28 Februari 2013

Yang Lain dan Yang Tersembunyi*



Oleh: Bowo Sugiarto *)

Bowo SogiartoBagi Anda yang ingin mendapatkan gagasan-jadi tentang masa depan, visi-misi KAMMI atau semacamnya, mungkin akan kecewa bila membaca tulisan ini. Tulisan ini ingin memotret sisi lain KAMMI yang diduga keras tidak akan terekam dalam “sejarah resmi” KAMMI. Saya hanya ingin memunguti pecahan-pecahan dan retakan-retakan yang terhampar di sepanjang jalan sejarah. Dengan pecahan dan retakan itu, semoga kita bisa memahat sosok KAMMI yang “seindah warna aslinya.”

‘The Hidden Transcripts’

Sebut saja namanya Hanif. Beberapa waktu yang lalu ia didakwa oleh kawan seperjuangannya sebagai “tidak lagi sesuai manhaj”. Ia membawa Karl Marx dalam sebuah diskusi di kalangan aktivis KAMMI. Lebih dari itu ia tidak segan membantah pujaan hati kawan-kawannya, Sayyid Qutb. Ia bingung apakah harus marah atau kecewa.


Di tempat lain Hanif bernama Firda. Akhwat berkaca mata ini dianggap pembelot ketika terang-terangan mendukung calon ketua BEM yang tidak direkomendasikan syuro di kalangan aktivis dakwah. “Ini untuk pembelajaran politik kawan-kawan yang hanya bisa memenangkan suara tapi tak serius mengelola kemenangan,” keluh Firda padaku, “meski aku harus jadi martirnya.”

Hanif, Firda, atau siapa pun namanya akhirnya harus menanggung identitas yang tidak pernah mereka harapkan dan bayangkan. Mereka terbentur pada tembok identitas yang tidak jelas mana yang permanen dan mana yang bisa dirubah. Dalam fase kehidupan manusia mereka sebenarnya berada di masa pencarian atau lebih tepatnya pembentukkan identitas. Itulah yang menjelaskan mengapa mereka hendak meminjam identitas yang telah ada sebagai kuasnya.

Tapi kemudian mereka harus menghadapi dirinya tidak diberikan kesempatan untuk melukis identitas dirinya sendiri. Mereka ibarat negara-negara Asia dan Afrika yang diberi cap sebagai negara dunia ketiga atau negara terbelakang. Mereka tak punya kuasa untuk mendiskusikan apakah memang identitas ‘kader yang tidak taat’  sesuai dengan diri mereka sendiri. Diam adalah pilihan yang tak bisa dielak ketika komunikasi tidak lagi setara.

Kemungkinan yang terjadi adalah label identitas yang mereka terima dipahami sebagai yang sebenarnya. Ketika label itu adalah ‘nakal’, maka mereka mengidentifikasi diri mereka sebagai ‘nakal’. Yang mereka ingat adalah bahwa identitas itu adalah cara mereka berbeda dengan yang lain. Seperti masyarakat Samin mereka memiliki logika dan pemaknaan akan kata yang berbeda dengan kaum kolonial dan masyarakat pada umumnya. Mereka membangun logika yang berbeda sebagai bentuk perlawanan mereka.

Maka Firda pun lebih suka Iwan Fals daripada Brothers atau Tazakka. Baginya lagu-lagu Iwan Fals adalah islami, karenanya layak disebut nasyid. “Bagiku pesan Iwan Fals begitu jelas: membela kaum miskin, yang terpinggirkan oleh proses pembangunan. Islam bukan sekedar soal memuja Tuhan, tapi bagaimana merealisasikan apa yang Amien Rais sebut sebagai Tauhid Sosial!” tegas Firda. Sayang sekali, ujar Firda, apa yang kita sebut sebagai nasyid saat ini kurang berpihak pada kelompok mustad’afin, malah sekarang tidak sedikit nasyid yang romantis.

Akhirnya Firda yang aktivis KAMMI itu tidak pernah lagi hadir dalam rapat-rapat ‘partai dakwah’ di kampusnya. Baginya rapat-rapat itu kini telah menjelma menjadi tembok tinggi nan tebal. Terlalu tebal untuk ia ketuk. Terlalu tebal untuk suaranya yang lembut. Ia lebih suka berkumpul bersama mereka yang mau menghargai suaranya tidak merdu itu. Yang membuat ia sedih, mereka itu adalah orang-orang yang oleh kawan-kawannya dianggap sebagai ‘saudara seiman di seberang jalan’.

Sedangkan cara Hanif menegaskan identitasnya adalah dengan meninggalkan sama sekali aktivitasnya di masjid kampus atau di gerakan mahasiswa tempat aktivis dakwah berkumpul. Hatinya teguh bahwa dua “kamar kecil di rumah yang besar ” itu tidak mampu memberikan dia kesempatan untuk mengembangkan dirinya. Ia merasa semakin kerdil ketika ia sekedar menjadi “robot yang mempunyai kesadaran”. Yang ia tidak paham adalah jargon yang selalu menghadangnya: yang penting aksi bukan teori! Ia tidak mengerti dari mana kawan-kawannya mendapat jargon itu karena yang ia tahu tidak mungkin ada aksi yang baik tanpa berangkat dari teori.

Hanif, Firda, atau siapapun namanya mengingatkanku pada James Scott. Menurut Scott, selama ini kita banyak mengarahkan pandangan mata kita pada kelompok elit dalam menjelaskan politik. Bukan saja mereka yang liberal, kaum Marxis pun dalam logika Scott terjangkiti penyakit elit-sentris seolah-olah yang berhak mendefinisikan Indonesia hanyalah Soekarno, Hatta, elit founding fathers lainnya, atau Soeharto dan kroninya. Padahal, menurut Scott, rakyat kecil yang tidak pernah disebut buku-buku sejarah juga punya imaji sendiri tentang Indonesia.

Belakangan aku mendapat kabar bahwa Firda menikah dengan seorang lelaki yang secara institusi berasal dari kelompok “saudara seiman dari seberang jalan”. Aku tidak bisa menduga apakah itu juga salah satu bentuk suara yang ingin disampaikan oleh Firda—orang-orang yang selama ini terpinggirkan dan tak pernah didengarkan suaranya. Yang jelas, ujar Scott, mereka yang terpinggirkan dan tak punya kuasa memiliki cara sendiri dalam menegaskan kehendak mereka. Scott menyebutnya The Hidden Transcripts.

Pledoi untuk KAMMI

Pada awalnya adalah tanya: untuk apa KAMMI ada? Sebuah pertanyaan eksistensial yang sebenarnya bermula dari tanya yang lain: untuk apa aku ada di KAMMI? Kedua pertanyaan itu menumbuhsuburkan silang pendapat karena KAMMI memang tidak pernah selesai sejak ia pertama kali dituliskan. Ia lahir ketika rahim sejarah menghantarkannya ke gerbang “serangkaian kemungkinan dan ketidakpastian”.

Lantas salahkah ketika masing-masing ego yang merasa darahnya dialiri “darah” KAMMI turut memberi makna dan predikat pada KAMMI? Tentu ini bukan soal salah atau benar, apalagi soal halal-haram. Ini jauh dari itu. Termasuk juga bukan soal apakah tafsir terhadap KAMMI itu sesuai dengan “manhaj” atau tidak. Ini lebih pada soal sejauh mana kita mampu bersahaja dalam memberi “ruh” pada jasad berlabel KAMMI itu, dan sejauh mana kita mawas pada keterbatasan yang melekat pada jasad itu sejak ia dilahirkan.

Jasad KAMMI adalah semacam jasad manusia biasa yang dikaruniai potensi namun sekaligus rentan karena keterbatasan yang dimilikinya. Sebagai manusia biasa ia memang layak diimpi-impikan sebagai pahlawan yang bisa terbang hingga ke bulan  seperti Superman atau dengan wajah tertutupnya meloncat dan bergelantungan dari satu gedung ke gedung lainnya selayaknya Spiderman. Atau dengan segala superioritas seorang Batman: tampan, kaya, cerdas, lalu berjuang melawan kebatilan di kota Gotham yang kelam. Toh, KAMMI memang dilahirkan saat bangsa ini membutuhkan Ratu Adil atau minimal sang pahlawan yang akan membawanya lari dari segala kesulitan hidup.

Kalau KAMMI kita ibaratkan sebagai makrokosmos, maka para “kadernya” adalah mikrokosmos. Pemberian identitas dan ruh pada KAMMI adalah objektifikasi mikrokosmos ke makrokosmos. Ia adalah saat ego kepahlawanan mencari celah dalam sejarah agar ia bisa tampil ke muka: inilah aku sang pahlawan yang kalian nantikan! Namun celakanya sang aku selalu lupa bahwa apa yang ia bayangkan sebagai kota Gotham yang kelam sebenarnya adalah dirinya sendiri. Ia lupa bahwa ia tidak pernah diserang kelelawar atau digigit laba-laba. Ia juga lupa bahwa terlalu banyak aku yang mencoba menerobos ke luar dari cangkang mikrokosmosnya.

Dan yang tak kalah penting adalah sang penulis komik tidak pernah sendirian, ia akan selalu berkawan dengan penerbit. Dalam sebuah industri pasar entertainmen seorang kreator harus rela mengerem lompatan imajinasinya demi memenuhi “selera pasar”. Dalam sebuah pasar yang diimajinasikan oleh Adam Smith, naik turunnya harga bergantung pada permintaan dan penawaran. Dalam sebuah pasar kapitalis lanjut, keputusan menaikkan permintaan sangat dipengaruhi oleh konstruksi imaji sebuah produk yang direproduksi oleh dunia periklanan.

Imajinasi yang berdesakkan keluar dari sang aku yang tidak terhingga itu akhirnya bertemu dengan kenyataan bahwa sejarah negeri yang coba ia cerahkan sebenarnya adalah konstruksi imajinya sendiri. Kota Gotham yang kelam adalah dirinya sendiri, yang coba ia cerahkan adalah dirinya sendiri. Ia tidak juga sadar bahwa perebutan kuasa/pengetahuan di antara sang ego sebenarnya memperkelam wajah malam kota Gotham. Dan sang Batman yang ia kira adalah dirinya sendiri sebenarnya tidak ada dan tidak akan pernah ada. Jasad KAMMI terlalu ringkih untuk dipaksa menjadi seorang Batman.

Sebagai penulis komik gerakan mahasiswa sang aku tidak pernah sendiri—KAMMI dilahirkan memang tidak untuk sendiri. Agar ia bisa dikonstruksi menjadi gagah di mata penggemar cerita fantasi, ia butuh penerbit, butuh distributor, dan yang jelas: ia butuh pasar. Pertanyaan yang lahir kemudian: untuk siapa sejarah sang pahlawan itu ditulis? Ia harus mulai menimbang-nimbang apakah sosok sang pahlawan yang coba ia objektifikasikan pas dengan permintaan pasar. Tapi itu hanya terjadi jika sang ego mawas akan constraints  yang melingkupi proses kreatifnya.

Mungkin sudah saatnya sang ego mulai berpikir bahwa jasad yang bisa ia beri ruh bukan cuma KAMMI. Atau paling tidak ia mulai bersahaja akan segala keterbatasan sang jasad yang memang ringkih dan mengidap keterbatasan yang sulit dinegosiasikan. Artinya, ia tidak bisa lagi dipaksa-paksa untuk menjadi sang hero, entah itu bernama Superman, Spiderman, atau Batman. Sejarah sang jasad bukan sejarah pahlawan dalam komik fantasi Amerika, melainkan sejarah sang pejuang yang hidup dalam kebersamaan sebuah gerakan. Biarkanlah sang jasad menjadi sosok yang didambakan sang penerbit dan pasar: menjadi anjing penjaga kebenaran yang setia membersamai pemuda-pemuda ashabul kahfi. [] bowo_s







[1] Artikel ini ditulis pada tahun 2006. Semula akan diterbitkan dalam Jurnal Ibhar KAMMI DIY edisi 3 tahun 2006, namun tidak jadi diterbitkan oleh Tim Kastrat KAMMI DIY. Dimuat kembali  atas seizin penulisnya.




[2] Penulis adalah alumni Fisipol UGM (SIP dan MA). Pernah menjadi bergiat di Departemen Humas KAMMI DIY, KAMMI Korfak Fisipol UGM, dan sempat menjadi wartawan Harian Pikiran Rakyat Bandung. Sekarang menjadi Dosen Ilmu Politik di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar