25 Januari 2014

Blog

Ahmad Rizky M. Umar 

Dalam karyanya yang terkenal, Dari Mana Kita Mulai, Kamerad Lenin menulis sebagai berikut, "...titik tolak dari aktivitas kita... memungkinkan kita membangun, memperkuat, dan memperluas organisasi, adalah dengan membentuk sebuah koran politik yang menjangkau seluruh Rusia.." Kita punya satu kata kunci: koran. 

Membentuk koran berarti menyuruh kader rajin membaca, menulis, dan mendidik rakyat. Ikhwanul Muslimin mungkin bukan organisasi Leninis, tapi mereka tahu betul pentingnya koran. Hasan Al-Banna menggerakkan majalah mingguan Al-Ikhwanul Muslimun, yang terbit selama kira-kira 6 tahun. Menyusul kemudian majalah An-Nadzir dan Ash-Shihab pada tahun 1938. Sampai Al-Banna meninggal, Ikhwan punya tradisi memaparkan pandangan-pandangannya, dari soal agama dalam hidup sehari-hari hingga politik.

Seperti kata Kamerad Lenin, koran membantu organisasi dalam memperkuat organisasi dan memperluas struktur. Hasan Al-Banna sudah membuktikan itu. Dari hanya 100an orang di awal pembentukannya, ia mampu memperluas keanggotaan Ikhwan hingga ratusan ribu pada 1940an. 

Namun, kita tidak hanya bicara soal koran sebagai tulang punggung organisasi. Koran juga jadi tempat pendidikan, adu gagasan, debat terbuka. Syahdan, dulu Sarekat Islam Cabang Semarang, tempat bersamainya komunisme generasi awal di Indonesia, punya koran yang namanya Sinar Djawa. Di Sinar Djawa itu perdebatan antara Muhammad Joesoef dan Semaoen (murid Tjokroaminoto yang berhaluan komunis) bisa disaksikan. 

Tidak ada yang tabu soal berdebat di muka publik. Zaman dulu, mungkin berdebat soal ide-ide sederhana tidak mempengaruhi elektabilitas. 



Mari kembali ke Ikhwan. Perkembangan 'koran' di Ikhwanul Muslimin mengalami pasang dan surutnya seiring pertentangan Ikhwan dengan rezim politik yang ada. Tapi dari sana koran berkembang menjadi lebih luas. Karena dididik dengan 'membaca', Ikhwan jadi punya banyak pemikir. Tahun 1960an, Sayyid Qutb menerbitkan Ma'alim fith Thariq yang bisa dikatakan sebagai 'radikalisasi' Al-Banna. Setahun setelah Qutb menulis risalah itu, muncul tulisan dari Hasan Al-Hudaiby, Du'at La Qudhat, yang menjadi semacam 'tanggapan' atas wacana yang dibawa Quthb. 

Di momen penting inilah, sebagaimana dicatat Barbara Zollner yang meneliti pemikiran Hasan Al-Hudaiby secara spesifik, terjadi proses 'moderasi' di Ikhwan. Tanpa momen itu, mungkin susah kita membayangkan Ikhwan akan bertarung di parlemen dan pemilu.

Kita akan melompat sedikit jauh: seiring perkembangan zaman, 'koran' mulai bertransformasi menjadi era digital. Ikhwan juga sadar betul akan hal ini. Mereka punya dua web, ikhwanonline yang berbahasa Arab dan ikhwanweb yang berbahasa Inggris. Dengan dua 'koran online' ini, Ikhwan mentransformasi organisasinya di era digital, sekaligus menciptakan wadah bagi anak-anak mudanya yang semakin melek teknologi.

Tapi ada satu hal yang menarik di sini: perkembangan teknologi ini juga memfasilitasi lahirnya generasi baru Ikhwan yang lebih kritis dan modern. Mereka lahir melalui 'blog-blog politik' yang marak di Mesir (dan juga belahan dunia lain) di pertengahan dekade 2000an. Generasi 'blogger Ikhwan' ini melahirkan generasi yang tidak lagi 'eksklusif' dan 'militan' sebagaimana orang-orang tua di Maktab Irsyad, melainkan juga yang kritis dan menginginkan perubahan.

Khalil Al-Anani memotret generasi 'keempat' Ikhwan ini secara cerdas: mereka di satu sisi membawa kepentingan Ikhwan dalam aktivisme lintas gerakan, namun di sisi lain juga kritis terhadap Maktab Irsyad yang kaku, konservatif, dan diisi oleh orang yang 'itu-itu saja'.

Di antara yang terkenal adalah Magdy Saad, Abdul Mon'eim Ahmad, dan Islam Lotfy. Tahun 2005, mereka ramai mengkritik pemilihan Maktab Irsyad yang sangat tertutup dan tidak menawarkan perubahan apa-apa. Kritik mereka cukup berani: mereka melancarkan kritik melalui blog. Seorang blogger, dalam catatan Al-Anani, membuat tulisan sederhana: "Gelombang dalam Laut Perubahan" (sayangnya tulisan ini tidak bisa diakses lagi saat ini). Tulisan itu dengan tajam membongkar internal Ikhwan yang ia nilai tidak demokratis dan mengalami kejenuhan. 

Dampaknya tentu saja membuat Maktab Irsyad sedikit kebakaran jenggot. Mohammad Morsy (waktu itu masih menjadi Ketua Departemen Politik Ikhwan) mengumpulkan para bloggeritu untuk diskusi, mendengarkan aspirasi mereka, dan akhirnya memberikan petuah-petuah. Tradisi Ikhwan memang menjaga kerahasiaan (amniyah) dan tentu saja, kritik terbuka itu dilarang. 

Tapi tentu saja mereka tidak hanya menulis tentang sisi dalam Ikhwan. Di banyak kasus, Blogging justru efektif. Islam Lotfy Shalaby, misalnya, yang dikenal dengan blog politiknya, 'kawakby' (dalam bahasa Arab), menggunakan blog sebagai sarana untuk membangun solidaritas anak muda. Penggunaan blog sebagai alat pengorganisiran politik ini efektif dalam kasus Gerakan 6 April -mereka sukses mentransformasi pemogokan buruh di Al-Mahallah Al-Kubra tahun 2008 menjadi sebuah aksi politik.

Profesor Asif Bayat memuji gerakan tersebut sebagai titik tolak kejatuhan Husni Mubarak. 


Apa yang menarik tentang blog adalah bahwa 'blog' telah membuka apa yang selama ini dianggap cukup tabu dalam tradisi Ikhwan: 'kritik'. Anak-anak muda blogger itu telah membuktikan bahwa gerakan mereka bisa menciptakan angin perubahan dan selangkah lebih jauh dari tokoh-tokoh konservatif. Di lapangan Tahrir, 25 Januari 2011, para blogger itu berkumpul dan mendeklarasikan angin perubahan bersama rakyat Mesir lain.

Jadi, jika ada yang memandang Blog-blog seperti Jurnal KAMMI Kultural itu cuma 'lambang sakit hati', sesuatu yang bisa merusak jamaah, lalu dengan senjata taklimat melakukanblacklisting dan sebagainya, ada baiknya segera shalat taubat. Sebab, mungkin pandangan-pandangan seperti itulah yang menceburkan kapal dakwah di tengah laut perubahan.

Nashrun Minallah wa Fathun Qariib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar