12 September 2013

"Kultural” Pasti Berlalu?


Oleh : Dharma Setyawan 
Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural

Ada anggapan, bahwa KAMMI Kultural akan hilang seiring waktunya dan hanya menjadi gerakan pragmatisme, karena dianggap sebagai alat untuk menuju posisi-posisi kekuasaan Pimpinan Pusat. Mungkin anggapan ini lahir karena ada yang mengira –seperti bebreapa elit yang “sinis” dengan Kultural—bahwa KAMMI Kultural adalah faksi tertentu, dan akan mengalami apa yang terjadi pada sebagian kelompok-kelompok faksi yang sejak dulu telah bersemayam di tubuh KAMMI

Banyak beberapa kalangan menyebut bahwa konflik yang terjadi antara kubu Andriyana dan Fikri Aziz telah menjadikan KAMMI Kultural akhirnya diberi ruang Struktural. Secara pribadi saya tidak pernah berpikir sejauh itu. Untuk membacanya, kita perlu menyegarkan kembali wacana dan pengertian tentang hakikat kekuasaan lebih khusus ketika memaknai amanah struktural—yang menjadi perebutan beberapa kawan-kawan menuju PP KAMMI.

Menyegarkan Kembali “Gerakan Kultural”
Banyak beberapa kalangan menyebut KAMMI masih disebut sebagai gerakan moral. KAMMI selama ini dikenal dengan kesantunan, kesolidan, dan militansi kader yang cukup dipandang dalam gerakan ekstra-kampus. Akan tetapi, bagi pelaku-pelaku gerakan di tubuh KAMMI sendiri, anggapan ini sulit untuk dipercayai, mengingat semakin pragmatisnya elit-elit gerakan yang bertahta di kursi singgasana Pimpinan.

Jika anda pernah membaca Laporan Pertanggungjawaban Pengurus KAMMI (Baik yang terlapor di Muktamar maupun yang termuat di berbagai media) serta memperhatikan seluk-beluk gerakan satu delade terakhir di tingkat pusat, hal semacam ini tentu sudah sering kita temui. Anda akan menemui dana-dana yang sebenarnya secara real masuk ke tubuh organisasi, tapi tidak dilaporkan secara akuntabel dan jujur oleh pengurus KAMMI.

Ibarat Ikan yang sudah busuk di bagian kepala, perlu dilakukan semacam amputasi agar tidak membusuk sampai ke ekor. Demikianlah saya membaca wajah KAMMI hari ini. Gerakan kritik bukannya tidak pernah dilakukan. Sebagaimana kita ketahui bersama, ada beberapa gerakan semacam “Daulat KAMMI” setelah MLB 2009, kaum Nihilis” –untuk menyebut kader yang sama sekali apriori terhadap KAMMI, Kritik individual dari tokoh atau alumni KAMMI, hingga hadirnya gerakan KAMMI Kultural.

Gerakan Kultural sendiri sebenarnya bukan berawal dari kader tertentu, tetapi justru pengurus KAMMI yang hadir untuk melakukan sarasehan lintas generasi. Sarasehan tersebut, sebagaimana disebut dalam acara di Yogyakarta, dirangkai sebagai upaya solusi dan dialektika yang adil. Sikap kritis itu tak berhenti sampai sarasehan belaka; ia berlanjut dengan kawan-kawan Jogja menuliskan ide-ide pembaharuan gerakan dalam Jurnal KAMMI Kultural (http://www.kammikultural.org/) .

Namun, kini yang terjadi adalah “lanjutan” dari perdebatan beberapa kubu di KAMMI dan sepertinya akan terus berlanjut, bahwa gerakan Kultural mulai masuk ke ruang struktural dengan adanya beberapa pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural di Kepengurusan PP KAMMI. Bisa disebut, “kultural” hanya seperti badai yang tidak diharapkan datang membuat keributan, kemudian berlalu begitu saja karena telah ada beberapa yang masuk ke struktural.

Padahal, Gerakan Kultural tidak diciptakan hanya sekadar untuk memuaskan ‘keinginan masuk ke struktur’. Gerakan Kultural adalah sisi lain dari pluralitas berfikir KAMMI yang selama ini merasa didominasi oleh ideologi tertentu, diatur oleh struktur tertentu, dan hampir dipastikan sulit mencari ruang dialektika di tubuh KAMMI. Pokok persoalannya adalah, banyak pengurus KAMMI di berbagai daerah yang cenderung konservatif dan tidak egaliter dalam memperlakukan kader-kadernya yang agak “bandel”.

Saya menyebut KAMMI Kultural sebagai “upaya memenangkan kekuasaan pada tingkat berpikir kader”. Ia tentu saja bukan sekedar alat politik yang tujuannya hanya bersifat pragmatis, yaitu untuk berkuasa; KAMMI Kultural ingin menciptakan kader-kader intelektual yang progresif. Kita tentu pernah mengingat sosok Al-Farabi. Ia adalah seorang tukang kebun dan bekerja siang hari untuk tuannya. Akan tetapi, tapi kita juga melihat sosok Al-Farabi sebagai penguasa di jagad pemikiran dan dirinya dalam hidupnya.

Sejak usia baligh, ia hanya tidak menulis saat dua hari –yaitu saat malam pertama menikah dan saat Ayahnya meninggal. Selain dua hari itu, Al-Farabi menulis sampai akhir hayatnya. Wajar jika Muhammad Natsir dalam “Capita Selecta” menyebut Al-Farabi sebagai Penguasa di jagad Ruh kendati menjadi budak di jagad materi.

Begitulah saya menafsirkan gerakan kultural sebagai sebuah gerakan kehendak bebas yang bertujuan memberi ruang kepada seluruh kader KAMMI untuk memberikan sumbangsih berfikir secara dialektis ruang-ruang kultural –bergerak tanpa kasta dan berjuang tanpa nama. Bisa saja, seorang kader KAMMI dalam wilayah struktural bukan siapa-siapa. Ia hanya seorang jundi komisariat yang tidak menempati posisi/jabatan struktural yang strategis. Akan tetapi, di jagad pemikiran, ialah yang paling baik amal ibadahnya, lebih luas membaca bukunya, tinggi pemahaman ilmu dan pengetahuannya, serta lebih progresif dalam berkarya.

Pada titik inilah KAMMI Kultural berupaya memberi ruang adil agar kader-kader KAMMI di struktur yang lebih tinggi dapat mengakomodir dan mengakui proses tumbuhnya ilmu di tubuh KAMMI sampai di tingkat komisariat.

Menghadirkan “Yang Lain” dari KAMMI
KAMMI Kultural juga berupaya mengajak alumni-alumni yang selama ini menghilang dari sejarah gerakan akibat tidak aktif di struktur partai tertentu. Alumni KAMMI yang selama ini aktif di dunia luar –pendidikan, akademisi, ekonomi, Bbdaya, dan lainnya— yang bukan partai politik (baca: PKS), hampir dipastikan tidak dihadirkan sebagai alumni yang cemerlang. Mereka tidak dipandang layaknya alumni yang menempati jabatan politik di partai tingkat nasional hingga daerah. KAMMI Kultural kemudian mulai mengakomodasi mereka-mereka yang menghilang dari sejarah gerakan masa-masa awal KAMMI.

Sejak sarasehan Yogyakarta dan Jakarta, mereka-meraka yang menghilang dihadirkan untuk berbicara tentang KAMMI. Bisa disebut beberapa tokoh: Haryo Setyoko (Sekjen Pertama KAMMI) yang lebih dari 12 tahun tidak pernah berbicara tentang KAMMI, Mu’tamar Ma’ruf –salah satu pencetus “paradigma gerakan” KAMMI, serta banyak alumni lainnya yang dianggap keluar dari barisan tarbiyah dan tokoh alumni lainnya. Kami merasa ketidakadilan itu mencolok bahwa alumni yang dihargai adalah mereka yang di struktur politik bahkan khusus partai tertentu dalam definisi partai yang menjadi panglima dakwah khususnya di Indonesia.

Kritik berlanjut tentang “Tarbiyah” yang seharusnya sebagai payung bersama. Uraian tentang ‘kritik epistemologis atas Tarbiyah tidak dapat saya lakukan di tulisan sederhana ini –mengingat keterbatasan tempat. Akan tetapi, pada hematnya, KAMMI Kultural adalah sebuah kesadaran bersama kader-kader yang ingin memperbaiki gerakan KAMMI dengan cara memperbaiki proses cara berfikir tanpa ada hegemoni dari struktur tertentu.

Jika struktur politik dianggap sebagai panglima dakwah dan menjadi payung bersama bagi gerakan dakwah, maka posisi politik ini bukanlah dakwah yang syumul (menyeluruh).  Yang terjadi sebenarnya adalah hegemoni peran dakwah oleh struktur politik sehingga ipoleksosbudhankam (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dll.) sedang diatur oleh dakwah politik yang bisa melegitimasi kebenaran dakwah atas nama “jamaah’.

Sekarang, kita masih mendapati mereka yang melakukan kritik atas dakwah politik yang melenceng –korupsi, bermewah-mewah, dan lainnya—dianggap tidak paham manhaj atau bahkan dianggap murtad dari gerakan dakwah versi “tarbiyah Indonesia” (Sekali lagi. versi “tarbiyah Indonesia”).

KAMMI Kultural adalah gerakan yang ingin bergerak beyond hal tersebut. Di Gerakan Kultural, kami memimpikan sesuatu yang lebih. Setidaknya Tarbiyah juga ada untuk untuk para pengamat politik, ekonom, gerakan mahasiswa sehingga mereka mandiri tanpa takut mengkritik saudara mereka yang keblabasan di tingkat parlemen. Gerakan ini adalah gerakan kembali pada hakikat kultural yaitu melepaskan sejenak ikatan-ikatan struktur yang sering menjajah dan melegitimasi kebenaran struktur tertentu melalui kekuasaan yang ia tajamkan di tubuh gerakan.

KAMMI Kultural berupaya memberi ruang kepada alumni KAMMI yang tidak di partai politik untuk memberi sumbangsih pemikiran kembali. Dengan harapan, ada mekanisme terarah untuk KAMMI agar bias bergerak merata di semua lini dan bergerak secara strategis lebih baik di masa depan. Sehingga, ketika terjadi perdebatan tentang tafsir Paradigma Gerakan, pengelolaan anggaran KAMMI, Definisi Tarbiyah, Ideologi KAMMI dan lain sebagainya, maka kader diberikan ruang untuk berdebat secara intelektual. Perdebatan itu hendaknya tidak tersandera oleh sekat-sekat struktural.

Penegasan KAMMI Kultural
KAMMI Kultural tidak berlalu begitu saja sampai di sini. KAMMI Kultural akan terus berusaha menghadirkan sisi egaliter dalm berbagai hal di tubuh KAMMI yang selama ini diselesaikan dengan cara-cara Top-down. KAMMI Kultural memberi kebebasan kepada kader untuk memberikan buah berfikir yang rasional, bergerak sadar untuk ummat --bukan golongan tertentu— serta dirasakan di masyarakat. KAMMI Kultural juga ingin menegaskan pada public bahwa KAMMI bukan gerakan “broker anggaran” yang jamak kita temui di mayoritas gerakan mahasiswa Indonesia pasca-reformasi.

KAMMI Kultural tidak akan berlalu begitu saja ketika sebagian pegiatnya ada di struktur KAMMI. KAMMI Kultural akan tetap ada bagi mereka-mereka yang sadar untuk memperluas gerakan dakwah tanpa kasta, terutama saat struktur politik sudah bergerak offside dari makna dakwah itu sendiri. KAMMI Kultural akan terus melaju!

Wallahu a’lam bish shawwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar