1 Februari 2014

[ULASAN BUKU] Membaca (Ulang) Trias Politica: Perspektif Islam


Judul Buku : Trias Politica dalam Negara Madinah
Penulis : Dr. Muhammad Alim,S.H., M.Hum.
Penerbit : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Kontitusi, Jakarta
Jumlah Halaman : xxii + 106 Halaman
Cetakan : Pertama (September 2008)
Peresensi : Kuncoro Probojati *)

Banyak kalangan yang menganggap Montesquieu sebagai seseorang yang mengenalkan teori pemisahan kekuasan pada abad XVII, yaitu menjadi kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, serta kekuasaan yudikatif. Teori ini oleh Immanuel Kant, seorang filsuf politik terkemuka era pertengahan, disebut sebagai trias politica. Muhammad Alim dalam buku ini menyatakan bahwa anggapan ini keliru. Pemisahan kekuasaan telah dikenal jauh lebih lama daripada itu yaitu pada abad VI bahkan telah mencapai taraf praktik, bukan hanya teori.

Jauh sebelumnya, Khilafah Islam telah mengenalkan pembagian kekuasaan serupa dalam terminologi yang berbeda. 

Negara Madinah pada masa pemerintahan Umar bin Khattab (634-644) telah melakukan pembagian kekuasaan secara horizontal. Telah ada lembaga eksekutif yaitu Khalifah dan stafnya; ada lembaga legislatif yakni yang disebut Majelis Syura sebagai dewan perwakilan rakyat yang kemudian hari untuk otoritas menetapkan hukum dilakukan oleh ahl al hall wa al aqd, bersama-sama dengan khalifah, dan juga sudah ada lembaga yudikatif yang dilakukan oleh para hakim atau qadi (hlm 73-74).


Informasi diatas menjadi tamparan keras bagi umat islam, khususnya cendekiawan muslim yang melupakan serta memandang rendah sumber ilmu dari penerapan-penerapan hukum islam khususnya sejarah-sejarah tentang keberhasilan penerapan prinsip islam pada masa lalu. Islam, pada dasarnya, punya landasan yang sangat kuat, secara historis maupun filosofis, untuk menyelenggarakan pemerintahan. Konseptualisasi negara Islam sebenarnya sudah dimiliki oleh Islam, kendati disingkirkan oleh wacana-wacana lain yang berkembang tentang "hukum" dan "negara".

Awalnya buku ini adalah bahan ujian dalam studi mandiri pada Progam Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan telah diuji oleh Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, Guru Besar Hukum Tata Negara UII dan Prof. Dr. Ahmad Minhaji, Guru Besar Sejarah Islam pada Universita Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Penulisnya telah dinyatakan lulus (hlm vii). Artinya buku ini telah teruji secara akademik.

Buku yang terbagi atas 4 bab ini terdiri dari bab pertama, yang membahas mengenai pendahuluan, tinjauan manusia sebagai mahluk sosial, permasalahan yang dikaji, tujuan penulisan, kerangka teori hingga pendekatan atau pisau analisis yang digunakan oleh penulis. Pada bab kedua, dibahas tinjauan Masyarakat, Negara dan Konstitusi, membahas mengenai masyarakat dan negara dari Aristoteles (284-322 SM) hingga Jean Jacques Rousseau (1712-1778), negara dan konstitusi serta hubungan antara masyarakat, negara, dan, konstitusi.

Bab Ketiga membahas pemencaran kekuasaan dalam negara, yang meliputi pemikiran Aristoteles, negara Madinah, pemisahan kekuasaan menurut John Locke, Montesquieu, serta Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Terakhir, pada bab keempat, disajikan  penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari penulis tentang hasil kajiannya.

Keempat Bab ini secara rinci menjelaskan bagaimana Trias Politica, yang selama ini dianggap adalah perwajahan politik Barat (dan karenanya menjadi salah satu pilar penting dalam demokrasi, punya relevansi tertentu dalam Islam. Kerangka historis "Negara Madinah" merefleksikan hal tersebut. Kendati tidak sama seratus persen, nalar pembagian kekuasaan, juga institusionalisasi kekuatan kekuasaan negara, sudah ditemukan dalam sejarah Islam. 

Buku ini relevan bagi peminat kajian tata negara dan hukum Islam. Islam memiliki kerangka berpikir ketatanegaraan yang khas, yang pada giliranya, sebetulnya diadopsi oleh konsepsi politik yang lain. Buku ini menggarisbawahi bagaimana perdebatan pemikiran itu secara historis terbangun dan bertemu dengan perspektif Islam tentang tata negara.

Sayangnya penulis kurang tajam dan komprehensif dalam menggali isu-isu penting ketatanegaraan, terutama dalam konteks Indonesia. Hal ini juga disampaikan oleh Prof. Dr. Moh. Mahfud MD dalam  kata pengantarnya. Kekurangan lain, buku yang tersusun dari hasil pemikiran salah satu hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) ini tidak diperjualbelikan oleh Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, yang menyebabkan hanya sedikit kalangan yang dapat mengakses buku ini, padahal isi daripada buku ini dapat menjadi bahan rujukan bagi ilmu pengetahuan, khususnya dalam lingkup hukum tata negara.

Di akhir buku ini, penulis buku mengajak seluruh umat islam terutama yang dikaruniai ilmu dan pemahaman agar harus bersama bahu-membahu mengungkapkan kebenaran dan kesempuranaan ajaran islam sekaligus melaksanakannya dengan tujuan selain menepis distorsi sejarah menurut versi barat, terutama adalah untuk meninggikan kalimatullah (hlm 96-97). Saya rasa pesan ini penting bagi rekan-rekan KAMMI di mana pun. Mari kembali membaca dan menggali khasanah keilmuan Islam. 

*) Penulis adalah Pegiat KAMMI Kultural Solo, sekarang sedang intern di Mahkamah Konstitusi, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar