28 Maret 2013

[BUKU] Mencintai 'Aktivisme' dengan Sederhana

GambarJudul buku          : Aktivisme Sekejap dan Lenyap (Menakar Demoralisasi Mantan Aktivis Mahasiswa)
Penulis                : Dedy Yanwar Elfani
Tebal buku          : 125 halaman; 14,5 x 20,5 cm
Penerbit              : Diandra Pustaka Indonesia
Terbit                 : Maret 2013
Harga                 : Rp 30.000,-
Peresensi          : Ahada Ramadhana *)
"Sinisme masyarakat dengan tuduhan mereka tidak konsisten, pragmatis, syahwat kekuasaan tidaklah proporsional dan terkesan dipaksakan. Sah-sah saja para mantan aktivis mahasiswa berpolitik praktis karena tidak ada aturan moral dan hukum yang melarang. Semua warga negara berhak dan mempunyai kesempatan politik yang sama. Yang bermasalah bukan pada sisi pilihan masuk politik praktis, tapi di mana dia masuk? Bagaimana dia masuk? Dan apa yang diperbuatnya setelah masuk?"

Buku “Aktivisme Sekejap dan Senyap” karya Dedy Yanwar Elfani ini tidak bermaksud menghakimi kehidupan para aktivis mahasiswa pasca kampus. Juga tidak sedang memihak masyarakat yang mencemooh demoralisasi para mantan aktivis mahasiswa. Pilihan mantan aktivis mahasiswa untuk masuk ke politik praktis tidak serta merta membolehkan kita mencap hitam mereka.
Keseriusan penulis menggarap buku ini terlihat dari sejumlah referensi yang digunakan, terhitung sebanyak 37 buku, 2 media masa harian, serta 2 website resmi. Sumber-sumber yang dipakai adalah khas keindonesiaan, tidak melulu Qur’an dan Hadis yang (cenderung)  dijauhi oleh para aktivis mahasiwa masa kini yang lebih gandrung dengan logika. Sebagian besar referensi yang digunakan adalah yang khas keindonesiaan sehingga lebih mudah dicerna dn dapat diterima oleh berbagai gerakan mahasiswa di Indonesia. Meskipun sebenanya penulis adalah seorang kader KAMMI yang mana gerakan ini kental dengan nuansa timur tengahnya.
Kritik tersirat terhadap kader KAMMI (secara personal bukan secara organisasi) terdapat dalam paragraf di bawah ini. Penulis mengambil contoh fenomena gerakan mahasiswa terdahulu yang bernama KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Dimana kita tahu bahwa tidak sedikit kader KAMMI yang (secara personal) pro terhadap partai politik tertentu. Penulis bermaksud memberi penyadaran tentang seperti apa seorang aktivis mahasiswa seharusnya.
Tindakan immoral pertama elit KAMI adalah masuk dalam politik praktis (DPR-GR) tanpa meninggalkan statusya sebagai aktivis mahasiswa. Padahal kita tahu fatsun politik mahasiwa adalah politik moral force, dan bukanlah politik praktis. Bebas saja berkecimpung dalam politik praktis, asal melepas terlebih dahulu baju aktivisnya. Posisinya sebagai aktivis mahasiswa sekaligus politisi senayan, akan membuat gerakan mahasiswa bias, tidak bisa lagi objektif. Padahal politik mahasiswa diharapkan menjadi check and balance terhadap pemerintahan. Aktivis mahasiswa sekligus politisi, satu bentuk ketidakadilan, karena menempatkan sesuatu (mahasiswa) tidak pada tempatna (perannya). (hal. 50-51)
Kritik juga diberikan kepada HMI “Pembaharuan” (yang kini dijuluki HMI Dipo) yang mana para mantan aktivisnya banyak terseret penyimpangan moral dalam kiprah politiknya, baik moral keadilan maupun kemanusiaan. Beberapa nama disebutkan di dalam buku ini.
Dominannya mantan aktivis HMI di Golkar yang sekarang berubah menjadi Partai Golkar, tampaknya tidak merubah orientasi Golkar identik dengan cita-cita HMI. Mungkin benar pandangan Syamsir Alam, kecenderungannya justru alumni HMI yang tergolkarkan daripada sebaliknya. Anomali moral Golkar seperti korupsi telah mengkontaminasi sejumlah mantan aktivis HMI. (hal. 57)
Bagian 1 “Pendahuluan”, penulis mengajak kita untuk memandang aktivisme mahasiswa sebagai sesuatu yang “apa adanya”. Meluruhkan persepsi megalomania gerakan mahasiswa, juga ingin menjernihkan persepsi mengenai aktivisme mahasiswa, bahwasanya demoralisasi atau kecacatan aktivisme mahasiswa adalah deviasi (penyimpangan), bukan genuine value. Bagian 2 ”Menjernihkan Aktivisme Mahasiswa”. Berisi pemaparan tentang gerakan mahasiswa yang pada dasarnya berniat baik: sebagai pelopor, gerakan moral, pengarah perubahan. Digambarkan pula aktivisme mahasiswa sebagai suatu objek yang “didzalimi” oleh pemerintah padahal gerakan mahasiswa membawa nilai-nilai positif. Gerakan mahasiswa sebagai pendidik moral karena sistem pendidikan yang ada tidak memfasilitasi. Bagian 3 “Demoralisasi Mantan Aktivis Mahasiswa”. Penulis memberi pandangan tentang nilai-nilai kebaikan yang harus ada pada diri aktivis mahasiswa: etika, moral, keadilan, kemanusiaan,
Bagian 4 “Menelusuri Jejak Deviasi Moral”. Dipaparkan dalam bagian ini mengenai fenomena aktivis mahasiswa. alur kehidupan yang pada awalnya berorientasi pada perjuangan (heroik) namun pada akhirnya takluk pada kekuasaan. Banyak pihak/ nama  mantan aktivis mahasiswa yang mengalami demoralisai disebut dalam bagian ini. Aktivis mahasiswa di masa lalu diceritakan di sini: angkatan 1945, 1966, 1998.
Dalam Bagian 5 kita akan temui bahasan mengenai “Membendung Arus Demoralisasi”. Bagian ini semakin menarik, diungkapkanya analisa penulis tentang penyebab demoralisasi yang dibagi ke dalam dua faktor: internal dan eksternal. Perlu dibedakan antara “mantan aktivis” dengan “mantan aktivis mahasiswa”. Demoralisasi yang banyak dibahas dalam buku ini adalah kepada mantan aktivis mahasisw, yaitu mereka yang dulunya semasa mahasiswa menjadi aktivis, maka ketika pasca mahasiswa diberilah sematan “mantan aktivis mahasiswa”. Sedangkan “mantan aktivis” adalah sebuah istilah yang tidak seharusnya ada. Menjadi mantan aktivis berarti telah meninggalkan misi perjuangan secara total, membentuk diri yang inkonsistensi moral. Kita sedang diajak melihat secara substantif, meskipun sudah tidak menjadi aktivis mahasiswa namun diharapkan tetap memiliki semangat perjuangan layaknya aktivis. Sehingga penulis cantumkan sub bagian “Tidak Ada istilah Mantan Aktivis!”.
Bagian 6 “Menyiapkan Masa Depan”. Ada 4 fase kepemimpinan menurut sudut pandang penulis berdasarkan diskusinya dengan Dahlan Iskan. Fase kepemimpinan keempat merupakan fase yang belum terjadi, dan harapan penulis adalah fase kepemimpinan ini menjadi masa depan kita: fase kepemimpinan berintegritas. Bagaimana cara mencetak pemimpin berintegritas? Gerakan mahasiswa adalah jawabannya, ini diungkapkan dalam sub bagian “Gerakan Mahasiswa Masih Menjadi Aset Penting Bangsa”. Tidak sedikit tokoh yang disebutkan dalam bagian ini. Nama-nama tersebut kemudian diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori: pemimpin politik, pengusaha murni, kalangan intelektual, intelektual pitikus, intelektual muda potensial. Ini menunjukkan bahwa penulis adalah seorang yang luas wawasan tokohnya.
Analisa penulis bahwa mindset yang salah tentang aktivis mahasiswa harus diubah. Menempatkan aktivisme terbatas pada masa mahasiswa atau menjadikan aktivisme hanya sebagai lompatan meraih kekuasaan adalah salah. Sub bagian akhir dari buku ini adalah “KAMMI: Butuh Waktu Pembuktian”. Di sinilah kelemahannya, terlihat tendensi golongan si penulis. Padahal akan lebih baik jika penulis memberi ending yang lebih general, berupa harapan-harapan yang ditujukan kepada beberapa gerakan mahasiswa yang ada di Indonesia sesuai karakter/ fokus aktivismenya. Karena kita harus sadari pentingnya untuk membangun komunikasi dan kerjasama yang baik antar gerakan mahasiswa, fastabiqul khairat bukannya saling tikam. Berada di sebuah gerakan mahasiswa, berkontribusi di dalamnya untuk Indonesia, lalu sikap yang perlu dibangun adalah ‘tidak merasa benar sendiri’.
Menatap banyak noda hitam yang dijatuhkan sejumlah mantan aktivis mahasiswa. Bukanlah untuk disesali, namun untuk dijadikan pelajaran yang berharga tentang pentingnya menjaga integritas. Dan juga bukan untuk dibela-bela hanya karena fanatismenya kepada organisasi gerakan. Aktivis mahasiswa harus objektif, mengatakan salah adalah salah walaupun itu datang dari senior gerakannya sendiri.
 *) Peresensi adalah Ketua Bidang Humas KAMMI UII

Tidak ada komentar:

Posting Komentar