23 Februari 2013

Pemilu dan Gerakan Mahasiswa*

Oleh : Amin Fahrudin **)

aminfahAgenda politik  lima tahunan yang bernama Pemilu akan selalu menjadi sorotan dan kepentingan semua pihak, baik itu pada tingkatan infrastruktur politik apatah lagi di level suprastruktur politik, terutama partai politik. Pemilu merupakan indikator utama dalam negara yang menganut sistem demokrasi, sebab di sanalah rakyat mempunyai hak 'prerogatif' untuk menentukan siapa pemimpinnya melalui bilik suara. Maju mundurnya sebuah negara akan bisa dilihat dari kualitas Pemilunya, baik itu di tingkatan aturan legal, prosedural formal maupun itikad para pemain politik dalam bermain politik di pemilu.

Dengan demikian, Pemilu menjadi sangat penting. Dengan melihat kualitas pemilu kita bisa memprediksikan pemimpin seperti apa yang menjadi produk dari agenda rakyat tersebut, baik pemimpin di wilayah  eksekutif maupun para wakil rakyat di legislatif.
Terlebih lagi, partai politik menjadi satu-satunya kendaraan (dalam konteks Indonesia) yang dapat digunakan untuk mengantarkan atau mengikuti kompetisi  pada pesta demokrasi  dalam memperebutkan kursi RI-1 dan RI-2.

Tapi mari kita cermati seberapa besar peluang Pemilu di Indonesia (sejak 2004, red). Apakah Pemilu dapat menjadi agenda rakyat untuk merealisasikan mimpi-mimpinya sehingga menjadi substantive democracy, atau justru hanya sebatas prosedural democracy tanpa ada hasil berarti  yang bisa memberikan harapan besar kepada rakyat untuk melakukan perubahan?

Sebagai gerakan mahasiswa, kita bisa melakukan kritik dan gugatan dengan melihat realitas politik Indonesia saat ini.

Realitas Politik Indonesia

Untuk memahami dan mengukur seberapa tinggi kualitas Pemilu, maka kita juga harus memahami realitas politik nasional yang sedang berkembang. Ada beberapa faktor variabel yang mempengaruhinya, :

Pertama adalah  Kualitas para pemeran politik.

Ukuran yang bisa digunakan adalah parameter ideal seperti  seberapa tinggi integritas moral, kapasitas intelektual dan profesional, keberanian dan ketegasan dalam menyelesaikan krisis kebangsaan.

Setelah Reformasi '98, Orde baru ternyata masih mewariskan kekuatan politik dan budaya politik yang tidak demokratis, masih kuatnya partai-partai warisan Orba cukup mempengaruhi kultur politik dan perilaku para tokoh politik kita. Kultur politik yang koruptif yang dulu mengakar sekarang semakin menggurita. Golkar dan PDIP menjadi kekuatan besar koruptif yang menentukan mau dibawa kemana arah bangsa Indonesia ini. Dan selagi korupsi itu masih mengiringi reformasi maka demokrasi itu akan menjadi mati. Dan kondisi ini akan menyandera perjalanan reformasi kita karena masing-masing kekuatan politik akan mencari aman pada 2004 nanti.

Ambil sampel sederhana, Kasus Akbar Tandjung yang kemudian berhasil dikompromikan dalam UU Pilpres bahwa terdakwa masih bisa menjadi capres. Kapabilitas intelektual juga mampu dikompromikan oleh PDIP sehingga seorang capres tidaklah harus bergelar sarjana. Minimum dukungan publik juga diabaikan sehingga seorang capres-wapres yang tidak memenuhi dukungan suara 20% mampu dikesampingkan.

Kedua adalah kesadaran politik masyarakat

Kultur politik masyarakat kita itu masih berkarakter patronase dan personal irrasional, kepercayaan itu diberikan hanya sebatas figuritas tidak terhadap platform atau orientasi yang dibawa, sehingga tidak mampu diajak untuk menjadi pemilih dan oposisi yang kritis dan aktif. Mestinya budaya politik yang bangun bersifat institusional rasional, sehingga masyarakat mampu melihat secara transparan dan rasional apa yang ditawarkan kepada masyarakat oleh figur politik dalam kampanyenya sehingga rakyat mampu menilai mana figur dan partai yang layak menjadi pemimpin.

Tiga profesor politik dari Jerman yang melakukan survei kehidupan berpolitik di sepuluh negara maju dan relatif berhasil dalam berdemokrasi menyimpulkan bahwa perbedaan mencolok pada sebuah bangsa, apakah dia demokratis atau tidak bisa diukur dari kultur politiknya, apakah disana berkultur politik aliran atau kultur poltiknya program/agenda.  Amerika Serikat dan Prancis  merupakan dua negara yang paling berhasil menerapkan politik agenda. Kampanye-kampanyae politik para tokohnya menjadi satu daya tawar sendiri untuk meraih suara dari rakyat, dan sekali saja mereka mengkhianati apa yang dikampanyekan maka pemilu mendatang bisa dipastikan suaranya akan merosot.

Ketiga adalah aturan main dan Sistem Pemilu.

Beberapa hal terkait dengan UU Pilpres yang oportunis kompromistik telah saya kemukakan di muka. Partai-partai besar yang cenderung korup lebih diuntungkan oleh aturan politik dalam paket UU politik (UU tentang politik, partai politik,pemilu, pilpres, susduk DPR/MPR) ketimbang partai-partai baru yang mempunyai peluang lebih besar untuk mnyelesaikan proses reformasi. Aturan electoral threshold yang terlalu tinggi telah mengekang pertumbuhan demokrasi di Indonesia, Pemilihan tanda gambar saja itu boleh, juga merupakan pembodohan terhadap pemilih karena siapa yang akan naik menjadi anggota legislatif pusat maupun daerah itu bisa dimanipulasi oleh partai-partai, sehingga pemilu yang mampu menghasilkan figur wakil rakyat yang kredibel dimata rakyat belum tentu akan jadi. Tidak adanya pembatasan sumbangan dana untuk kampanye politik membuka peluang investasi saham yang dilakukan oleh para konglomerat korup (juga broker anggaran, red.) dan ke bawah bisa digunakan untuk money politics. Dan peluang ini sekali lagi dimiliki oleh partai-partai besar warisan orde baru tersebut.

Simpulan dari realitas politik nasional

Dengan kondisi yang serba loss-loss ini baik dari tingkatan elit maupun rakyat serta sisitem aturan yang berlaku maka Pemilu akan sulit untuk menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Lebih berbahaya lagi, nasib perjalanan reformasi kita menemui kebuntuan sehingga proses transisi demokrasi kita juga akan berbalik arah ke status quo Orde Baru kembali.

LALU….., Apa yang bisa dilakukan Gerakan Mahasiswa?

Gerakan mahasiswa yang selama ini menempati wilayah yang diuntungkan di mata masyarakat masih mempunyai peluang yang besar untuk mengontrol perjalanan politik elit. Karakter oposisi yang melekat menjadi potensi untuk melakukan deorientasi kesepakatan-kesepakatan politik elit yang sudah terjadi sejak lama. Ini akan menjadi peluang yang cukup besar bagi gerakan mabhasiswa melakukan perubahan pada Pemilu.

Akan tetapi, ada beberapa syarat yang harus dimiliki oleh gerakan mahasiswa agar dapat membuat polarisasi persepsi poltik masyarakat, yaitu :

Pertama: Soliditas gerakan mahasiswa itu sendiri, baik pada tingkatan perspektif maupun di action atau program. Sejarah '98 menjadi semangat yang perlu dibangkitkan kembali, sebab tanpa soliditas ini gerakan mahasiswa akan selalu dituduh bertindak partisan.

Kedua : Soliditas gerakan mahasiswa dengan masyarakat. Kita sekarang sedang bergerak mengatasnamakan rakyat tapi merupakan ironi kalau kita dengan rakyat sendiri terdapat jurang pemisah yang terlalu tinggi. Gerakan mahasiswa tanpa partisipasi rakyat hanya akan seperti kereta lokomotif tanpa diikuti oleh gerbong-gerbong kepentingan rakyat.

Ketiga : Gerakan mahasiswa harus menguatkan jaringan dengan NGOs, Pers dan tokoh-tokoh masyarakat. Ini sangat penting karena mereka adalah beberapa ikon penting dalam proses demokrasi kita. Dengan mampu menjalin hubungan aktif progesif bersama mereka maka kita akan semakin mudah dan tidak terlalu kehabisan energi untuk menggerakkan rakyat mengontrol elit.

Tawaran Program

Kebuntuan proses politik yang ada sekarang jalan satu-satunya adalah dengan membangunkan kekuatan demokrasi sesungguhnya yaitu penyadaran kepada rakyat. Karena hanya dengan pencoblosan suara dibalik bilik suara itulah yang mampu merubah konspirasi elit politik dalam berebut kekuasaan dengan membohongi rakyat.

Setelah prasyarat yang saya paparkan di atas terwujud, ada beberapa tawaran program yang bisa kita lakukan, seperti:

(1). Membuat semacam Political Parties Perception Index (P3I). Transparansi Internasional pernah mengeluarkan Coruption Index, yang memuat stratifikasi mana negara terkorup, korup, dan mana negara yang bersih dari praktek korupsi. Dan ini cukup efektif untuk mempengaruhi  persepsi masyarakat dunia tentang sebuah negara.

P3I nanti bisa memuat kriteria partai ideal yang kemudian dilakukan survei kepada masyarakat. Setelah itu hasilnya diblow-up melalui media sehingga bisa digunakan untuk merubah persepsi masyarakat tentang figur tokoh politik dan track record partai politik.

(2) Penyadaran politik pemilu (Voter Education) kepada masyarakat

Ini bisa dilakukan dengan aktivitas pemberdayaan masyarakat di gerakan mahasiswa, atau penyuluhan yang lain, menyebar pamflet-pamflet, selebaran, ceramah-ceramah, pendidikan, media massa, dll.

(3) Pengontrolan terhadap perkembangan politik pemilu

Ini  dilakukan dengan pengkajian bersama kemudian bisa ditindaklanjuti dengan aksi demo atau dalam bentuk lain.

Contoh : seumpamanya Konvensi partai Golkar memutuskan Akbar Tandjung sebagai capres dari PG maka kita akan menolaknya dengan tegas karena dia seorang yang telah melakukan perbuatan tercela tindak pidana korupsi, atau mengontrol proses hukum di MA agar terhindar dari mafia peradilan yang bisa membebaskan Akbar Tandjung. Dan masih banyak alternatif kasus lainnya.

Beberapa program di atas menjadi tawaran untuk mengubah prediksi politik para elit oportunis dan proses reformasi kita punya peluang terselamatkan sehingga transisi demokrasi dapat segera kita selesaikan untuk menuju masyarakat yang lebih demokratis.

Wallahu A’lam.







[*] Makalah disampaikan pada acara diskusi “Gerakan Mahasiswa dan Pemilu 2004”dalam Forum Kajian Islam dan Masyarakat Yogyakarta, 20 Agustus 2003 di Ruang Aula II IAIN Sunan Kalijaga.




[**] Ketika menulis makalah ini, penulis masih tercatat sebagai Mahasiswa FH UGM, Ketua Bidang Kajian Strategis KAMMI DIY. Saat ini terjun di dunia politik sebagai staf ahli Presiden Partai Keadilan Sejahtera.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar