13 September 2014

RUU PILKADA CIDERAI KEDAULATAN RAKYAT!

Anis Maryuni Ardi
SEKJEN KAMMI Airlangga, Pegiat Diskusi Kultural Surabaya,
Penstudi Ilmu Politik Universitas Airlangga 

 

Mempercayai jalan parlementer yang tenteram, yakni meretas jalan kemerdekaan Indonesia dengan cara berebut kursi dalam dewan rakyat dan peminta-minta supaya diberikan kekuasaan politik, kita namai ‘percobaan untung-untungan’ yang menyesatkan. Percobaan ini hanya dapat dipikirkan secara teoritis dan praktis di dalam negeri jajahan yang mempunyai borjuasi bumi putra. Kerjasama yang jujur dengan golongan penjajah belanda di luar atau didalam dewan rakyat adalah pengkhianatan terhadap rakyat Indonesia.”[1] (Tan Malaka)


Secara substantif Tan Malaka mencoba untuk memberikan  upaya preventif bahwa tak semua perjuangan politik bertumpu pada parlemen, termasuk pemilihan kepala daerah yang saat ini menjadi perdebatan publik, melalui RUU Pilkada. 

Atas nama kedaulatan rakyat, secara tegas pilkada ditangan DPR adalah wujud konkret pemangkasan kedaulatan rakyat yang selama ini menjadi hikmah kebijaksanaan yang mengalir dalam setiap proses demokrasi di Indonesia. Apakah pantas dalih untuk mengamalkan sila ke-4 Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” dijadikan semangat untuk mendesak pengesahan RUU Pilkada?

Pancasila merupakan rangkaian ide normatif yang elastis terhadap perkembangan zaman, setiap nilai yang tercermin dalam Pancasila berusaha membangun dialektika yang substantif. Dalam konteks ini proses politik yang berlangsung di Indonesia masih memerlukan nalar kolektif dari rakyat berupa keberhadiran suara rakyat. Segenap aktivitas politik harus mengutamakan nilai demokrasi yang substantif, dengan adanya pilkada dibawah wewenang DPRD berarti secara pelan-pelan akan membersihkan nalar kolektif dari rakyat, serta menjauhkan hikmah kebijaksanaan itu sendiri yang sejatinya merupakan kemurnian ide dari pancasila.


Siapa yang mengajukan RUU Pilkada?

            Melalui mendagri, masa pemerintahan SBY, RUU ini diajukan untuk masuk dalam ruang legislasi. Namun setelah banyak partai mendukung RUU Pilkada, pasca hasil pemilu diketahui Gamawan Fauzi beserta Dirjen Otonomi Daerah malah berbalik mendukung pilkada langsung. Saat ini kita mengetahui bahwa subyek utama yang mempunyai kapasitas result terhadap kronoli munculnya RUU Pilkada adalah Partai politik, terutama the rulling party di parlemen.
Apabila ingin memperbaiki kualitas demokrasi yang fit dengan kondisi Indonesia maka harus dimulai dengan sistem kepartaian. Harus ada revolusi kelembagaan dan perjuangan internal dari partai untuk mampu menjawab aspirasi rakyat dengan memberikan kader terbaiknya untuk kualifikasi kepemimpinan yang diinginkan secara kolektif melalui kontestasi yang terbuka, melalui Pemilihan langsung. 

Demokrasi Langsung  Vs Demokrasi Pancasila

Logika demokrasi adalah berawal dari Asumsi bahwa legitimasi rakyat itu lebih penting daripada upaya prosedural berupa keterwakilan untuk menyalurkan aspirasi dalam proses politik. Saat ini konsep publik terhadap demokrasi yang sedang berlangsung di Indonesia jauh dari nilai pancasila dan dekat dengan demokrasi liberal, namun jika dicermati lebih jeli, sebenarnya Indonesia sedang mengarah pada “direct democracy” anggapan bahwa pemilu secara langsung merupakan pemborosan anggaran merupakan logika yang salah kaprah. Cost politic pada proses yang tidak tepat dalam kurun waktu sirkulasi elit berlangsung justru akan lebih membebani rakyat daripada cost politik untuk menyelenggarakan kontestasi. Konsekuensinya kedewasaan politik tidak terpelihara, Fungsi keseimbangan antara legislatif dan eksekutif sebagai fungsi “check n ballance” tidak akan terlihat signifikan, dimana tingkat persekutuan kepentingan dan kerawanan impeachment akan meningkat tajam. Yang terjadi di publik adalah distabilitas dan ketegangan sosial, bagai api dalam sekam. Apakah itu merupakan harga yang harus kita bayar demi pemenuhan hasrat atas nama demokrasi pancasila?

Menyoal Pernyataan sikap KAMMI PUSAT Terhadap  RUU Pilkada[2]
 
Membaca Pernyataan sikap KAMMI PUSAT yang menyetujui RUU Pilkada, atas nama demokrasi pancasila adalah kesalahan dalam mengimplementasikan ide normatif pancasila. Pemaknaan Sila ke-4 perihal permusyawaratan perwakilan bukan berarti menutup kanal aspirasi rakyat secara kolektif dan menyerahkan kedaulatan kepada DPRD. Karena perilaku legislatif secara umum masih vulnerable (rapuh) terhadap politik yang transaksional dan sulit untuk menciptakan konsesnsus yang populis terhadap keinginan rakyat. Sikap menyetujiui RUU ini oleh Kammi Pusat  tidak mendasar dan argumentatif, karena hanya melihat gejala demokrasi pada permukaan dan bukan demokrasi yang substantif.

        Sangat disayangkan komposisi Kammi pusat sebagai top leader organisasi pergerakan mahasiswa ekstraparlementer tidak menunjukan kualitas ideolog yang berhimpun di tataran elit. Sebagai kader AB 3, sebagai ideolog, harusnya mampu menjadi seorang filsuf yang melihat suatu wacana secara utuh dan mengakar. Melihat wacana bersama dengan implikasinya terhadap efisiensi pemerintahan dan kesejahtreraan rakyat. Menurut pandangfan penulis sikap Kammi Pusat terlihat dikonstruksi oleh wacana, tidak mampu menampilkan pandangan cover both side terhadap isu nasional yang bergulir dan arah penalaran berpikir yang cenderung positifis. Sikap ini merupakan gejala krisis identitas, seorang intelektual profetik harusnya mampu melihat melampaui wacana agar kita menjadi penghitung resiko yang tepat dan setia memusuhi kebathilan. Terutama kebathilan kelembagaan perwakilan rakyat.

Referensi:

  1. P. Norris “Legislative Recruitment” di dalam L. Leduc, R. Niemi dan P. Norris, red. 1996. Comparing Democracies: Elections and Voting in Global Perspective, London: Sage. Hal. 196. 
  2. Phillips, Anne. 1995. The Politics of Presence. New York: Oxford University Press. Inc. 
  3. Pitkin, Hanna. 2006. “Political Representation,” dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy. 
  4. Norris, Pippa dan Joni Lovenduski. 1995. Political Recruitment. Cambridge: Cambridge        University Press.
  5.  RUU Pilkada



[1] Sejarah merupakan siklus yang selalu berulang, walaupun dimensi temporsl dan spasial dari suatu peristiwa akan berbeda. Republik ini kembali diuji ketahanan politik ingatannya terhadap perilaku legislatidf yang tidak memiliki nilai representasi terhadap konstituen maupun rakyat secara umum.
Pesan moral untuk selalu bersikap skeptis terhadap Parlemen
[2] Tulisan ini berusaha memberikan pandangan lain diluar sikap Kammi Pusat dalam menyikapi proses legislasi yang menyita perhatian publik pasca pemilu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar