SEKJEN KAMMI Airlangga, Pegiat Diskusi Kultural Surabaya,
Penstudi Ilmu Politik Universitas Airlangga
“Mempercayai jalan parlementer yang tenteram, yakni meretas
jalan kemerdekaan Indonesia dengan cara berebut kursi dalam dewan rakyat dan
peminta-minta supaya diberikan kekuasaan politik, kita namai ‘percobaan
untung-untungan’ yang menyesatkan. Percobaan ini hanya dapat dipikirkan secara
teoritis dan praktis di dalam negeri jajahan yang mempunyai borjuasi bumi
putra. Kerjasama yang jujur dengan golongan penjajah belanda di luar atau
didalam dewan rakyat adalah pengkhianatan terhadap rakyat Indonesia.”[1] (Tan Malaka)
Secara substantif Tan Malaka mencoba untuk memberikan upaya preventif bahwa tak semua perjuangan politik bertumpu pada parlemen, termasuk pemilihan kepala daerah yang saat ini menjadi perdebatan publik, melalui RUU Pilkada.
Atas nama kedaulatan rakyat, secara tegas pilkada ditangan
DPR adalah wujud konkret pemangkasan kedaulatan rakyat yang selama ini menjadi
hikmah kebijaksanaan yang mengalir dalam setiap proses demokrasi di Indonesia.
Apakah pantas dalih untuk mengamalkan sila ke-4 Pancasila “Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” dijadikan
semangat untuk mendesak pengesahan RUU Pilkada?
Pancasila merupakan rangkaian ide normatif yang elastis terhadap
perkembangan zaman, setiap nilai yang tercermin dalam Pancasila berusaha
membangun dialektika yang substantif. Dalam konteks ini proses politik yang
berlangsung di Indonesia masih memerlukan nalar kolektif dari rakyat berupa
keberhadiran suara rakyat. Segenap aktivitas politik harus mengutamakan nilai
demokrasi yang substantif, dengan adanya pilkada dibawah wewenang DPRD berarti
secara pelan-pelan akan membersihkan nalar kolektif dari rakyat, serta menjauhkan
hikmah kebijaksanaan itu sendiri yang sejatinya merupakan kemurnian ide dari
pancasila.
Siapa yang mengajukan RUU Pilkada?
Melalui mendagri, masa pemerintahan
SBY, RUU ini diajukan untuk masuk dalam ruang legislasi. Namun setelah banyak
partai mendukung RUU Pilkada, pasca hasil pemilu diketahui Gamawan Fauzi
beserta Dirjen Otonomi Daerah malah berbalik mendukung pilkada langsung. Saat
ini kita mengetahui bahwa subyek utama yang mempunyai kapasitas result terhadap kronoli munculnya RUU
Pilkada adalah Partai politik, terutama the
rulling party di parlemen.
Apabila ingin memperbaiki kualitas demokrasi yang fit dengan kondisi Indonesia maka harus
dimulai dengan sistem kepartaian. Harus ada revolusi kelembagaan dan perjuangan
internal dari partai untuk mampu menjawab aspirasi rakyat dengan memberikan
kader terbaiknya untuk kualifikasi kepemimpinan yang diinginkan secara kolektif
melalui kontestasi yang terbuka, melalui Pemilihan langsung.
Demokrasi Langsung Vs Demokrasi Pancasila
Logika demokrasi adalah berawal dari Asumsi bahwa legitimasi
rakyat itu lebih penting daripada upaya prosedural berupa keterwakilan untuk
menyalurkan aspirasi dalam proses politik. Saat ini konsep publik terhadap
demokrasi yang sedang berlangsung di Indonesia jauh dari nilai pancasila dan
dekat dengan demokrasi liberal, namun jika dicermati lebih jeli, sebenarnya
Indonesia sedang mengarah pada “direct
democracy” anggapan bahwa pemilu secara langsung merupakan pemborosan
anggaran merupakan logika yang salah kaprah. Cost politic pada proses yang
tidak tepat dalam kurun waktu sirkulasi elit berlangsung justru akan lebih
membebani rakyat daripada cost politik untuk menyelenggarakan kontestasi. Konsekuensinya
kedewasaan politik tidak terpelihara, Fungsi keseimbangan antara legislatif dan
eksekutif sebagai fungsi “check n ballance” tidak akan terlihat signifikan,
dimana tingkat persekutuan kepentingan dan kerawanan impeachment akan meningkat
tajam. Yang terjadi di publik adalah distabilitas dan ketegangan sosial, bagai
api dalam sekam. Apakah itu merupakan harga yang harus kita bayar demi
pemenuhan hasrat atas nama demokrasi pancasila?
Menyoal Pernyataan sikap KAMMI PUSAT
Terhadap RUU Pilkada[2]
Membaca Pernyataan sikap KAMMI PUSAT yang menyetujui RUU
Pilkada, atas nama demokrasi pancasila adalah kesalahan dalam
mengimplementasikan ide normatif pancasila. Pemaknaan Sila ke-4 perihal
permusyawaratan perwakilan bukan berarti menutup kanal aspirasi rakyat secara
kolektif dan menyerahkan kedaulatan kepada DPRD. Karena perilaku legislatif
secara umum masih vulnerable (rapuh) terhadap politik yang transaksional dan
sulit untuk menciptakan konsesnsus yang populis terhadap keinginan rakyat. Sikap
menyetujiui RUU ini oleh Kammi Pusat tidak mendasar dan argumentatif, karena hanya melihat
gejala demokrasi pada permukaan dan bukan demokrasi yang substantif.
Sangat
disayangkan komposisi Kammi pusat sebagai top leader organisasi pergerakan
mahasiswa ekstraparlementer tidak menunjukan kualitas ideolog yang berhimpun di
tataran elit. Sebagai kader AB 3, sebagai ideolog, harusnya mampu menjadi
seorang filsuf yang melihat suatu wacana secara utuh dan mengakar. Melihat
wacana bersama dengan implikasinya terhadap efisiensi pemerintahan dan
kesejahtreraan rakyat. Menurut pandangfan penulis sikap Kammi Pusat terlihat dikonstruksi
oleh wacana, tidak mampu menampilkan pandangan cover both side terhadap isu nasional yang bergulir dan arah
penalaran berpikir yang cenderung positifis. Sikap ini merupakan gejala krisis
identitas, seorang intelektual profetik harusnya mampu melihat melampaui wacana
agar kita menjadi penghitung resiko yang tepat dan setia memusuhi kebathilan.
Terutama kebathilan kelembagaan perwakilan rakyat.
Referensi:
- P. Norris “Legislative Recruitment” di dalam L. Leduc, R. Niemi dan P. Norris, red. 1996. Comparing Democracies: Elections and Voting in Global Perspective, London: Sage. Hal. 196.
- Phillips, Anne. 1995. The Politics of Presence. New York: Oxford University Press. Inc.
- Pitkin, Hanna. 2006. “Political Representation,” dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy.
- Norris, Pippa dan Joni Lovenduski. 1995. Political Recruitment. Cambridge: Cambridge University Press.
- RUU Pilkada
[1] Sejarah merupakan siklus yang selalu berulang, walaupun dimensi
temporsl dan spasial dari suatu peristiwa akan berbeda. Republik ini kembali
diuji ketahanan politik ingatannya terhadap perilaku legislatidf yang tidak
memiliki nilai representasi terhadap konstituen maupun rakyat secara umum.
Pesan moral untuk selalu bersikap
skeptis terhadap Parlemen
[2] Tulisan ini berusaha memberikan pandangan lain diluar sikap Kammi
Pusat dalam menyikapi proses legislasi yang menyita perhatian publik pasca
pemilu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar