30 Maret 2013

REFLEKSI MILAD KE-15: Membenahi Dwitungal KAMMI−PKS

oleh: Yusuf Maulana *)

YusufMESKIPUN secara de jure Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) mengklaim bahwa mereka bukanlah bagian dari struktur-langsung PKS, secara de facto sukar dipungkiri bahwa keduanya merupakan entitas yang berkaitan erat. Maka, mendiplomasikan KAMMI bukan bagian dari PKS, atau memisahkan masa depan PKS tanpa melibatkan dinamika KAMMI, merupakan wacana yang absurd. Dengan demikian, berbicara masa depan PKS—baik untuk 2014 ataupun setelahnya—meniscayakan untuk melihat kiprah pelapisnya saat ini: KAMMI.

Sampai di sini dapat dibangun asumsi bahwa membangun KAMMI sama pentingnya membangun PKS. Asumsi ini bukan berarti menyegala-galakan keberadaan KAMMI; bahwa  KAMMI pastilah PKS, atau PKS masa depan hanya bisa direpresentasikan sebagai KAMMI hari ini. Akan tetapi, seperti yang ingin disampaikan pada refleksi sederhana ini, KAMMI sebagai anasir di tubuh PKS—entah apa pun penyebutan yang dimaui oleh aktivisnya—tidak bisa menutup mata atas kiprah PKS; hal yang sama berlaku pula kepada PKS.


Dengan kata lain, perjuangan KAMMI bersama PKS dalam melanjutkan demokratisasi di tanah air hakikatnya bisa dipandang sebagai dwitunggal. Artinya, keduanya memiliki wilayah gerak yang berbeda meskipun pada akhirnya bertujuan sama. Bila PKS menempuh jalur politik formal sebagai sebuah pendekatan struktural kekuasaan, KAMMI menjadi komplemennya: sebagai kekuatan kultural dengan wilayah kerja di gerakan mahasiswa atau pemuda. Sampai di sini pembagian semacam ini belum memunculkan persoalan.

Saling melintasi

Persoalan muncul ketika batas kedua jalur itu tidak lagi jelas. Kedua pihak saling memasuki secara bebas, padahal tanpa disadari telah mengacak-acak agenda kerja mereka lebih luas lagi. PKS yang semestinya bergerak pada pertarungan kekuasaan formal di parlemen acap kali terlihat lebih akrab untuk bermain dengan kerja kultural.

Misalnya, dalam mengatasi bencana alam seperti banjir di Ibu Kota sebulan lalu. PKS tampil ke depan justru sebagai kelompok kultural lewat program-program pelayanan sosial kepada para korban. Sementara, kritisisme hingga advokasi kebijakan secara serius dan konsisten tentang kebijakan tata ruang kota dan yang terkait dengan penyebab banjir justru menjadi agenda yang jauh tertinggal di belakang. Ini bukan berarti mendirikan posko bantuan tidak penting. Layanan sosial tetap penting, namun yang juga harus dikerjakan adalah gerak struktural mereka untuk mencegah atau memperbaiki masalah yang sama. Sebab, bila PKS luput pada hal ini, mereka hanya akan terkonsentrasi pada hal-hal pemberian bantuan sehingga PKS luput mengatasi akar masalah banjir sebenarnya. Kesan yang muncul, PKS hanya terlatih dalam gerakan sosial dibandingkan advokasi publik.

Di sisi lain, KAMMI yang seharusnya bisa memilari PKS di wilayah kultural ternyata dalam praktiknya bingung untuk memfokuskan gerakannya. Ketika hendak memasuki gerakan sosial, PKS lebih dulu hadir.

Dalam pengertiannya secara luas, peran kultural KAMMI salah satunya adalah melangsungkan tradisi intelektual bagi politisi PKS pada masa mendatang. Oleh karena itu, agenda intelektualisasi di KAMMI merupakan hal yang niscaya dihadirkan. Sayangnya, ketika berniat menjadi gerakan intelektual, KAMMI terlihat ragu melakukannya. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya sugesti dari eksponen PKS secara organisasi untuk menyeriusi kebijakan ini. Agenda ini oleh sebagian (besar) anasir PKS dipandang tidak produktif bila dikaitkan dengan agenda PKS secara menyeluruh.

Di sisi lain, menjadikan KAMMI tetap sebagai gerakan jalanan, memang bisa diterima PKS. Hanya saja, di sebagian aktivis KAMMI—terutama yang tidak berada di luar struktur kepengurusan KAMMI Pusat—muncul pemikiran bahwa zaman sudah berubah. Efektivitas gerakan jalanan tidak bisa lagi diharapkan seperti periode sebelumnya. Dalam keadaan seperti ini KAMMI akhirnya berada dalam dilema. Tarik ulur untuk tetap menjadi gerakan jalanan dengan gerakan yang lebih efektif sejauh ini belum memunculkan formulasi ampuh yang bisa diandalkan.

Meskipun secara konseptual KAMMI memang berperan melapisi PKS, dalam praktiknya tidaklah semudah yang direncanakan. Ada godaan di internal aktivis KAMMI untuk mengambil jalur struktural yang sebenarnya peran PKS. Kadangkala pelintasan jalur ini justru kurang disadari oleh aktivis KAMMI sendiri; seolah-olah apa yang ditempuhnya justru merupakan bagian dari kekonsistenannya sebagai gerakan mahasiswa. Ambil contoh dalam isu melengserkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tatkala di periode pertama pemerintahannya. Isu yang mulai menghangat dalam diskusi antar-aktivis KAMMI ini sebenarnya resonansi dari eksponen PKS yang juga tengah tidak puas dengan kepemimpinan SBY-JK kala itu.

Padahal, pelintasan jalur seperti itu oleh pihak di luar KAMMI diartikan sebagai modus gerakan bayangan atau pesanan dari politisi di DPR/D (PKS). Terlepas dari konotasi negatifnya, penilaian seperti ini tetap memiliki relevensi sebagai kritik kepada KAMMI: stigma KAMMI sebagai GM bayangan atau pesanan akan tetap melekat bila KAMMI tidak mengubah paradigma hingga praksisnya.

Di sinilah perlunya KAMMI agar konsisten memainkan peranan sebagai gerakan kultural tanpa harus tergoda untuk mengikuti jejak politis PKS. Dalam posisi seperti inilah, KAMMI selama ini sebenarnya telah meninggalkan banyak peluang untuk bisa menyinkronkan agendanya dengan kepentingan PKS secara menyeluruh. Lihat saja betapa KAMMI tidak tergerak sama sekali dengan isu pembelaan petani, meski saat yang sama eksponen PKS di kabinet SBY justru tengah berupaya menggalakkan beras rakyat sebagai tandingan beras impor.

Gerakan jalanan ternyata hanya dipahami sebagai gerakan ketika isu yang diusung hanyalah seputar kekuasaan di tubuh pemerintahan. Sedangkan ketika terlibat dalam gerakan yang mengusung isu kerakyatan (seperti isu tolak impor beras), yang pernah dilakukan KAMMI sebatas rutinitas berdemonstrasi tanpa kesinambungan dalam mengusung agendanya. Demikian pula nasib agenda reposisi KAMMI sebagai gerakan intelektual profetik, mati di tengah jalan hanya karena godaan untuk merespons isu mutakhir yang berkaitan dengan kekuasan lebih kuat. Dalam posisi seperti ini tidak salah jika KAMMI dinyatakan mengidap alienasi.

Resonansi kemacetan

Ironisnya, semua keadaan itu tidak selalu disebabkan oleh internal KAMMI, namun juga oleh PKS dalam memandang sebuah persoalan. Padahal, ketika terjadi ketidaksinkronan seringnya yang dimenangkan adalah agenda taktis PKS. Akibatnya, yang sering muncul kemudian adalah kemacetan yang beresonansi, alih-alih membuka kemacetan. Dalam kasus menghadapi kekuasaan pemerintah, tidak kritisnya PKS terhadap pemerintahan SBY menjadi indikator sikap yang hampir serupa pada KAMMI. Demikian pula ketika PKS berteriak vokal, KAMMI akan berteriak pula (bahkan lebih nyaring). Masalahnya adalah semisal di tubuh PKS terjadi kemacetan dalam tradisi kritik, akan seperti apa kekritisan KAMMI?

Sebagaimana gerakan mahasiswa yang lain, KAMMI tetaplah sebuah gerakan yang harus kreatif. Namun, energi kreatif pada KAMMI saat ini masih belum cukup untuk merespons setiap persoalan bangsa. Maka, di sinilah arti penting letak berbagi jalur pergerakan. Dengan demikian, posisi sebagai pelapis PKS bukan lagi sebatas hubungan emosi cum hierarki laiknya orangtua dan anak, namun juga sebagai cadangan energi.

Harus diakui bahwa PKS memang mampu mencerdaskan aktivis KAMMI secara afeksi sehingga sejauh ini tampillah aktivis KAMMI sebagai sosok yang memperjuangkan moralitas. Masalahnya, kritik moralitas untuk saat ini mengalami titik jenuh. Tiap orang mudah mencari siapa yang bersalah. Hanya saja, untuk mengatasinya tidak mudah. Di sinilah perlunya penyertaan kecerdasan moral bersama kecerdasan intelektual. Dalam hal ini, kecerdasan intelektual adalah pembuka katup moral yang telah melekat pada KAMMI (PKS) untuk membuka ide yang mengatasi sebuah persoalan publik.

Pertanyaannya, siapa yang mendahului untuk bertindak: PKS ataukah KAMMI? Jawabannya mudah: PKS-lah yang perlu memberikan contoh berikut kebijakannya untuk memercayai KAMMI. Sayangnya hal ini belum terwujud. Saat yang sama, sebagian aktivis KAMMI sendiri masih lebih asyik untuk disuapi ‘orangtuanya’ daripada berpikir sendiri.

Keadaan terssebut seharusnya mulai direnungkan oleh keduanya, atau setidaknya diawali dari evaluasi KAMMI selama dibersamai PKS. Sebab, pada usia lima belas tahun saat ini sudah masanya bagi KAMMI untuk berlatih mandiri. Bukankah kita jengah melihat anak seusia SMP masih disuapi dan—maaf—diceboki? Di mana kemandirian? []

*) Alumni KAMMI

2 komentar:

  1. bolehkah saya mempost tulisan ini di Web KAMMI Semarang?

    BalasHapus