Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural, Aktif di KAMMI UNS
KAMMI seharusnya menjadi sebuah lembaga publik, dikelola dengan pertanggungjawaban publik. Kalau dari bahasa ‘dalam’-nya, KAMMI adalah lembaga yang diwakafkan untuk publik (wajihah ‘am)... (Catatan Sarasehan Yogyakarta)
Labelisasi KAMMI
Sejak perdebatan mengenai lahirnya sebuah
gerakan dalam tubuh KAMMI yang melabeli dirinya sebagai Gerakan
Kultural bergulir, adu argumen yang terjadi antar dua kubu menjadi bahan
kajian yang menarik untuk dibahas. Sebab, disini kedua belah pihak yang
sama-sama menolak pengkotak-kotakan gerakan, justru mengkotaki terlebih
dahulu dirinya dengan label Struktural-Kultural di ranah perdebatan
literal.
Bukannya mempertanyakan apa fungsi label struktural-kultural ini.
Ironisnya, kader KAMMI yang berada di luar arena perdebatan literal itu
malah sibuk berspekulasi dengan meng-homolog-kan label
Struktural-Kultural dengan label halal-haram. Mungkin, karena budaya verbalisme yang telah mengurat nadi, mereka yang tak tahu duduk persoalan pun turut mengamini labeling
tersebut.
Sehingga, tak pelak isu yang menyatakan bahwa gerakan kultural
adalah sebuah gerakan sempalan, gerakan manuver, yang digagas oleh
beberapa kader dalam upaya melakukan destruksi terhadap warna gerakan
Ikhwanul Muslimin dan patronasinya dengan Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) pun menguar ke permukaan. Menjadikan gerakan Kultural yang baru
hadir tersebut menjadi musuh bersama bagi seluruh kader KAMMI, baik
yang masuk dalam struktur pengurus maupun mereka yang hanya berafiliasi.
Nah, disinilah poin pertama yang
ingin saya ungkapkan. Homogenisasi label struktural-kultural dengan
label halal-haram ini sejatinya telah merancukan kerangka berfikir kita
untuk melihat segala sesuatunya secara objektif. Padahal, inti dari
persoalan bukanlah pada pelabelan itu, akan tetapi pada argumentasi
rasional yang akan menopang dan mengarahkan pada posisi teoritik yang
diringkaskan ke arah frasa pelabelan yang dimaksud. Maka, sebelum
melangkah ke pembahasan selanjutnya, mari kita jernihkan terlebih dahulu
persepsi kita mengenai penggunaan kedua term ini.
Menjawab ‘Inkusivisme Lip Service’ Struktural
Fenomena makin menggeliatnya gerakan kultural di media sosial, baik di facebook (Group KAMMI Lintas Generasi dan akun facebook Diskusi Kultural) maupun website (kammikultural.org)
yang berupaya membedah kembali identitas dan ideologi KAMMI melalui
kajian keilmuan yang rasional dan empiris, serta menciptakan iklim
demokratis, terbuka, kritis, dan jujur dalam pencarian kebenaran dengan
memaparkan fakta sejarah disertai argumentasi pendukung yang sepenuhnya
dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan intelektual sudah saatnya
mendapat apresiasi dari rekan-rekan KAMMI di seluruh Indonesia, bukannya
mendapat label haram, ‘barisan sakit hati’, pemberontak, sempalan, maupun ungkapan steriotipe lainnya.
Sadar tidak sadar, diakui maupun tidak,
semaraknya group dan website tersebut menandakan bahwa pada dasarnya
Kultural telah diterima untuk mengisi ruang-ruang dialektis serta
pertarungan wacana di tubuh KAMMI yang selama ini identik dengan mitos
statis, homogen, dan terkesan eksklusif. Tentu saja hal ini merupakan
langkah awal yang sangat positif dalam membangun pencerdasan bersama
menuju kemajuan dan kemandirian organisasi yang egaliter di setiap level
struktur.
Bahwa untuk bisa terlibat dalam dialog
yang bermakna dengan gerakan lainnya, KAMMI harus memulainya dengan
membuka dialog ke dalam dirinya sendiri. Ini hanya dapat terjadi jika
KAMMI belajar menerima perbedaan-perbedaan internal dengan menerima
secara bijak kehadiran suara-suara baru yang bisa jadi berbeda dari mainstream kebanyakan.
Selama ini, kita seringkali acuh tak acuh
(atau tidak sadar?) apabila ideologi gerakan KAMMI yang tertuang dalam
paradigma, kredo, dan prinsip gerakan digunakan secara apologis, yakni
dengan memilih teks yang pas untuk membebaskan diri dari inkonsistensi
(atau ‘kemunafikan’) yang terjadi dalam praktek. Bahkan, tanpa pikir
panjang menjadikannya sebagai tameng guna menutup diri demi menjaga
kemurnian ajaran. Padahal, ide tetaplah ide, akan selamanya bersifat
ekletik. Diperlukan pematangan meskipun harus mengkonfrontasikannya
dengan ide dan gagasan lain dalam percaturan wacana.
Memang, sebagai organisasi yang memiliki
pucuk pimpinan dan terorganisasi secara terpusat kader KAMMI berharap
bahwa struktur-lah yang mengambil peran menentukan identitas organisasi
untuk kemudian diartikulasikan dalam perjuangan politik dan ideologinya,
bukannya oleh segelintir orang yang berada di tataran grassroot.
Akan tetapi, seringkali upaya-upaya penyadaran identitas itu tersandera
oleh kepentingan-kepentingan lain yang menyuntikkan pengaruhnya ke
dalam struktur hingga menyebabkan KAMMI terjebak pada dinamika
parlementer dan politik an sich serta keberpihakan dalam
penyikapan isu yang menuntut kesatuan bulat suara untuk menghimpun
massa.
Heterogenitas dinilai akan menghancurkan soliditas dan harus
diberangus sampai ke akar-akarnya. Otomatis, suara-suara sub-altern itu pun tenggelam dan tak lagi terdengar, inklusifitas akan keberagaman pun seolah menjadi lip service semata, inklusifitas yang malas dan cenderung parsial.
Maka, langkah yang paling masuk akal
adalah membuat agensi di luar struktur yang merumuskan identitas
kolektif dan artikulasi perjuangan organisasi dalam rangka
merealisasikan tanggungjawab moralnya sebagai kader KAMMI yang otonom
dan independen, tanpa ada tendensi untuk merebut kekuasaan struktur
dalam upaya merealisasikannya secara revolusioner.
Mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami
Selama ini, kita seolah menunjukkan pada
diri kita sendiri dan yang lain potret wajah KAMMI yang tunggal dan
homogen, padahal kita sadari betul bahwa ada begitu banyak suara dan
wajah beragam yang membentuk potret KAMMI secara utuh. Pengakuan
terhadap keberagaman ini tak hanya akan memperindah perwajahan KAMMI,
tapi juga membuat kita lebih jujur.
Dan kiranya, kalimat Mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami,
sebagai visi KAMMI yang tertuang dalam konstitusi bisa menjadi kalimat
perekat kebersamaan yang mempersatukan kolektivitas perjuangan kader
KAMMI di seluruh penjuru tanah air, baik yang melabeli dirinya
struktural maupun kultural.
Dalam pidato monumental Lahirnja Pantjasila pada Juni 1945, Bung Karno mengatakan, “Kita
mendirikan negara Indonesia yang kita semua harus mendukungnya. Semua
buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, golongan Islam buat Indonesia,
bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan
Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia,
semua buat semua!”
Mungkin untuk sekali lagi, kita harus
memaknai bahwa perjuangan yang heroik lagi panjang ini bukanlah untuk
kepentingan kelompok, apalagi hanya perkara struktural-kultural, akan
tetapi merupakan suatu komitmen pengabdian yang murni dan tulus untuk
merumuskan yang terbaik bagi semua, bagi KAMMI, bagi Indonesia, bagi ummah.
Semua buat semua!
Sekalipun hanya daur ulang ide dan kesimpulan lama, semoga tulisan ini bermanfaat,
Akhirul kalam, astaghfirullah hal’adzim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar