28 Maret 2013

[BUKU] Jalan yang Harus Ditempuh

GambarJudul Buku       : Ma’alim fi ath-Thariq: Petunjuk Jalan yang Menggetarkan Iman
Penulis             : Sayyid Quthb
Penerbit           : Darul Uswah (kelompok ProU Media)
TahunTerbit     : Cetakan ke-4 (Maret 2012)
Tebal                 : 354 halaman
Peresensi        : Nur Ailin
JUDULNYA "Petunjuk Jalan yang Menggetarkan Iman", Penerjemahnya mengaku, di bagian pendahuluan buku, bahwa ia merasa tidak sanggup menceritakan buku yang telah menggetarkan iman para pejuang Islam ini. Buku yang ditulis oleh seorang tokoh Ikhwanul Muslimin, Sayyid Qutb, ketika ia masih berada di penjara Nasser dan menunggu detik-detik kesyahidan di tiang gantungan.

Sama halnya dengan penerjemah buku Ma’alim fi ath-Thariq ini, saya pun merasa tidak mudah mengisahkan kembali seperti apa Sayyid Quthb bertutur dalam salah satu master piecenya ini. Sungguh bukan sebuah hal yang berlebihan jika kemudian karya ini dilabeli dengan treble title sekaligus: best seller; buku yang direkomendasikan; dan terlarang versi intelijen.
Satu lagi. Tahukah Anda, mengapa Sayyid Quthb menjadi tahanan rezim Jamal Abdul Nasser? Keberanian Quthb menelurkan Ma’alim fi ath-Thariqini pula yang membuat pemerintah zalim itu kehabisan kesabarannya. Hingga akhirnya beliau dan pejuang lain syahid di tiang gantung. Lalu, apa gerangan yang penulis tafsir Fi Zhilal Qur’an ini sampaikan di dalam buku tersebut?
Sejak lembaran-lembaran awal, buku ini secara sengaja ditambahi suplemen kisah dramatis detik-detik terakhir eksekusi mati Sayyid Quthb tahun 1966. Kisah nyata yang membuat dua orang polisi yang menyaksikannya tobat pasca eksekusi. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri ketegaran Sayyid Quthb dan para pejuang lain syahid di tiang gantung.
Memasuki pembahasan awal penjabaran hakikat akidah menjadi concern utama buku ini. Namun, yang membuatnya berbeda ialah nuansa harakah yang amat kental terasa. Jika banyak penulis lain membahas akidah dengan menimbulkan kesan statis, berhenti di dalam relung hati pribadi Muslim.Maka, berbeda dengan Ma’alim fi ath-Thariq ini. Bangunan akidah seorang Muslim yang bermula dari saripati kalimat tauhid La ilaaha illallah didorong oleh Sayyid Quthb untuk lebih dinamis. Artinya, akidah yang sudah tertanam dan mengakar kuat harus dilanjutan dengan kerja dalam satu sistem masyarakat organik demi terciptanya masyarakat dan peradaban Islami.
Agaknya tema besar dan krusial ini dipilih Sayyid Quthb sebagai kritik pedas terhadap rezim otoriter nan sekular saat itu. Ini tercermin dari banyaknya pembahasan mengenai seperti apa sebenarnya tatanan hidup yang Allah SWT perintahkan. Dengan bahasa argumentatif yang bernas, aktivis Ikhwanul Muslimin ini berusaha meyakinkan bahwa sebenarnya kehidupan mereka saat itu masih jahiliyah. Status legal formal Islam sebagai agama mayoritas bukanlah ukuran. Hal ini karena pemerintah tak lagi mengindahkan syariat Islam secara menyeluruh. Alhasil, prinsip kemanusiaan yang mereka gembor-gemborkan juga omong kosong.
Sekilas memang amat berat yang Sayyid Quthb ketengahkan mengenai pemerintah dan segala aturan yang diberlakukannya. Hal ini menjadi yang mungkin sekarang “terpaksa” menjadi cita-cita jangka panjang banyak aktivis Islam. Namun, di bagian lain buku ini nampak bahwa memang perlu serangkaian pentahapan menuju ke sana. Namun, pentahapan tersebut haruslah (lagi-lagi) haruslah dinamis.
Selain ihwal negara dan pemerintahan, buku ini pun menyinggung secara singkat namun padat mengenai keluarga sebagai sendi utama pembentuk masyarakat Islami. Pembahasan ini masuk di bab 7 “Islam dan Peradaban” yang secara umum merupakan penjabaran dari bab-bab sebelumnya. Dikatakan oleh Sayyid Quthb:
Ketika yang menjadi sendi utama masyarakat adalah “keluarga”, sementara dalam keluarga ini berlaku pembagian tugas antara suami-istri, dan pendidikan untuk generasi penerus menjadi prioritas utama keluarga, maka masyarakat ini—yang berada di bawah naungan manhaj Islami—menjadi lingkungan tempat tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai dan moralitas kemanusiaan dalam generasi muda. Nilai-nilai dan moralitas ini mustahil tumbuh di dalam satuan komune lain, selain komune keluarga” (hal. 214)
Ya, buku ini memang tak hanya mengulas urgensi, tuntutan, dan tuntunan pembentukan suatu tatanan peradaban (lebih luas daripada pemerintahan) Islami. Dalam beberapa bagian, penulis pun amat menekankan untuk menegasikan unsur-unsur jahiliyah mulai dari tingkat diri sendiri, keluarga, hingga akhirnya masyarakat secara umum. Sebagai contoh, pembahasan keluarga ini muncul karena dianggap sebagai sarana counter paling efektif terhadap budaya free sex dan hubungan lain yang hanya berlandaskan kenikmatan sesaat.
Setelah itu, di beberapa segmen akhir pembahasan mengenai akidah sebagai sumber kebudayaan, identitas asasi, dan titik tolak transformasi total. Terakhir, Sayyid Quthb menutup risalahnya ini dengan mengajak kita  menekuri sunnatullah bahwa jalan perjuangan menuju apa yang diidamkan ini acapkali amat terjal dan berduri. Namun, kata Sayyid Quthb, firman Allah SWT berikut sepatutnya cukup menjadi pegangan bagi kita:
Janganlah kalian bersikap lemah, dan janganlah (pula) kalian bersedih hati, karena kalianlah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kalian orang-orang yang beriman” (QS Ali-Imran: 139)
Maka, bagaimana dan apapun risiko yang mungkin menghadang harusnya siap dihadapi oleh para pengemban dakwah. Tegarlah dan bersiaplah menerima setiap tahapan “pembalasan” Allah jika kita istiqomah hingga akhir hayat.
“Sebagai balasan dari Allah, mereka akan menerima “uang muka” berupa: ketentaraman hati, perasaan bangga, konsepsi yang indah, lepas dari segala ikatan dan daya tarik, serta kebebasan dari rasa takut dan gelisah, dalam situasi apapun.
Kemudian, mereka akan menerima “pembayaran kedua” yang berupa pujian, sanjungan, dan penghormatan, dari alam malaikat, yakni setelah mereka diselubungi bumi yang sempit ini.
Dan terakhir, mereka akan menerima “pelunasan-Nya” di akhirat, yakni berupa hisab (perhitungan amal) yang ringan dan kenikmatan yang tiada tara. Satu hal lagi yang nilainya lebih besar, yang menyertai semua itu, yakni ridha Allah.” (hal. 345)
Oleh karena itu, buku Ma’alim fi ath-Thariq (rambu-rambu petunjuk jalan) ini amat penting untuk menjadi salah satu referensi pribadi Muslim yang idealnya paham betul mengenai jalan yang seharusnya ditempuh sebagai khalifah di bumi. Semoga bermanfaat.
*) Peresensi adalah Ketua Bidang Kaderisasi KAMMI Madani, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar