25 November 2013

Murobbi

Pegiat KAMMI Kultural, Koordinator Rahmat Abdullah Centre Lampung

Jangan sampai nanti orang-orang tarbiyah dibenci karena orientasi kekuasaan. Dia tidak boleh berbangga dengan bangunannya, lalu tertidur-tidur tidak pernah mengurus urusan hariannya. Tetap dia harus kembali pada akar masalahnya, akar tarbiyahnya, mahabbin, tempat kancah dia dibangun.(KH Rahamat Abdullah)

“Murobbi”-bentuk fa'il (pelaku) rabba-yurabbiy-tarbiyyah- ‘rabaa yarbuu’ yang berarti berkembang atau ‘rabiya yarbaa’ yang bermakna tumbuh. Tumbuh berarti mengalami proses berkembang, ada etos laku untuk terus belajar secara internal dan eksternal. Kata tersebut menjadi ‘rabba-yarubbu’ bermakna aslahahu, tawallaa amrahu, sasa-ahuu, wa qaama ‘alaihi, wa ra’aahu, yang artinya memperbaiki, mengurus, memimpin, menjaga dan memeliharanya. ‘Murobbi’melampaui struktur dirinya secara inheren, dan berusaha untuk mengelola segala yang tersurat dan tersirat agar menjadi nilai-nilai yang hidup . Berubah kata ‘tarbiyah’ bermakna pendidikan, sehingga murobbi lebih diartikan  pendidik. ‘Murobbi’ tidak hanya sebatas seseorang atau sosok tokoh dalam sebuah kelompok lingkaran ‘tarbiyah’. ‘Murobbi’ adalah mereka-mereka yang terus bergiat, berbuat dan berjabat tangan dengan perbaikan ummat. Mereka yang hidup member perhatian pada generasi masa depan pantas disebut ‘murobbi’.
Kita hidup dijaman informasi -semua pesan saling berbenturan- bahkan kita lelah menyaring arus yang setiap hari lalu-lalang. Kita disuguhkan dengan fenomena saling tidak percaya, lalu lintas pemikiran yang begitu riuh. Mulai dari internet, handphone,televisi, koran dan segala akses informasi yang terus bertabrakan satu sama lain. ‘Murobbi’ di era metropolis ini tidak dapat disamakan dengan ‘murobbi’ masa lalu yang sangat terbatas arus informasi.  Namun tidak menutup kemungkinan kearifan-kearifan masa lalu dari seorang yang disebut ‘murobbi’ tetap abadi sebagai sebuah ‘moralitas publik’. KH Rahmat Abdullah adalah satu sosok yang sangat membanggakan, di tengah terseretnya kader-kader tarbiyah dalam ‘euforia’ politik praktis. Kita melupakan nilai-nilai luhur yang beliau semai di masa-masa awal tarbiyah hidup dan member bara api perjuangan. Hampir kita tidak menyadari bahwa ruang kultural yang dulu sangat beliau hidupkan di masa ‘tanzdim’ hari ini  sangat mudah dilupakan. Kita menjadi kaku, sangat strukturalis, berhujah untuk ‘kemenangan suara’ dan mengorbankan ‘fatsoen’ politik yang pernah beliau wanti-wanti untuk dijaga yaitu ‘kesederhanaan’.
Di zaman media sosial yang merebak kuat, kita malah semakin nir sosial terhadap apa yang orang dulu sebut ‘bisa merasa’. Cenderung kita malah sebaliknya, kita makin takabur ‘merasa bisa’. Seolah ruang dakwah ini ada yang paling pokok dan meninggalkan ruang yang lain sedangkan kita sangat mengerti maksud dakwah dengan ‘bil hikmah wa mauizotil hasanah’. Kita perlu mencerna kembali, menggali kembali pesan-pesan Ustad Rahmat Abdullah yang selama ini banyak kita tinggalkan. Kita tidak ingin semata-mata melihat kemenangan ini dengan alat ukur kekuasaan. Kita perlu meramu kembali arti penting menjadi ‘muslim Indonesia’ di tengah keberagaman yang sebaiknya saling mengisi bukan menghabisi. Menjadi muslim Indonesia adalah bentuk kecintaan kader tarbiyah untuk siap berjuang dan membangun Indonesia dengan nilai-nilai Islam.
Murobbi’ kata yang seharusnya bisa menjadikan seseorang nyaman, kini pelan telah membangun kasta perbedaan sampai menjadi alat meraih kemenangan bukan untuk saling memberi manfaat. Pertanyaan besar,’dimana ‘murobbi’ dalam kehidupan yang serba berbenturan sekarang ini?”.  Murobbi’ semakin menyempitkan maknanya yang luas, semakin sempit definisi kata tersebut. Apakah murobbi hanya melayani mereka-mereka calon kader-kader yang dianggap ‘taat’ sehingga yang lain harus dibiarkan terlunta. Atau kita sedang membangun gerbong ‘sekte’ baru ditengah muaknya para pemuda dengan cara beragama yang sangat komunal. ‘Murobbi’ seyogyanya lebih dari itu, dia seharusnya melampaui sikap pilih kasih, dia peduli semua pemuda-pemuda itu dan membantu melejitkan semua potensi-potensi pemuda yang sedang tiarap tertidur lelap. Murobbi tidak mungkin hanya berfikir mendidik ‘jundi’ hanya untuk tujuan kekuasaan. Karena bukan kekuasaan yang memberi makna kemenangan dakwah tapi mereka berbondong-bondong menyadari peran mereka sebagai manusia yang bermanfaat untuk satu dan yang lainnya.
Bukankah menurut Imam Al Baidhawiy, tarbiyyah bisa bermakna; menumbuhkan sesuatu dari satu keadaan kepada keadaan lain sampai menjadi sempurna”. Begitulah seharusnya murobbi, tidak memilah-milah bahkan membuang-buang mereka-mereka yang kritis terhadap ‘dakwah politik’ yang makin buas. Murobbi bahkan semakin takut bahwa mereka-mereka yang kritis adalah benalu bagi jamaah ini. Yang dibutuhkan adalah rasa untuk saling mempercayai dan terus melakukan kerja-kerja pendidikan karena murobbi ibarat matahari yang menyinari alam. Memberi terang tanpa takut kehilangan cahayanya. Kerja murobbi adalah kerja-kerja menumbuhkan, menyadarkan kader-kader dakwah untuk tidak merasa final dan telah cukup melegetimasi kebenaran lewat hujjah-hujjah kekuasaan yang sejak dulu sejarah telah mencatat “kekuasaan paling banyak meminta darah para sahabat’. Tugas murobbi adalah mendidik generasi dengan hati dan pikiran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar