28 Februari 2013

Reposisi dan Daya Hidup KAMMI (1)

oleh:  Syarifudin*

…Bahkan ada kelakar, kalau mau mengundang kader KAMMI diskusi, pakai saja undangan untuk aksi. Insya Allah ia akan datang diskusi…

syarifudinTidak mudah mengukur hidup matinya sebuah pergerakan. Sudah tabiat pergerakan untuk mengalami pasang surut. Sebagai bagian dari pergerakan Islam di Indonesia, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) memiliki peran yang besar dalam melakukan akselerasi perbaikan bangsa. Lalu bagaimana dengan kondisi internal pergerakan itu sendiri? Kemampuan melihat kelemahan akan dapat mendorong terciptanya perbaikan di sisi kelemahan itu. Tapi kesombonganlah yang biasanya membuat organisasi buta pada kelemahan diri karena merasa sudah hebat. Dan sebuah kesalahan besar jika kita menganggap diri tanpa cacat.

Menyongsong muktamar nasional di Samarinda 26 September hingga 2 Oktober 2004, sudah sepatutnya KAMMI melakukan repositioning terhadap daras gerakannya. Jika sejak kelahirannya tahun 1998 KAMMI mengandalkan demonstrasi sebagai basis gerakan maka sudah waktunya mengubah paradigma itu.


Pertanyaan yang ingin saya tanyakan pada kawan-kawan KAMMI ialah cukupkah mengandalkan aksi demo dalam proses penyelesaian masalah bangsa yang sudah sangat kompleks? Jawabnya tentu tidak! KAMMI sebagai elemen pergerakan mahasiswa sudah memiliki posititoning sebagai ”tukang demo”. Jika ingat KAMMI maka ingatan orang akan segera membawa, “Oh, yang tukang demo itu ya?” Kalau masalah demo-mendemo maka tak disangsikan lagi, KAMMI-lah jagonya. Mau menurunkan hingga ribuan massa, dijamin keadaan tertib dan lancar.

Sudah Ada BEM

Kondisi saat ini memaksa semua pergerakan untuk melakukan repositioning agar tetap memiliki taring di hadapan penguasa. Apalagi konfigurasi politik saat ini telah berubah drastis jika dibandingkan dengan awal berdirinya KAMMI. Aksi-aksi turun ke jalan saat ini seperti kehilangan momentum. Berbeda dengan saat reformasi 1998, saat demonstrasi menjadi euforia yang mengasyikkan dan menggairahkan mahasiswa dan rakyat. Saat ini demontrasi turun ke jalan telah diambil alih oleh gerakan intrakampus seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang tentu lebih populis. Bahkan akhir-akhir ini popularitas KAMMI dalam hal demonstrasi telah dikalahkan oleh koalisi BEM se-Jabotabek misalnya. Walaupun orang-orang yang ada di BEM itu sendiri adalah kader KAMMI pula. Dengan kata lain, biarkan itu dilakukan oleh “kepanjangan tangan” KAMMI (baca BEM).

Repositioning yang saya maksud ialah melakukan diferensiasi pola gerakan. KAMMI harus dapat membedakan dirinya dengan karakteristik BEM atau lembaga intrakampus yang lain seperti lembaga keislaman (Sie Kerohanian Islam [SKI], Rohis). KAMMI harus menggarap ceruk tertentu yang selama ini belum tergarap dengan baik. Bisa jadi saat ini yang lebih relevan dengan aksi-aksi turun ke jalan adalah BEM dan jaringannya. Dan yang lebih relevan dengan kegiatan kerohanian adalah lembaga seperti Jamaah Shalahuddin kalau di UGM, Jamaah Masjid Salman di ITB. KAMMI tak perlu merambah ranah itu lagi.

Sementara itu KAMMI lebih baik mengambil ranah sebagai pergerakan intelektual dan profesional. Ceruk inilah yang sampai saat ini belum digarap oleh gerakan mahasiswa manapun. Jika saat ini ada beberapa gerakan mahasiswa, kecenderungannya hampir mirip dengan KAMMI, mengalami kebingungan untuk menentukan positioning gerakannya. Kelebihan KAMMI ialah kekuatan jaringan dan militansi kader yang dapat lebih dimaksimalkan menggarap ranah intelektual dan profesional.

Sungguh sebuah keprihatinan, justru selama ini KAMMI seakan alergi dengan aktivitas intelektual dan profesional sebagai basis gerakan. Idiom yang sudah sangat populer ialah dikotomi antara ranah amal (aktivitas teknis, fisik, pragmatis) dan ranah kata-kata (intelektual, membaca, menulis, diskusi). Secara implisit sebagian kader KAMMI memang cenderung memandang bahwa ranah amal lebih baik daripada ranah kata-kata. Hal inilah yang secara tidak langsung merugikan masa depan KAMMI.

Terlibat di KAMMI selama setengah dekade cukup memberikan ‘negatif film’ untuk memotret KAMMI lebih jernih dari berbagai sudut pandang. Positioning KAMMI selama ini (menurut pandangan sebagian tokoh dan aktivis pergerakan yang lain) adalah jagonya  demonstrasi tapi tidak jago diskusi. Inilah yang sepatutnya membuat kita mengelus dada.

Napas panjang organisasi hanya dapat dicapai jika di dalam organisasi tersebut terjadi pergulatan intelektual yang intens. Pergulatan intelektual ini yang akan mendewasakan KAMMI pada penghargaan terhadap perbedaan dan heterogenitas. Bukankah visi KAMMI adalah membentuk kepemimpinan masa depan.

Budaya demonstrasi yang terlalu diagungkan dapat menjadi bumerang bagi KAMMI. Apalagi demontrasi pun sekarang telah kehilangan momentum. Masyarakat membutuhkan bentuk lain penyampaian aspirasi. Sejak tahun 1998, rakyat Indonesia telah dibombardir dengan berbagai demonstrasi yang membuat mereka imun dan semakin tak peduli.

Proses penyadaran dan pencerahan saat ini tidak relevan lagi mengandalkan demonstrasi. Apalagi saat ini ada pesaing yang tangguh, yaitu jaringan BEM, yang secara finansial tentu lebih kuat dibandingkan KAMMI.

Daya Hidup Baru

Mengambil ranah intelektual akan memberikan daya hidup baru pada KAMMI. Kekhawatiran sebagian elite Pengurus Pusat KAMMI yang sempat saya ajak diskusi adalah mereka khawatir jika KAMMI mengambil ranah intelektual akan mengakibatkan perpecahan dan hilangnya otoritas pengurus pusat. Sebuah alasan yang irasional namun dapat kita pahami. Pergulatan inteletual tentu akan menciptakan perbedaan, namun yang harus dipahami adalah perbedaan pendapat itu bukan perpecahan. Justru ia menjadi khazanah kekayaan KAMMI sebagai sebuah gerakan yang memberikan banyak alternatif kebenaran.

Selama ini proses kaderisasi di KAMMI baru menciptakan kader yang taat. Tuntutan lapangan untuk harus segera sigap turun ke jalan (demonstrasi) membuat pola perintah satu arah. Ketakutan para pemegang otoritas di KAMMI untuk melakukan perubahan paradigma ke arah pemberdayaan intelektual dengan alasan yang terlalu sepele. Misalnya ketakutan bahwa kader yang cerdas cenderung enggan bergerak atau malas turun ke jalan. Dengan kata lain, lebih baik bergerak dulu, intelektualitas nanti setelah mereka merasa perlu. Inilah yang membentuk citra KAMMI sebagai gerakan yang pragmatis. Aktivitas gerakannya berlangsung untuk kepentingan jangka pendek.

Selama ini pola komunikasi di KAMMI masih kurang dialogis. Dikhotomi istilah antara mas’ul (pemimpin) dan jundi (kader, prajurit, pengikut) membuat pola komunikasi satu arah. Bahkan kecenderungan feodalisme dan otoritarian disinyalir lahir sejak awal KAMMI berdiri.

Sebuah kekhawatiran mendalam sebenarnya, jika KAMMI tak melakukan perubahan paradigma gerakan, maka umur KAMMI takkan lama lagi. Saat ini disinyalir kelesuan KAMMI di beberapa daerah. Bahkan kondisi KAMMI di beberapa universitas yang cukup besar seperti UGM sedang sekarat. Hidup tak jelas mati pun enggan.

Artinya, repositioning paradigma gerakan yang tidak segera dilakukan dapat membuat matinya ranting-ranting KAMMI. Gerakan intelektual memberikan kita napas panjang gerakan. Bukan sebaliknya akan memperpendek usia. Justru gerakan pragmatis yang dipilih KAMMI selama ini yang membuat umur organisasi ini mendekati kematian.

Repositioning ke arah intelektualitas dan profesi dapat semakin mengokohkan daya tawar dan diferensiasi KAMMI dengan gerakan yang lain. Perubahan posisi akan memberikan ruh baru pada KAMMI yang saat ini sedang stagnan. Kecuali jika memang KAMMI ingin mengakhiri kisah organisasinya.

KAMMI merupakan gerakan yang mengagetnya semua orang ketika dalam waktu singkat ia mampu menggalang anggota hingga puluhan ribu dan memiliki cabang di seluruh provinsi bahkan jaringan KAMMI telah ada di luar negeri. Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya ialah dengan kader sebanyak itu, apa yang bisa dilakukan untuk bangsa Indonesia? Mengapa hanya bisa demonstrasi, kan tidak lucu. Hanya mengandalkan demonstrasi takkan dapat mengubah bangsa ini menjadi lebih baik. Bahkan seringkali demonstrasi kontraproduktif dengan keinginan masyarakat yang menginginkan kedamaian.

Sudah saatnya KAMMI melakukan reorientasi gerakan dengan menjamah ranah intelektual dan profesi. Kadangkala aneh juga, sebuah gerakan yang memiliki massa besar tapi di dalamnya kosong dengan pergulatan intelektual. Budaya diskusi, menulis, dan membaca dianggap sebagai aktivitas sekunder. Bahkan ada kelakar, kalau mau mengundang kader KAMMI diskusi, pakai saja undangan untuk aksi. Insya Allah ia akan datang diskusi.

*) Pernah aktif di KAMMI Komisariat UGM dan Center for Social Movement and Transformation Studies, Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar