27 Februari 2013

KAMMI dan Pergerakan Mahasiswa Reformasi

Artikel ini dimuat di harian Suara Merdeka, 31 Agustus 2002. Bisa diakses via http://www.suaramerdeka.com/harian/0208/31/kha1.htm

oleh: Doni Riyadi *)

doniriadiBERBEKAL semangat perubahan dan kesadaran sebagai bagian penting dari rakyat Indonesia, mahasiswa yang biasa menjadikan masjid kampus sebagai tempat berkumpul dan beraktivitas, tampil memperjuangkan nasib rakyat dan membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).

Terbentuk beberapa tahun lalu, bersamaan diselenggarakannya Forum Silaturrahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) se-Indonesia di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Malang, lewat deklarasi yang disebut Deklarasi Malang.

Dibentuknya KAMMI yang dalam waktu singkat mampu menggerakkan jaringan aksi simultan di seluruh Indonesia dengan jumlah massa luar biasa mencengangkan banyak pihak. Bahkan ada yang menganggap KAMMI adalah federasi atau gabungan dari berbagai lembaga kemahasiswaan.


Realitas ini tidak aneh, karena merupakan salah satu hasil dakwah yang telah dirintis selama belasan tahun di kampus-kampus Indonesia. Aktivis KAMMI adalah mereka yang selama ini serius membina kualitas diri, namun minim mendapatkan publikasi.

Salah satu faktor signifikan yang juga melatarbelakangi lahirnya KAMMI adalah ketidakpuasan terhadap lembaga gerakan mahasiswa Islam yang sebelumnya sudah ada, yang dinilai tidak cukup aspiratif dan akomodatif terhadap semangat perubahan dan tak bersungguh-sungguh merepresentasi karakteristik Islam sesungguhnya.

Masa Pertumbuhan

Periode pertama dimulai dari deklarasi hingga Muktamar I tahun 1998.

Pada periode ini KAMMI memfokuskan aktivitasnya pada aktualisasi jaringan nasional dan berperan historis heroik dalam proses reformasi di Indonesia.

Masa itu adalah masa launching ke hadapan publik. Prestasi terbesarnya adalah tumbangnya rezim Soeharto dengan menitipkan enam agenda reformasi pada periode berikutnya.

Periode kedua berawal dari Muktamar I hingga Muktamar III bulan September 2002 ini. Periode ini adalah masa penguatan infrastruktur organisasi yang lebih mapan dan struktur pengaderan lebih rapi, termasuk intens dalam aktivitas sosial dan kemanusiaan, ikut mengatasi beban rakyat akibat resesi berkepanjangan.

Masa ini juga menekankan pentingnya positioning strategis KAMMI di tengah pluralitas gerakan yang mewarnai proses transisi di Indonesia.

Prestasi terbesar dari periode ini adalah pencabutan status Abdurrahman Wahid (AW) sebagai mandataris MPR-RI. Pada periode inilah loyalitas dan soliditas KAMMI benar-benar teruji dengan melontarkan wacana yang melawan arus dan dipaksa berhadapan dengan sesama elemen gerakan mahasiswa lainnya.

Logika yang mendasari tuntutan itu sebenarnya sederhana saja, yaitu tidak ditemukannya kejujuran pada mulut dan hati presiden, sifat fundamental yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin dan "kebengalannya" untuk tetap ngotot membuka pintu negeri ini bagi Israel, bangsa teroris yang jika diberi sesenti minta sehektare, atau setelah diberi hati bakal menggerogoti rempela.

Periode ketiga akan bermula dari Muktamar III ini.

Periode ini didesain sebagai masa pembangunan networking yang lebih luas dengan berbagai elemen rakyat dan pergerakan dalam membangun peradaban, juga perluasan peran dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat dan terorganisasi.

Peran ini akan coba dimainkan dengan apik lewat 30 KAMMI daerah, 250 komisariat dan 7 jaringan luar negeri yang telah ada.

Masa Kekinian

Kondisi yang melatarbelakangi Muktamar III merupakan masa kritis. Perubahan yang diharapkan setelah rezim tirani jatuh ternyata masih jauh dari kenyataan. Pertanyaan apakah reformasi telah mati tak memperoleh jawaban lain selain anggukan kepala.

Kondisi bangsa masih belum pulih dari sakit. Ekonomi terpuruk, utang luar negeri yang semakin tinggi (1.400 triliun rupiah) membuat negeri ini di bawah kendali IMF dan World Bank. Terpaksa menjual aset-aset negara, alokasi anggaran belanja negara yang tak memihak rakyat dan melonjaknya harga kebutuhan pokok masyarakat beserta bea dan pajak-pajaknya membuat rakyat semakin mengencangkan ikat pinggangnya.

Dari segi politik, terpaksa menelan pil pahit dari mandulnya legislatif dalam menjalankan fungsi dan amanah reformas. Sulit menemukan sosok anggota Dewan yang benar-benar merepresentasikan nurani rakyat. Yang ada perilaku rakus harta dan kekuasaan.

Segi hukum pun tak tersentuh perubahan. Independensi yudikatif terhadap supremasi hukum makin dipertanyakan. Banyak kasus-kasus strategis yang menjadi gelap, seperti kasus konglomerat hitam yang melarikan triliunan uang negara dan menginvestasikannya ke Singapura. Masih banyak yang lain di bidang Hankam, sosbud, pendidikan, dsb.

Juga merebaknya penyakit masyarakat seperti perjudian, pornografi, miras, narkoba, prostitusi dan kriminalitas lainnya. Jurang pemisah semakin lebar antara antara miskin dan kaya.

Menurut Bank Dunia, rakyat miskin di Indonesia mencapai 60 % dan 20 % di antaranya miskin absolut. Hasil Survei Ekonomi Sosial (Susenas) pun menyebutkan angka pengangguran mencapai 50 juta orang lebih pada tahun ini.

Kondisi yang demikian ini mengundang minat negara-negara besar ikut andil dalam proses penyembuhan krisis --atau bisa jadi merekalah penyebab krisis-. Akan tetapi kehadiran mereka bukanlah tanpa pamrih, karena mereka akan selalu meletakkan negara miskin dan terbelakang sebagai satelit dan mereka sebagai pusatnya. Kondisi yang menyebabkan negara ketiga tetap miskin dan terbelakang, serta tergantung. Untuk mengatasi ketergantungan itu, langkah kemandirian dapat ditempuh melalui pemberdayaan ekonomi kerakyatan.

Pada dasarnya, semangat kemandirian jauh hari telah dicontohkan oleh masyarakat Islam Madinah di zaman Rasulullah SAW. Masyarakat yang tumbuh dari kesederhanaan budaya mampu bangkit menjadi sebuah bangsa yang mandiri bahkan memimpin peradaban dalam kurun waktu selanjutnya.

Bangsa Madinah tidak tergantung kepada Romawi, Persia, dan Kisra yang merupakan representasi negara adidaya di tahun 600-an Masehi. Kemajuan bangsa Madinah pada waktu itu karena sistem Islam dimanifestasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai sebuah sistem universal.

Kemunduran dunia Islam saat ini karena tidak menjadikan Islam sebagai sistem dalam masyarakat, bangsa, dan negara. Penyebab kedua adalah hegemoni Barat dalam bentuk imperialisme.

Imperialisme yang dahulu dilakukan dalam bentuk invasi militer dan kolonisasi sekarang berubah bentuk menjadi ancaman degradasi moral lewat propaganda globalisasi.

Karenanya, melalui momentum Muktamar Nasional III KAMMI 1-8 September 2002 di Lampung dengan tema, "Masyarakat Islami, Indonesia Mandiri", KAMMI ingin menggugah dan membangun kesadaran kolektif rakyat, menciptakan fundamental ekonomi bangsa yang kuat melalui ekonomi kerakyatan, serta melepaskan diri dari hegemoni politik, sosial, dan budaya destruktif. Harapannya, tercapai tujuan kita untuk mewujudkan Indonesia mandiri, bebas dari ketertindasan dan ketergantungan. (18)

*) Doni Riyadi Ketua Biro Humas KAMMI daerah Semarang 2000-2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar