28 Februari 2013

Reposisi dan Daya Hidup KAMMI (2)

Oleh: Syarifudin, SIP**

syarifudinMuktamar KAMMI di Samarinda, 26 September 2004 hingga 2 Oktober 2004, menguak kesadaran visi intelektual profetik KAMMI untuk bangsa ini. Kesadaran intelektual profetik adalah daya bangkit bangsa ini dari keterpurukannya.

Melanjutkan ide sebelumnya dalam Reposisi dan Daya Hidup KAMMI (Republika, 4/9) tulisan ini ingin memaparkan planning and action strategic (strategi rencana dan strategi aksi) yang lebih jelas dan detail. Ide ini penulis pikir perlu dituntaskan segera sebagai manifestasi amanat Muktamar KAMMI di Samarinda sekaligus sebagai tugas sejarah yang harus dituntaskan oleh KAMMI untuk rakyat Indonesia.


Pilihan terhadap ranah intelektual dan kafaah profesional sebenarnya bukan pertama kali ditawarkan. Menilik perbandingan proses kelahiran KAMMI dan HMI sangat menarik. Jika HMI lahir dalam kerangka pergulatan intelektual yang intens di dekade awal kemudian secara perlahan membangun basis pergerakan dan melebarkan jaringan, tidak begitu dengan KAMMI.

Yang terjadi di tubuh KAMMI sebaliknya, sebelum ia lahir, basis jaringan pergerakan telah terbangun. Ketika KAMMI lahir, basis itu telah cukup mapan dan stabil. Tugas KAMMI saat ini ialah mengokohkan basis pergerakan dengan pembentukan basis intelektual dan profesional yang belum terjamah secara serius (silakan lacak dalam buku Perlawanan dari Masjid Kampus, tulisan Andi Rahmat, dkk. Juga buku Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, yang ditulis Drs Abdul Aziz, Drs Imam Tholkhah, dan Drs Soetarman).

POLARISASI ETOS
Tawaran pada KAMMI untuk beranjak dari ranah aksi ke ranah intelektual dan kafaah profesional (kompetensi) bukan tanpa resiko. Keraguan KAMMI untuk beranjak menuju daras baru gerakan yang ditawarkan ini dapat kita pahami sebagai kekhawatiran historis gerakan mahasiswa Islam sebelumnya. Ada ketakutan bahwa peralihan positioning akan menegasikan basis pergerakan yang telah dibangun KAMMI sebelumnya.

Pengalaman tercerabutnya etos pergerakan sebagian besar cendekiawan muslim di Indonesia saat ini memang tidak boleh diulang oleh KAMMI. Dan memang KAMMI tak boleh terjebak dalam polarisasi yang memisahkan antara dunia pergerakan dan dunia intelektual. Antara gerak praksis di lapangan, intelektualisasi, kafaah profesional, dan ideologisasi.

Harapan ke depan memang, KAMMI mampu membentuk genre baru pergerakan mahasiswa yang tak hanya berkutat di kampus dan jalanan namun juga membangun basis aksi di wilayah ekplorasi intelektual dan penajaman kafaah profesional (kompetensi). Sebuah ”tawazun” (keseimbangan) yang indah.

Itu akan menjadi napas panjang KAMMI bagi di masa depan. Ranah intelektual memberikan kekuatan analisis kontekstual-dialektik nilai ideologis dan realitas kekinian-kedisinian (keindonesiaan). Mereka (kader KAMMI) benar-benar harus digodok, tumbuh, hidup, dan berpikir untuk bangsa Indonesia (serta dunia Islam dalam arti luas).

Harapannya, intensitas ekplorasi intelektualitas akan menumbuhkan generasi-generasi ideolog yang baru. Kader KAMMI yang dapat mengejawantahkan ideologi Islam sebagai dasar gerakannya dalam tataran praktis kebutuhan umat. Sesuai visi dan misi KAMMI, melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa. Tidak hanya jadi mur dan baut modernisasi!

ORIENTASI KONSEP KADERISASI
Perumusan planning and action strategis Kaderisasi Intelektual Profetik dan Kafaah Profesional perlu dijabarkan lebih detail. Tujuannya sederhana, pertama, membentuk kader KAMMI yang memiliki kapasitas intelektual dan ideologi Islam yang mantap. Intelektualisasi dalam pada hakikatnya menghunjamkan Islam sebagai sebuah fikrah yang menggerakkan perubahan.

Karena saat ini yang ditakuti musuh-musuh Islam bukan orang yang ke sana ke mari membawa bom namun orang-orang yang mampu menyebarkan fikrah-nya pada orang lain meskipun ia tinggal seorang. Seorang ideolog yang mampu melakukan kaderisasi di luar dan di dalam penjara!

Belajar dari riwayat beberapa ideolog Islam seperti Muhammad Abduh, yang membangun basis pergerakan di kedai-kedai kopi di Mesir. Langkah Abduh diikuti Hasan al-Banna yang kemudian lebih mampu mengorganisir menjadi Ikhwanul Muslimun. Atau Sayyid Qutub yang mampu melakukan kaderisasi di dalam penjara sembari menunggu hukuman gantung dari pemerintahan Mesir yang terkooptasi Kerajaan Inggris.

Pembentukan basis intelektual ini akan menguatkan basis ideologi yang memang telah terbangun kokoh di KAMMI. Bukankah Muhammad Iqbal pernah menulis bahwa puncak pencerahan intelektual ialah kesadaran untuk bergerak dan menggerakkan orang lain (membangun basis pergerakan). Justru pergerakan akan buta tanpa pencerahan intelektual yang mantab.

Tujuan kedua, membentuk kader KAMMI yang memiliki kafaah (kemampuan) profesional di bidang masing-masing. Sepuluh-dua puluh tahun ke depan, kader KAMMI adalah darah baru stetirilisasi birokrasi dan sistem pemerintahan yang paling diharapkan bangsa ini (insyaallah). Rusaknya sendi-sendi birokrasi dan pemerintahan Indonesia oleh budaya korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), tak dapat diobati tanpa infus orang-orang baru yang benar-benar punya kapabilitas dan integritas moral yang tinggi untuk duduk di sana.

Tersedotnya perhatian sebagian kader KAMMI dalam ranah politik praktis seringkali menafikan kafaah profesionalnya. Jangan hanya bisa menonton kerusakan yang terjadi, tapi kader KAMMI nanti pula yang akan masuk dan memperbaiki sistem itu dari dalam. Sepuluh-dua puluh tahun ke depan, alumni KAMMI mau tak mau harus masuk dalam sistem negara yang telah lumat tertelan budaya KKN. Jaringan profesi alumni KAMMI akan menjadi kunang-kunang pencerahan kegelapan bangsa.

DERIVASI KONSEP PERUBAHAN

Untuk mencapai tujuan itu apa yang bisa dilakukan? Berikut ini tawaran sederhananya, semoga bisa memantik ide kreatif kader KAMMI yang lain. Perangkat paling utama yang perlu dibahas ulang KAMMI ialah rekonstruksi paradigma kaderisasi internal KAMMI. Paradigma Kaderisasi Siyasi (kaderisasi politik) yang dicanangkan KAMMI pada Muktamar III Lampung mengandung banyak cacat yang harus segera direkonstruksi ulang pasca-Muktamar IV ini. Konsep Kaderisasi Siyasi (KS) ini pun sebenarnya belum final diperdebatkan (atau bahkan tidak terlihat ada perdebatan yang cukup berkualitas untuk menjabarkannya). Jadilah itu sekedar konsep tanpa aplikasi dan evaluasi yang jelas hingga saat ini.

KS selama ini lebih ditafsirkan secara pragmatis oleh para kader KAMMI di lapangan karena kurangnya sosialisasi dan penggalian konsep secara lebih radikal. Jadilah KAMMI seperti yang kita lihat dua tahun terakhir. Ahli dalam mengusung agenda politik penurunan presiden! (penurunan Gus Dur, penurunan dan demarketisasi Megawati).

Melihat kenyataan itu, beberapa kelemahan dalam konsep KS bisa direkonstruksi atau didekonstruksi jika memang sudah tidak relevan lagi untuk konsteks bangsa saat ini. Derivasi konsep kaderisasi itu nanti bisa masuk dalam marhalah (penjenjangan) kaderisasi yang ada di KAMMI. Ada banyak pertanyaan yang harus dijawab dan diselesaikan. Misalnya, apa yang mau diorientasikan untuk Anggota Biasa I, II, III? Apakah cukup hanya dengan melakukan Daurah Marhalah (training berjenjang [DM]) I, II, dan III? Mau
dijadikan kader yang seperti apa, alumni DM itu? (Catatan: selama ini para alumni DM tak terkelola dengan baik karena lemahnya konsep yang ditawarkan). Cukupkah hanya diberi suplemen semacam Daurah Siyasi I, II, dan III? Apa saja standardisasi kader yang baru? Apa saja kemampuan skill dan konseptual yang harus dikuasai masing-masing jenjang?

Bagaimana proses evaluasinya nanti? Bagaimana ruang-ruang kreatif yang baru diciptakan di KAMMI? Tentu disesuaikan dengan paradigma KAMMI yang baru, agar KAMMI benar-benar menjadi rahmat Allah SWT bagi bangsa Indonesia.

* Republika, 25 Oktober 2004, dirilis ulang di Republika Online pada tanggal yang sama. http://www.republika.co.id/ASP/kolom_detail.asp?id=176576&kat_id=16

** Mantan Humas KAMMI DIY dan Ketua KAMMI Korfak Fisipol, Komisariat UGM. pernah menjadi Peneliti di Center for Social Movement and Transformation Studies (CSMTS), sekarang wartawan Sindo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar