18 Maret 2013

Mengubur Politik Ekstra Joss (Makalah Sarasehan Jakarta-3)

disampaikan di Sarasehan Inteligensia KAMMI II di Jakarta, 16 Februari 2013.

oleh: Akbar Tri Kurniawan *)

GambarTIBA-TIBA saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggelar konferensi pers beberapa menit sebelum take off pesawat kepresidenan menuju Jerman dan Hungaria awal Maret lalu. Pidatonya kali ini lebih jelas ketimbang pidato-pidato sebelumnya. “Ada elit ingin menggoyang pemerintahan.” Lugas dan menohok.

Setelah kedatangan kembali ke Tanah Air, hari-hari Presiden SBY disibukkan dengan dinamika politik. Bahkan Sang Presiden sudah memasukkan kemungkinan-kemungkinan kudeta politik dalam kantung bajunya.

Keresahan presiden yang terpilih dua kali pemilu tersebut akibat goyangan elit politik yang bandulnya makin kencang mendekati pemilihan umum 2014, satu tahun mendatang. Hentakan-hentakan elit politik bersinggungan dengan kasus-kasus hukum nomor wahid. Sebut saja Hambalang, Century, atau kasus lain.

Gonjang-ganjing itu adalah khazanah aksi politik di negeri ini. Dan bagi orang sipil yang tidak punya kuasa ini menyebalkan karena mengaduk urusan politik dan hukum. Mengaduk hukum dan politik ini hanya dimiliki kaum yang berkuasa, kecil kemungkinan bisa dilakukan orang sipil. Kembali ke aksi politik, apa yang ditampilkan di banyak media bukan saja kontribusi politikus parpol melainkan aktivis yang di luar parpol atau di luar Dewan Perwakilan Rakyat (Parlemen).

Kelompok militer, kelompok aktivis sebut saja Himpunan Mahasiswa Islam, atau kelompok aktivis lain pengaruhnya masih kuat menentukan bandul politik meski tidak berada di parlemen. Kekuatan non-parlemen itu masih bertaji. Dalam politik, sampai-sampai Presiden perlu menyampaikan perhitungan politiknya tentang kelompok ini ke publik. Gerakan non-parlemen ini kendati mengklaim independen, tapi berhubungan erat dengan partai politik atau parlemen.

Pada persitiwa lain gerakan non-parlemen bisa berwujud gerakan sosial independen. Yaitu independen dari partai politik. Misalnya saja gerakan mendukung Prita Mulyasari, korban arogansi pelaku bisnis medis. Atau dukungan kalangan aktivis anti-korupsi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi melawan kriminalisasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Kepolisian RI pada kasus Cicak lawan Buaya atau mengusut rekening gendut jenderal polisi. Banyak kalangan menyebut kelompok-kelompok non-parlemen ini, yang jumlahnya tak sebanyak kader parpol, disebut sebagai creative minority.

Nah, sedikit cerita di atas mengawali saya untuk bertutur mengenai gerakan sosial independen dan politik ekstraparlementer yang diusung Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).

****


PARLEMEN merupakan lembaga negara yang memiliki tiga kewenangan besar. Pengawasan eksekutif, penentuan anggaran, dan membuat undang-undang. Dan kehidupan bernegara kita sangat dipengaruhi oleh ketiganya. Pelayanan dipengaruhi undang-undang yang mengaturnya, dan bahan bakar pelayanan adalah adanya anggaran.

Maka undang-undang harus berpihak kepada rakyat, anggarannya harus mendukungnya dan pelaksanaannya juga harus baik. Sampai saat ini banyak kalangan yang belum merasakan kenyamanan dalam pelayanan negara. Alasan itulah yang membuat kita berkumpul saat ini.

Perjuangan parlemen dinilai memiliki andil kuat dalam perbaikan pelayanan itu. Dulu, ketika parlemen hanya menjadi stempel eksekutif, keyakinan “dapat memberikan andil” banyak terpatri dalam benak kalangan aktivis. Sehingga mereka mendorong reformasi politik yaitu membersihkan parlemen dari politikus kategori, meminjam istilah musikus Iwan Fals, hanya paduan suara.

Reformasi berhasil diwujudkan, parlemen menguat dan kesaktiannya berlipat-lipat kali. Ia menjadi lawan kuat, tidak sekadar sepadan malah bisa melebihi, eksekutif. Parlemen diisi oleh banyak kalangan yang dulunya kecewa dengan lembaga ini. Di dalam parlemen mereka mengamandemen undang-undang,  mengganti suku cadang baru parlemen, dan mempreteli sebagian kekuasaan eksekutif/ presiden.

Selain ketiga kewenangan di atas, parlemen memainkan peran besar dalam memilih anggota dan pimpinan komisi yang dilahirkan reformasi. Misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Pemilihan Umum, bahkan beberapa kelembagaan negara lama seperti Gubernur Bank Indonesia.

Namun ternyata andil parlemen yang diharapkan hanya isapan jempol. Urusan kesehatan dan pendidikan, misalnya, tidak banyak perubahan. Kelompok yang kecewa terhadap politikus parlemen dan partai politik ini, menilai gerakan sosial dan politik independen harus diperkuat. Gerakan independen harus makin menguat karena belakangan parlemen bukan saja gagal mengawal perubahan tetapi kerap menghambat perubahan. Misalnya, ide memberangus kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Adapun istilah ekstraparlementer merupakan cara perjuangan. Jalur mana perjuangan yang harus dipilih, parlemen atau non-parlemen. Ini urusan taktis belaka atau kemampuan komunikasi politik organisasi. Tapi sayangnya urusan yang taktis ini dimasukkan dalam paradigma gerakan yang diatur dalam garis besar haluan organisasi KAMMI.

Uraian gerakan sosial independen dan politik ekstraparlementer menyebutkan bahwa  KAMMI emoh dengan parlemen dan partai politik. Emoh karena berorientasi atau bekerjasama dengan parlemen dan partai politik akan membuat KAMMI berjarak dengan rakyat. Dan jika berorientasi ke parlemen atau parpol, assabiqunal awwalun perumus konstitusi, meyakini hal itu membuktikan KAMMI terintervensi. Apakah berhubungan dengan parlemen berarti dikooptasi partai politik? Tentu tidak, kan.

Apakah KAMMI benar-benar ogah dengan parlemen dan partai politik? Jawabannya juga jelas, KAMMI membohongi konstitusinya. KAMMI dalam banyak hal berjarak dengan rakyat. Sebaliknya KAMMI justru tidak berjarak dengan partai politik dan parlemen. Alih-alih menjalankan ekstraparlementer yang seolah-olah ogah pada parlemen, ekstraparlementernya KAMMI itu mirip istilah dalam merek minuman berenergi “ekstra-joss” yaitu aksi politik KAMMI semata-semata biar menambah “joss” aksi kawan (atau bos) politiknya KAMMI di parlemen.

Hasilnya KAMMI kesulitan mendalami isu-isu bangsa, banyak informasi yang direspon ala kadarnya. Terkesan apa yang akan dikerjakan menunggu titah dan perintah. Memang tidak semua, beberapa ketua umum KAMMI bahkan bisa menjalani gerakan politik ekstraparlementer yang sebenar-benarnya ekstraparlementer.

Kalau sekadar membicarakan ekstraparlementer an sich, lebih baik ekstraparlementer itu dikeluarkan dari garis besar haluan KAMMI. Semangat tidak dintervensi dan ingin menyatu dengan rakyat bukan berarti memilih jalan ekstraparlemen dan kampanye menggaungkan KAMMI adalah sosial independen.  Biarkan teman-teman di pengurus KAMMI memilih jalannya sendiri, baik dengan memilih bekerjasama dengan parlemen atau non-parlemen, toh ini hanya urusan taktis. Yang utama adalah menjaga prinsip yaitu KAMMI independen, tidak diintervensi, dan menyatu dengan rakyat.

Dalam dinamika internal KAMMI, munculnya suara-suara kritis yang menanyakan konsistensi ekstraparlementer KAMMI sebenarnya bukan keistiqomahan memakai ekstraparlementer itu. Yang dikritisi adalah unsur-unsur yang membentuk ekstraparlementer itu dikerjakan dengan ajeg atau tidak. Mengupas ekstraparlementer, kan, ujung-ujungnya adalah menyindir KAMMI itu sendiri. Jadi biar tidak disebut kabura maqtan indallahi antaqulu mala taf’alun, sebaiknya, dengan mengucap bismillahirrohmanirrohim, ekstraparlementer dibuang saja dari konstitusi KAMMI.

*****


SETELAH tidak ada ekstraparlementer apa yang terjadi? Ya, tidak ada. Seperti yang disebutkan di awal, ini hanya persoalan taktis. Lebih baik memikirkan hal-hal substantif dari ekstraparlementer. Misalnya, bagaimana KAMMI dekat dengan rakyat.

Gerakan KAMMI kultural yang sering menyebut ingin meng-Indonesiakan KAMMI, menandakan dalam tubuh internal menilai KAMMI belum meng-Indonesia, bisa jadi, belum dekat dengan rakyat. KAMMI dinilai lebih banyak tahu Mesir dan Palestina ketimbang negaranya sendiri.  Ini persoalan sekaligus jawaban yang sudah diketahui.

Kita abaikan dulu penjelasan mengapa KAMMI tidak dekat dengan rakyat. Saresehan KAMMI kultural yang merunut dan mencari akar KAMMI adalah langkah awal perbaikan. Perbaikan atau menabalkan akar KAMMI akan mengoreksi dan mengevalusi kenapa KAMMI terus menerus menghindari perintah konstitusinya. Penyebab tidak independen, tidak dekat dengan rakyat karena akarnya yang tidak kuat. Meminjam istilah dalam morfologi tumbuhan, akar tanaman KAMMI itu serabut atau tunggal, dikotil atau monokotil.

Jadi kader KAMMI itu tidak akan pernah seragam jika membincangkan ber-Indonesia itu harus ber-Islam atau tidak ber-Islam. Atau kita harus mengakui Pancasila atau membenci Pancasila. Jangan-jangan KAMMI berfikiran mendirikan negara Islam. Atau sebaliknya, KAMMI ini memilih negara Islam tetapi masih kepikiran Indonesia dan Pancasila.

Singkatnya dalam ber-Indonesia, KAMMI memilih menerima, antipati atau pasif dalam ber-Pancasila. Bagaimana hubungan konstitusi negara dengan cara KAMMI memandang hukum Islam yaitu bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Pilihlah salah satunya, atau menyiapkan pilihan lain yang lebih ciamik ketimbang dua diskursus tadi. Abaikan penilaian orang luar terhadap pilihan bentuk KAMMI, itu sudah risiko orang berkumpul dan berserikat.

Sikap-sikap terhadap bernegara seperti inilah yang harus diulas, dikuatkan, agar jelas. Tak perlu khawatir jika akhirnya sikap itu berbeda dengan saat KAMMI dilahirkan. Yang perlu dihindarkan adalah KAMMI memperkenalkan diri sebagai hijau tapi di belakang berselingkuh dengan kuning. Jika KAMMI belum melakukan itu, saatnya KAMMI mencari identitas pada sektor-sektor parsial tersebut.

Dalam wacana Islam global, KAMMI juga perlu menebalkan identitasnya, KAMMI memilih model Islam global yang mana? Menuju khilafah Islamiyah, atau ingin persatuan negara-negara yang dipimpin muslim ibarat meng-Uni Eropakan negara-negara muslim, atau menguatkan negara, misalnya Indonesia, dengan nilai-nilai Islam.

Sembari KAMMI membangun akarnya kembali, evaluasi terhadap kinerja konstitusi bisa dikerjakan. Evaluasi itu harus berujung penyederhanaan konstitusi yang hasilnya adalah kejelasan panduan gerakan. Coba tengok garis besar haluan organisasi KAMMI. Di sana disebutkan KAMMI adalah gerakan dakwah tauhid, gerakan intelektual profetik, gerakan sosial independen, dan gerakan politik ekstraparlementer. Semua peran ingin diambil gerakan ini.

Saya memaklumi karena KAMMI ini lahir dan besar dari konsep ke-Islaman yang memandang syumuliyatul Islam yaitu konsep Islam yang menyeluruh dalam sendi kehidupan bagian dari aqidah. Meski syumuliyatul-nya KAMMI (dalam hal ini tarbiyah) berbeda dengan apa yang ditampilkan kelompok Islam lain, misalnya, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah. Mengabaikan doktrin tadi, KAMMI masih bebas untuk berkreasi atau berani untuk tidak menyatakan “Maaf, perjuangan KAMMI tidak mengamalkan syumuliyatul Islam melainkan mengusung kerjasama.”

Atau, daripada merasa tidak enak menyatakan KAMMI tidak syumuliyatul tadi--mungkin karena takut dianggap aqidah KAMMI batal-- lebih baik mengalihkan sasaran. Yaitu lebih mendalami mendefinisikan identitas awal dan utama KAMMI yaitu peran mahasiswa.

KAMMI adalah gerakan mahasiswa yang bisa menjalankan amanah sosial, politik, budaya, dan moral. Menenggelamkan diri dalam wacana ini akan melupakan KAMMI dari urusan yang melangit tadi yaitu gerakan sosial independen dan gerakan politik ekstraparlementer.  Intinya KAMMI harus bisa merasa bahwa KAMMI tidak bisa mengambil semua peran kecuali dengan bekerjasama.

*) Oleh Akbar Tri Kurniawan, bekas ketua KAMMI UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar