pesanan para alumni yang masuk diruang elit. Kebijakan KAMMI disaring dan dijaring dari tingkat bawah, didiskusikan secara nasional dan menjadi wawasan nasional pada tiap problem kebangsaan kita. Semua itu difasilitasi dengan cara struktural dan difikirkan secara kultural (baca :terbuka). Kita optimis KAMMI sebagai generasi baru yang memiliki cara pandang baru dan melahirkan gagasan-gagasan baru yang otentik akan bertahan sebagai pelaku etik. KAMMI dalam membaca Sjahrir misalnya harus jujur sebagai bagian tokoh pahlawan dari ke-Indonesiaan kita. Bukan mengenyampingkannya bersama tokoh Indonesia lainnya. KAMMI membaca Sjahrir dengan porsi yang sama dengan tokoh Islam lainnya di Timur ataupun Barat. Sehingga jejak-jejak ke-Indonesiaan KAMMI kokoh bersama sejarahnya yang telah kita baca secara komprehensif.

Ignas Kleden menyebut, Kebebasan dalam pengertian Sjahrir bukan sekedar kebebasan politik, tetapi keluasan dan keleluasaan jiwa, yang memandang dunia dengan gembira tanpa prasangka, yang tidak terhambat oleh kekangan dan kecurigaan-kecurigaan yang sempit. Untuk jiwa klasik dunia akan serba luas dan bukan sempit dan picik, hidup itu mulia dan tak pernah hina, seni selalu indah dan tidak jahat, dan manusia adalah makhluk penuh bakat yang harus diolah dan dikembangkan. Kebudayaan akan dibuat abadi oleh jiwa-jiwa klasik ini, politik menjadi perkara yang luhur, dan ilmu pengetahuan akan terbuka cakrawalanya seluas kaki langit karena pikiran dan jiwa sanggup menerobos batas-batasnya sendiri. Sangat mungkin Sjahrir sendiri menyadari sedari awal bahwa politik dengan muatan moral yang demikian berat, tak akan menang dalam waktu singkat, semata-mata karena tak terpikulkan dan tak selalu dapat dipahami. Akan tetapi politik dalam artian Sjahrir bukanlah suatu proyek, bukan sekedar program tetapi kehidupan itu sendiri. Partai politik Sjahrir telah kalah dan dikalahkan oleh kekuasaan politik. Namun yang tinggal pada kita adalah suatu etos politik yang memberi keyakinan bahwa martabat manusia dan jiwa klasik tak selalu dapat dimenangkan, tetapi pasti tak akan pernah dapat dikalahkan sampai tuntas buat selamanya.

Dan dalam arti itu Sjahrir memenuhi janjinya: dia telah mempertaruhkan hidupnya, dan dia telah memenangkannya. Lalu bagaimana dengan KAMMI?

Wallahu a'lam bish shawwab.

Daftar Pustaka 

Ignas Kleden, Sutan Sjahrir: Etos Politik Dan Jiwa Klasik, http://sosialis-indonesia.org

Rosihan Anwar, "Tabiat yang Kita Warisi", Pikiran Rakyat, 09 Maret 2005

Sutan Sjahrir, Perjoeangan Kita, 1945







[1] Direktur Eksekutif Adzkiya Centre (pusat kajian dan penelitian ekonomi syariah, koperasi, dan green economics),, Mahasiswa S2 Universitas Gadjah Mada, sesekali menulis di media cetak dan online. Website: www.dharmasetyawan.com dan www.adzkiyacentre.com, email : dharmasetyawan@rocketmail.com




[2] Ignas Kleden, Sutan Sjahrir: Etos Politik Dan Jiwa Klasik, http://sosialis-indonesia.org




[3] Rosihan Anwar, Tabiat yang Kita Warisi, Pikiran Rakyat, 09 Maret 2005




[4] Ibid, Ignas Kleden.




[5] Ibid, Ignas Kleden.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar