Oleh : Dharma Setyawan
Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural
Ada anggapan, bahwa KAMMI
Kultural akan hilang seiring waktunya dan
hanya menjadi gerakan pragmatisme, karena dianggap sebagai alat untuk menuju posisi-posisi kekuasaan
Pimpinan Pusat. Mungkin
anggapan ini lahir karena ada yang mengira –seperti bebreapa
elit yang “sinis” dengan Kultural—bahwa KAMMI Kultural adalah faksi tertentu,
dan akan mengalami apa yang terjadi pada sebagian kelompok-kelompok faksi yang sejak dulu telah bersemayam di tubuh
KAMMI
Banyak beberapa kalangan menyebut bahwa
konflik yang terjadi antara kubu Andriyana dan Fikri Aziz telah menjadikan
KAMMI Kultural akhirnya diberi ruang Struktural. Secara pribadi saya tidak
pernah berpikir sejauh
itu. Untuk membacanya, kita
perlu menyegarkan kembali wacana dan pengertian tentang
hakikat kekuasaan –lebih
khusus ketika
memaknai “amanah” struktural—yang menjadi perebutan
beberapa kawan-kawan menuju PP KAMMI.
Menyegarkan Kembali “Gerakan Kultural”
Banyak beberapa kalangan menyebut KAMMI masih
disebut sebagai gerakan moral. KAMMI
selama ini dikenal dengan kesantunan, kesolidan, dan militansi kader yang cukup
dipandang dalam gerakan ekstra-kampus. Akan tetapi, bagi pelaku-pelaku gerakan di tubuh
KAMMI sendiri, anggapan
ini sulit untuk dipercayai,
mengingat semakin pragmatisnya elit-elit gerakan
yang bertahta di kursi singgasana Pimpinan.
Jika anda pernah
membaca Laporan Pertanggungjawaban Pengurus KAMMI (Baik yang terlapor di
Muktamar maupun yang termuat di berbagai media) serta memperhatikan
seluk-beluk gerakan satu delade terakhir di tingkat pusat, hal semacam ini tentu sudah sering
kita temui. Anda akan menemui dana-dana yang sebenarnya secara real masuk ke tubuh organisasi, tapi tidak dilaporkan secara akuntabel dan jujur oleh pengurus KAMMI.
Ibarat Ikan yang sudah busuk di bagian kepala, perlu dilakukan semacam “amputasi” agar tidak membusuk sampai ke ekor. Demikianlah saya membaca wajah KAMMI hari ini. Gerakan kritik bukannya tidak pernah dilakukan. Sebagaimana kita ketahui bersama, ada beberapa gerakan semacam “Daulat KAMMI” setelah MLB 2009, kaum “Nihilis” –untuk menyebut kader yang sama sekali apriori terhadap KAMMI, Kritik individual dari tokoh atau alumni KAMMI, hingga hadirnya gerakan KAMMI Kultural.
Ibarat Ikan yang sudah busuk di bagian kepala, perlu dilakukan semacam “amputasi” agar tidak membusuk sampai ke ekor. Demikianlah saya membaca wajah KAMMI hari ini. Gerakan kritik bukannya tidak pernah dilakukan. Sebagaimana kita ketahui bersama, ada beberapa gerakan semacam “Daulat KAMMI” setelah MLB 2009, kaum “Nihilis” –untuk menyebut kader yang sama sekali apriori terhadap KAMMI, Kritik individual dari tokoh atau alumni KAMMI, hingga hadirnya gerakan KAMMI Kultural.
Gerakan Kultural sendiri sebenarnya bukan
berawal dari kader tertentu, tetapi justru pengurus KAMMI yang hadir untuk melakukan sarasehan lintas generasi. Sarasehan tersebut, sebagaimana disebut dalam acara
di Yogyakarta, dirangkai sebagai
upaya solusi dan dialektika yang adil. Sikap kritis
itu tak berhenti sampai sarasehan belaka; ia berlanjut
dengan kawan-kawan Jogja menuliskan ide-ide pembaharuan gerakan dalam Jurnal KAMMI Kultural (http://www.kammikultural.org/) .
Namun, kini
yang terjadi adalah “lanjutan” dari
perdebatan beberapa kubu di KAMMI dan sepertinya akan terus berlanjut, bahwa
gerakan Kultural mulai masuk ke ruang struktural dengan adanya beberapa pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural di
Kepengurusan PP KAMMI. Bisa disebut, “kultural” hanya seperti badai yang tidak diharapkan
datang membuat keributan, kemudian berlalu begitu saja karena telah ada
beberapa yang masuk ke struktural.
Padahal, Gerakan
Kultural tidak diciptakan hanya sekadar untuk memuaskan ‘keinginan masuk ke
struktur’. Gerakan Kultural adalah sisi lain dari
pluralitas berfikir KAMMI yang selama ini merasa didominasi oleh ideologi
tertentu, diatur oleh struktur tertentu, dan hampir dipastikan sulit mencari
ruang dialektika di tubuh KAMMI. Pokok persoalannya
adalah, banyak pengurus KAMMI di berbagai daerah yang cenderung
konservatif dan tidak egaliter dalam memperlakukan
kader-kadernya yang agak “bandel”.
Saya menyebut KAMMI
Kultural sebagai “upaya
memenangkan kekuasaan
pada tingkat berpikir kader”. Ia
tentu saja bukan sekedar alat politik yang tujuannya hanya bersifat
pragmatis, yaitu untuk berkuasa; KAMMI Kultural ingin menciptakan kader-kader intelektual yang progresif. Kita
tentu pernah mengingat sosok Al-Farabi. Ia adalah seorang tukang kebun dan bekerja
siang hari untuk tuannya. Akan tetapi, tapi
kita juga melihat sosok
Al-Farabi sebagai
penguasa di jagad pemikiran dan dirinya dalam hidupnya.
Sejak
usia baligh, ia
hanya tidak menulis saat dua hari –yaitu saat malam pertama menikah dan saat
Ayahnya meninggal. Selain
dua hari itu, Al-Farabi
menulis sampai akhir hayatnya. Wajar jika Muhammad
Natsir dalam “Capita Selecta” menyebut Al-Farabi sebagai “Penguasa di
jagad Ruh kendati menjadi budak
di jagad materi”.
Begitulah saya menafsirkan gerakan kultural sebagai sebuah gerakan ‘kehendak bebas’ yang
bertujuan memberi ruang kepada seluruh kader KAMMI untuk memberikan sumbangsih berfikir secara dialektis ruang-ruang kultural –bergerak tanpa kasta dan berjuang tanpa nama.
Bisa saja, seorang
kader KAMMI dalam wilayah struktural bukan siapa-siapa. Ia hanya seorang jundi komisariat yang tidak menempati
posisi/jabatan struktural yang
strategis. Akan tetapi, di jagad pemikiran, ialah yang paling baik
amal ibadahnya, lebih luas membaca bukunya, tinggi pemahaman ilmu dan pengetahuannya, serta lebih progresif dalam berkarya.
Pada titik inilah
KAMMI Kultural berupaya memberi ruang adil agar kader-kader KAMMI di struktur yang lebih tinggi dapat mengakomodir dan mengakui proses tumbuhnya ilmu di tubuh KAMMI sampai di tingkat
komisariat.
Menghadirkan “Yang Lain” dari KAMMI
KAMMI Kultural juga berupaya mengajak
alumni-alumni yang selama ini menghilang dari sejarah gerakan akibat tidak
aktif di struktur partai tertentu. Alumni KAMMI yang selama ini aktif di dunia
luar –pendidikan, akademisi, ekonomi, Bbdaya, dan lainnya— yang bukan partai politik (baca: PKS), hampir
dipastikan tidak dihadirkan sebagai alumni yang cemerlang. Mereka tidak dipandang
layaknya alumni yang menempati jabatan politik di partai tingkat nasional
hingga daerah. KAMMI Kultural kemudian mulai mengakomodasi mereka-mereka yang
menghilang dari sejarah gerakan masa-masa awal KAMMI.
Sejak sarasehan Yogyakarta dan Jakarta, mereka-meraka yang menghilang
dihadirkan untuk berbicara tentang KAMMI. Bisa disebut beberapa tokoh: Haryo Setyoko (Sekjen Pertama KAMMI) yang lebih dari 12 tahun tidak pernah
berbicara tentang KAMMI, Mu’tamar Ma’ruf –salah satu pencetus “paradigma
gerakan” KAMMI, serta banyak
alumni lainnya yang dianggap keluar dari barisan tarbiyah dan tokoh alumni
lainnya. Kami merasa ketidakadilan
itu mencolok bahwa alumni yang dihargai adalah mereka yang di struktur politik
bahkan khusus partai tertentu dalam definisi partai yang menjadi panglima
dakwah khususnya di Indonesia.
Kritik berlanjut tentang “Tarbiyah” yang seharusnya
sebagai payung bersama. Uraian tentang ‘kritik
epistemologis atas Tarbiyah tidak dapat saya lakukan di tulisan sederhana ini –mengingat
keterbatasan tempat. Akan tetapi, pada
hematnya, KAMMI Kultural adalah sebuah kesadaran bersama kader-kader yang
ingin memperbaiki gerakan KAMMI dengan cara memperbaiki proses cara berfikir tanpa
ada hegemoni dari struktur tertentu.
Jika struktur politik dianggap sebagai
panglima dakwah dan menjadi payung bersama bagi gerakan dakwah, maka posisi politik ini bukanlah dakwah yang syumul (menyeluruh). Yang terjadi
sebenarnya adalah hegemoni peran dakwah oleh
struktur politik sehingga ipoleksosbudhankam (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan, keamanan, dll.) sedang
diatur oleh dakwah politik yang bisa
melegitimasi kebenaran dakwah atas nama “jamaah’.
Sekarang, kita masih
mendapati mereka yang melakukan kritik atas dakwah
politik yang melenceng –korupsi, bermewah-mewah, dan lainnya—dianggap tidak
paham manhaj atau bahkan
dianggap murtad dari gerakan dakwah versi “tarbiyah Indonesia” (Sekali lagi. versi “tarbiyah Indonesia”).
KAMMI Kultural adalah gerakan yang ingin bergerak beyond
hal tersebut. Di Gerakan Kultural, kami memimpikan sesuatu yang lebih. Setidaknya Tarbiyah juga ada untuk
untuk para pengamat politik, ekonom, gerakan mahasiswa sehingga mereka mandiri
tanpa takut mengkritik saudara mereka yang keblabasan di tingkat parlemen. Gerakan ini adalah gerakan kembali
pada hakikat kultural yaitu melepaskan sejenak ikatan-ikatan struktur yang
sering menjajah dan melegitimasi kebenaran struktur
tertentu melalui kekuasaan yang ia tajamkan di tubuh gerakan.
KAMMI Kultural berupaya memberi ruang kepada
alumni KAMMI yang tidak di partai politik untuk memberi sumbangsih pemikiran
kembali. Dengan harapan,
ada mekanisme terarah untuk KAMMI agar bias bergerak
merata di semua lini dan bergerak secara strategis
lebih baik di masa depan. Sehingga,
ketika terjadi perdebatan tentang tafsir Paradigma Gerakan, pengelolaan anggaran KAMMI, Definisi
Tarbiyah, Ideologi KAMMI dan lain sebagainya, maka kader diberikan ruang untuk
berdebat secara intelektual. Perdebatan itu
hendaknya tidak tersandera oleh sekat-sekat
struktural.
Penegasan KAMMI Kultural
KAMMI Kultural tidak berlalu begitu saja sampai di sini. KAMMI Kultural akan terus berusaha menghadirkan sisi egaliter dalm berbagai hal di
tubuh KAMMI yang selama ini diselesaikan dengan cara-cara Top-down. KAMMI Kultural memberi kebebasan kepada kader untuk
memberikan buah berfikir yang rasional, bergerak sadar untuk ummat --bukan
golongan tertentu— serta
dirasakan di masyarakat. KAMMI Kultural juga
ingin menegaskan pada public bahwa KAMMI bukan gerakan “broker anggaran” yang jamak kita temui di mayoritas gerakan mahasiswa
Indonesia pasca-reformasi.
KAMMI Kultural tidak akan berlalu begitu saja
ketika sebagian pegiatnya ada di struktur KAMMI. KAMMI Kultural akan tetap ada
bagi mereka-mereka yang sadar untuk memperluas gerakan dakwah tanpa kasta, terutama saat struktur politik sudah bergerak offside dari makna dakwah itu sendiri. KAMMI
Kultural akan terus melaju!
Wallahu a’lam bish shawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar