15 September 2013

Memahami Kapitalisme Neoliberal: Sebuah Pengantar


Ringkasan Diskusi Kultural, 8 September 2013. Dirangkum oleh Ahmad Rizky M. Umar dari Pemaparan Awalil Rizky (Ketua II Perhimpunan BMT Indonesia)
 
Yang paling mengerikan dari neoliberalisme bukanlah ia merampok, mengeksploitasi bangsa kita, tetapi neoliberalisme telah menjadikan diri kita seperti mereka.

Ada banyak cara untuk mengidentifikasi apa itu neoliberalisme. Saya ingin melacak neoliberalisme jauh ke belakang. Neoliberalisme hanyalah bentuk pasif dari kapitalisme. Jadi, neoliberalisme nanti bisa saja berubah, tapi kapitalisme tetap akan bertahan. Ia adalah wajah/tampilan dari kapitalisme. Sebab, ia adalah bentuk paling mutakhir dari kapitalisme (global). 

Jadi, substansi utama dari neoliberalisme itu adalah kapitalisme. Maka, kita perlu mengetahui apa itu kapitalisme terlebih dulu.

Marx mengatakan, realitas adalah apa yang ada di alam nyata. Begitu juga kapitalisme. Tapi, bukan berarti kapitalisme tidak dibangun oleh ide-ide. Ia adalah “ide” yang mengejawantah dalam bentuk material tertentu. Dalam konteks ini, kita bisa mengatakan bahwa kapitalisme adalah kumpulan ide. Tapi di saat yang bersamaan, ia adalah juga fakta –fakta-fakta historis ekonomi yang termaterialisasi dalam kehidupan nyata karena ia dominan. Kapitalisme neoliberal, dengan demikian, adalah ide –tetapi juga ia adalah tatanan yang terwujud karena ia dominan dan dipertahankan melalui praktik-praktik kekuasaan tertentu.

Kapitalisme dibentuk oleh surplus (keuntungan) yang dinikmati oleh para pemilik modal (kapital). Surplus ekonomi dalam kapitalisme, surplus terbesarnya, dinikmati oleh segelintir orang yang punya modal. Jadi, salah kalau ada yang menganggap bahwa kapitalisme itu adalah “swasta penting, negara tidak perlu masuk”. Kalau dengan definisi yang saya pakai di atas, pertanyaan paling penting adalah: siapa yang menikmati surplus gerakan tersebut? Inilah yang perlu ditelaah.


Di abad ke-16 dan 17, yang menikmati surplus ekonomi adalah kaum dagang. Bentuk inilah yang merupakan kapitalisme paling awal –kapitalisme perdagangan (merkantilis). Awalnya, relasi kapitalisme ini bersifat sukarela/samasuka. Namun, pada perkembangannya, mereka berdagangnya agak ‘maksa’; mereka meninggalkan orang eropa di nusantara. Mereka masuk ke dalam, bermitra, dan pelan-pelan sampai pada level mempengaruhi kekuasaan politik –raja, bupati, hingga pada level “tanam paksa” akibat permintaah rempah dan hasil bumi yang tinggi. Perkembangan berikutnya, lalu ada kerja paksa yang dilakukan di bawah todongan senjata. Inilah yang kita sebut sebagai kolonialisme.

Sehingga, dari cara berpikir itu, kolonialisme adalah salah satu bentuk dari kapitalisme juga.

Dengan surplus ekonomi yang diangkut ke negara-negara dunia ketiga, terjadilah revolusi industri di Eropa pada abad ke-18 (meskipun kita masih bisa berdebat, apakah benar konteks revolusi inheren dengan kolonialisme). Mereka lalu mentransformasikan dirinya; perusahaan-perusahaan tumbuh dan berkembang. Dulu, ada perusahaan minyak di Indonesia di abad ke-18 (Shell, Royal Dutch Company, dll). Surplus ekonomi dari negara dunia ketiga dibawa ke Eropa.

Ketika terjadi kemerdekaan, kapitalisme harus berubah bentuk: setelah kolonialisme, ia harus diubah menjadi apa? Di tahun 1940-70, negara-negara Eropa angkat kaki dan ia kehilangan basis produksi di negara dunia ketiga. Tapi, ia mencari cara untuk mempertahankan surplus ekonomi. Lalu mereka mengembangkan industri-industri dan mempertukarkan barang industry mereka dengan barang-barang non-industri: ekstraktif dan pertanian.

Negara-negara dunia ketiga (salah satunya Indonesia) hidup dari ekonomi non-industri. Bisnis ekstraksi (tambang dan minyak) serta pertanian adalah tumpuan utama. Barang-barang tersebut, dalam konteks internasional, tentu harus dipertukarkan. Banyak negara dunia ketiga yang belum punya industry besar. Inilah yang dipahami oleh para kapitalis di negara-negara maju: mereka memproduksi barang industri dan menjualnya kepada negara dunia ketiga.

Jadi, mereka menjual barang-barang mewah ke dunia ketiga dengan mahal dan membeli barang-barang non-industri kepada negara dunia ketiga. Negara dunia ketiga, pasca-kolonialisme, adalah “pasar” bagi mereka. Muncullah teori-teori yang mengatakan bahwa untuk menjadi maju, negara-negara tersebut harus “modern” dan punya barang-barang industry. Inilah era ketika ‘surplus ekonomi’ diserap oleh negara-negara maju 

Namun pada kenyataannya, teori ini juga mengalami krisis di tahun 1970-an. Krisis minyak dunia, yang diakibatkan oleh menguatnya peran negara-negara pengekspor minyak, membuat Amerika Serikat dan negara-negara kapitalis menghadapi resesi. Terlebih, pada saat itu, politik dunia sedang menghadapi ‘perang dingin’ melawan Sovyet via beberapa perang proxy. Dari sana, kapitalisme mulai mengubah wajahnya: menggunakan instrument keuangan untuk menyerap surplus ekonomi negara-negara dunia ketiga.

Momentum itu segera datang setelah oil boom di negara dunia ketiga mulai menyurut. Muncullah industry keuangan dengan satu cara: ‘utang’. Muncul beberapa infrastruktur di tahun 1970an: Bank Dunia (IBRD), ADB, dll. Mereka memberikan utang dalam bentuk ‘barang’. Ternyata itu jadi masalah. Lalu muncullah ‘Surat Utang’ yang berkembang di negara dunia ketiga, tapi mayoritasnya dikuasai oleh asing. Mereka kemudian memainkan isu-isu lewat lembaga-lembaga keuangan internasional untuk memastikan surplus ekonomi di negara dunia ketiga tetap dapat diambil. Lahirlah proyek-proyek melalui infrastruktur keuangan.

Dengan demikian, dimulailah era kapitalisme finansial. Bank, Pasar Modal, dll. Era ini sebenarnya sudah berlangsung di Indonesia setelah era Oil Boom dan era Deregulasi keuangan muncul. Infrastruktur keuangan Indonesia dideregulasi dan membuka pintu investasi masuk. Problemnya, kebanyakan investor itu dari orang-orang ‘lama’ yang menyerap surplus ekonomi. Jadi, diciptakan ketergantungan.

Ada beberapa infrastruktur neoliberal di tingkat internasional. Ada beberapa seperti WB, IMF, atau BIS (Bank for International Settlement). BIS ini menarik, karena ini sebetulnya adalah forum, tetapi menentukan kebijakan-kebijakan Bank Sentral di seluruh negara. Forum ini, disetting secara akademik dengan expert-expert, namun menentukan bagaimana surplus ekonomi diserap oleh pemilik modal.

Dari sini, lahirlah apa yang disebut sebagai “Washington Consensus”. Di Indonesia, beberapa paket kebijakan yang mula-mula muncul adalah deregulasi keuangan dan beberapa paket kebijakan liberalisasi. Sebetulnya, jika kita lihat kembali, paket kebijakan itu muncul bukan pada tahun 1998 (dimana IMF ‘memaksa’ pemerintah via Letter of Intent untuk menandatangani paket kebijakan penanganan krisis), melainkan sudah ditanamkan embrionya sejak 1988 –ketika deregulasi keuangan mulai diberlakukan di Indonesia.

Lantas, Bagaimana neoliberalisme dipaksakan di negara berkembang? Hal paling pertama dilakukan adalah ‘sosialisasi ide-ide secara ilmiah’. Jika anda membaca jurnal-jurnal ekonomi, dan itu ditulis oleh expert, anda akan percaya. Akan tetapi, ide mereka (yang akademis itu) jelas punya referensi pada basis wacana dan ideology tertentu. Dari sanalah neoliberalisme muncul di Indonesia. Neoliberalisme memiliki intelektual –yang sekolah di luar negeri/dalam negeri lantas menawarkan paket kebijakan secara ‘ilmiah’ dengan sponsor lembaga-lembaga keuangan tersebut.

Dari sinilah, kita bisa melihat bahwa ‘kapitalisme’ (neoliberal) tidak hanya dibangun oleh landasan ekonomi, tapi diperkuat oleh landasan lainnya. Tapi, substansinya sebetulnya sama: bagaimana dan kemana surplus ekonomi itu dikelola. Selama surplus ekonomi kita masih ‘dibawa lari’ atau dikuasai oleh tangan-tangan tertentu, di situlah kapitalisme menajamkan kekuasaannya. Jika hal semacam ini masih bertahan, kita tidak akan melihat perubahan yang berarti. Mungkin, bagi yang percaya, kita butuh revolusi untuk mengubah hal semacam ini.

Bacaan Lebih Lanjut:
Awalil Rizky dan Nasyith Majdi. (2008). Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia. Jakarta: Bright Institute.

Awalil Rizky dan Nasyith Majdi. (2008). Utang Pemerintah Mencekik Rakyat. Jakarta: Bright Institute.

Awalil Rizky dan Nasyith Majdi. (2008). Bank Bersubsidi Bebani Rakyat. Jakarta: Bright Indonesia.

Amien Rais. (2008). Agenda-Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia! Yogyakarta: PPSK Press.

Arturo Escobar. (1995). Encountering Development: The Making and Unmaking of The Third World. Princeton: Princeton University Press.

David Harvey. (2006). A Brief History of Neoliberalism. 

Richard Robison (1986). Indonesia: The Rise of Capital. Singapore: Equinox. 

Richard Robison dan Vedi R Hadiz (2004). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: RoutledgeCurzon.

Toby Carroll. (2012). Neoliberal Development Policy in Asia. Jakarta: INFID. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar