15 Maret 2013

[BUKU] Gerakan Islam dalam Tegangan Modernitas

GambarJudul Buku  : A Fundamental Fear: Eurocentrism and The Emergence of Islamism

Penulis      : Bobby S. Sayyid

Penerbit  : Zed Books, London

Tahun Terbit : 1997

Tebal : 179 halaman

Peresensi : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)
 -Ia tak bisa tampil sendiri; ia harus ditampilkan- (Edward Said)

APA artinya menjadi gerakan Islam saat ini? Setelah terjadinya peristiwa Arab Spring yang membawa berbagai gerakan Islam masuk pada proses demokratisasi dan pertarungan elektoral, pertanyaan ini layak didiskusikan kembali. Apalagi, dengan kemenangan beberapa gerakan seperti AKP, Ikhwanul Muslimin, atau Salafi dalam Pemilu di beberapa negara,.debat soal gerakan politik Islam kembali menghangat.


Bobby S. Sayyid, seorang pemikir Muslim yang bermukim di Inggris dan ‘murid’ Ernesto Laclau di Essex University, mencoba untuk mengelaborasi pertanyaan tersebut dalam bukunya, A Fundamental Fear: Eurocentrism and The Emergence of Islamism (1997). Sayyid mencoba untuk membongkar, secara epistemologis, pandangan-pandangan keliru soal gerakan Islam dan memberikan sebuah cara pandang baru mengenai ‘bagaimana’ sebenarnya gerakan-gerakan Islam itu –yang ia sebut sebagai ‘Islamis’—mengartikulasikan identitasnya di area modernisasi.

*****

Sayyid berangkat dari sebuah titik pemikiran yang cukup fenomenal di akhir tahun 1970an: Orientalism yang digagas oleh Edward Said (1978). Diakui oleh Sayyid (1997: 49), karya Edward Said tersebut membuka sebuah cara baru untuk mendekati studi-studi tentang Timur Tengah secara lebih kritis. Edward Said-lah yang pertama kali membongkar tradisi keilmuan tentang Timur Tengah di Barat, yang selama ini dikenal sebagai tradisi Orientalism.

Said secara kritis menyatakan bahwa selama ini, literatur-literatur tentang Timur Tengah tidaklah bebas dari ‘nilai-nilai tertentu’. Ia melihat, dari banyak tulisan, pidato hingga karya-karya sastra, ada semacam upaya untuk menampilkan wajah Timur untuk kepentingan Barat. ‘Timur’ ditampilkan sedemikian rupa, dengan deskripsi karikatural, esensialis, dan penuh tendensi, untuk memperlihatkan superiroritas Barat atas Timur. Ia senada dengan Foucault, yang melihat bahwa pada dasarnya teks-teks itu menampilkan hubungan kekuasaan tertentu.

Said berkesimpulan bahwa teks yang membaca Timur Tengah dalam kacamata Orientalis, merepresentasikan sebuah hubungan kekuasaan tertentu yang penuh dengan kepentingan Barat. Analisis Said ini kemudian membawa kita pada sebuah kritik: lihatlah ‘Timur’ secara genuine, bukan pada karya yang sudah di-tampil-kan oleh ‘Barat’.

Pendapat Said ini dikritik oleh Sayyid. Bagi Sayyid, Said telah terjebak pada ‘esensialisme’ –mengoversimplifikasi ‘Barat’ dan ‘Timur’ hanya pada satu cara pandang tertentu (p. 32). Sayyid membedakan dua jenis orientalism (p. 33-34): Weak Orientalism dan Strong Orientalism. Dalam Weak Orientalism, relasi Timur-Barat dipetakan sekadar sebagai relasi knowledge/power, yang melihat tekstualitas sebagai relasi ‘dominasi’ antara Europe dan The Other. Bagi Sayyid, cara pandang ini sangat terbatas karena melihat relasi-relasinya hanya pada sejarah dominasi Barat atas ‘Islam’.

Sementara itu, cara pandang kedua, strong orientalism, analisis diarahkan pada ‘bagaimana Barat membentuk Timur. Dengan cara pandang ini, relasi keduanya dilihat sebagai konstruksi identitas yang adversarial, di mana ‘eksistensi’ Barat hanya dimungkinkan melalui ‘negasi’ atas Timur (Ia melihat ini pada analisis Turner dan Derrida). Sayyid melihat analisis Said gagal melihat kemungkinan untuk melihat orientalisme dalam perspektif ini, yang mana memungkinkan kita untuk melihat bagaimana ‘Timur’ dikonstruksikan oleh ‘Barat’ sebagai sebuah identitas.

Dari kritiknya terhadap Said tersebut, Sayyid beranjak ke sebuah pemahaman tentang ‘Islam’. Mengacu pada analisis Hamid el-Zien yang melihat Islam dalam perspektif antropologi kritis, ia melihat bahwa analisis mengenai Islam pada dasarnya tidak bersifat monolitik. Ada pluralitas tersendiri dalam pembacaan tentang Islam (p. 37).

Dari sini, Sayyid melihat bahwa identitas ‘Islam’ ditentukan oleh artikulasinya (p. 42). Oleh sebab itulah, ia menolak istilah ‘fundamentalis’ yang menurutnya sangat esensialis dalam memandang Islam (p. 43). Ia lebih cocok dengan istilah ‘Islamis’, yang menurutnya lebih merepresentasikan cara pandang discourse untuk melihat Islam yang tidak esensialis.

Meminjam argument dari Zizek, yang sebelumnya juga sudah dibahas oleh Lacan, ia melihat para Islamis sebetulnya berupaya untuk menjadikan ‘Islam’ sebagai centre dari political Order, atau menjadikan ‘Islam’ sebagai master signifier yang mengikat setiap artikulasinya (p. 47) . Bagi para Islamis, ‘Islam’ harus menjadi penanda utama dari setiap artikulasi yang membentuk political order.

Kita kemudian akan mengenal istilah ‘Islam is the solution’ atau ‘penerapan syariah Islam’ –yang digelorakan oleh beberapa gerakan Islam seperti Ikhwanul Muslimin atau Hizb at-Tahrir— (p. 49). Dari sinilah muncul ‘antagonisme’, karena Islam yang mengikat setiap artikulasi dan political order tersebut tidak dapat diterima oleh para non-Islamis. Bagi non-Islamis, master signifier itu pasti bukan Islam, karena ia tidak dapat menempati posisi centre dari political order yang ada.

*****

Beranjak dari analisis tersebut, Sayyid berpindah pada pertanyaan: kapan kira-kira ‘Islam’ tidak lagi menjadi master signifier dan memunculkan terma ‘Islamis’? Dengan melihat diskursus tentang Islam and The State, ia berpendapat bahwa ‘Islam’ menjadi master signifier ketika era Khilafah Usmaniyah (p. 53). Khilafah mengikat dan menetapkan makna ‘Islam’ dalam sebuah institusi yang baku, menjadikan setiap artikulasi di luar itu menjadi tidak mungkin. Ini yang ia sebut Lawgiver (p. 55).

Namun, ketika Kemal Attaturk mengabolisi Khilafah dan menggantinya dengan sistem negara sekuler, makna Islam tersebut ‘buyar’. Kemalism menjadi hegemonic discourse tentang Islam, menjadikan ‘makna Islam’ harus sesuai dengan kerangka ‘modernitas’. (p. 59).

Kemalism ini bertahan sebagai hegemonic discourse di Turki selama bertahun-tahun. Namun, ia melihat kecenderungan serupa di beberapa negara pasca-kolonial, di mana discourse tentang modernitas menjadi sangat signifikan untuk melihat relasi ‘Islam and the State’ atau Islam dalam Political Order yang ada (p. 70). Kecenderungan serupa diperlihatkan oleh rezim Pahlevi di Iran atau Quasi-Khalifah di Arab Saudi yang menempatkan Islam sebagai ‘agama’ yang asing dengan politik.

Islam memang diterapkan sebagai basis legitimasi negara (dengan apparatus ulama, simbol syariah, dan sejenisnya), tapi tidak mengikat discourse lain semisal pembangunan ekonomi atau politik. (p. 72). Dengan demikian, hegemonic discourse-nya tetap modernitas. Hal ini terjadi sampai, kira-kira, ketika Ayatollah Khomeini dan pengikut Syiah-nya menggetarkan dunia dengan revolusi di Iran.

Khomeini memberikan sebuah cara pandang baru yang mencoba untuk mendislokasi hegemonic discourse yang ada. Dengan revolusi Islam-nya, ia bertujuan tidak untuk menciptakan dialog dengan ‘Barat’. Ia bertujuan mengganti tatanan politik yang ada dengan Islam (p. 89). Khomeini, dengan demikian, men-decenter Kemalism sebagai satu-satunya discourse yang mungkin menjadi political order di negara-negara Muslim.

Kerangka Islam yang ditampilkan oleh Khomeini inilah yang menjadi ciri khas Islamism: bertujuan untuk decentring the west dari posisinya sebagai diskursus hegemonik, dan menjadikan Islam sebagai ‘penanda utama’ dari political order yang ada. Dengan kata lain, Islamism merupakan alternatif dari diskursus tentang ‘modernitas’ yang selama ini dipandang sebagai satu-satunya jalan menuju kemajuan (p. 88).

Dengan cara pandang ini, Islamism merupakan sebuah artikulasi identitas. Dengan menggunakan Sayyid, kita bisa menjadikan Islamism sebagai sebuah artikulasi yang ‘menantang’ modernitas sebagai konstruksi dominan tentang Islam. Islamism sebagai kritik terhadap modernitas mengantarkan kita pada sebuah pembacaan yang disebut ‘post-modern terhadap Islam, di mana klaim-klaim bahwa ‘modernitas’ harus berkiblat pada ‘Barat’ (Eurocentrism) harus diruntuhkan, karena ia punya tendensi diskursif untuk mengeksklusi ‘yang-lain’ (p. 106).

Dengan menantang Eurocentrism, Islamism bukan lagi menjadi sebuah ‘cara untuk kembali ke masa lampau’ sebagaimana dituding oleh Bernard Lewis atau Bassam Tibi’. Islamism berarti sebuah upaya untuk mendisartikulasi modernitas dari klaimnya tentang ‘West knows Best’ dan menempatkan posibilitas lain tentang masa depan dunia (p. 111). Islamism adalah sebuah upaya untuk decentring the west yang selama ini dikenal dan diafiliasikan dengan postmodernisme (p. 119).

*****

Buku ini ditulis oleh seorang ilmuwan mazhab Essex –yang dikenal dengan tradisi Discourse Analysis yang sangat kuat. Sayyid telah sedikit banyaknya membuka pandangan kita mengenai gerakan-gerakan Islam kontemporer yang kini sedang mengambil momentum demokratisasi di Timur Tengah. Selama ini, gerakan-gerakan Islam, baik yang moderat seperti AKP di Turki atau Jihadi di Mesir dan Afghanistan, lebih sering diposisikan secara politis daripada akademis. Mereka dipandang, dengan cara pandang yang sangat orientalis, sebagai ‘ancaman’ terhadap tata dunia yang beradab dan dicita-citakan Amerika Serikat.

Menarik jika kita membaca analisis Mahmood Mamdani (2002) tentang ‘Good Muslim and Bad Muslims’. Analisisnya tentang ‘Muslim’ setelah tragedy 9/11 memperlihatkan bahwa diskursus tentang Islam telah dibelah oleh kepentingan politik luar negeri Amerika Serikat: ada profil ‘good muslims’, yang diceritakan sebagai muslim yang moderat, cinta-damai, dan tidak berorientasi kekerasan (jihad), sementara ada orang-0rang lain yang dicitrakan sebagai ‘Bad Muslims’ yang menggelorakan jihad, menentang imperialism Amerika Serikat, atau kritis terhadap Barat.

Sebagai konsekuensinya, kita bisa melihat citraan mengenai ‘Islam Moderat’ mendominasi berbagai diskursus dari akademik hingga politik luar negeri. Upaya beberapa negara seperti Indonesia, yang melihat Islam Moderat sebagai sesuatu yang mesti dibawa keluar, mencerminkan adanya diskursus hegemonik yang melihat Islam harus sesuai dengan kerangka modernitas, dan mengeksklusi cara pandang lain yang menentangnya.

Analisis Sayyid telah memperingatkan kita secara dini untuk tidak terjerembab terlalu dalam pada jebakan cara pandang tersebut. Dengan melihat Kemalism sebagai hegemonic discourse tentang Islam, menjadi penting bagi kita untuk bersikap lebih kritis. Islam tidak bisa dipandang secara esensialis, hanya sebagai sebuah upaya untuk kembali pada peradaban primitif yang sekarang sudah tidak relevan lagi.

Sehingga, upaya berbagai gerakan Islam yang mencoba untuk ‘menikmati demokrasi’ –sebagaimana dikatakan seorang tokoh Islamis Indonesia— tidak dilihat sebagai upaya ‘membajak’ demokrasi untuk kepentingan Islamis, tetapi justru sebagai sebuah artikulasi tentang Islam; upaya menjadikan Islam sebagai centre dari political order yang ada.

Buku setebal 178 halaman ini sangat menarik untuk dibaca oleh para penstudi dan aktivis yang mendalami gerakan politik Islam kontemporer. Dengan bahasa Inggris yang mudah dibaca dan sistematis, buku yang ditulis oleh Bobby Sayyid ini mampu memberikan gambaran filosofis mengenai Islamism secara komprehensif.

Hanya saja, analisis Sayyid sangat epistemologis, sehingga karyanya tidak menyajikan gambaran kasus yang real tentang gerakan Islam kontemporer. Analisis Sayyid akan sangat berguna bagi para periset gerakan Islam, namun menyusahkan bagi mereka yang ingin tahu lebih dalam bagaimana gerakan-gerakan Islam tersebut mengartikulasikan identitasnya. Riset yang lebih komprehensif akan membantu kita untuk meng-clear-kan masalah tersebut.

Semoga, dengan analisis ini, hantu-hantu orientalisme yang kerap menghantui pikiran kita dalam melakukan studi atas Gerakan Islam, bisa segera di-ruqyah dan diusir dari kajian-kajian kita.

*) Penulis adalah Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural

Tidak ada komentar:

Posting Komentar