24 Februari 2013

KAMMI dan Demokrasi: Menyambut Era Baru

Sebelumnya sudah dipublikasikan via blog penulisnya di http://nsudiana.wordpress.com/2008/03/19/kammi-demokrasicatatan-kecil-pergulatan-10-tahun-usia-kammi-di-tengah-pusaran-demokrasi/

oleh: Nana Sudiana *)

GambarBerbicara tentang KAMMI saat ini, laksana berbicara tentang hilangnya sebuah bagian puzzle yang bernama demokrasi. Anehnya, siapapun tidak ada yang merasa kehilangan apa-apa. Ironis sekali.
Itulah KAMMI, yang ketika kelahirannya dielu-elukan banyak pihak sebagai benih sekaligus buah reformasi. Ya, bagaimana tidak disebut benih dan buah reformasi kalau kelahiran KAMMI dan puncak perjuangannya berada dalam lintasan masa yang teramat pendek. KAMMI lahir di 29 Maret 1998 dan momentum puncak reformasi–saat Suharto jatuh dari kekuasaannya–pada 20 Mei 1998. Pasca itu, aras demokrasi tidak lagi menyertakan KAMMI dalam banyak hal. Indikator sederhana ini dapat kita tengok pada berbagai pemberitaan media. Saat awal kelahirannya hingga Suharto lengser, berita tentang KAMMI cukup banyak tersebar di berbagai media, baik secara kuantitas maupun kedalaman pemberitaannya. Setelah itu, jumlah pemberitaan serta ulasan tentang KAMMI amat terbatas jumlahnya.


KAMMI seakan tenggelam, masuk kembali ke dunia kampus dari yang sebelumnya berada di tengah hingar bingar prubahan politik bangsa. KAMMI seakan terlupakan begitu lahir berpuluh-puluh partai politik yang mengusung begitu banyak agenda dan janji pasca reformasi. Aksi-aksi pasca reformasi, menjadi terasa berbeda nuansanya, baik dari sisi antusisme elemen-elemen massa yang mendukungnya maupun dari sisi kemampuan mengemas isu dan opini publik yang diusung.

Demokrasi Setelah Reformasi

Reformasi yang awalnya disesaki idealisme akan perubahan mendasar ternyata menyertakan tidak hanya di  kalangan para pemuda dan mahasiswa, Reformasi juga mengangkut berpuluh-puluh, beratus-ratus, bahkan beribu-ribu gerbong komunitas yang merasa terpanggil untuk menjadi bagian dari reformasi. orang berlomba menanamkan saham dalam menegakan demokrasi yang seakan baru terbangun kembali. Euporia reformasi mampu membutakan banyak pihak akan track record para pemain demokrasi ini.

Berbondong-Bondong orang mengusung ide-ide perubahan, mengemasnya dan melemparkannya ke publik. Gelanggang politik seakan baru terbuka setelah terperangkap susana demokrasi semu selama 32 tahun sebelumnya. Orang seakan “hidup kembali” dan bergairah secara politik setelah masa pengebirian pendapat, kebebasan ekspresi serta opini terkebiri sistem yang menamakan demokrasi terpimpin dibawah jenderal besar yang bernama Suharto.

Antusisme dan kegairahan akan kebebasan mendorong orang untuk mencoba menyuarakan apa saja secara pribadi maupun kelompok . Kebebasan ekspresi ini berimplikasi pada begitu banyaknya  media penyampai keyakinan, harapan dan kepentingan antar komunitas masyarakat. Pun media massa (cetak maupun elektronik) belumlah dirasa cukup oleh banyak kelompok untuk mengekpresikan berbagai kepentingan yang ada. Dalam konteks politik, tidaklah mengherankan akhir dari drama kebebasan ini adalah lahirnya begitu banyak partai politik. Seluruh profesi, kepentingan, entitas, kesamaan-kesamaan serta kedekatan antar personal bermuara menjadi partai politik. Bayangkan saja, ada ratusan partai yang lahir dengan berbagai tingkat kepentingan yang berbeda. Di antara parpol ini, terdapat beragam kondisi,  mulai dari mereka yang berpikir serius dan berangkat dari ideologi, yang pragmatis, hedonis, hingga yang dagelan seperti Parsendi yang merupakan singkatan dari partai seni dan dagelan.

Ditengah itu semua, dimana posisi KAMMI saat itu? Ini sebenarnya pertanyaan yang muncul secara spontan di kalangan aktivis KAMMI awal yang baru saja merasa memiliki jeda untuk bisa bernafas lega, setelah seakan dikejar-kejar agenda penuntasan reformasi. KAMMI dan hampir semua gerakan mahasiswa yang ada di momentum menjelang tahun 1999 tentu saja merasa kecewa. Perasaan dikhianati elit-elit politik karbitan–walau sebagian sebenarnya bangkotan–mengemuka di wajah-wajah para aktivis ini. semuanya berteriak sama “sejarah telah berubah, namun kita kehilangan arah”.

Setahun setelah Suharto turun, suasana pragmatisme langsung mengemuka. Lagi-lagi orang berlindung dibalik kepentingannya masing-masing dalam melihat apa saja, termasuk kemana arah reformasi ini akan melaju. Perpecahan elit parpol–yang notabene juga kadang menjadi elit rakyat–berimbas pada hampir  seluruh elemen penting bangsa. Mulai dari tentara, birokrasi, LSM, media hingga dunia mahasiswa dengan kadar dan suasana yang berbeda-beda.

Dalam dunia pergerakan mahasiswa, terlihat betapa aktivis mahasiswa banyak yang menjadikan dirinya bagian dari magnet bagi suara generasi muda yang menjadi pemilih pemula. Secara lembaga memang tidak ada persoalan, namun tetap saja pengaruh dinamika parpol sampai juga pada situasi internal sekaligus eksternal gerakan mahasiswa. Isu-isu yang muncul dan diusungpun kadang terasa singgungannya dengan agenda-agenda yang sempit dan Pragmatis.

 Tahun 1999 bagi kondisi makro gerakan mahasiswa laksana “tahun tsunami independensi gerakan mahasiswa”. Godaan untuk mulai bermain kekuasaan begitu terbuka, sementara disisi yang lain banyak pihak menganggap agenda utama gerakan mahasiswa sudah selesai. Mahasiswa dianggap telah dengan gemilang mengantarkan bangsa ini pada “gerbang reformasi”. Kondisi paling nyata darihal itu adalah saat mulai ditariknya mahasiswa “ke barak”. Ini tampak hampir di seluruh kampus yang awalnya memberikan cukup banyak kelonggaran pada dinamika mahasiswa, perlahan mulai berubah. Kampus-kampus yang ada mulai mengetatkan kontrol akan kebebasan gerakan mahasiswa, baik diranah intra kampus maupun yang ekstra kampus seperti KAMMI.

Euporia gerakan mahasiswa terus meredup diiringi dengan mulai maraknya mahasiswa menekuni kembali masalah-masalah klasik kemahasiswaan, seperti tugas kuliah, ke perpustakaan serta kegiatan rutin lainnya. Aksi-aksi mahasiswa mulai kehilangan momentum besar dan signifikan. Aksi yang biasanya berjumlah ribuan, seiring waktu menyusut pada angka ratusan, bahkan kadang hanya pada angka belasan.

KAMMI di Tengah Pusaran Demokrasi Setelah Reformasi

Kemunculan KAMMI, pada awalnya sempat mencengangkan banyak pihak, termasuk dalam gerakan mahasiswa Indonesia sendiri. Pada awalnya, kehadiran KAMMI direspon banyak kalangan sebagai gerakan reaktif yang bersifat sporadis dan akan segera berhenti pada saat iklim heroisme telah surut. Ternyata dugaan ini keliru. KAMMI dari hari ke hari justeru semakin solid, bertambah massif gerakannya serta bertambah luas jangkauan wilayahnya. Bahkan dalam hitungan bulan sejak kelahirannya, terbukti KAMMI telah berhasil membangun jaringan kerja serta isu yang cukup baik.

Hal ini terbukti ketika KAMMI Pusat yang berada di Jakarta menggelar berbagai aksinya, ternyata gelombang yang sama tercipta juga di luar Jakarta. Inilah barangkali yang ternyata secara jujur diakui salah satu penggagas pendirian LMND, Eko Putut Arianto (Ketua Presidium LMND yang pertama), yang mengilhami lahirnya gerakan mahasiswa yang bernama LMND (Liga Mahasiswa Nasional Demokrat) pada saat ada kongres mahasiswa Pro Demokrasi di Denpasar Bali tahun 1999. 

KAMMI yang lahir dari rahim para ADK yang “khas Masjid”, ternyata memiliki kondisi sosiologis yang tidak terlalu jauh dari induknya. Para aktivisnya, dalam pandangan gerakan mahasiswa lain kadang dipandang kurang memiliki bobot yang dalam sebagai sosok aktivis gerakan. Para Aktivis KAMMI dalam tampilan kesehariannya memang lebih merefresentasikan aktivis masjid yang penuh ketawadluan. Kondisi ini kemudian berubah perlahan-lahan ketika para Aktivis KAMMI mulai terbiasa bersosialisasi dengan gerakan mahasiswa yang lain. Proses belajar yang terlalu cepat ini ternyata kurang bisa dipahami oleh dunia di luar KAMMI. KAMMI yang dianggap masih balita ternyata sangat pesat pertumbuhannya dan cepat pula mengambil posisi strategis yang cukup elegant dalam berbagai peristiwa yang terjadi.

Kondisi ini barangkali karena kelahiran KAMMI sendiri sebenarnya yang “unik”, yakni sebuah gerakan lama (dalam bentuk mata rantai dakwah mahasiswa yang panjang) yang kemudian “lahir” dalam bentuk organisasi baru yang bernama KAMMI. Jadi sejarah panjang KAMMI tidak akan bias diputus dari sejarah dan dinamika da’awah kampus di Indonesia yang di mulai tahun 80-an awal. Kondisi inilah yang menyebabkan KAMMI mampu tampil “lebih kental” warna Islamnya dibandingkan dengan gerakan mahasiswa yang lain. Ideologi gerakan KAMMI menjadi daya tarik tersendiri bagi banyak pihak, yang pro maupun yang kontra sama-sama merasakan betapa ruh Islam cukup kuat tertanam dalam dimensi perjuangan yang dilakukan oleh KAMMI.

Agenda KAMMI Menuju Masa Depan

KAMMI kini tentu saja berbeda dengan kondisi awal kelahirannya. Ada begitu banyak tantangan yang muncul dan terjadi seiring perubahan waktu. Dibawah ini, setidaknya ada beberapa agenda yang dapat dijadikan pertimbangan KAMMI untuk bisa melewati tantangan serta medan amal yang ada di hadapan, yaitu :

1.      Konsolidasi Kader dan Nilai

Konsolidasi Kader merupakan agenda penting yang tidak boleh terabaikan. Dengan kaderisasi yang terus terjaga, vitalitas lembaga  KAMMI akan konstan. Kader dalam konteks lembaga berperan besar  karena kader adalah aset gerakan yang sangat berharga. Selain itu, kader juga adalah representasi nilai-nilai gerakan di tengah dinamika masyarakat yang ada. Dari kader-lah sebuah lembaga akan terukur sejauhmana kekuatan dan kapasitas lembaganya. Jadi, kader dalam hal ini adalah barang nyata atau bentuk riil sebuah gerakan.

Persoalan kedua yang tak kalah pentingnya adalah permasalahan konsolidasi nilai. Nilai yang ada dalam ruh dan tubuh gerakan KAMMI, bukan sekedar nilai yang berangkat dari nilai-nilai yang berangkat dari formalisme pernyataan moralitas belaka.Nilai-nilai yang ada di KAMMI merupakan nilai “khas” yang merupakan proses sibghah yang panjang yang berangkat dari nilai-nilai idealisme di atas landasan kemurnian Islam. Aktivis KAMMI adalah mereka yang berjuang dengan nilai-nilai sebagai landasannya, dengan begitu, mereka yang bergerak haruslah dengan dasar kepahaman akan nilai-nilai dasar perjuangan KAMMI.

2.      JAS MERAH (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah)

Sejarah merupakan cermin jujur perjalanan masa lalu. Lewat sejarah kita akan berkaca sejauhmana perubahan ini telah terjadi. Apakah meningkat, atau malah menuju kehancuran yang tak terhingga. Dari sejarah kita bisa belajar sehingga dengan kemampuan membaca masa lalu, kita bisa terhindar dari kesalahan-kesalahan langkah yang kita lakukan. Lewat sejarah pula, kita akan mampu merencanakan lanskap baru masa depan.

Sejarah demokrasi bangsa yang kita pahami ternayat juga tidak memiliki siklus yang ajeg atau konstan. Ada pengulangan-pengulangan yang terjadi dalam setiap fase perjalanannya. Secara sederhana misalnya bisa kita lihat saat momentum sekitar pemilu 1955, tahun itu dianggap banyak kalangan sebagai tahun pluralsme menapaki keemasannya. Lewat regulasi yang demikian longgar orang bisa mendirikan parpol sebagai wujud manifestasi politiknya. Tak dinyana, hanya hitungan 44 tahun, kondisi ini terulang. Tepatnya tahun 1999, euforia kebebasan politik mencapai kondisi yang hampir setara dengan tahun 1955.

Dengan begitu, dari cara pandang kita terhadap sejarah, bukan tidak mungkin kebebasan demokrasi yang ada saat ini, kalau tidak diwaspadai, bisa saja mengarah pada kemungkinan tumbuhnya langkah-langkah anti demokrasi yang penuh dengan kekangan dan pemasungan. Siapa tahu, bukankah jaman senantiasa berubah?

3.      Berkacalah pada Realitas

Ummat Islam saat ini bukan sekedar butuh idiologi sebagai pemersatu visi mereka akan kehidupan dan aktivitasnya. Yang terjadi saat ini telah tampak gejala-gejala adanya kemelut di tubuh umat. Kemelut ummat saat ini berasal dari persoalan internal (masyakil dakhiliyah) dan persoalan internal.

Persoalan Internal sendiri terdiri dari persoalan pribadi (fardiy) dan persoalan sosial (Jama’iy). Persoalan pribadi (Fardiy) Umumnya berangkat dari rendahnya kesadaran akan identitas kepribadian diri sebagai seorang muslim yang ideal (syakhshiyah Islamiyah). Penyebab kemelut ini berasal dari rendahnya 4 hal. Yaitu : rendahnya kapabilitas spiritual (maqdirah imaniyah), rendahnya kapabilitas fisik (maqdirah badaniyah), rendahnya kapabilitas intelektual (maqdirah aqliyah) serta rendahnya kapabilitas profesional (maqdirah mihniyah). Sedangkan persoalan internal yang kedua, yakni persoalan sosial (Jama’iy), muncul dan berkembang dari masalah : kepemimpinan umat (qiyadiyah), perekonomian dan kemakmuran ( iqthisadiyah), kesadaran politik (siyasiyah) dan  manajemen dan perencanaan da’wah (Idariyah Wa Takhthitiyah).

Persoalan kedua dari kemelut umat ini adalah terdapatnya permasalahan eksternal. Masalah ini muncul berlatar belakang terdapatnya berbagai kekuatan-kekuatan regional dan internasional dari kekuatan kaum munafik dan kaum kafir ( muamarah kafirin wa munafiqun) yang tidak begitu suka dengan lahirnya 'Islam Politik'. Intinya saat ini, orang-orang yang tidak suka dengan Islam, tidak sekedar antipati semata, mereka juga melakukan berbagai manuver untuk mengecilkan peran Islam dan Umat Islam.

4.      Bersatu Menuju Perubahan

Dari uraian ketiga hal tadi, kini saatnya kita membangun sinergi antar elemen yang ada dalam rangka menegakan persatuan. Karena persatuan umat menjadi hal tak terbantahkan saat kita ingin membangun kebersamaan memperbaiki umat ini. Ada tiga elemen pokok persatuan yang harus terdapat dalam skema konsilidasi ini : pertama, penyatuan tujuan (tauhidul ghayyah), kedua, penyatuan prinsip ( tauhidul mabda), serta, ketiga,  penyatuan pola gerakan (tauhidul manhaj).

Dengan persatuan yang terjalin, pengentasan persoalan-persoalan umat yang ada akan semakin mudah terselesaikan. Bahkan tidak itu saja, dengan sendirinya, harkat, kedudukan serta kehormatan Islam akan berkibar gagah di tengah umat lain di dunia. Untuk menuju persatuan ini juga, kita secara bersamaan kadang-kadang sudah harus membiasakan melupakan dulu sejumlah perbedaan, kepentingan sesaat serta agenda-agenda jangka pendek yang ada. Yang kadang menjadi duri da penghalang dari wihdatull ummah yang kita impikan.

Wallahu’alam bi showwab.   

*) Penulis adalah Ketua BIdang Kajian Strategis KAMMI DIY 1998-2000; Alumni Jurusan Hubungan Internasional UMY. Sekarang menjadi Kepala Cabang PKPU Jawa Tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar