3 Maret 2013

Teologi Politik, Demokrasi dan Masa Depan Umat Islam

sebelumnya artikel di milis KAMMI. Diedit oleh tim redaksi Jurnal KAMMI Kultural.

oleh: Okta Undang Suhara, SIP

Pegiat Komunitas KAMMI Kultural di Jakarta

Okta Undang-SuharaBEBERAPA malam terakhir, dikarenakan insomnia (susah tidur) akut, terpaksa saya membaca ulang beberapa bahan buat keperluan Thesis S-1,terutama dari Desk “Classical Philosophy from the Athens” hingga “The Contemporary Political Life”. Pemikiran politik sejak masa Athena (Yunani Kuno) hingga era kontemporer sekarang ini. Alhamdulillah, ada  Microsoft Encarta, jadi nggak begitu butuh banget koneksi dengan internet. Terima Kasih Mr Bill Gates! Tapi karena Encartanya saya membajak alias copy CD yang tidak orisinal. Tapi apalah artinya Hak Cipta. Bukankah para ulama sering berkata, "Hak Cipta hanyalah milik Allah semata, dianjurkan untuk menyebarluaskan demi keperluan Ummat". Nah, lho... keren kan?
Karena insomnia itu tadi akhirnya tiap malam diatas jam 2 dini hari, saya selalu memiliki dua teman akrab: Kopi (yang kental pastinya) dan buku teks mengenai teori-teori demokrasi, pemikiran Islam, jurisprudensi Islam (baca: Fikih) dan Syariah, juga makro ekonomi. Ya begitulah aktivitas yang membuat betah jadi mahasiswa hampir tujuh tahun ini, menunggu pagi.

Akhirnya kembali juga semangat saya buat back to basic, sesuai dengan major yang saya tekuni semenjak memasukkan proposal Thesis S1 yakni dalam bidang kritik teori. Sebelumnya hampir lebih dari enam bulan ini saya berkutat di Minor studies, karena kebetulan saya masuk dalam kelas konsentrasi Pertahanan Keamanan di departemen HI UPN, yang tentunya pendekatannya lebih pragmatis.

Beberapa bulan ini membersamai sejumlah kelompok sipil yang berusaha mendesakkan reformasi dalam sektor keamanan, cukup menggeser minat awal saya dalam komunitas epistemik bersama para filosof. Terakhir kali Selasa siang kemarin baru aja fresh setelah diskusi panjang lebar di Laboratorium Hankam Departemen HI UPN Kampus Babarsari, dengan Pak Rizal Dharmaputera, Direktur Eksekutif LESPERSSI (Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia) yang sempat membuat saya "patah hati" dikarenakan selama hampir sepuluh tahun reformasi sektor kemanan berjalan, namun hasilnya masih saja stagnan.

Untuk kasus Polri misalnya, meskipun ada upaya kuat untuk menata lembaga intelijen (Intelkam Polri) namun pada akhirnya di mata masyarakat, Polantas tetap menjadi faktor determinan yang paling menentukan. Jadi susah juga, Baintelkam berusaha memperbaharui doktrin dan kewenangan operasionalnya (mencakup upaya-upaya yudisial dan konstitusional) namun jika Polantas busuk (baca: masih suka mencari-cari kesalahan pengendara motor jika Razia) ya tetap saja, orang bilang Polisi busuk.

****

KEMBALIU ke soal malam-malam yang panjang dan sepi di kota pelajar Yogyakarta, saya jadi teringat dengan Immanuel Kant. Sang filsuf besar ini juga menghabiskan malam-malamnya yang sepi di Königsberg.

Buku International Relations In Political Thoght; Texts from the ancient Greeks to the First World War (Cambidge University Press, 2002), yang diedit secara "keroyokan" oleh tiga orang Profesor HI  dari tiga kampus ternama, yakni Chris Brown (LSE), Terry Nardin (Wisconsin-Milwaukee) dan Nicholas Rengger (St. Andrew, Scotland).menjabarkan dengan komprehensif karya-karya filosofis (philosophical essay) dari sejumlah pemikir besar dari abad yang lalu. Namun, yang menjadi favorit saya adalah Perpetual Peace (perdamaian abadi) karya Immanuel Kant.

Hal ini dikarenakan, Kant tidak hanya merombak tradisi besar dalam teologi politik dan filsafat politik, namun dikarenakan ia menjadi jembatan penghubung menuju teori politik, dan (bahkan) meletakkan pondasi buat `lahirnya' ilmu politik yang sebenarnya. Pendek kata, Perpetual Peace-nya Kant bukan sekedar paper filosofis, namun sejatinya ia adalah paper kebijakan (not only philosophical essay but also an early policy paper). Sejatinya, Perpetual Peace tersebut ditujukan kepada dua khalayak; yakni rakyat yang merindukan prinsip keadilan dan kebebasan dalam pemerintahan, juga buat para penguasa yang tidak ingin digulingkan dari kekuasaan.

Dalam dekade ini, perkembangan ilmu politik sudah sedemikian derasnya. Dari Ilmu Politik lahirlah ilmu Pemerintahan dan Ilmu Hubungan Internasional. Masing-masing dengan kekurangan dan kelebihan instrumen yang dimilikinya untuk saat ini, pada perkembangannya dianggap telah mencapai the highest level yang pernah ada dalam sejarah revolusi ilmu pengetahuan umat manusia.

Dari ilmu Pemerintahan (yang dulunya `sekedar' ilmu administrasi tentang negara) saat ini lahirlah kybernologi; yakni ilmu yang dianggap paripurna mengenai administrasi negara yang pernah ada. Sedangkan Hubungan Internasional tidak hanya lagi bicara tentang konflik dan diplomasi, namun sejatinya di tanah seberang sana, ia bahkan sudah menanjak menuju teori sistem dunia (world system theory) di mana mencoba mencari sebuah konsep (dan praktek) agar warga dunia penghuni planet bumi ini menyadari bahwa dari seluruh jagat raya, mereka ini hanya punya satu planet untuk didiami bersama, sehingga bagaimanakah usaha kita agar dapat hidup lebih baik esok hari. Dunia tanpa konflik, tanpa teror, tanpa kekerasan atas nama apapun.

****

PERTANYAAAN yang sering muncul: dengan perkembangan ilmu (dalam bidang sains politik) apakah teologi politik sudah mandek? Nah biar lebih jelas saya gambarkan dulu pembabakan ilmu politik dalam rentang sejarah umat manusia:
1.    Fase Teologi Politik
2.    Fase Filsafat Politik
3.    Fase Teori Politik
4.    Fase Ilmu Politik

Nah, sudah jelas kan? Teologi Politik adalah sebuah kajian politik yang memfokuskan pada legitimasi kitab suci (wahyu Tuhan) yang menjadi dasar bagi sebuah etika politik. Para pemikir yang memberikan kontribusi besar antara lain: Augustinus, Thomas Aquinas (Kristen) Maimonides [Musa ibnu Maimun] (Yahudi) dan juga Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun (dalam beberapa hal lebih dikenal sebagai seorang teoretisi politik, red.), Muhammad bin Abdul Wahab (Islam).

Sedangkan Filsafat murni mencari basis filosofis dari Ra'yu (pemikiran) dan praktek keseharian secara induktif untuk menjadi dasar dari sebuah tatanan politik (pemerintahan) yang ada. Filsafat politik ini pada mulanya adalah kritik pada nalar teologi politik yang terlalu dogmatis tanpa melihat realitas kesejarahan. Pelopornya yakni: Machiavelli, Rosseau, Marx (Eropa kontinental, aufklärung) dan juga Chanakya, Kautilya (India, 300 SM).

Kong Hu Cu (Confucius) dan Sidharta Gautama (Sakyamauni-Budha) sebetulnya adalah seorang filsuf. Mereka bukan nabi atau dewa seperti yang disembah oleh para pengikutnya seperti sekarang. Lebih dari itu, mereka sejatinya telah melakukan terobosan besar ketika 500 tahun sebelum Masehi, telah menjadi Filsuf politik ketika di Eropa dan Yunani masih berkutat pada nalar teologi yang cenderung mistis. Dengan mengerahkan  Ra'yu secara maksimal, mereka membuka `jalan' bagi penganut agama-agama pagan dan Hindu waktu itu kepada sebuah pandangan hidup yang lebih kritis. Sayangnya, dikarenakan keterputusan sejarah, mereka disembah-sembah oleh pengikutnya dan dianggap sebagai Tuhan. Padahal waktu itu, sebetulnya mereka lebih merupakan seorang filsuf daripada seorang nabi atau bahkan dewa.

****

TEORI POLITIK tentunya lebih sistematis daripada filsafat politik dan teologi politik. Tidak jelas, pembabagannya pada kurun mana, namun para ilmuwan dan sejarawan bersepakat (ijma') bahwa teori politik merupakan landasan konseptual bagi lahirnya ilmu politik yang lebih komprehensif. Diperkirakan, bangunan teori politik lahir dari kerangka filsafat yang lebih bersifat menganalis sebuah wacana (filsafat analitik). Perkembanganya mungkin diawali oleh sebuh karya besar Kant, Critique of Pure Reason (1781) yang mana berusaha "mendamaikan" antara rasionalitas dengan empirisme (pengalaman) yang menjadi sumber pertikaian antara para filosof Anglo-Saxon dengan Eropa kontinental satu abad sebelumnya. Critique of Pure Reason ini menjadi tonggak bagi lahirnya filsafat kritis (basis bagi teori politik) yang mungkin hanya dapat disejajarkan dengan karya Ibnu Rushd (Averoes), Tahafut at Tahafut Al Falasifah (ditulis berturut-turut pada 1178, 1179, 1180) yang juga menjadi tonggak sejarah ketika Ibnu Rushd berusaha "mendamaikan" antara akal dengan wahyu, untuk menutup perdebatan teologis 100 tahun sebelumnya (yang diawali oleh Imam Ghazali dengan Tahafut al-Falasifah-nya).

Sedangkan Ilmu Politik sudah sedemikian majunya sehingga memanfaatkan instrumen matematika seperti statistik dan game theory untuk menganalisa sebuah model kebijakan dan memprediksi sebuah kemungkinan tertentu di masa depan. Misalnya saja kajian comparative politik tentang Pemilu (kemungkinan perolehan suara) atau potensi perang di masa depan (bagaimana menghindari konflik dengan cara membuat aliansi) dan lain sebagainya yang lebih teknis. Masuk dalam kajian ini adalah strategic studies, dimana logika perang dan damai dapat dipetakan baik dengan mempergunakan instrumen-instrumen ilmu sosial dasar semacam gemainschaft und geiselschaft maupun mempergunakan instrumen yang lebih rumit seperti BoP (Balance of Power/ teori perimbangan kekuatan) hingga ke analisa persebaran senjata nuklir tingkat tinggi (nuclear arms-race/ the spread of nuclear logistic). Dengan kata lain, Ilmu Politik sudah menjadi Sains murni dan dapat dimanfaatkan sebagai sebuah instrumen ilmu pengetahuan yang dapat diukur (ilmu pasti).

******

Dengan hadirnya berbagai macam instrumen, baik mempergunakan perangkat-perangkat filosofis-analitik (mencangkup studi atas teks, filologi, dan hermeneutika) serta instrumen lain dari "lapangan empiris" macam perkembangan arsenal persenjataan, doktrin, taktik, dan strategi militer (umumnya masuk kedalam kajian RMA; Revolution in Military Affairs) belum lagi beberapa dokumen dari masa lampau tentang berbagai macam operasi-operasi rahasia yang telah diungkap seperti penetrasi, infiltrasi, covert action, dan operasi klandestin (biasanya masuk ke RIA; Revolution in Intelligence Affairs) apakah teologi politik (yang memfokuskan perhatian pada argumen Wahyu Tuhan dalam Kitab Suci, serta sabda-sabda Nabi untuk sebuah tatanan yang ideal, bermoral dan religius) sudah "habis" serta dianggap tidak berguna lagi?

Rupanya teologi politik belum musnah. Ia sejatinya telah "bereinkarnasi" dalam Ilmu Politik. Politik tentunya berbicara tentang tujuan yang ingin dicapai. Asas moral dalam politik. Moralitas tentunya merupakan pondasi paling dasar dari politik tadi. Namun jangan lupa, moralitas dalam politik adalah moralitas politik itu sendiri, bukan moralitas yang lain.

Meskipun begitu, sejatinya basis moralitas yang berasal dari teologi politik telah ber-evolusi dan "menitis" secara genetis dalam Ilmu Politik. Politik tanpa basis moral, adalah Politik yang nihil (Nihilisme). Sayangnya hingga kini, dikalangan intern umat Islam sendiri, perdebatan mengenai kompatibilitas (kesesuaian) antara konsep demokrasi dengan Islam masih terus berlangsung. Tentang status "halal-haram" Demokrasi di dalam Islam masih terus diperdebatkan.

Sebagai pengkaji Ilmu Politik, tentunya saya amat menyayangkan ini. Ketika berkumpul dengan berbagai elemen sipil untuk mendesakkan Reformasi Sektor Keamanan, upaya kami adalah bagaimana instrumen aparatus negara tidak melakukan  penyalahgunaan wewenang, seperti misalnya: Penculikan paksa, Penahanan tanpa tanpa surat keterangan, penyiksaan, pelecehan dan lain sebagainya (dalam arti bagaimana misalnya intelijen negara tidak melakukan tindakan menyalahgunakan kekuasaan sehingga mau diatur dalam kerangka demokratik). Sayangnya, ketika saya kembali ke beberapa pengajian dan aktivis Islam tertentu masih saja ada yang suka "melaknat" demokrasi.

Padahal demokrasi sejatinya "Cuma" sebuah instrumen agar terjadi transparansi dan akuntabilitas dalam mengatur sektor keamanan agar tidak asal main tangkap dan "sok koboy". Persoalan demokrasi bukanlah sekedar adanya pemilu atau wakil-wakil rakyat di Parlemen. Persoalan demokrasi sejatinya adalah persoalan tentang "kadar" partisipasi warga dalam sebuah kontinuum (ruang) demokrasi itu sendiri.

Alangkah bodohnya kita jika masih terus berdebat soal demokrasi dalam perspektif demokrasi  minimalis (sempit), yakni "Cuma" soal pemilu dan parlemen. Itu bukanlah demokrasi yang sesungguhnya bung, Itu "Cuma" disebut "Demokrasi Prosedural" atau "Demokrasi Parlementer". Persoalan yang paling mendasar saat ini buat parlemen adalah perlunya sebuah Komite Intelijen di DPR untuk melakukan Parliamentary Oversight (pengawasan parlemen) terhadap lembaga-lembaga intelijen yang masih suka bergaya "Koboy" tadi. Hal di atas tentunya (untuk saat ini) hanya dapat dilakukan oleh parlemen yang dihasilkan lewat referendum (pemilu) yang jurdil dan demokratis.

Memang betul sabda Rasulullah SAW: "tidak akan terjadi kiamat, sehingga diserahkan sebuah urusan kapada yang bukan Ahlinya. Jika hal itu telah terjadi, maka tunggulah kehancurannya".

Para Ilmuwan Politik, aktivis anti-penindasan dan penyalahgunaan wewenang aparat negara sudah berupaya keras agar bagaimana hidup kita lebih baik; bebas dari tirani dan penindasan lewat berbagai mekanisme demokratis untuk mendesakkan Reformasi dalam Sektor Keamanan, namun masih ada saja yang dituduh tidak Islami dan "thagut" dikarenakan dianggap "mengabdi" kepada demokrasi . Padahal, dengan memisahkan kehidupan publik dengan privat (kebijakan [politik] dengan masyarakatnya), sejatinya diam-diam kita telah menjadi "Sekuler"!

Benarlah, jika sebuah urusan tidak diserahkan kepada Ahlinya; tunggulah saat kehancurannya. Marilah kita BERILMU sebelum (berkata dan) beramal.

****

ADZAN Subuh mulai berkumandang. Kopi yang ada di meja telah lama dingin. Hari yang baru telah berganti, bersama fajar yang mulai menyingsing. Semoga dengan paradigma baru yang lebih demokratis, aparat negara betul-betul menjalankan tugas dan kewajibannya: menjaga keamanan negara tanpa melakukan teror terhadap warga negara yang seharusnya dilindunginya. Semoga tidak ada lagi yang patah hati. []

*) Penulis adalah Alumus Jurusan Hubungan Internasional FISIP UPN. Sekarang aktif sebagai Pengurus Pusat KAMMI dan Peneliti Keamanan di PACIVIS-UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar