9 September 2013

Melampaui Label "Kultural" dan "Struktural"

Oleh: Alikta Hasnah Safitri
Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural, Aktif di KAMMI UNS

KAMMI seharusnya menjadi sebuah lembaga publik, dikelola dengan pertanggungjawaban publik. Kalau dari bahasa ‘dalam’-nya, KAMMI adalah lembaga yang diwakafkan untuk publik (wajihah ‘am)... (Catatan Sarasehan Yogyakarta)

Labelisasi KAMMI
Sejak perdebatan mengenai lahirnya sebuah gerakan dalam tubuh KAMMI yang melabeli dirinya sebagai Gerakan Kultural bergulir, adu argumen yang terjadi antar dua kubu menjadi bahan kajian yang menarik untuk dibahas. Sebab, disini kedua belah pihak yang sama-sama menolak pengkotak-kotakan gerakan, justru mengkotaki terlebih dahulu dirinya dengan label Struktural-Kultural di ranah perdebatan literal.

Bukannya mempertanyakan apa fungsi label struktural-kultural ini. Ironisnya, kader KAMMI yang berada di luar arena perdebatan literal itu malah sibuk berspekulasi dengan meng-homolog-kan label Struktural-Kultural dengan label halal-haram. Mungkin, karena budaya verbalisme yang telah mengurat nadi, mereka yang tak tahu duduk persoalan pun turut mengamini labeling tersebut. 

Sehingga, tak pelak isu yang menyatakan bahwa gerakan kultural adalah sebuah gerakan sempalan, gerakan manuver, yang digagas oleh beberapa kader dalam upaya melakukan destruksi terhadap warna gerakan Ikhwanul Muslimin dan patronasinya dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pun menguar ke permukaan. Menjadikan gerakan Kultural yang baru hadir tersebut menjadi musuh bersama bagi seluruh kader KAMMI, baik yang masuk dalam struktur pengurus maupun mereka yang hanya berafiliasi.

Nah, disinilah poin pertama yang ingin saya ungkapkan. Homogenisasi label struktural-kultural dengan label halal-haram ini sejatinya telah merancukan kerangka berfikir kita untuk melihat segala sesuatunya secara objektif. Padahal, inti dari persoalan bukanlah pada pelabelan itu, akan tetapi pada argumentasi rasional yang akan menopang dan mengarahkan pada posisi teoritik yang diringkaskan ke arah frasa pelabelan yang dimaksud. Maka, sebelum melangkah ke pembahasan selanjutnya, mari kita jernihkan terlebih dahulu persepsi kita mengenai penggunaan kedua term ini.

Menjawab ‘Inkusivisme Lip Service’ Struktural
Fenomena makin menggeliatnya gerakan kultural di media sosial, baik di facebook (Group KAMMI Lintas Generasi dan akun facebook Diskusi Kultural) maupun website (kammikultural.org) yang berupaya membedah kembali identitas dan ideologi KAMMI melalui kajian keilmuan yang rasional dan empiris, serta menciptakan iklim demokratis, terbuka, kritis, dan jujur dalam pencarian kebenaran dengan memaparkan fakta sejarah disertai argumentasi pendukung yang sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan intelektual sudah saatnya mendapat apresiasi dari rekan-rekan KAMMI di seluruh Indonesia, bukannya mendapat label haram, ‘barisan sakit hati’, pemberontak, sempalan, maupun ungkapan steriotipe lainnya.

Sadar tidak sadar, diakui maupun tidak, semaraknya group dan website tersebut menandakan bahwa pada dasarnya Kultural telah diterima untuk mengisi ruang-ruang dialektis serta pertarungan wacana di tubuh KAMMI yang selama ini identik dengan mitos statis, homogen, dan terkesan eksklusif. Tentu saja hal ini merupakan langkah awal yang sangat positif dalam membangun pencerdasan bersama menuju kemajuan dan kemandirian organisasi yang egaliter di setiap level struktur. 

Bahwa untuk bisa terlibat dalam dialog yang bermakna dengan gerakan lainnya, KAMMI harus memulainya dengan membuka dialog ke dalam dirinya sendiri. Ini hanya dapat terjadi jika KAMMI belajar menerima perbedaan-perbedaan internal dengan menerima secara bijak kehadiran suara-suara baru yang bisa jadi berbeda dari mainstream kebanyakan.

Selama ini, kita seringkali acuh tak acuh (atau tidak sadar?) apabila ideologi gerakan KAMMI yang tertuang dalam paradigma, kredo, dan prinsip gerakan digunakan secara apologis, yakni dengan memilih teks yang pas untuk membebaskan diri dari inkonsistensi (atau ‘kemunafikan’) yang terjadi dalam praktek. Bahkan, tanpa pikir panjang menjadikannya sebagai tameng guna menutup diri demi menjaga kemurnian ajaran. Padahal, ide tetaplah ide, akan selamanya bersifat ekletik. Diperlukan pematangan meskipun harus mengkonfrontasikannya dengan ide dan gagasan lain dalam percaturan wacana.

Memang, sebagai organisasi yang memiliki pucuk pimpinan dan terorganisasi secara terpusat kader KAMMI berharap bahwa struktur-lah yang mengambil peran menentukan identitas organisasi untuk kemudian diartikulasikan dalam perjuangan politik dan ideologinya, bukannya oleh segelintir orang yang berada di tataran grassroot. Akan tetapi, seringkali upaya-upaya penyadaran identitas itu tersandera oleh kepentingan-kepentingan lain yang menyuntikkan pengaruhnya ke dalam struktur hingga menyebabkan KAMMI terjebak pada dinamika parlementer dan politik an sich serta keberpihakan dalam penyikapan isu yang menuntut kesatuan bulat suara untuk menghimpun massa. 

Heterogenitas dinilai akan menghancurkan soliditas dan harus diberangus sampai ke akar-akarnya. Otomatis, suara-suara sub-altern itu pun tenggelam dan tak lagi terdengar, inklusifitas akan keberagaman pun seolah menjadi lip service semata, inklusifitas yang malas dan cenderung parsial.

Maka, langkah yang paling masuk akal adalah membuat agensi di luar struktur yang merumuskan identitas kolektif dan artikulasi perjuangan organisasi dalam rangka merealisasikan tanggungjawab moralnya sebagai kader KAMMI yang otonom dan independen, tanpa ada tendensi untuk merebut kekuasaan struktur dalam upaya merealisasikannya secara revolusioner.

Mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami
Selama ini, kita seolah menunjukkan pada diri kita sendiri dan yang lain potret wajah KAMMI yang tunggal dan homogen, padahal kita sadari betul bahwa ada begitu banyak suara dan wajah beragam yang membentuk potret KAMMI secara utuh. Pengakuan terhadap keberagaman ini tak hanya akan memperindah perwajahan KAMMI, tapi juga membuat kita lebih jujur. 

Dan kiranya, kalimat Mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami, sebagai visi KAMMI yang tertuang dalam konstitusi bisa menjadi kalimat perekat kebersamaan yang mempersatukan kolektivitas perjuangan kader KAMMI di seluruh penjuru tanah air, baik yang melabeli dirinya struktural maupun kultural.

Dalam pidato monumental Lahirnja Pantjasila pada Juni 1945, Bung Karno mengatakan, “Kita mendirikan negara Indonesia yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!”

Mungkin untuk sekali lagi, kita harus memaknai bahwa perjuangan yang heroik lagi panjang ini bukanlah untuk kepentingan kelompok, apalagi hanya perkara struktural-kultural, akan tetapi merupakan suatu komitmen pengabdian yang murni dan tulus untuk merumuskan yang terbaik bagi semua, bagi KAMMI, bagi Indonesia, bagi ummah.

Semua buat semua!

Sekalipun hanya daur ulang ide dan kesimpulan lama, semoga tulisan ini bermanfaat,
Akhirul kalam, astaghfirullah hal’adzim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar