11 Maret 2013

KAMMI dan Gerakan Koperasi (Makalah Diskusi "Sabtuan" di KAMMI UIN)

Oleh : Dharma Setyawan[1]

Pegiat Forum Diskusi Kultural Lampung, Kuliah di Yogyakarta
 “Pemerintahan berwatak oligarki, kebebasan sebagai paket demokratisasi tidak selalu mengarah pada kesetaraan, tetapi bisa juga memperlebar ketidaksetaraan. Liberalisasi politik yang memacu liberalisasi pemilikan dan perusahaan, dalam lebarnya ketimpangan sosial, bisa memperkuat dominasi pemodal besar. Pertumbuhan ekonomi tidak diikuti oleh pemerataan. Dalam memperkuat dominasinya, para pemodal bisa menginvasi prosedur demokrasi”. (Yudi Latif)

Keadilan sosial inilah protes kita yang maha hebat kepada dasar individualism..maka oleh karena itu jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan Negara kita ini dengan faham kekeluargaan, faham tolong menolong, faham gotong royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualism dan liberalism dari padanya”. (Soekarno)

580695_3878319410145_901819808_n

Kelas Menengah?

McKinsey Global Institute memperkirakan jumlah kelas menengah Indonesia bakal mencapai 135 juta pada 2030 dari saat ini sekitar 50 juta orang.  Lembaga ini menyebut kelas menengah sebagai “consuming class”, yakni individu yang berpendapatan minimum US$ 3.600 per tahun. Dalam laporan terbarunya, Boston Consulting Group (BCG)  memproyeksikan, jumlah konsumen kelas menengah di Indonesia akan mencapai 141 juta jiwa pada 2020. Jumlah ini meningkat hampir dua kali lipat dibanding 2012 yang sekitar 74 juta orang. BCG mendefinisikan kelas menengah adalah warga yang berpenghasilan minimum Rp 2 juta per bulan. Pada 2020, Euromonitor International juga yakin kelas menengah di Indonesia bakal mencapai 58 persen dari jumlah penduduk.

Indonesia sedang mengalami peningkatan kelas menengah. Namun asumsi peningkatan tersebut masih menyisakan tanda tanya besar, siapa dan dimana kelas menengah itu sedang tumbuh? Hatta Rajasa Menteri Bidang Perekonomian (08/03/2013) mengungkapkan dalam seminar kuliah umum bertema ‘Kelas Menengah, Bisnis, dan Politik’ di Pascasarjana UGM Yogyakarta, bahwa Indonesia masuk dalam kategori 16 peringkat dunia dan kelompok G20. Salah satu pemicu tumbuhnya perekonomian Indonesia itu adalah semakin meningkatnya jumlah kelas menengah setiap tahunnya.


Bahkan, pada 2030 diprediksikan jumlah kelas menengah Indonesia akan mencapai 135 juta orang. Disadari atau tidak, peningkatan jumlah kelas menengah di Indonesia bukan hanya berasal dari sisi produktif tapi juga pada daya konsumsi yang masif sehingga terjadi perputaran keuangan besar atas belanja properti, kendaraan dan alat teknologi.

Standar kategorisasi Bank Dunia menyebut, pengeluaran per hari di bawah 2 dollar AS dalam penelitian ini digolongkan sebagai kelas miskin atau sangat bawah, 2-4 dollar AS kelas bawah, 4-10 dollar AS kelas menengah, 10-20 dollar AS mencerminkan kelas menengah atas, dan di atas 20 dollar AS mewakili kelas atas. Hatta juga mengakui bahwa data grafik menunjukkan masih terjadi kerentanan sekitar 70 juta kelas menengah yang dikhawatirkan akan mengikuti kelas miskin yang berkisar 29 juta penduduk. Hal  ini bisa terjadi jika 70 juta penduduk yang sedang beranjak naik tersebut terus menggunakan sikap konsumtifnya dan tidak memikirkan saving masa depan. Kelas menengah Indonesia yang sesungguhnya aman dari gejolak penurunan adalah mereka yang memiliki akses lebih terhadap bisnis secara pribadi dan “koneksi-politik” secara jaringan. Kelas menengah ini mapan karena menguasai sumber-sumber daya alam seperti tambang, hutan, sawit, karet yang diketahui kepemilikannya hingga ribuan hektar.

Pertumbuhan ini diakui masih terjadi kesenjangan yang sangat luar biasa. Yudi Latif menyebut ini sebagai bentuk oligarki kekuasaan (politik dan ekonomi) yang menggunakan mantel demokrasi. Pertumbuhan ekonomi semakin memberi ruang kepada agen capitalis lokal terus menggunakan keran demokrasi sebagai bentuk konsistensi mempertahankan oligarki. Sehingga kita melihat ruang demokrasi berubah menjadi dinasti kekuasaan. Pertanyaan Hatta dalam skala ekonomi yang telah tumbuh ini, apakah kekuatan sosial yang mampu membangun perubahan dengan dampak ekonomi positif? Jawabannya adalah tidak adanya kelas menengah yang tercerahkan. Faktanya sebuah negara tidak cukup mengandalkan dalam bahasa Ali Shariati Intelektual Tercerahkan (Rausyan Fikr) atau Gramsci menyebut Intelektual Organic. Kelas menengah yang tercerahkan ini mereka yang memiliki akses ekonomi sangat besar dan luas namun belum sadar mengangkat kelas bawah untuk diberdayakan secara kreatif. Kelas menengah ini juga mengalami gejala “moh negara” tidak mau terhadap pemerintah tapi haus akses politik.

Demokrasi dan Nation Trap

David M. Smick penasihat ekonomi AS mengungkapkan, Bagi Pasar Finansial, dunia ini melengkung. Kita tidak bisa melihat apa yang ada di balik kaki langit. Hasilnya, jalur pandang kita terbatas. Seakan-akan kita dipaksa berjalan di atas jalur tak beruajung dan berbahaya, dan bergelombang yang dipenuhi lembah terjal dan tanjakan tebing yang curam. Kita tidak bisa melihat kedepan. Kita akan selalu dikejutkan oleh sesuatu, dan itulah mengapa dunia menjadi dunia yang berbahaya.[2]

Ada beberapa hal yang perlu mendapat sorotan bersama atas jebakan yang bisa muncul atas nama pertumbuhan. Pertama, kualitas demokrasi negeri ini masih terfokus pada partai politik. Postur demokrasi kita masih bicara proses prosedural dan belum menyentuh proses substansi. Sejak awal Bung Hatta menegaskan “Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan, Di sebelah Demokrasi Politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada”.[3] Demokrasi yang kita bangun juga mengalami “padat modal”. Watak dasar pengusaha-politisi berpengaruh dalam cara melihat politik sebagai “lapangan akumulasi” atau bahkan lebih jauh lagi dibaca secara kalkulatif sebagai “return of investment”, plus “profit taking” (tempat mengambil untung) untuk persiapan pemilu berikutnya.[4]

Kedua, Kelas Menengah “Sandwich” ungkapan Daniel Dhakidae (2013), yaitu kelas menengah seperti Sandwich yang hanya berkutat pada dirinya sendiri  dan tidak berusaha menarik kelas bawah untuk beranjak naik. Daniel juga mengungkapkan bentuk life style kelas menengah Indonesia dalam 3 ciri yaitu 1) Manja, kelas menengah yang meminta fasilitas mudah. Sehingga yang terjadi adalah bentuk pertumbuhan urban yang berkutat pada fasilitas kota yang padat dan mengalami kerusakan lingkungan. 2) Konsumsi, dimana kelas menengah mengalami gejala konsumsi yang fatal, ditandai dengan lemahnya penguasaan merk dagang dalam negeri bahkan dalam kelas menengah intelektual terjadi publikasi hasil riset yang rendah di bawah Thailand. 3) Konsumtif, dimana terjadi gejala konsumsi yang sangat berlebihan. Mulai dari proses pembelian barang yang sangat nekat walau harus dengan kredit jangka panjang. Mobil, motor, rumah yang mewah atas energi cicilan.

Ketiga, Marginalisasi Rakyat terjadi dalam pertumbuhan ekonomi kita. Hal ini ditandai dengan penguasaan tambang-tambang di daerah yang dikuasi oleh pemodal dan penguasa. Hak Pengelolaan Hutan, Sawit, Karet dan lainnya oleh perusahaan investor dan berujung pada konflik lahan. Selain itu pada tingkat kota kita melihat akses pasar yang tidak berpihak pada rakyat. Pembangunan mall dan “jaringan-mart” yang masif dan membuat terbengkalai pasar tradisional yang semakin tua dan kumuh.

Laba Untuk Rakyat

Ungkapan “Laba Untuk Rakyat” pernah menjadi tema pagelaran budaya oleh Cak Nun dan Kiayi Kanjeng dibacakan dalam pentas musik puisi "Presiden Balkadaba"[5] di Gedung Kesenian Jakarta, Sabtu (20/06/2009). Cak Nun menyatakan,“Aku deklarasikan hari ini, kabinetku bernama kabinet laba untuk rakyat. Seluruh mekanisme kerja dan keputusan pemerintahku harus menuju pencapaian laba untuk rakyat, Siapapun saja yang menghuni tanah Negeriku, siapapun saja yang datang dari luar negeriku, semuanya bekerja dan mengabdi kepada satu hal saja, yakni laba untuk rakyat”.

Dalam tulisannya yang lain Negara Koperasi Cak Nun menyatakan “Kalau tidak dengan koperasi, yang bisa dibangun bukan Negara, tapi gerombolan manusia dengan hukum rimba. Negara adalah rumah kumpulan manusia yang tidak bisa hidup bersama yang sesungguh-sungguhnya hidup bersama kecuali dengan koperasi. Koperasi hati, koperasi akal pikiran, koperasi etika, koperasi sistem, koperasi kesantunan dan kearifan, koperasi kedewasaan, koperasi ilmu dan kebijaksanaan. Koperasi politik yang patuh kepada rohani kenegarawanan, koperasi ekonomi yang menggali ilmu dari sumur kasih sayang, koperasi sosial budaya yang peka terhadap kesedihan dan penderitaan sesama manusia”.[6]

Laba untuk rakyat seharusnya sejalan dengan cita-cita semua elemen bangsa ini untuk memberi porsi besar terhadap keadilan rakyat. Bukti nyata pertumbuhan yang timpang antara desa dan kota menyebabkan desa semakin termarginalkan dan tidak mendapat fasilitas yang baik terutama pendidikan dan kesehatan. Sehingga yang terjadi adalah pertumbuhan kelas menengah yang menarik para pemuda desa sebagai pelaku urban untuk mengadu nasib di kota. Kita melihat Pasar besar seperti mall di kota sangat megah di kota dengan kepemilikan 1 orang, sedangkan pasar tradisional tidak dibangun secara modern oleh Pemerintah. Bank-bank besar dan aliran uangnya hanya mengalir di kota sedangkan Koperasi, UMKM, dan porsi aliran uang di desa berkembang sangat minim.

Sejak dini kita harus mulai siuman kembali tentang wacana untuk gerakan ekonomi rakyat atau laba untuk rakyat. Contoh nyata, Negeri Bangladesh dengan icon tokoh reformis ekonomi-nya Muhammad Yunus mencetuskan “Grameen Bank” (bank untuk orang miskin), Malaysia bersama kemajuannya punya “Malaysian Corporated”, sedangkan Jepang melesat dengan konsep dan kinerja riil “Sogoshosa-nya”, Indonesia harusnya mampu dengan “Koperasi-nya”. Para kapitalis asing dan pribumi terus bergerak di wilayah perburuan rente ekonomi tempat akses ke para pembuat kebijakan mengenai pengelolaan sumber daya alam, perkebunan, infrastruktur dan semua hal yang menyangkut akses pada lahan.[7] Hal ini menyebabkan pertumbuhan kelas menengah tidak pernah mampu mengangkat kelas miskin dari kubangan yang semakin dalam.

Pelaksanaan desentralisasi yang bisa melahirkan sejumlah kebijakan berpihak kepada pengusaha industri kecil tampaknya sulit terwujud sesuai dengan yang diharapkan. Proses penyusunan dan implementasi kebijakan di era desentralisasi ini masih di dominasi penguasa, elite politik, dan elite pengusaha lokal. Pengusaha industri kecil menjadi sekedar objek proses tersebut. Fakta ini menjadi indikasi sebuah bentuk pemerintahan Oligarki.[8]

Kesenjangan ini terjadi akibat Pemerintah kehilangan narasi untuk mengambil porsi rakyat sebagai prioritas, hubungan “patron-klien” menuju singgasana politik sejak awal dikotori oleh proses hutang budi terhadap pengusaha. Politik dalam demokrasi kita masih digunakan sebagai alat mempertahankan akses menikmati rente dan kekuasaan. Sehingga laba untuk rakyat belum mampu menjadi isu strategis karena pengaruh “politik hutang budi” merebak bersamaan dengan oligarki pengusaha dan penguasa. Jamak diketahui, Investasi modal masuk dan menghancurkan tujuan laba untuk rakyat.

Padahal jelas UU N0. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal pasal 12 ayat (5) disebutkan bahwa “penetapan persyaratan bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal didasarkan pada kriteria kepentingan nasional (rakyat), yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkataan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerjasama dengan basan usaha yang ditunjuk pemerintah”.

Meminjam ungkapan Fahri Hamzah, Pemerintah terjebak pada konsepsi “menguasai” dari pada peruntukannya (yaitu untuk kesejahteraan rakyat).[9] Keadilan yang seharusnya dilakukan atas tanah, air, hutan, tambang dan sumber daya lainnya dikuasai oleh negara tapi tidak digunakan untuk kemakmuran rakyat. Ibnu Taimiyah sangat jelas berpendapat tentang tujuan utama pemegang otoritas adalah “untuk mengatur negara dengan adil dan menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada siapa saja yang memintanya dan mengatur prinsip-prinsip esensial dari pemerintahan yang adil (al-siyasah al-adilah) dan lebih mengutamakan kebaikan urusan publik (al-wilayah al-salihah)”.[10]

Kilas Koperasi

Sekilas sejarah koperasi lahir di Rochdale, Inggris pada 21 Desember 1884. Di Nusantara koperasi pertama diperkenalkan oleh R. Aria Wiriaatmadja di Purwokerto, Jawa Tengah dengan mendirikan Hulp en Spaarbank (16 desember 1895) yang didukung oleh birokrat kolonial Belanda E.Sieburg (Asisten Residen di Purwokerto). Selanjutnya gerakan kebangsaan Budi Utomo (1908) dan Sarekat Dagang Islam (SDI) melanjutkan pendirian koperasi sebagai basis ekonomi masyarakat tingkat grass root (akar rumput).

Namun perjalanan Koperasi saat pemerintahan Hindia Belanda tidak mudah, Belanda mengeluarkan aturan UU No 431 untuk memperumit rakyat mendirikan koperasi. Protes dilakukan beberapa gerakan hingga akhirnya pemerintah Hindia Belanda menerbitkan UU No 91 Tahun 1927 yang mempermudah berdirinya Koperasi dengan membayar tiga gulden untuk materasi, boleh menggunakan bahasa lokal, hukum perdagangan disesuaikan dengan kondisi per daerah dan perizinan boleh di tempat.

Koperasi tumbuh kembali, sampai saat Jepang hadir menduduki Indonesia dan mendirikan Koperasi Kumiyai yang menyelewengkan tujuan dengan mengeruk keuntungan dari koperasi yang sebelumnya dibangun rakyat. Sampai kemudian Bung Hatta dan kawan-kawan seperti Niti Sumantri, Kastura, Much. Muchtar, dan Kyai Lukman Hakim, R.S. Soeria Atmaja (Kepala Jawatan Koperasi Pusat), dan R.M. Margono Djojohadikosumo (Presiden Direktur BNI 1946) mencetuskan kongres koperasi pertama di Tasikmalaya tanggal 12 Juli 1947 dan ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia.

Peserta hadir sekitar 500 utusan gerakan koperasi dari Jawa, Madura, Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi. Kongres pertama itu menghasilkan kesepakatan dan dibentuknya Sentra Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) yang pada perkembangannya menjadi Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin). Dalam kurun waktu 10 tahun (1950-1960), koperasi mengalami perkembangan cukup pesat. Bukan hanya jumlahnya melesat dari 1.155 menjadi 16. 601 unit, tetapi keputusan Kongres Koperasi I yang strategis pun terwujud, yaitu berdirinya 8 bank koperasi di 8 provinsi, antara lain Bank Koperasi Priangan di Jawa Barat, Bank Koperasi Majapahit di Jawa Timur, serta Bank Koperasi Indonesia di Jakarta. Namun kemudian koperasi mengalami pembabatan bak ilalang, dimasa orde baru Koperasi di hegemoni oleh kekuasaan sehingga seperti tanaman bonsai boleh tumbuh tapi tidak boleh besar.

Cooperation (Kooperasi) di KAMMI

Kenapa saya menggunakan kata “kooperasi” bukan “koperasi” pada umumnya. Pada ejaan lama kata “koperasi” dalam Indonesia adalah “kooperasi” yang diadopsi dari kata cooperation (kerjasama). Kata ini lebih humanis terdengar dengan budaya lokal bangsa kita. Semangat gotong royong (jawa), sakai sambayan (lampung), rang barang (madura), dan lain sebagainya. Kata koperasi ini dalam alur sejarah menjadi berubah definisi dan terjebak pada kelembagaan struktural yaitu koperasi yang berbentuk badan hukum, pengurus legal, dan bangunan koperasi serta organisasi yang dijalankan. Kata koperasi sebenarnya sangat luas menyangkut tidak hanya lewat jalur ekonomi. Sistem sosial, politik, pendidikan, kebudayaan dan militer zaman lampau lekat dengan makna koperai.

Contoh dalam sosial koperasi (kerjasama) ini berjalan di tengah unsur masyarakat desa dengan membantu satu sama lain tanpa ikatan pamrih. Dalam politik bangsa ini juga jelas bagaimana Pancasila mengutip kata “musyawarah” dalam klausul ke 4 dan mengandung makna ajaran Islam yang kuat. Dalam budaya kita melihat adanya sumbangsih kreatifitas yang diturunkan secara gratis oleh bangsa ini tanpa ada hak paten bayar kepada generasi yang diajarkan. Yang ada di benak para pendahulu kita, bahwa budaya ini adalah karakter yang harus dan terus di wariskan. Walaupun kemudian hari ini menjadi kapitalisasi oleh segelintir kelompok dan menjadikan budaya bukan soal rasa tapi menjadi komoditas berbaur kapitalisme.

Lalu sejauh mana KAMMI memandang koperasi di masa depan? Akhir-akhir ini terjadi distorsi koperasi yang melihat banyaknya gugatan terhadap koperasi abal-abal seperti koperasi langit biru. Distorsi pemahaman dan citra koperasi sebenarnya sudah terjadi sejak Bung Hatta tidak lagi memiliki otoritas kekuasaan sebagai pencetus koperasi pasca-kemerdekaan.

Penyalahgunaan koperasi dilakukan oleh Orde Baru yang selalu mendefinisikan koperasi yang dibangun rakyat dengan strukturalisasi “top-down”. Koperasi yang tumbuh disuapi oleh pemerintah seperti bayi, koperasi tidak hadir oleh kesadaran rakyat, namun koperasi di gagas oleh pusat dan di bantu dengan berbagai macam suntikan anggaran. Yang terjadi adalah koperasi dimiliki oleh segelintir orang yang memiliki akses. Koperasi menjadi “anak manja” ditingkat mikro dan mengalami kebangkrutan akibat perilaku koruptif para pemangku koperasi.

Koperasi dalam cara pandang pendidikan adalah pola mendidik kesadaran masyarakat untuk bekerjasama, bergerak bersama, mengumpulkan modal bersama untuk kesejahteraan bersama. Sebagai Bapak Koperasi Indonesia, Bung Hatta pernah berkata “bukan Koperasi namanya manakala di dalamnya tidak ada pendidikan tentang Koperasi”.

KAMMI Menggagas BMT

Koperasi kini muncul dalam bentuk baru dengan masuknya unsur spiritual. Baitul Mall wat Tamwil (BMT) adalah salah satu lembaga keuangan mikro yang menggunakan prinsip syariah dengan badan hukum koperasi. BMT lebih stabil diandingkan koperasi biasa pada umumnya. Pertamuan Nasional BMT Summit tahun 2012 di UC UGM membuktikan bahwa pemerintah sebenarnya mengapresiasi tumbuhnya Koperasi syariah ini. Hanya saja BMT tidak pernah disebut sebagai penyelamat tingkat mikro saat 2008 terjadi resesi keuangan dunia. Ada beberapa hal yang menarik melihat geliat BMT tumbuh dengan baik.

Pertama, bahwa BMT menggunakan pola koperasi dan memberi kesempatan rakyat kecil memabngun modal. Pasca terbit UU no 17 tahun 2012 tentang Serikat Modal Koperasi (SMK), rakyat mendapat kesempatan untuk memiliki andil aset di bank mikro ini sekecil apapun. UU no 17 tahun 2012 yang baru di sahkan telah memberi kesempatan besar rakyat kecil untuk memiliki saham di Koperasi yaitu dengan membeli sertifikat Modal Koperasi (SMK). Dengan aturan ini rakyat yang akan memiliki Bank-bank kecil ini, jangan diremehkan jika bank-bank kecil ini berkumpul dan rakyat yang memiliki maka akan menjadi besar.

Seperti ungkapan Bung Karno, “Rakyat Berdikari” yaitu rakyat yang berdiri dibawah kaki sendiri “. Dengan Koperasi ini rakyat perlahan di didik untuk sadar merebut modal, sehingga kepemilikan lembaga keuangan tidak jatuh pada segelintir elit atau kelompok. Kita tahu bahwa aset BRI 35 % sudah dikuasai malaysia, sehingga tidak heran jika Sawit di Sumatra di kuasai Malaysia dengan dana rakyat ini akibat pemerintah tidak memberi upaya preventif kepemilikan saham bank oleh pihak asing.

Kedua, BMT berada di bawah Kementrian Koperasi dan UMKM artinya ada keluasaan BMT untuk bergerak sebagai penyelamat modal rakyat yang selama ini di kooptasi Bank dan aliran danya berkutat di kota-kota besar. BMT tidak dalam pengawasan Otoritas jasa Keuangan (OJK) yang superketat dan tidak fleksibel terhadap pemecahan aset. Dengan hadirnya BMT, uang masih mengalir di kawasan pasar tradisional dan menjauhi kooptasi metropolitan. Maka tidak heran jika resesi ekonomi 2008 tidak berpengaruh pada pedagang-pedagang pasar tradisional yang tetap survive berproduksi dan ber-konsumsi. Bahkan 2012 di konferensi Internasional Microfinance SBY diberi gelar Bapak Penanggulangan Kemiskinan.

Anies Rasyd Baswedan sebagai dewan Pakar Perhimpunan BMT se-Indonesia menyatakan,” pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama ini hanya dinikmati oleh sebagian kelompok. Dengan demikian, ketimpangan pembangunan di berbagai daerah membutuhkan perhatian bersama. Masalah yang perlu diselesaikan yaitu ketimpangan akses terhadap modal untuk usaha mikro dan kecil. Posisi BMT sangat strategis sebagai lembaga yang memberikan layanan bagi usaha mikro dan kecil di daerah. Indonesia butuh lembaga seperti BMT yang bisa menjangkau kelompok masyarakat terbawah karena berbasis koperasi atau perkumpulan masyarakat. Berdasarkan laporan sejumlah daerah, masyarakat di pelosok butuh akses keuangan mikro. Sesudah terdidik dan terlayani soal kesehatan, ada kebutuhan modal usaha untuk mengembangkan ekonomi. Jasa layanan syariah itu peluangnya sangat besar”.(Tempo, 07/11/2012)

KAMMI sebagai gerakan nasional perlu dan sadar untuk membangun Bank Mikro atau sejenis BMT sehingga penguasaan “cooperation” bisa dibangun secara nasional setidaknya KAMMI ikut andil dalam praksis sekecil apapun. Di Bangladesh para wanita yang di didik Muhammad Yunus telah membuktikan bahwa orang miskin mampu membuat Bank yaitu “Graamen Bank”. Kini mereka memiliki aset besar dari Grammen Bank setelah puluhan tahun mengangkat perekonomian mereka. Mereka mampu memiliki tabungan yang terus bertambah akibat para Ibu-ibu bersatu membangun modal bersama. Hingga akhirnya tahun 2006 Profesor Muhammad Yunus mendapatkan nobel “Perdamaian Dunia”, karena terobosannya memberi solusi pengentasan kemiskinan di Bangladesh.

Adanya BMT dengan semangat koperasi harusnya disadari seperti di Bangladesh, dimana rakyat melawan keangkuhan Bank. Rakyat harus sadar mereka bersatu, bekerjasama mengelola sendiri uang mereka untuk mereka sendiri. Dengan berkoperasi di BMT masyarakat akan mendapatkan Sisa Hasil Usaha (SHU) tiap tahun dan dana mereka tidak lari di Kota hanya untuk pengusaha-pengusaha besar. Jika ditabung di BMT uang itu akan mengalir ke daerah sekitar saja, tidak akan lari ke kota-kota besar. Dengan uang mengalir di desa-desa maka petani dapat menanam, pedagang kecil dapat berjualan dan lainnya. Jika uang hanya di kota saja, pemuda-pemuda akan berbondong-bondong ke Jakarta mengadu nasib di tempat uang beredar. Negara ini memang aneh, 70 % uang mengalir di Jakarta.

Saatnya KAMMI dan rakyat desa merespon menjadi pejuang merebut modal dengan mulai menabung di koperasi syariah lokal, baik di koperasi atau BMT. Kita juga harus sadar bahwa koperasi ada yang abal-abal, maka BMT pasti ada yang abal-abal yaitu cirinya jika penguasaan aset dimiliki oleh segelintir orang dan dijadikan lahan proyek untuk mendapat bantuan pemerintah tanpa melibatkan anggota mayoritas. Maka membangun koperasi seperti BMT membutuhkan waktu bertahun-tahun dengan konsistensi anggota yang mau berjuang di tingkat mikro.

Menggagas Badan Wakaf KAMMI

Wakaf menjadi kearifan ekonomi yang dicetuskan oleh Intelektual ekonomi Muslim sejak era klasik. Dalam membangun pemberdayaan ekonomi rakyat, wakaf tunai berperan penting dalam membangun modal ekonomi. Wakaf selama ini hanya dipahami masyarakat umum dalam bentuk tanah dan bangunan masjid. Lembaga-lembaga Islam belum cukup maksimal menjadikan wakaf tunai sebagai alternative action dana abadi untuk menggerakkan ekonomi umat. Dalam hadist Rasulullah SAW menyatakan : “Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya atau anak yang shalih yang mendo’akannya”.(Riwayat Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’i dan Ahmad)

Penting bagi kita untuk memahami wakaf tunai sebagai instrumen membangun ekonomi umat. Wakaf Tunai adalah cara cerdas berpahala tanpa batas. Dengan Wakaf Tunai harta kita akan menjadi lebih bernilai karena selama dana itu digunakan untuk jalan kebaikan pahalanya akan terus mengalir. Di negara-negara muslim yang maju seperti malaysia, wakaf tunai adalah potensi untuk pengembangan pendidikan Islam, Lembaga Keuangan Islam, Sosial Islam dan Badan usaha umat Islam.

Pandangan Umar bin Khotob tentang tindakannya memberikan wakaf sebagian kebun kurma mengandung filosofi besar di era kontemporer ini. Kebun kurma menjadi harta Allah namun hasil kebun kurma dibagi untuk mendanai kebutuhan kolektif umat. Bahwa umat Islam memiliki ide membangun dana cadangan bagi umat dimana Allah yang menjadi pemilik sah harta wakaf tersebut dan manusia mendapat manfaat bersama dari asset abadi pengumpulan wakaf tunai dari individu.

Keunggulan Wakaf Tunai adalah: Pertama, Wakaf tunai adalah asset abadi yang menjadi cadangan modal bagi masyarakat yang dapat dikelola secara produktif tidak berkurang tapi semakin bertambah. Kedua, Wakaf tunai adalah upaya mamaksimalkan amal individu untuk dapat dikelola menjadi modal produksi lain seperti zakat yang dapat habis di konsumsi 8 Asnaf. Ketiga, Pengelolaan wakaf tunai semakin bermanfaat dengan prasyarat professional, transparan, dan berdaya untuk ekonomi umat.

KAMMI dalam gerakan nasional sangat mudah untuk melakukannya dengan contoh setiap kader KAMMI di Indonesia mengumpulkan secara sadar wakaf tunai dengan harga Rp50.000,00 per sertifikat wakaf tunai. Jika di kali 10.000 kader maka akan terkumpul Rp.500.000.000 belum kita hitung kader dan alumni yang mampu membeli sertifikat wakaf tunai lebih dari satu sertifikat. Dengan Rp 500.000.000 ini setidaknya KAMMI Nasional mampu membeli tanah untuk Pengurus PP KAMMI yang akan berumur 15 Tahun ini.

Saya menutup tulisan ini dengan kata-kata Pram, “Belajar berdiri sendiri, jangan hanya jual tenaga pada siapapun, ubah kedudukan kuli jadi pengusaha, biar kecil seperti apapun, tak ada modal? Berserikat, bentuk modal, belajar bekerjasama, bertekun dalam pekerjaan”. (Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa).

Daftar Pustaka

Dr.A.A.Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah,  Surabaya, PT Bina Ilmu, 1997

David M. Smick, Kiamat ekonomi Global, Jakarta, Darsa Books, 2009

Edward Aspinall,”Kemenangan Modal? Politik Kelas dan Demokratisasi Indonesia”, (dalam majalah Prisma “Perselingkuhan Bisnis & Politik, Kapitalisme Indonesia Pasca-Otoritarianisme”, Prisma Vol. 32, No. 1, 2013, Jakarta, LP3ES)

Emha Ainun Najib, Negara Koperasi, lihat di http://www.adzkiyacentre.com/2013/01/negara-koperasi.html

Fahri Hamzah, Negara, BUMN dan kesejahteraan Rakyat,  Jakarta, Yayasan Faham Indonesia, 2007

Hempri Suyatna,”Dominasi Elite Lokal dalam Arena Pengembangan Industri Kecil di Era Desentralisasi”, (dalam majalah Prisma “Perselingkuhan Bisnis & Politik, Kapitalisme Indonesia Pasca-Otoritarianisme”, Prisma Vol. 32, No. 1, 2013, Jakarta, LP3ES)

Muhammad Hatta, Demokrasi Kita, 1960 (Dalam Swasono dan Ridjal, ed. 1992 Muhammad Hatta: Demokrasi Kita, Bebas aktif, Ekonomi Masa Depan. Jakarta : UI Press)
Catatan Kaki






[1] Direktur Eksekutif Adzkiya Centre (pusat kajian dan penelitian ekonomi syariah, koperasi, dan green economics),, Mahasiswa S2 Universitas Gadjah Mada, sesekali menulis di media cetak dan online. Website: www.dharmasetyawan.com dan www.adzkiyacentre.com, email : dharmasetyawan@rocketmail.com




[2] David M. Smick, Kiamat ekonomi Global, Jakarta, Darsa Books, 2009, hal 16, (diterjemahkan dari buku : The world is curved, Portfolio, New York, 2008)




[3] Muhammad Hatta, Demokrasi Kita, 1960 (Dalam Swasono dan Ridjal, ed. 1992 Muhammad Hatta: Demokrasi Kita, Bebas aktif, Ekonomi Masa Depan. Jakarta : UI Press)




[4] AA GN Ari Dwipayana, Tantangan Konsolidasi Demokrasi, (Paper Sarasehan Konsolidasi  Demokrasi Nasional Pemilu 2014 , 21 Februari 2013di Hotel Wisanti Yogyakarta)





[6] Emha Ainun Najib, Negara Koperasi, lihat di http://www.adzkiyacentre.com/2013/01/negara-koperasi.html




[7] Edward Aspinall,”Kemenangan Modal? Politik Kelas dan Demokratisasi Indonesia”, (dalam majalah Prisma “Perselingkuhan Bisnis & Politik, Kapitalisme Indonesia Pasca-Otoritarianisme”, Prisma Vol. 32, No. 1, 2013, Jakarta, LP3ES , hal 28)




[8] Hempri Suyatna,”Dominasi Elite Lokal dalam Arena Pengembangan Industri Kecil di Era Desentralisasi”, (dalam majalah Prisma “Perselingkuhan Bisnis & Politik, Kapitalisme Indonesia Pasca-Otoritarianisme”, Prisma Vol. 32, No. 1, 2013, Jakarta, LP3ES , hal 106)




[9] Fahri Hamzah, Negara, BUMN dan kesejahteraan Rakyat,  Jakarta, Yayasan Faham Indonesia, 2007, hal 43




[10]Dr.A.A.Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah,  Surabaya, PT Bina Ilmu, 1997, hal 223


Tidak ada komentar:

Posting Komentar