Ringkasan Diskusi Kultural, 8
September 2013. Dirangkum oleh Ahmad Rizky M. Umar dari Pemaparan Awalil Rizky
(Ketua II Perhimpunan BMT Indonesia)
Yang paling
mengerikan dari neoliberalisme bukanlah ia merampok, mengeksploitasi bangsa
kita, tetapi neoliberalisme telah menjadikan diri kita seperti mereka.
Ada banyak
cara untuk mengidentifikasi apa itu neoliberalisme. Saya ingin melacak
neoliberalisme jauh ke belakang. Neoliberalisme hanyalah bentuk pasif dari kapitalisme.
Jadi, neoliberalisme nanti bisa saja berubah, tapi kapitalisme tetap akan
bertahan. Ia adalah wajah/tampilan dari kapitalisme. Sebab, ia adalah bentuk
paling mutakhir dari kapitalisme (global).
Jadi,
substansi utama dari neoliberalisme itu adalah kapitalisme. Maka, kita perlu
mengetahui apa itu kapitalisme terlebih dulu.
Marx
mengatakan, realitas adalah apa yang ada di alam nyata. Begitu juga
kapitalisme. Tapi, bukan berarti kapitalisme tidak dibangun oleh ide-ide. Ia
adalah “ide” yang mengejawantah dalam bentuk material tertentu. Dalam konteks ini,
kita bisa mengatakan bahwa kapitalisme adalah kumpulan ide. Tapi di saat yang
bersamaan, ia adalah juga fakta –fakta-fakta historis ekonomi yang
termaterialisasi dalam kehidupan nyata karena ia dominan. Kapitalisme
neoliberal, dengan demikian, adalah ide –tetapi juga ia adalah tatanan yang
terwujud karena ia dominan dan dipertahankan melalui praktik-praktik kekuasaan
tertentu.
Kapitalisme
dibentuk oleh surplus (keuntungan) yang dinikmati oleh para pemilik modal
(kapital). Surplus ekonomi dalam kapitalisme, surplus terbesarnya, dinikmati
oleh segelintir orang yang punya modal. Jadi, salah kalau ada yang menganggap
bahwa kapitalisme itu adalah “swasta penting, negara tidak perlu masuk”. Kalau
dengan definisi yang saya pakai di atas, pertanyaan paling penting adalah:
siapa yang menikmati surplus gerakan tersebut? Inilah yang perlu ditelaah.
Di abad
ke-16 dan 17, yang menikmati surplus ekonomi adalah kaum dagang. Bentuk inilah
yang merupakan kapitalisme paling awal –kapitalisme perdagangan (merkantilis).
Awalnya, relasi kapitalisme ini bersifat sukarela/samasuka. Namun, pada
perkembangannya, mereka berdagangnya agak ‘maksa’; mereka meninggalkan orang
eropa di nusantara. Mereka masuk ke dalam, bermitra, dan pelan-pelan sampai
pada level mempengaruhi kekuasaan politik –raja, bupati, hingga pada level
“tanam paksa” akibat permintaah rempah dan hasil bumi yang tinggi. Perkembangan
berikutnya, lalu ada kerja paksa yang dilakukan di bawah todongan senjata. Inilah
yang kita sebut sebagai kolonialisme.
Sehingga,
dari cara berpikir itu, kolonialisme adalah salah satu bentuk dari kapitalisme
juga.
Dengan
surplus ekonomi yang diangkut ke negara-negara dunia ketiga, terjadilah
revolusi industri di Eropa pada abad ke-18 (meskipun kita masih bisa berdebat,
apakah benar konteks revolusi inheren dengan kolonialisme). Mereka lalu
mentransformasikan dirinya; perusahaan-perusahaan tumbuh dan berkembang. Dulu,
ada perusahaan minyak di Indonesia di abad ke-18 (Shell, Royal Dutch Company,
dll). Surplus ekonomi dari negara dunia ketiga dibawa ke Eropa.
Ketika
terjadi kemerdekaan, kapitalisme harus berubah bentuk: setelah kolonialisme, ia
harus diubah menjadi apa? Di tahun 1940-70, negara-negara Eropa angkat kaki dan
ia kehilangan basis produksi di negara dunia ketiga. Tapi, ia mencari cara
untuk mempertahankan surplus ekonomi. Lalu mereka mengembangkan
industri-industri dan mempertukarkan barang industry mereka dengan
barang-barang non-industri: ekstraktif dan pertanian.
Negara-negara
dunia ketiga (salah satunya Indonesia) hidup dari ekonomi non-industri. Bisnis
ekstraksi (tambang dan minyak) serta pertanian adalah tumpuan utama.
Barang-barang tersebut, dalam konteks internasional, tentu harus dipertukarkan.
Banyak negara dunia ketiga yang belum punya industry besar. Inilah yang
dipahami oleh para kapitalis di negara-negara maju: mereka memproduksi barang
industri dan menjualnya kepada negara dunia ketiga.
Jadi, mereka menjual barang-barang mewah ke
dunia ketiga dengan mahal dan membeli barang-barang non-industri kepada negara
dunia ketiga. Negara dunia ketiga, pasca-kolonialisme, adalah “pasar” bagi
mereka. Muncullah teori-teori yang mengatakan bahwa untuk menjadi maju,
negara-negara tersebut harus “modern” dan punya barang-barang industry. Inilah
era ketika ‘surplus ekonomi’ diserap oleh negara-negara maju
Namun pada
kenyataannya, teori ini juga mengalami krisis di tahun 1970-an. Krisis minyak
dunia, yang diakibatkan oleh menguatnya peran negara-negara pengekspor minyak, membuat
Amerika Serikat dan negara-negara kapitalis menghadapi resesi. Terlebih, pada
saat itu, politik dunia sedang menghadapi ‘perang dingin’ melawan Sovyet via
beberapa perang proxy. Dari sana,
kapitalisme mulai mengubah wajahnya: menggunakan instrument keuangan untuk
menyerap surplus ekonomi negara-negara dunia ketiga.
Momentum itu
segera datang setelah oil boom di
negara dunia ketiga mulai menyurut. Muncullah industry keuangan dengan satu
cara: ‘utang’. Muncul beberapa infrastruktur di tahun 1970an: Bank Dunia
(IBRD), ADB, dll. Mereka memberikan utang dalam bentuk ‘barang’. Ternyata itu
jadi masalah. Lalu muncullah ‘Surat Utang’ yang berkembang di negara dunia
ketiga, tapi mayoritasnya dikuasai oleh asing. Mereka kemudian memainkan
isu-isu lewat lembaga-lembaga keuangan internasional untuk memastikan surplus
ekonomi di negara dunia ketiga tetap dapat diambil. Lahirlah proyek-proyek
melalui infrastruktur keuangan.
Dengan
demikian, dimulailah era kapitalisme finansial. Bank, Pasar Modal, dll. Era ini
sebenarnya sudah berlangsung di Indonesia setelah era Oil Boom dan era
Deregulasi keuangan muncul. Infrastruktur keuangan Indonesia dideregulasi dan
membuka pintu investasi masuk. Problemnya, kebanyakan investor itu dari
orang-orang ‘lama’ yang menyerap surplus ekonomi. Jadi, diciptakan
ketergantungan.
Ada beberapa
infrastruktur neoliberal di tingkat internasional. Ada beberapa seperti WB,
IMF, atau BIS (Bank for International
Settlement). BIS ini menarik, karena ini sebetulnya adalah forum, tetapi
menentukan kebijakan-kebijakan Bank Sentral di seluruh negara. Forum ini,
disetting secara akademik dengan expert-expert, namun menentukan bagaimana
surplus ekonomi diserap oleh pemilik modal.
Dari sini,
lahirlah apa yang disebut sebagai “Washington Consensus”. Di Indonesia,
beberapa paket kebijakan yang mula-mula muncul adalah deregulasi keuangan dan
beberapa paket kebijakan liberalisasi. Sebetulnya, jika kita lihat kembali,
paket kebijakan itu muncul bukan pada tahun 1998 (dimana IMF ‘memaksa’
pemerintah via Letter of Intent untuk
menandatangani paket kebijakan penanganan krisis), melainkan sudah ditanamkan
embrionya sejak 1988 –ketika deregulasi keuangan mulai diberlakukan di
Indonesia.
Lantas, Bagaimana
neoliberalisme dipaksakan di negara berkembang? Hal paling pertama dilakukan
adalah ‘sosialisasi ide-ide secara ilmiah’. Jika anda membaca jurnal-jurnal
ekonomi, dan itu ditulis oleh expert, anda akan percaya. Akan tetapi, ide
mereka (yang akademis itu) jelas punya referensi pada basis wacana dan ideology
tertentu. Dari sanalah neoliberalisme muncul di Indonesia. Neoliberalisme
memiliki intelektual –yang sekolah di luar negeri/dalam negeri lantas
menawarkan paket kebijakan secara ‘ilmiah’ dengan sponsor lembaga-lembaga
keuangan tersebut.
Dari
sinilah, kita bisa melihat bahwa ‘kapitalisme’ (neoliberal) tidak hanya
dibangun oleh landasan ekonomi, tapi diperkuat oleh landasan lainnya. Tapi,
substansinya sebetulnya sama: bagaimana dan kemana surplus ekonomi itu
dikelola. Selama surplus ekonomi kita masih ‘dibawa lari’ atau dikuasai oleh
tangan-tangan tertentu, di situlah kapitalisme menajamkan kekuasaannya. Jika
hal semacam ini masih bertahan, kita tidak akan melihat perubahan yang berarti.
Mungkin, bagi yang percaya, kita butuh revolusi untuk mengubah hal semacam ini.
Bacaan Lebih Lanjut:
Awalil Rizky dan Nasyith Majdi. (2008). Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia. Jakarta: Bright Institute.
Awalil Rizky dan Nasyith Majdi. (2008). Utang Pemerintah Mencekik Rakyat. Jakarta: Bright Institute.
Awalil Rizky dan Nasyith Majdi. (2008). Bank Bersubsidi Bebani Rakyat. Jakarta: Bright Indonesia.
Amien Rais. (2008). Agenda-Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia! Yogyakarta: PPSK Press.
Arturo Escobar. (1995). Encountering Development: The Making and Unmaking of The Third World. Princeton: Princeton University Press.
David Harvey. (2006). A Brief History of Neoliberalism.
Richard Robison (1986). Indonesia: The Rise of Capital. Singapore: Equinox.
Richard Robison dan Vedi R Hadiz (2004). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: RoutledgeCurzon.
Toby Carroll. (2012). Neoliberal Development Policy in Asia. Jakarta: INFID.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar