28 Februari 2013

Menggagas Junta Pemuda*

oleh: Doni Riyadi


doniriadiHARI INI, 29 Maret 2003, KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) genap lima tahun mengawal perubahan. Ia seusia dengan tumbuhnya semangat perubahan nasional yang diawali dengan tumbangnya rezim Soeharto Mei 1998 silam.Telah berubahkah negeri ini sekarang ? Ironis, tak ada perubahan signifikan yang dapat membalas setimpal pengorbanan jiwa raga, darah dan airmata anak-anak bangsa saat melibas rezim tirani dan berharap akan lahirnya Indonesia baru. Ide-ide koreksi total terhadap rezim setelahnya 'terpaksa' kemudian lahir dari rahim anak-anak muda. Dari ide revolusi, deligitimasi, hingga yang sekarang: junta pemuda.


Koreksi Sejarah

Sesungguhnya, adalah sebuah kecelakaan sejarah jika kita mengabadikan bahwa Indonesia memasuki era Reformasi setelah tumbangnya rezim tirani Soeharto. Fakta-fakta yang terrekam selama lima tahun setelahnya nyaris tak menunjukkan indikator reformasi mendekati titik pencerahan. Yang ada hanyalah aktifitas-aktifitas perebutan kekuasaan para pendompleng reformasi yang sebenarnya tak sedikit pun memiliki visi perubahan. Ketimbang reformasi, maka lebih tepat jika kita menamakannya sebagai sekedar pergantian rezim dan bagi-bagi kekuasaaan.

Dalam konteks kekinian, kinerja rezim Mega-Haz berkolaborasi dengan Akbar dan Amien di legislatif pun menunjukan kecenderungan kuat untuk membawa Indonesia kembali ke masa kegelapan. Ketakberdayaan Indonesia menghadapi tekanan dan hegemoni asing dari negara atau lembaga donor seperti IMF menciptakan kesenjangan sosial baru.

Kebijakan pencabutan subsidi, privatisasi dan divestasi atas resep IMF membuat nasib aset negara menjadi tak jelas. Bahkan telah menjadi rahasia umum, bahwa motif privatisasi dan divestasi adalah kepentingan jangka pendek untuk memperkaya pundi-pundi partai rezim penguasa menjelang 2004. RUU BUMN yang sedang digodok pun disempat-sempatkan untuk disisipi satu bab mengenai privatisasi, hal yang seharusnya terpisah menjadi RUU tersendiri.

Itu baru indikator ekonomi, belum indikator lainnya seperti kebijakan luar negeri, penegakan supremasi hukum, sosial, pendidikan dan sebagainya. Setelah dituding sebagai mata rantai terlemah melawan terorisme oleh AS dan peristiwa kontroversial peledakan Sari Club dan Paddy's Café, kebijakan luar negeri Indonesia bak menjadi sekutu AS di Asia Tenggara. Penangkapan tokoh-tokoh publik, semisal Abu Bakar Ba'asyir dengan cara yang ngiris-ngiris hati nurani adalah salah satu contohnya. Di sisi lain, polisi justru tak mampu berkutik melawan preman dan perjudian bahkan terkesan melindunginya. Ini tersirat dalam ketidakberdayaan polisi menghadapi anarkisme pendukung Tomy Winata yang 'menyerbu' kantor majalah Tempo.. Dan lagi, tak satupun para koruptor dan konglomerat hitam dapat diadili dan dieksekusi.

Bahkan, Perppu No.1 tahun 2002 yang sifatnya kasusistis dan darurat diresmikan sebagai UU Antiterorisme. Belum lagi selingkuh penguasa dengan aparat bersenjata dengan mengakomodasi intelejen penguasa (BIN) dan militer melalui RUU Intelejen dan RUU TNI. Begitu juga dengan UU Parpol dan UU Pemilu 2004 yang memperbesar ruang kembalinya Orde Baru ataupun Neo-Orde baru berkuasa sekaligus memperkecil peluang kekuatan reformis untuk melakukan perubahan.

Pendeknya, berkaca dari pengalaman empirik rezim-rezim yang didominasi oleh 'orang-orang tua' pasca Soeharto tumbang, Indonesia tak akan dapat benar-benar tercerahkan atau setidaknya keluar dari krisis berkepanjangan. Sekaranglah saatnya bagi kaum muda untuk memimpin sendiri perubahan yang diinginkan. Dan 'orang tua' ? Lirik Elpamas ketika menyindir Soeharto ini mungkin masih relevan sebagai jawaban :"Pak Tua sudahlah…, kami masih sanggup untuk bekerja..oyeah"

Junta Pemuda

Melalui Mukernas KAMMI di Bogor, Februari 2003, digulirkankanlah semangat Junta Pemuda sebagai wacana alternatif revolusi yang belakangan menyurut. Analog dengan junta militer di Myanmar, junta pemuda yang dimaksudkan setara dengan pengertian pemerintahan kaum muda. Ia didefinisikan sebagai pemerintahan dengan partisipasi kaum muda pada posisi-posisi strategis penyelenggaraan negara. Hanya saja jika junta militer identik menggunakan senjata dan kekerasan, maka Junta Pemuda mengandalkan ketajaman pemikiran intelektual dan kebersihan niat untuk memperbaiki bangsa ini dari awal.

Core (inti) dari Junta Pemuda adalah gerakan mahasiswa intra dan ekstra universiter, pemuda pemimpin ormas, pemuda aktivis LSM, pengusaha muda, pekerja-pekerja muda, dan cendikiawan muda. Bersama-sama rakyat di ring kedua, para pemuda ini mengumandangkan deklarasi rakyat dan pemuda yang menandai terbentuknya pimpinan transisi, sekaligus deligitimasi atau mencabut mandat rezim berkuasa. Jika dicermati, ideologi tak lagi menjadi penghalang bagi kaum muda untuk menyatukan barisan. Mahasiswa berideologi paling kiri dan paling kanan pun sekarang telah menyuarakan satu suara untuk menuntut pergantian rezim.




Agenda utama Junta Pemuda ini adalah penghapusan hutang luar negeri. Mengeksekusi para koruptor yang telah terindikasi jelas dengan mengesampingkan mekanisme konvensional sebagai komitmen supremasi hukum dan shock therapy. Menyelenggarakan Pemilu dengan perundang-undangan yang lebih akomodatif terhadap perubahan dan melarang tampilnya partai-partai ORBA sebagai kontestan Pemilu. Membongkar jaringan dan mentalitas birokrat korup dengan prinsip cut generation dan menggantinya dengan aparatus yang lebih bersih. Dan menata dunia intelejen kompetitif agar benar-benar berfungsi sebagai alat negara dan bukan alat penguasa. Sedangkan program seratus hari Junta Pemuda ini adalah mengembalikan pada rakyat uang yang dibawa konglomerat bermasalah ke dalam negeri.

Seperti apa model perubahan Junta Pemuda ? Merujuk pada kerangka berpikir Huntington, perubahan dapat berlangsung dalam empat skenario.

Pertama, transformasi, yakni proses demokratisasi yang diinisiatifi, dimotori, dan dikendalikan oleh penguasa. Contohnya adalah Uni Soviet sejak Gorbachev menerapkan Glasnost dan Perestroika. Kedua, replacement atau pergantian rezim, yakni rezim lama digantikan oleh rezim yang benar-benar baru. Contohnya adalah Filipina dengan pendudukan istana Malacanang. Ketiga, transplacement, yakni proses demokratisasi sebagai kombinasi antara gerakan sosial di luar rezim yang kuat serta adanya faksi-faksi demokrasi di dalam negara. Contohnya adalah Afrika Selatan. Keempat, intervensi, yakni proses demokratisasi yang dihasilkan oleh intervensi pihak luar untuk menjatuhkan rezim lama. Contohnya adalah intervensi AS di Afghanistan

Junta Pemuda termasuk pada kategori kedua. Ia dimungkinkan terbentuk dari gerakan people power dan mustahil dari Pemilu. Kultur paternalistik dan patronase bangsa Indonesia tidak akan memungkinkan unsur-unsur pembaharu tampil sebagai pemenang. Hasil Pemilu 2004 tidak akan berbeda jauh dengan Pemilu 1999 yang sejatinya adalah pengulangan dari Pemilu-Pemilu yang pernah diselenggarakan sebelumnya. Pemenangnya tidak akan beranjak dari kubu nasionalis sekuler atau oportunis Orba, walaupun ketika rezim-rezim ini berkuasa nyata-nyata justru ia menjadi penyebab rakyat menderita. Ironi yang menjadi logis, karena selama ini rezim berkuasa tidak pernah berkeinginan melakukan pendidikan politik yang benar tetapi lebih memilih pembodohan politik demi kelanggengan kekuasaannya.

Hal yang pertama-tama menghambat Junta Pemuda dengan jalan people power adalah stempel inkonstitusional dari para 'orang tua'. Konstitusi dan Undang-Undang inilah yang sekarang menjadi senjata ampuh bagi rezim berkuasa untuk memberangus kekuatan kritis rakyat sekaligus sarana berkelit dari jeratan pidana dengan memanfaatkan celah-celah produk UU yang ada.

Padahal, masih ada dimensi nilai dan moralitas yang jauh lebih utama dijunjung dari sekedar hukum formalitas. Bahkan, kemerdekaan Indonesia via Proklamasi 17 Agustus 1945 pun bersifat inkonstitusional dalam perspektif pemerintah Jepang yang menjajah Indonesia. Hanya karena gerakan inkonstitusional itu kemudian menemui kemenangan maka ia lalu diklaim menjadi konstitusional.

Hambatan berikutnya adalah pada proses mencari tiga dukungan. Yaitu dukungan rakyat, dukungan militer, dan dukungan internasional. Secara historis Indonesia, ketika rakyat mendukung suatu moment perubahan maka dengan sendirinya militer akan turut memberikan dukungannya. Dukungan militer pada rakyat saat tumbangnya Soeharto dan Gusdur adalah contohnya. Namun, tidak mudah untuk dapat mendapat dukungan rakyat. Kultus individu, paternalistik, dan isu solidaritas wong cilik telah membutakan sebagian besar rakyat. Milisi sipil bentukan partai berkuasa bahkan kerap menjadi pelaku intimidasi dan kekerasan terhadap aksi-aksi mahasiswa. Sedangkan dukungan internasional dibutuhkan khususnya dari AS, Cina, dan Timur Tengah sebagai representasi tiga peradaban besar dunia, yaitu barat kapitalis, sinis konfusian, dan Islam.

Pertanyaan berikutnya adalah, siapakah yang akan memimpin Junta Pemuda? Bedanya dengan Revolusi Iran yang menjadikan Khomeini sebagai pemimpin besar revolusi, maka Junta Pemuda tidak begitu mementingkan figur pemimpin. Kalaupun ada figur pemimpin tidak berarti otomatis ia langsung menjadi presiden. Junta Pemuda lebih suka memberikan beberapa nama tokoh muda yang dikenal luas memiliki kredibilitas nilai dan moralitas untuk kemudian dipilih oleh rakyat secara langsung menjadi presiden. Nama-nama seperti Aa' Gym, Arifin Ilham, Hidayat Nurwahid, dan Kwik Kian Gie mungkin bagian dari alternatif jawaban. []

*) Doni Riyadi, Ketua Biro Humas KAMMI Semarang 2000-2002. Tulisan ini menjadi Pemantik Diskusi 'Kelas Politik' KAMMI Komisariat Politeknik Negeri Semarang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar