8 September 2014

Hakikat Intelektualisme Kita! (Bagian 2)

Fachry Aidulsyah
Penerima Beastudi Aktivis Bakti Nusa Angkatan 4 Dompet Dhuafa,
Founder Gerakan Indonesia Berdaulat, Aktivis KAMMI Sleman


Kala Intelektualitas Menjadi Senjata!
Setelah kita banyak memperbincangkan tentang “Barat”, maka sudah saatnya kali ini kita membicarakan tentang konsepsi apa yang ditawarkan oleh identitas kita sendiri, yaitu selaku Muslim. Jikalau kita cermati, perbedaan mendasar dalam memahami kemajuan zaman dan peranan keilmuan yang terjadi antara Barat dan Islam adalah sejarah Renaissance yang memunculkan traumatik terhadap keagamaan di Barat. Agar tidak kehilangan umatnya para teolog dan pemikir Eropa-Amerika seperti Karl Barth, Friedrich Gogarten, Rudolph Bultmann, Harvey Cox, dll menyeru untuk melakukan perubahan radikal terhadap konsepsi teologis, perubahan terhadap model penafsiran injil dan juga mengenai hakikat peranan gereja baru. Perubahan tersebut diperlukan agar dapat menyesuaikan agenda rasional-modernis itu sendiri.

Sedangkan Islam, untuk membangkitkan peranan keilmuan dan menyesuaikan dengan kemajuan zaman bukan berarti harus merubah konsepsi teologisnya. Bahkan, hal yang paling fundamental untuk melakukan perubahan terhadap zaman dan spirit dari pengembangan keilmuan tersebut bersumber dari pandangan teologis Islam itu sendiri. 

Sebagaimana Wan Mohd Noor Wan Daud yang menyatakan bahwa dalam porsi lebih besar dari sejarah Islam, pengaruh sebenarnya dari intelektual, agama, dan transformasi budaya dan ilmiah mencerminkan sebuah proses yang disebut sebagai stabilisme dinamis (dynamic stabilism), yang terus menerus menggabungkannya, mengadopsi, dan menyesuaikan berbagai ide eksternal, konsep, dan praktik sesuai pandangan alam keagamaan yang terbangun dengan baik, etika, dan hukum Islam. Proses asimilasi dan inkulturasi ini juga berlaku untuk semua pemikir non-Muslim vis a vis agama dan tradisi mereka sendiri. Karya-karya dari semua pemikir kreatif Muslim tradisional dan reformis adalah dinamis dalam arti mencerminkan kegiatan mental dan fisik secara terus menerus, yang berusaha untuk memecahkan beberapa problem sejarah, konseptual, dan praktis. Solusi-solusi mereka sebagian besar atau seluruhnya baru. Namun solusi tersebut bertanggung jawab untuk memperbaiki, memperkuat metafisika, etika, kerangka hukum, dan sosial, serta prinsip-prinsip Islam. Oleh karena itu mereka melakukan stabilisasi.

Sayyid Quthb mengungkapkan, hukum-hukum Allah memiliki nilai-nilai yang tetap yang sanggup menampung dinamika kehidupan manusia yang terus berubah, dan itu disebutnya dengan “gerakan di dalam lingkaran yang tetap dan berada di seputar poros yang tetap pula”. Manusia, sebagai objek hukum, selalu mengalami perubahan. Akan tetapi, di tengah perubahannya tersebut, terdapat sesuatu yang tetap dan tidak berubah dalam dirinya, dan itulah yang menyebabkan manusia memerlukan sesuatu yang tetap pula.



Kala Memaknai Hakikat “Ilmu Pengetahuan”

Berbicara tentang pencarian ilmu dalam Islam, sudah jelas kiranya bahwa pencarian ilmu bagi seorang muslim adalah dalam rangka mengetahui hakikat ‘makna hidup’ untuk mencapai ‘hakikat kebahagiaan’ yang sesungguhnya. Ilmu akan menjadi perolehan diri nurani akan makna sesuatu yang menyebabkan diri itu mengetahui dan mengenali sesuatu itu seperti adanya. SMN Al-Attas mengungkapkan bahwa ‘makna’ ialah suatu pengenalan tentang kedudukan dalam satu sistem yang berlaku dan menghubungkannya dengan sistem yang lain, yang mampu memberikan kepahaman dengan jelas, sehingga ia dapat mengantarkan pada pengenalan hakikat kehidupan dalam pandangan Allah, dan juga dalam pandangan susunan kewujudan.
Perolehan diri akan makna terhadap sesuatu menjadi amatlah penting. SMN Al-Attas menerangkan hakikat perkataan alam; maka perkataan ini berasal pada akar-kata “ALM”, yang juga merupakan akar bagi perkataan ilmu. Meski pun para ahli bahasa Arab tahu bahwa istilah alam itu terbentuk dari perkataan alamat, namun demikian perkataan alamat itu sendiri berakar pada akar-kata ‘ALM jua. Dan makna alamat itu merujuk kepada tanda, atau ciri, atau bekas yang memberi tahu tentang sifat yang meninggalkan bekas itu; atau ciri atau tanda dan ciri dan bekas itu sehingga yang dirujuknya menjadi nyata ketahuan. Alam adalah sebuah tanda yang menandakan Khaliq-nyayakni Khaliq yang menjadi nyata ketahuan. Sebab itulah, maka alam mendapatkan gelar al-Khalq, yakni Kejadian Semesta yang diciptakan oleh Khaliq, yang bermaksud pada segala jenis makhluq pada keseluruhannya. Perkaitan maknawi dengan perkataan Khalq berkorelasi dengan paham alam itu dengan paham khaliq, makhluq, hingga akhlaq, yang semuanya berakar pada KHLQ, yang bermaksud; ‘memberikan kepada sesuatu sukatan yang tepat, atau ukuran yang sempurna baginya –yakni bagi sifat asal manusia, atau bawaan yang sudah ada pada dirinya. Artinya, dalam manusia sebagai makhluq yang ciptakan oleh sang Khaliq memiliki tanggung jawab untuk ber-akhlaq baik kepada Allah, manusia, dan alam semesta selaku ciptaan-Nya.

Sayyid Quthb mengungkapkan bahwa; ilmu yang hakiki adalah ma’rifat, yaitu pengetahuan tentang kebenaran (al-haqq). Ia membukakan pemikiran. Ia adalah pertemuan dengan hakikat-hakikat yang tetap yang ada di alam semesta. Ilmu bukanlah pengetahuan-pengetahuan yang terpisah dan terputus yang mengisi pikiran dan tidak sampai pada hakikat-hakikat besar, serta tidak menjangkau hal-hal yang metafisika (warâ al-mahsûs).
Dari gambaran diatas pula, kita dapat mengambil sebuah benang merah bahwa konsepsi ilmu yang berada dalam agama Islam tidak ingin mengotak-kotakkan antara ilmu keagamaan dengan ilmu sosial atau pun teknologi dalam dua dimensi yang berbeda, namun jauh dari pada itu Islam mampu menjadikan ranah konsepsi keilmuannnya untuk menjelmakan sifat keilmuan yang multi-disipliner maupun inter-disipliner.

Kala Memaknai “Kehendak Tuhan” dan “Kebebasan Manusia”

Pembahasan yang cukup fundamen menjadi pembicaraan selanjutnya adalah, jikalau konsepsi intelektual dalam Islam adalah suatu hal yang bergerak dan digerakkan atas dasar kesadaran individu terhadap pentingnya mendalami akan suatu ilmu demi perbaikan hidupnya masing-masing, lalu bagaimana keterkaitannya dengan ‘kehendak Tuhan’ dalam menakdirkan kesadaran seseorang terhadap jalan yang dipilihnya?.
Ada sebuah pernyataan yang menarik yang diungkapkan oleh Sayyid Quthb ialah; adalah benar bahwa segala sesuatu merupakan kehendak Tuhan bahwa Dia juga menjadikan untuk manusia kemampuan untuk memilih petunjuk (al-huda) dan kesesatan (al-dhalaal). Tuhan mewajibkan manusia untuk memilih petunjuk dan meridhai pemilihan itu, dan tidak meridhai kekafiran dan kesesatan, sekali pun berdasar kehendak-Nya pula Dia menjadikan manusia memiliki kemampuan (qaabilan) untuk mengikuti petunjuk atau kesesatan.

Hal tersebut memberikan makna –sebagaimana diungkapkan oleh Sayyid Quthb- bahwa nasib baik dan buruk tidak datang dari luar diri mereka. Tetapi terkait dengan niat dan perbuatan mereka, dan tergantung pada usaha dan amal mereka. Adalah kemampuan mereka untuk menjadikan nasib mereka menjadi baik dan buruk. Sebab, iradah Allah terhadap hamba-hamba-Nya terlaksana melalui diri dan perbuatan mereka.

Dari perihal inilah, maka kita akan mengetahui bahwa sesungguhnya bahagia, derita, rahmat, atau pun siksa tergantung pada pilihan dan usaha yang dilakukan oleh diri manusia itu sendiri. Allah telah memberikan potensi kepada manusia untuk memilih jalannya masing-masing, baik memilih jalan kemukminan maupun kekafiran. Jalan kemukminan dan kekafiran seseorang bukanlah merupakan ketentuan Allah terhadapnya sejak di zaman azali, melainkan merupakan hasil pilihan sadar setiap individu itu sendiri. Dari perihal inilah tergambar letak keadilan Allah dengan cara memberikan dua pilihan jalan hidup bagi manusia, yaitu; jalan kebenaran atau pun jalan kebatilan. Dan manusia memiliki kehendak untuk memilih salah satu diantara keduanya. Itu artinya, memilih jalan menuju surga atau pun memilih jalan menuju neraka juga merupakan hasil dari sebab-akibat yang harus dipikul oleh manusia berdasarkan pilihan mereka sendiri.

Dalam hal ini, potensi yang diberikan oleh Allah dalam memilih kedua jalan tersebut ditentukan oleh hati dan akal pikiran kita itu sendiri. Meski pun seperti itu, sesungguhnya Allah menciptakan fitrah –nurani dan pikiran- kepada manusia akan keterkaitannya dengan nilai-nilai ke-Tuhan-an yang lebih mencintai kebenaran, keasrian, ketertiban, atau pun kemuliaan hidup. Dengan kata lain, manusia memiliki dorongan-dorongan dan kecenderungan-kecenderungan yang bukan berasal dari kecenderungan egoisme manusia, yang merupakan dorongan atau pun kecenderungan yang dipandang oleh dorongan suci yang ada dalam sanubarinya. Sekali lagi, tinggallah manusia yang memilih sendiri, apakah ia lebih memilih jalan yang berasal dari ‘fitrah’ kemanusiaannya, atau justeru lebih memilih jalan yang didorong oleh nafsu dan egoisme individu yang justeru mengantarkannya pada kesesatan.
Oleh karena itu akal, -sebagaimana Sayyid Quthb- sekali pun pada dasarnya merupakan kekuatan mutlak yang tidak terikat oleh satuan pengalaman dan fakta, bahkan berada di atas semuanya itu dan dapat mencapai makna obyektif (al-ma’na al-mujarrad) yang berada di balik makna subyektifnya, akan tetapi pada akhirnya ia tetap terbatas oleh batas-batas eksistensi kemanusiaan kita. Perwujudan yang ada ini tidak mencerminkan suatu kemutlakan seperti apa yang sebenarnya di sisi Tuhan. Dari sinilah, maka kita akan mendapatkan sebuah kesimpulan, masihkah kita mengandalkan akal rasional dan egoisme menjadi pijakan hidup kita? Masihkah kita berpijak pada hal-hal yang hanya berdasarkan pada nalar emosional semata, dan jauh dari nilai-nilai yang suci? Sesungguhnya, mengembalikan akal pikiran kepada jalan yang berdasarkan nilai-nilai ke-Tuhan-an jauh lebih baik dan lebih mulia ketimbang memilih jalan rasionalisme semata?.

Ikhtitam: Saatnya Intelektual Bergerak!

Di bagian akhir tulisan ini, penulis mencoba untuk merefleksikan kembali makna intelektual yang hadir ditengah-tengah kita saat ini. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Yudi Latif, bahwa kaum intelektual adalah sebuah kelompok yang bergerak atas dasar misi  membela sebuah nurani bersama dalam rangka mengangkat harkat dan martabat manusia menuju perubahan yang lebih baik. Mereka adalah sekumpulan elite yang berpikir dan berkehendak untuk bertindak melakukan sebuah perubahan. Dari perihal inilah, istilah kaum intelektual sering dinisbatkan juga pada pembangkitan tradisi keilmuan dalam rangka untuk merubah kehidupan masyarakat menjadi lebih baik.

Dari sinilah, maka ada tanggung jawab bagi kaum intelektual untuk membawakan perubahan kebaikan ditengah-tengah masyarakat berdasarkan nilai-nilai ke-Tuhan-an itu sendiri, bukan justeru menyesatkannya dan menjauhkan manusia dari fitrahnya. Terlebih lagi dalam memajukan Islam, yang menjadi daya gerak dan senjata dalam membangun peradaban yang berdasarkan fitrah manusia adalah ilmu yang berdasarkan dan berasaskan nilai-nilai ke-Tuhan-an, yang mengantarkan manusia mengenali hakikat kemanusiaannya, dan mengantarkan mengenali hakikat kehidupannya, yang membuat setiap individu tergerak untuk menaburkan kebaikan kepada seluruh umat manusia, kepada alam semesta, karena perihal tersebut adalah perintah-Nya untuk menjadikan hidup yang lebih baik. Dengan begitulah, kita menjadi manusia yang memanusiakan sesungguhnya.



"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu (ulama)." (Fathir: 28)


Nuun.. Wal Qolami Wa Maa Yasturuun..





Tidak ada komentar:

Posting Komentar