suasana diskusi kultural surabaya.
Studi kasus I; Gejala kelangkaan dan
kenaikan harga BBM
SURABAYA (7/9) Untuk mempertahankan idealisme agar awet hidup dikalangan
aktivis, dan mengurangi gejala pergerakan mahasiswa yang mudah “dibentuk” oleh
dinamisasi media dan psikologi publik, merupakan semangat yang mengiringi diskusi
kultural yang di inisiasi oleh KAMMI AIRLANGGA. Pasca kontestasi dan sirkulasi
elit yang menguras emosi rakyat Indonesia sepanjang tahun politik 2014. Diskusi
kultural kali ini mengangkat dua tema besar, Gejala kelangkaan dan kenaikan BBM
serta Pertahanan Nasional melalui pengadaan Alutsista (Alat Utama Sistem
Pertahanan Semesta) diskusi dimulai pukul 19.30 WIB- 22.30 WIB.
Diskusi kali ini berbeda dengan mekanisme diskusi
sebelumnya, melalui studi kasus yang dilemparkan oleh moderator yang
merupakan pengamat politik Universitas Airlangga, peserta diskusi diminta untuk
menyimpulkan argumentasi dengan melempar pertanyaan kepada peserta diskusi lain,
hal ini bermaksud untuk menciptakan situasi berpikir yang tidak “common sense”.
Pemantik diskusi kali ini adalah Rachmat Ari Fattah, Technopreneur lulusan ITS,
yang sangat kritis melihat fenomena kenaikan BBM melalui pendekatan Ekonomi
politik. Melalui pendekatan ini, konstruksi berpikir peserta diskusi di arahkan
untuk melihat “cover both side” terlepas dari pergantian presiden yang akan
menentukan regulasi dan memformulasikan RAPBN bersama DPR, kenaikan BBM
merupakan keniscayaan, yang perlu di tekankan adalah biaya produksi BBM serta
kebijakan subsidi yang tidak tepat sasaran bisa di minimalisir.
Dalam 15 menit pertama alur diskusi ini masih belum mencapai
konsensus apapun. Karena melalui perspektif teori kesejahteraan, yang
dikhawatirkan dengan kenaikan BBM akan menciptakan disparitas sosial yang
dampaknya multidimensional. Menurut Kwik Kian Gie, jika terjadi
ketidakseimbangan dalam perekonomian di suatu negara, berarti ada kelembagaan
ekonomi yang tidak berfungsi secara optimal, sejauh mana keseimbangan kebijakan
fiskal dan moneter bisa mengatur rumah tangga suatu negara mencapai kemakmuran
kolektif. Dalam perspektif Karina, aktivis Kammi pe-studi ekonomi pembangunan,
melihat bagaimana inkonsistensi sikap “The rulling party” PDIP yang menyatakan
dengan jelas di berbagai media bahwa partai ini mengusulkan subsidi BBM
diminimalisir (Menaikkan Harga BBM), merupakan semacam pergeseran “interest
dari public” interest menuju “personal interest”.
Terlepas dari Inkonsistensi PDIP, apakah ada keyakinan bahwa
jika presidennya bukan Jokowi, BBM tidak akan naik? Pertanyaan yang keluar dari
Rhozi, Mahasiswa UNMUH ini sempat menekan diskusi pada ranah yang paling
spekulatif, Menurut Agus Pariawan, Wisudawan Terbaik FPK Unair, ini bukan
semata karena siapa presidennya, namun harus dilihat secara kolektif dari
berbagai variabel.
Melihat bagaimana komposisi APBN yang pemasukannya sebagian
besar melalui Pajak dan setiap tahun APBN kita juga dibebani dengan kenaikan
pengeluaran untuk subsidi sebesar 6,1% yakni sebanyak 76,8 Triliyun. Pemerintah
bisa mengambil kebijakan fiskal yang tepat dengan menaikkan pajak untuk
barang-barang mewah dan tarif tol, yang secara tersegmentasi penggunanya adalah
menengah keatas. Walaupun kebijakan fiskal bukan satu satunya alternatif,
setidaknya negara tetap bertanggungjawab dalam memelihara kemakmuran kolektif
rakyatnya.
Kesepakatan utuh dari diskusi dengan tema BBM ini adalah
tetap mengawal agar pemerintah menyiapkan berbagai alternatif dan kebijakan
yang tepat, agar keterpurukan ekonomi dan disparitas sosial tidak menjadi mimpi
buruk bagi masa depan Indonesia.[]
Studi Kasus II: Pertahanan Nasional
melalui pengadaan Alutsista
Perbedaan yang seharusnya terlihat dari
kaum intelektual dan wartawan adalah, jika dihadapkan pada suatu fenomena,
Intelektual mampu berpikir kategoris dan sistematis, mempunyai originalitas dan
kejujuran. Semangat ini tetap terus ditumbuh kembangkan melalui diskusi
kultural dalam interval diskusi tema kedua ini. Penstudi Hubungan Internasional
Universitas Airlangga, Grienda Qomara yang sedang menggiatkan komunitas positif
“Percaya Indonesia” menjadi pemantik diskusi Pertahanan Nasional melalui
pengadaan alutsista. Melihat komposisi APBN tahun
anggaran 2012, secara institusional disepakati bahwa untuk pertahanan nasional
Indonesia di bawah kementrian pertahanan dan keamanan RI hanya mendapat jatah anggaran
sebanyak 70 Triliyun. Menurut Andi Wijayanto, komposisi anggaran ini tidak
cukup untuk menguatkan “National Defence” NKRI, dengan kebutuhan alutsista dan
biaya belanja angkatan TNI, angka ini harusnya bisa dibesarkan menjadi 7 kali
lipat.
Indonesia merupakan negara maritim,
peradaban besar ini sudah di mulai pada abad dimana sejarah belum menemukan
jalan ceritanya, dengan garis pantai terpanjang se dunia, dan letak yang
strategis, Indonesia merupakan negara yang penuh dengan potensi sumber daya dan
potensi perang yang luar biasa.
Diawal diskusi, sang Moderator
mengungkapkan bahwa dengan adanya CSIS yang merapat pada kubu Jokowi,
seakan-akan ranah pertahanan kita dikelola dalam dua kepribadian, antara
kepribadian profesionalisme global strstegi, dan kepribadian politik
keberpihakan. Bagaimana bisa seorang Andi Wijayanto yang secara tegas
menyatakan tidak akan masuk dalam siklus politik 2014, berdiri tegak menjadi
team sukses presiden terpilih? Hal ini kemudian akan dilihat bagaimana korelasi
antara Pertahanan Nasional dan Kepemimpinan sipil yang cenderung deliberatif
terhadap lingkup strategi.
Terlepas dari problem anggaran dan
persoalan afiliasi politik, mengawal National Defense ini bukan sekedar
keperluan militer negara?, namun aspek temporal dan spasial yang fit dengan
kondisi keindonesiaan saat ini menjadi arah yang strategis untuk merumuskan
kebijakan yang konstruktif dan berkesinambungan.
Melihat komposisi global demografi
dunia, perlu diperhatikan bahwa pada tahun 2035 Penduduk dunia sudah mulai tua,
eropa sudah habis masanya, Jepang tinggal penduduk tua, Rata-rata usia penduduk
dunia adalah 60 tahun dan Indonesia sedang dalam masa penduduk dengan umur
produktif 35 tahun. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah penduduk
Indonesia umur 35 tahun akan sehebat penduduk Jepang yang sudah mulai tua,
penduduk dunia yang sudah selesai masa produktifnya? Ini masih belum bisa kita
pastikan. Ulas Grienda Qomara.
Dahulu, saat dunia masih krisis,
penuh dengan infasi, agresi dan peperangan, masuk akal jika pertahanan suatu
negara akan sangat tergantung dengan militer, alutsista, dan angkatan perang,
namun pasca perang dingin, dengan mudahnya menghancurkan tatanan negara melalui
pola konsumsi, memasukkan iklan dan menghegemoni di tataran ekonomi sektor
konsumsi. Hal ini akan lebih efektif untuk mematikan ketahanan suatu negara
dengan perilaku yang mulai ramah pada apa yang sebenarnya bisa menciptakan
ketergantungan.
Lihat bagaimana setiap aspek
kehidupan masyarakat global ini dipenuhi dengan produk-produk barat dan
terkonstruksi secara sistematis agar menghilangkan identitas lokal.
Sesungguhnya inilah persoalan yang secara temporal menjadi tantangan krisis
identitas bangsa.
Menanggapi peforma Andi Wijayanto, terlepas dari fenomena
afiliasi politik, jauh melihat kedepan, bahwa secara obyektif, orang-orang yang
mempunyai keahlian spesifik dan langka seperti CSIS siapapun presidennya akan
selalu dibutuhkan, akan selalu hidup dan mendapatkan peran yang strategis.
Melalui CSIS ini, sebenarnya ini merupakan tamparan keras bagi umat muslim,
terutama cendekiawan muslim yang pada masa reformasi, peran mereka tak
tergantikan, sangat mendominasi dalam peran-peran sentral di pemerintahan.
Namun perlahan-lahan umat muslim seakan tidak seproduktif dulu lagi untuk
melahirkan orang-orang yang mempunyai keahlian yang spesifik. Maka jangan
salahkan jika saat ini elit pemerintahan kita jarang diketemui bahwa mereka
adalah “intelektual muslim”. Ini menjadi kontemplasi besar, bisakah kultural
melahirkan orang-orang seperti Andi Wijayanto, Habibie, dan orang-orang yang berkeahlian
khusus dan Irrapleceable dimanapun mereka
berada.
Diskusi tema kedua ini juga berhasil mengantarkan peserta
diskusi kultural untuk berpikir lebih dalam dan bertindak lebih strategis untuk
sirkulasi kepemimpinan dan meningkatkan posisi tawar umat muslim yang mulai
tergantikan.
Berlanjut pada persoalan nasionalisme pemuda, aspek
ketahanan kita juga sangat lemah untuk membuat rakyat cinta terhadap bangsanya
sendiri. Rakyat sudah mulai bersikap acuh dan membuka peluang bangsa lain untuk
menyelami kedalaman laut mereka, merusak alam mereka dan mengambil kekayaan
alam kita. Secara sistemik mentalitas setiap anak bangsa sudah mulai tergadai
atas nama keterbukaan dan modernitas.[]
Bersambung di diskusi kultural 14 September 2014
Penanggung Jawab : Departemen Kebijakan Publik Kammi Airlangga
Penyelenggara : Pegiat Kultural Surabaya
Moderator : Anis Maryuni Ardi (Pengamat Politik)
Pemantik Diskusi :
1. Rachmad Ari Fattah (Technopreneur)
2. Grienda Qomara (Komunitas Percaya Indonesia)
Team Kajian : Pusat Studi Viva Intelektual Profetik (VIP)
Notulen : Novita Kurniawati
Peserta :
1. Moch Afri Fitriansyah ( Simpatisan Kammi)
2. Adrian Radityatama (Legislatif Mahasiswa)
3. Robi Setyanegara ( Penstudi Ilmu Politik)
4. Ari Fattah (Non Partisan)
5. Rhozy Akhmed (Ikatan Mahasiswa Muhammadyah)
6. Agus Pariawan (Aktivis Perikanan Kelautan)
7. Novita Kurniawati (Kammi Airlangga)
8. Karina Agustina (Kammi Airlangga)
9. Grienda (Penstudi Hubungan Internasional)
10. Fuad Fahmi Hasan (Karang Taruna)
11. Arif Saifurrisal (Kammi Surabaya)
12. Alfian Affan (Himpunan Mahasiswa Islam)
13. dkk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar