sebelumnya dimuat di Jurnal Indoprogress (http://indoprogress.com/mursi-pki-dan-sejarah-yang-berulang/) dan ditampilkan kembali untuk tujuan pendidikan.
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, Alumnus FISIPOL UGM dan Pegiat Forum KAMMI Kultural
Kudeta 1965
Di tahun 1965, Partai Komunis Indonesia (PKI) sedang berada dalam
kondisinya yang paling prima. Ia ‘dekat’ dengan lingkar inti kekuasaan
Bung Karno –yang memerlukan PKI sebagai legitimasi kekuasaannya—
memiliki basis-basis buruh dan tani yang loyal, serta tidak memiliki
pesaing politik yang setara setelah PSI dan Masyumi, dibubarkan oleh
Soekarno atas desakan TNI angkatan darat. Satu-satunya pesaing politik
PKI terkuat hanyalah TNI-AD
Namun, sebuah kejadian yang berlangsung cepat di malam 30 September
1965 membuat keadaan berubah 360 derajat. Tidak saja bagi PKI, tapi bagi
bangsa ini secara keseluruhan.
PKI dituding melakukan upaya ‘pengambilalihan kekuasaan secara tidak
sah’ dengan menculik para Jenderal Angkatan Darat. Isu ‘Dewan Jenderal’
dihembuskan. PKI memang sedang bersitegang dengan militer dalam berbagai
isu. Keesokan harinya, TNI-AD mengambil-alih beberapa fasilitas publik
dan mulai menyatakan ‘perang’ terhadap PKI dan organisasi underbouw-nya.
Hari-hari itu, setelah PKI dituduh sebagai ‘dalang’ dari percobaan
pengambilalihan kekuasaan dan pembunuhan para jenderal, mulailah
dilakukan operasi ‘pembersihan’ besar-besaran terhadap semua elemen yang
diduga PKI atau tersangkut PKI. Setelah Jenderal Soeharto secara resmi
mengambil alih kekuasaan pada 11 Maret 1966, bandul politik yang dulunya
dikuasai oleh Soekarno, partai merah, dan loyalis Sukarno, berubah
arah. Militer menajamkan dominasinya dan, sesegera mungkin, mulai
melakukan proses pembersihan terhadap kekuatan paling berbahaya di
Indonesia waktu itu: PKI. Ratusan ribu – bahkan tiga juta jiwa menurut
taksiran jenderal Sarwo Edi Wibowo, mertua presiden Susilo Bambang
Yudhoyo, mati berkalang tanah akibat operasi tumpas kelor itu. Ribuan
orang lainnya dipenjarakan dan dipekerja paksakan di Pulau Buru oleh
rezim Orde Baru.
Aidit, sang pemimpin partai, ditembak mati. Yang lain dibuang ke
Buru, Plantungan, dan beberapa daerah buangan lainnya. Selama lebih tiga
dekade, mereka tak dianggap sebagai warga negara yang punya hak, hanya
karena satu label: PKI.
Memahami G30S mungkin tidak semudah memahami Mesir dari kacamata
Indonesia. Ada banyak sekali fragmen informasi yang tertutup dan
tercerai-berai. Semua hal yang berbau Marxisme, Leninisme, atau
anasir-anasir kiri, diberantas. Dokumen-dokumen semacam itu di
perpustakaan kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), menurut keterangan
beberapa dosen ‘saksi sejarah,’ dibakar dan tak ada lagi di kampus. Dari
proses pembersihan inilah, sebuah ‘tatanan dunia baru’ (New Order) segera dicanangkan di Indonesia. Tatanan yang bertahan selama kurang lebih 32 tahun dan ambruk di tahun 1998.
Sejarah yang berulang
Sekelumit sejarah Indonesia ini memang kelam sekali jika
dingat-ingat. Namun, persis seperti kata Marx dulu, apa yang sebenarnya
terjadi di Indonesia 32 tahun silam itu kini berulang, dengan bentuk dan
‘orang’ yang berbeda, di Mesir.
Setelah satu tahun dipimpin oleh Mohammad Mursi, tokoh Ikhwanul
Muslimin yang memenangi pemilu paling demokratis pertama di Mesir tahun
2012, Mesir terus dihantui oleh berbagai gejolak. Lanskap politik Mesir
ketika Mursi menang Pemilu hampir sama dengan kondisi Indonesia sebelum
tahun 1965: terbagi oleh banyak sekali kubu-kubu politik. Selain IM,
kelompok ‘Islamis’ terbagi atas 2 kekuatan besar lain di parlemen:
Salafi dan Jama’ah Islamiyah. Belum lagi kaum ‘Islamis Moderat’ di
partai Wasat, Islah wa Nahdha, dan Masry Qawy, yang dulunya adalah aktivis-aktivis Ikhwan sebelum dikeluarkan oleh tanzhim Ikhwan (Wasat berdiri tahun 1996).
Tak ketinggalan, tentu saja, kelompok Nasseris yang dipimpin Hamdeen
Sabbahi, fraksi liberal Mohammad El-Baradei, gerakan-gerakan kiri,
aktivis Pemuda (Gerakan 6 April, Ahrar, RYC, dll), Wafd, hingga orang-orang lama dari pemerintah Mubarak. Lebih dari 33 kekuatan politik bertarung dalam lanskap politik Mesir.
Tapi kita jangan melupakan satu kekuatan lain: militer. Mereka
bukanlah orang-orang yang cuma mengawasi perbatasan dan melakukan
latihan untuk berperang. Di saat-saat tertentu, militer bisa menjadi
kekuatan politik yang sangat kuat.
Ketika Mursi naik tahta di tahun 2012, ia mendapati masih kuatnya
bayang-bayang militer di pemerintah Mesir. SCAF, Dewan Tinggi Militer,
punya jaring-jaring yang diwarisi sejak Mubarak dulu. Tentu saja Mursi
tak ingin pemerintahannya digembosi dari dalam; ia mencoba untuk
bernegosiasi dengan para tentara. Itulah sebabnya hubungan Mursi dan
militer seringkali tegang (walau ada kalanya bermesraan). Ia menggunakan
kekuasaan presidensialnya untuk mengganti orang-orang lama di
pemerintahan. Mursi memensiunkan dini beberapa jenderal dan menempatkan
orang-orang baru di sekelilingnya.
Salah satu ‘orang baru’ yang ditempatkan Mursi itu ialah Abdul Fattah
as-Siisi, yang menggantikan Husein Thantawi sebagai Menteri Pertahanan.
Tapi Mursi lupa bahwa siapapun orang yang ada di dalamnya, militer
tetaplah militer. Kesetiaan mereka bukanlah pada rezim sipil,
sedemokratis apapun rezim itu, melainkan pada pimpinan yang memberikan
mereka doktrin-doktrin tertentu.
Militer Mesir tak bisa dilepaskan dari satu ideologi politik yang
sudah berurat berakar sejak Republik dibangun: Nasserism. Setelah
Jenderal Najib dan Nasser menggulingkan kekuasaan raja Faruk (Ikhwanul
Muslimin ikut berpartisipasi dalam penggulingan itu), militer segera
menempati ruang yang sangat istimewa dalam kancah politik Mesir.
Apalagi, setelah Nasser menulis The Philosophy of Revolution dan
mencanangkan pertubuhan ‘revolusi’ dan militer’; bahwa revolusi 1952
yang dicapai dengan susah payah harus dijaga oleh militer sebagai
‘penjaga gawang revolusi.’
Kendati Nasser meninggal dan Sadat, penggantinya, melakukan perubahan
signifikan, doktrin ini tetap terjaga. Hal yang sama sebenarnya juga
terjadi di Indonesia tahun 40an awal. Sejak awal republik ini didirikan,
militer sudah mengklaim bahwa merekalah yang berjasa telah memberikan
kemerdekaan republik ini. Posisi mereka serupa dengan Nasserism:
menempatkan militer sebagai kekuatan politik yang tak terduga:
sewaktu-waktu bisa mengambil kekuasaan.
Hal inilah yang terjadi di Indonesia tahun 1965 dan Mesir Juli, 2013
kemarin. Ketika para politisi sipil gagal membangun konsensus gara-gara
perebutan kekuasaan yang berkepanjangan, militer punya alasan
legal-politik untuk ambil langkah. Di Indonesia, pemindahan kekuasaan
secara berdarah dari Sukarno ke Soeharto berlangsung sukses. Di Mesir,
Abdul Fattah as-Sisi segera mengambil tindakan ‘strategis’ dengan
mengumumkan penggantian presiden dan penangkapan tokoh-tokoh Ikhwan.
Hasilnya bisa diduga: aktivis-aktivis Ikhwan protes keras. Dan protes
mereka segera disambut oleh popor senjata dari tentara. Terbunuhlah
lebih dari 200 orang di Medinat Nasr (kota yang dinamai dari pendiri Republik Mesir, Nasser).
Sadarkah anda, bahwa apa yang terjadi di Mesir sampai saat ini, pada
titik tertentu, merupakan perulangan dari kejadian tahun 1965 dulu?
Bedanya cuma: peristiwa 1965 menempatkan orang-orang Komunis sebagai
korban, sementara Mesir 2013, menempatkan orang-orang Ikhwan sebagai
korban.
Kini, kita seperti melihat orang-orang PKI yang dibantai pada tahun 1965 lalu di Rab’ah al-Adawiyah, Mesir.
Militer, tanpa kenal ampun seperti masa lalu, menembaki dan menangkapi
mereka yang berlabel Ikhwan. Kabarnya, ribuan jiwa menjadi korban. Dan
Ikhwan kini nasibnya hampir sama seperti PKI: menjadi organisasi
terlarang.
Tak penting melihat apakah mereka yang jadi korban itu adalah Ikhwan, Salafi, Komunis, atau orang-orang lain. Toh itu cuma label. Yang jadi pertanyaan, atas dasar apa mereka dibunuh? Bukankah mereka juga manusia?
Pelajaran
‘Adakah bedanya,’ tanya Judith Butler dalam bukunya, The Precarious Life,
‘nyawa para tentara yang meninggal di Perang Dunia Pertama, dengan
ratusan ribu muslim yang meninggal dalam serangan Amerika Serikat di
Timur Tengah?’
Bagi kita yang berada di Indonesia, pertanyaan ini perlu direnungkan. Terkadang mudah sekali bagi kita untuk men-judge
bahwa kekerasan itu sah; tanpa menyadari bahwa kekerasan itu adalah
‘sejarah yang berulang’ dan bisa saja pernah dialami oleh orang yag
dekat dengan kita.
Semoga para aktivis yang berdemonstrasi dan bersolidaritas untuk
Mesir, atau para proponen liberalisme yang sering berkomentar di layar
televisi, juga bisa mengambil pelajaran. Jika anda menertawakan atau
bersikap nyinyir kepada perlawanan massa –baik di Indonesia atau
Mesir— maka anda perlu introspeksi: jangan-jangan itu adalah sejarah
yang berulang di waktu dan tempat yang berbeda.
Saya lalu jadi ingat kalimat Pramoedya Ananta Toer yang terkenal itu: mari bersikap adil sejak dalam pikiran.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar