Fachry
Aidulsyah
Penerima Beastudi Aktivis Bakti Nusa Angkatan 4 Dompet Dhuafa,
Founder Gerakan Indonesia Berdaulat, Aktivis KAMMI Sleman
Penerima Beastudi Aktivis Bakti Nusa Angkatan 4 Dompet Dhuafa,
Founder Gerakan Indonesia Berdaulat, Aktivis KAMMI Sleman
Kala
Intelektualitas Menjadi Senjata!
Setelah
kita banyak memperbincangkan tentang “Barat”, maka sudah saatnya kali ini kita
membicarakan tentang konsepsi apa yang ditawarkan oleh identitas kita sendiri,
yaitu selaku Muslim. Jikalau kita cermati, perbedaan mendasar dalam memahami
kemajuan zaman dan peranan keilmuan yang terjadi antara Barat dan Islam adalah
sejarah Renaissance yang memunculkan traumatik terhadap
keagamaan di Barat. Agar tidak kehilangan umatnya para teolog dan pemikir
Eropa-Amerika seperti Karl Barth, Friedrich Gogarten, Rudolph Bultmann, Harvey
Cox, dll menyeru untuk melakukan perubahan radikal terhadap konsepsi teologis,
perubahan terhadap model penafsiran injil dan juga mengenai hakikat peranan
gereja baru. Perubahan tersebut diperlukan agar dapat menyesuaikan agenda
rasional-modernis itu sendiri.
Sedangkan
Islam, untuk membangkitkan peranan keilmuan dan menyesuaikan dengan kemajuan
zaman bukan berarti harus merubah konsepsi teologisnya. Bahkan, hal yang paling
fundamental untuk melakukan perubahan terhadap zaman dan spirit dari
pengembangan keilmuan tersebut bersumber dari pandangan teologis Islam itu
sendiri.
Sebagaimana
Wan Mohd Noor Wan Daud yang menyatakan bahwa dalam porsi lebih besar dari
sejarah Islam, pengaruh sebenarnya dari intelektual, agama, dan transformasi
budaya dan ilmiah mencerminkan sebuah proses yang disebut sebagai stabilisme
dinamis (dynamic stabilism), yang terus menerus menggabungkannya,
mengadopsi, dan menyesuaikan berbagai ide eksternal, konsep, dan praktik sesuai
pandangan alam keagamaan yang terbangun dengan baik, etika, dan hukum Islam.
Proses asimilasi dan inkulturasi ini juga berlaku untuk semua pemikir
non-Muslim vis a vis agama dan tradisi mereka sendiri.
Karya-karya dari semua pemikir kreatif Muslim tradisional dan reformis adalah
dinamis dalam arti mencerminkan kegiatan mental dan fisik secara terus menerus,
yang berusaha untuk memecahkan beberapa problem sejarah, konseptual, dan
praktis. Solusi-solusi mereka sebagian besar atau seluruhnya baru. Namun solusi
tersebut bertanggung jawab untuk memperbaiki, memperkuat metafisika, etika,
kerangka hukum, dan sosial, serta prinsip-prinsip Islam. Oleh karena itu mereka
melakukan stabilisasi.
Sayyid
Quthb mengungkapkan, hukum-hukum Allah memiliki nilai-nilai yang tetap yang
sanggup menampung dinamika kehidupan manusia yang terus berubah, dan itu
disebutnya dengan “gerakan di dalam lingkaran yang tetap dan berada di seputar
poros yang tetap pula”. Manusia, sebagai objek hukum, selalu mengalami
perubahan. Akan tetapi, di tengah perubahannya tersebut, terdapat sesuatu yang
tetap dan tidak berubah dalam dirinya, dan itulah yang menyebabkan manusia
memerlukan sesuatu yang tetap pula.
Kala
Memaknai Hakikat “Ilmu Pengetahuan”
Berbicara
tentang pencarian ilmu dalam Islam, sudah jelas kiranya bahwa pencarian ilmu
bagi seorang muslim adalah dalam rangka mengetahui hakikat ‘makna hidup’ untuk
mencapai ‘hakikat kebahagiaan’ yang sesungguhnya. Ilmu akan menjadi perolehan
diri nurani akan makna sesuatu yang menyebabkan diri itu mengetahui dan
mengenali sesuatu itu seperti adanya. SMN Al-Attas mengungkapkan bahwa ‘makna’
ialah suatu pengenalan tentang kedudukan dalam satu sistem yang berlaku dan
menghubungkannya dengan sistem yang lain, yang mampu memberikan kepahaman
dengan jelas, sehingga ia dapat mengantarkan pada pengenalan hakikat kehidupan
dalam pandangan Allah, dan juga dalam pandangan susunan kewujudan.
Perolehan
diri akan makna terhadap sesuatu menjadi amatlah penting. SMN Al-Attas
menerangkan hakikat perkataan alam; maka perkataan ini berasal
pada akar-kata “ALM”, yang juga merupakan akar bagi perkataan ilmu. Meski
pun para ahli bahasa Arab tahu bahwa istilah alam itu
terbentuk dari perkataan alamat, namun demikian perkataan alamat itu
sendiri berakar pada akar-kata ‘ALM jua. Dan makna alamat itu merujuk kepada tanda, atau ciri, atau bekas yang memberi tahu tentang
sifat yang meninggalkan bekas itu; atau ciri atau tanda dan ciri dan bekas itu
sehingga yang dirujuknya menjadi nyata ketahuan. Alam adalah
sebuah tanda yang menandakan Khaliq-nya, yakni Khaliq yang
menjadi nyata ketahuan. Sebab itulah, maka alam mendapatkan
gelar al-Khalq, yakni Kejadian Semesta yang diciptakan oleh
Khaliq, yang bermaksud pada segala jenis makhluq pada
keseluruhannya. Perkaitan maknawi dengan perkataan Khalq berkorelasi
dengan paham alam itu dengan paham khaliq, makhluq, hingga akhlaq, yang
semuanya berakar pada KHLQ, yang bermaksud; ‘memberikan kepada sesuatu sukatan
yang tepat, atau ukuran yang sempurna baginya –yakni bagi sifat asal manusia,
atau bawaan yang sudah ada pada dirinya. Artinya, dalam manusia
sebagai makhluq yang ciptakan oleh sang Khaliq memiliki
tanggung jawab untuk ber-akhlaq baik kepada Allah, manusia, dan
alam semesta selaku ciptaan-Nya.
Sayyid
Quthb mengungkapkan bahwa; ilmu yang hakiki adalah ma’rifat, yaitu pengetahuan
tentang kebenaran (al-haqq). Ia membukakan pemikiran. Ia
adalah pertemuan dengan hakikat-hakikat yang tetap yang ada di alam semesta.
Ilmu bukanlah pengetahuan-pengetahuan yang terpisah dan terputus yang mengisi
pikiran dan tidak sampai pada hakikat-hakikat besar, serta tidak menjangkau
hal-hal yang metafisika (warâ al-mahsûs).
Dari
gambaran diatas pula, kita dapat mengambil sebuah benang merah bahwa konsepsi
ilmu yang berada dalam agama Islam tidak ingin mengotak-kotakkan antara ilmu
keagamaan dengan ilmu sosial atau pun teknologi dalam dua dimensi yang berbeda,
namun jauh dari pada itu Islam mampu menjadikan ranah konsepsi keilmuannnya
untuk menjelmakan sifat keilmuan yang multi-disipliner maupun inter-disipliner.
Kala
Memaknai “Kehendak Tuhan” dan “Kebebasan Manusia”
Pembahasan
yang cukup fundamen menjadi pembicaraan selanjutnya adalah, jikalau konsepsi
intelektual dalam Islam adalah suatu hal yang bergerak dan digerakkan atas
dasar kesadaran individu terhadap pentingnya mendalami akan suatu ilmu demi
perbaikan hidupnya masing-masing, lalu bagaimana keterkaitannya dengan
‘kehendak Tuhan’ dalam menakdirkan kesadaran seseorang terhadap jalan yang
dipilihnya?.
Ada
sebuah pernyataan yang menarik yang diungkapkan oleh Sayyid Quthb ialah; adalah
benar bahwa segala sesuatu merupakan kehendak Tuhan bahwa Dia juga menjadikan
untuk manusia kemampuan untuk memilih petunjuk (al-huda) dan kesesatan
(al-dhalaal). Tuhan mewajibkan manusia untuk memilih petunjuk dan meridhai
pemilihan itu, dan tidak meridhai kekafiran dan kesesatan, sekali pun berdasar
kehendak-Nya pula Dia menjadikan manusia memiliki kemampuan (qaabilan) untuk
mengikuti petunjuk atau kesesatan.
Hal
tersebut memberikan makna –sebagaimana diungkapkan oleh Sayyid Quthb- bahwa
nasib baik dan buruk tidak datang dari luar diri mereka. Tetapi terkait dengan
niat dan perbuatan mereka, dan tergantung pada usaha dan amal mereka. Adalah
kemampuan mereka untuk menjadikan nasib mereka menjadi baik dan buruk. Sebab,
iradah Allah terhadap hamba-hamba-Nya terlaksana melalui diri dan perbuatan mereka.
Dari
perihal inilah, maka kita akan mengetahui bahwa sesungguhnya bahagia, derita,
rahmat, atau pun siksa tergantung pada pilihan dan usaha yang dilakukan oleh
diri manusia itu sendiri. Allah telah memberikan potensi kepada manusia untuk
memilih jalannya masing-masing, baik memilih jalan kemukminan maupun kekafiran.
Jalan kemukminan dan kekafiran seseorang bukanlah merupakan ketentuan Allah
terhadapnya sejak di zaman azali, melainkan merupakan hasil pilihan sadar
setiap individu itu sendiri. Dari perihal inilah tergambar letak keadilan Allah
dengan cara memberikan dua pilihan jalan hidup bagi manusia, yaitu; jalan
kebenaran atau pun jalan kebatilan. Dan manusia memiliki kehendak untuk memilih
salah satu diantara keduanya. Itu artinya, memilih jalan menuju surga atau pun
memilih jalan menuju neraka juga merupakan hasil dari sebab-akibat yang harus
dipikul oleh manusia berdasarkan pilihan mereka sendiri.
Dalam
hal ini, potensi yang diberikan oleh Allah dalam memilih kedua jalan tersebut
ditentukan oleh hati dan akal pikiran kita itu sendiri. Meski pun seperti itu,
sesungguhnya Allah menciptakan fitrah –nurani dan pikiran- kepada manusia akan
keterkaitannya dengan nilai-nilai ke-Tuhan-an yang lebih mencintai kebenaran,
keasrian, ketertiban, atau pun kemuliaan hidup. Dengan kata lain, manusia
memiliki dorongan-dorongan dan kecenderungan-kecenderungan yang bukan berasal
dari kecenderungan egoisme manusia, yang merupakan dorongan atau pun
kecenderungan yang dipandang oleh dorongan suci yang ada dalam sanubarinya.
Sekali lagi, tinggallah manusia yang memilih sendiri, apakah ia lebih memilih
jalan yang berasal dari ‘fitrah’ kemanusiaannya, atau justeru lebih memilih
jalan yang didorong oleh nafsu dan egoisme individu yang justeru
mengantarkannya pada kesesatan.
Oleh
karena itu akal, -sebagaimana Sayyid Quthb- sekali pun pada dasarnya merupakan
kekuatan mutlak yang tidak terikat oleh satuan pengalaman dan fakta, bahkan
berada di atas semuanya itu dan dapat mencapai makna obyektif (al-ma’na
al-mujarrad) yang berada di balik makna subyektifnya, akan tetapi pada
akhirnya ia tetap terbatas oleh batas-batas eksistensi kemanusiaan kita.
Perwujudan yang ada ini tidak mencerminkan suatu kemutlakan seperti apa yang
sebenarnya di sisi Tuhan. Dari sinilah, maka kita akan mendapatkan sebuah
kesimpulan, masihkah kita mengandalkan akal rasional dan egoisme menjadi
pijakan hidup kita? Masihkah kita berpijak pada hal-hal yang hanya berdasarkan
pada nalar emosional semata, dan jauh dari nilai-nilai yang suci? Sesungguhnya,
mengembalikan akal pikiran kepada jalan yang berdasarkan nilai-nilai
ke-Tuhan-an jauh lebih baik dan lebih mulia ketimbang memilih jalan
rasionalisme semata?.
Ikhtitam:
Saatnya Intelektual Bergerak!
Di
bagian akhir tulisan ini, penulis mencoba untuk merefleksikan kembali makna
intelektual yang hadir ditengah-tengah kita saat ini. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Yudi Latif, bahwa kaum intelektual adalah sebuah kelompok yang
bergerak atas dasar misi membela sebuah nurani bersama dalam rangka
mengangkat harkat dan martabat manusia menuju perubahan yang lebih baik. Mereka
adalah sekumpulan elite yang berpikir dan berkehendak untuk bertindak melakukan
sebuah perubahan. Dari perihal inilah, istilah kaum intelektual sering
dinisbatkan juga pada pembangkitan tradisi keilmuan dalam rangka untuk merubah
kehidupan masyarakat menjadi lebih baik.
Dari
sinilah, maka ada tanggung jawab bagi kaum intelektual untuk membawakan
perubahan kebaikan ditengah-tengah masyarakat berdasarkan nilai-nilai
ke-Tuhan-an itu sendiri, bukan justeru menyesatkannya dan menjauhkan manusia
dari fitrahnya. Terlebih lagi dalam memajukan Islam, yang menjadi daya gerak
dan senjata dalam membangun peradaban yang berdasarkan fitrah manusia adalah
ilmu yang berdasarkan dan berasaskan nilai-nilai ke-Tuhan-an, yang mengantarkan
manusia mengenali hakikat kemanusiaannya, dan mengantarkan mengenali hakikat
kehidupannya, yang membuat setiap individu tergerak untuk menaburkan kebaikan
kepada seluruh umat manusia, kepada alam semesta, karena perihal tersebut
adalah perintah-Nya untuk menjadikan hidup yang lebih baik. Dengan begitulah,
kita menjadi manusia yang memanusiakan sesungguhnya.
"Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang
berilmu (ulama)." (Fathir: 28)
Nuun..
Wal Qolami Wa Maa Yasturuun..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar