12 September 2014

DISKUSI KULTURAL SURABAYA : "Menakar Kebijakan Populis Presiden Terpilih"




suasana diskusi kultural surabaya. 
Studi kasus I; Gejala kelangkaan dan kenaikan harga BBM

SURABAYA (7/9) Untuk mempertahankan idealisme agar awet hidup dikalangan aktivis, dan mengurangi gejala pergerakan mahasiswa yang mudah “dibentuk” oleh dinamisasi media dan psikologi publik, merupakan semangat yang mengiringi diskusi kultural yang di inisiasi oleh KAMMI AIRLANGGA. Pasca kontestasi dan sirkulasi elit yang menguras emosi rakyat Indonesia sepanjang tahun politik 2014. Diskusi kultural kali ini mengangkat dua tema besar, Gejala kelangkaan dan kenaikan BBM serta Pertahanan Nasional melalui pengadaan Alutsista (Alat Utama Sistem Pertahanan Semesta) diskusi dimulai pukul 19.30 WIB- 22.30 WIB.

Diskusi kali ini berbeda dengan mekanisme diskusi sebelumnya, melalui studi kasus yang dilemparkan oleh moderator yang merupakan pengamat politik Universitas Airlangga, peserta diskusi diminta untuk menyimpulkan argumentasi dengan melempar pertanyaan kepada peserta diskusi lain, hal ini bermaksud untuk menciptakan situasi berpikir yang tidak “common sense”. Pemantik diskusi kali ini adalah Rachmat Ari Fattah, Technopreneur lulusan ITS, yang sangat kritis melihat fenomena kenaikan BBM melalui pendekatan Ekonomi politik. Melalui pendekatan ini, konstruksi berpikir peserta diskusi di arahkan untuk melihat “cover both side” terlepas dari pergantian presiden yang akan menentukan regulasi dan memformulasikan RAPBN bersama DPR, kenaikan BBM merupakan keniscayaan, yang perlu di tekankan adalah biaya produksi BBM serta kebijakan subsidi yang tidak tepat sasaran bisa di minimalisir.

Dalam 15 menit pertama alur diskusi ini masih belum mencapai konsensus apapun. Karena melalui perspektif teori kesejahteraan, yang dikhawatirkan dengan kenaikan BBM akan menciptakan disparitas sosial yang dampaknya multidimensional. Menurut Kwik Kian Gie, jika terjadi ketidakseimbangan dalam perekonomian di suatu negara, berarti ada kelembagaan ekonomi yang tidak berfungsi secara optimal, sejauh mana keseimbangan kebijakan fiskal dan moneter bisa mengatur rumah tangga suatu negara mencapai kemakmuran kolektif. Dalam perspektif Karina, aktivis Kammi pe-studi ekonomi pembangunan, melihat bagaimana inkonsistensi sikap “The rulling party” PDIP yang menyatakan dengan jelas di berbagai media bahwa partai ini mengusulkan subsidi BBM diminimalisir (Menaikkan Harga BBM), merupakan semacam pergeseran “interest dari public” interest menuju “personal interest”. 

Terlepas dari Inkonsistensi PDIP, apakah ada keyakinan bahwa jika presidennya bukan Jokowi, BBM tidak akan naik? Pertanyaan yang keluar dari Rhozi, Mahasiswa UNMUH ini sempat menekan diskusi pada ranah yang paling spekulatif, Menurut Agus Pariawan, Wisudawan Terbaik FPK Unair, ini bukan semata karena siapa presidennya, namun harus dilihat secara kolektif dari berbagai variabel. 

Melihat bagaimana komposisi APBN yang pemasukannya sebagian besar melalui Pajak dan setiap tahun APBN kita juga dibebani dengan kenaikan pengeluaran untuk subsidi sebesar 6,1% yakni sebanyak 76,8 Triliyun. Pemerintah bisa mengambil kebijakan fiskal yang tepat dengan menaikkan pajak untuk barang-barang mewah dan tarif tol, yang secara tersegmentasi penggunanya adalah menengah keatas. Walaupun kebijakan fiskal bukan satu satunya alternatif, setidaknya negara tetap bertanggungjawab dalam memelihara kemakmuran kolektif rakyatnya. 

Kesepakatan utuh dari diskusi dengan tema BBM ini adalah tetap mengawal agar pemerintah menyiapkan berbagai alternatif dan kebijakan yang tepat, agar keterpurukan ekonomi dan disparitas sosial tidak menjadi mimpi buruk bagi masa depan Indonesia.[]


Studi Kasus II: Pertahanan Nasional melalui pengadaan Alutsista

        Perbedaan yang seharusnya terlihat dari kaum intelektual dan wartawan adalah, jika dihadapkan pada suatu fenomena, Intelektual mampu berpikir kategoris dan sistematis, mempunyai originalitas dan kejujuran. Semangat ini tetap terus ditumbuh kembangkan melalui diskusi kultural dalam interval diskusi tema kedua ini. Penstudi Hubungan Internasional Universitas Airlangga, Grienda Qomara yang sedang menggiatkan komunitas positif “Percaya Indonesia” menjadi pemantik diskusi Pertahanan Nasional melalui pengadaan alutsista. Melihat komposisi APBN tahun anggaran 2012, secara institusional disepakati bahwa untuk pertahanan nasional Indonesia di bawah kementrian pertahanan dan keamanan RI hanya mendapat jatah anggaran sebanyak 70 Triliyun. Menurut Andi Wijayanto, komposisi anggaran ini tidak cukup untuk menguatkan “National Defence” NKRI, dengan kebutuhan alutsista dan biaya belanja angkatan TNI, angka ini harusnya bisa dibesarkan menjadi 7 kali lipat.

Indonesia merupakan negara maritim, peradaban besar ini sudah di mulai pada abad dimana sejarah belum menemukan jalan ceritanya, dengan garis pantai terpanjang se dunia, dan letak yang strategis, Indonesia merupakan negara yang penuh dengan potensi sumber daya dan potensi perang yang luar biasa.

Diawal diskusi, sang Moderator mengungkapkan bahwa dengan adanya CSIS yang merapat pada kubu Jokowi, seakan-akan ranah pertahanan kita dikelola dalam dua kepribadian, antara kepribadian profesionalisme global strstegi, dan kepribadian politik keberpihakan. Bagaimana bisa seorang Andi Wijayanto yang secara tegas menyatakan tidak akan masuk dalam siklus politik 2014, berdiri tegak menjadi team sukses presiden terpilih? Hal ini kemudian akan dilihat bagaimana korelasi antara Pertahanan Nasional dan Kepemimpinan sipil yang cenderung deliberatif terhadap lingkup strategi.

Terlepas dari problem anggaran dan persoalan afiliasi politik, mengawal National Defense ini bukan sekedar keperluan militer negara?, namun aspek temporal dan spasial yang fit dengan kondisi keindonesiaan saat ini menjadi arah yang strategis untuk merumuskan kebijakan yang konstruktif dan berkesinambungan.

 Melihat komposisi global demografi dunia, perlu diperhatikan bahwa pada tahun 2035 Penduduk dunia sudah mulai tua, eropa sudah habis masanya, Jepang tinggal penduduk tua, Rata-rata usia penduduk dunia adalah 60 tahun dan Indonesia sedang dalam masa penduduk dengan umur produktif 35 tahun. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah penduduk Indonesia umur 35 tahun akan sehebat penduduk Jepang yang sudah mulai tua, penduduk dunia yang sudah selesai masa produktifnya? Ini masih belum bisa kita pastikan. Ulas Grienda Qomara.

Dahulu, saat dunia masih krisis, penuh dengan infasi, agresi dan peperangan, masuk akal jika pertahanan suatu negara akan sangat tergantung dengan militer, alutsista, dan angkatan perang, namun pasca perang dingin, dengan mudahnya menghancurkan tatanan negara melalui pola konsumsi, memasukkan iklan dan menghegemoni di tataran ekonomi sektor konsumsi. Hal ini akan lebih efektif untuk mematikan ketahanan suatu negara dengan perilaku yang mulai ramah pada apa yang sebenarnya bisa menciptakan ketergantungan.

 Lihat bagaimana setiap aspek kehidupan masyarakat global ini dipenuhi dengan produk-produk barat dan terkonstruksi secara sistematis agar menghilangkan identitas lokal. Sesungguhnya inilah persoalan yang secara temporal menjadi tantangan krisis identitas bangsa.

Menanggapi peforma Andi Wijayanto, terlepas dari fenomena afiliasi politik, jauh melihat kedepan, bahwa secara obyektif, orang-orang yang mempunyai keahlian spesifik dan langka seperti CSIS siapapun presidennya akan selalu dibutuhkan, akan selalu hidup dan mendapatkan peran yang strategis. Melalui CSIS ini, sebenarnya ini merupakan tamparan keras bagi umat muslim, terutama cendekiawan muslim yang pada masa reformasi, peran mereka tak tergantikan, sangat mendominasi dalam peran-peran sentral di pemerintahan. Namun perlahan-lahan umat muslim seakan tidak seproduktif dulu lagi untuk melahirkan orang-orang yang mempunyai keahlian yang spesifik. Maka jangan salahkan jika saat ini elit pemerintahan kita jarang diketemui bahwa mereka adalah “intelektual muslim”. Ini menjadi kontemplasi besar, bisakah kultural melahirkan orang-orang seperti Andi Wijayanto, Habibie, dan orang-orang yang berkeahlian khusus dan Irrapleceable dimanapun mereka berada.

Diskusi tema kedua ini juga berhasil mengantarkan peserta diskusi kultural untuk berpikir lebih dalam dan bertindak lebih strategis untuk sirkulasi kepemimpinan dan meningkatkan posisi tawar umat muslim yang mulai tergantikan.

Berlanjut pada persoalan nasionalisme pemuda, aspek ketahanan kita juga sangat lemah untuk membuat rakyat cinta terhadap bangsanya sendiri. Rakyat sudah mulai bersikap acuh dan membuka peluang bangsa lain untuk menyelami kedalaman laut mereka, merusak alam mereka dan mengambil kekayaan alam kita. Secara sistemik mentalitas setiap anak bangsa sudah mulai tergadai atas nama keterbukaan dan modernitas.[]
 


Bersambung di diskusi kultural 14 September 2014



Penanggung Jawab            : Departemen Kebijakan Publik Kammi Airlangga
Penyelenggara                    :  Pegiat Kultural Surabaya
Moderator                            : Anis Maryuni Ardi (Pengamat Politik)
Pemantik Diskusi             

1.      Rachmad Ari Fattah (Technopreneur)
2.      Grienda Qomara (Komunitas Percaya Indonesia)

Team Kajian                        : Pusat Studi Viva Intelektual Profetik (VIP)
Notulen                                 : Novita Kurniawati
Peserta                                  :

1.      Moch Afri Fitriansyah ( Simpatisan Kammi)
2.      Adrian Radityatama (Legislatif Mahasiswa)
3.      Robi Setyanegara ( Penstudi Ilmu Politik)
4.      Ari Fattah (Non Partisan)
5.      Rhozy Akhmed (Ikatan Mahasiswa Muhammadyah)
6.      Agus Pariawan (Aktivis Perikanan Kelautan)
7.      Novita Kurniawati (Kammi Airlangga)
8.      Karina Agustina (Kammi Airlangga)
9.      Grienda (Penstudi Hubungan Internasional)
10.  Fuad Fahmi Hasan (Karang Taruna)
11.  Arif Saifurrisal (Kammi Surabaya)
12.  Alfian Affan (Himpunan Mahasiswa Islam)
13.  dkk

                         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar