Fachry Aidulsyah
Penerima Beastudi Aktivis Bakti Nusa Angkatan 4 Dompet Dhuafa,
Founder Gerakan Indonesia Berdaulat, Aktivis KAMMI Sleman
Penerima Beastudi Aktivis Bakti Nusa Angkatan 4 Dompet Dhuafa,
Founder Gerakan Indonesia Berdaulat, Aktivis KAMMI Sleman
Dikala
Rasionalitas dan Agamamu menjadi Arogan!
Mungkin
hari ini adalah waktu yang tepat untuk memperbincangkan kembali apa yang terjadi
di masa lalu. Ditengah gemuruhnya penghambaan terhadap berbagai macam konsepsi
feminisme, liberalisme, komunisme, modernis dan post-modernisme yang dianut
oleh kalangan muda telah membuat mereka menafikkan ke ber-Tuhan-an dan ke
ber-Islam-an. Tidak dipungkiri, bahwa hal itu terjadi dikarenakan berbagai
macam ideologi yang berkembang tersebut muncul dari semangat pembebasan dari
keagamaan yang selama ini justeru menindas mereka.
Hal
ini senada dengan George Balandes yang mengatakan bahwa; dalam hubungannya
dengan politik, agama mempunyai dua sisi yang kontradiktif. Pada sisi yang
pertama, agama dijadikan sumber bagi terbentuknya institusi yang menciptakan
berbagai tata-aturan, sedang pada sisi yang kedua ia dapat dijadikan legitimasi
tindakan.
Lebih
jauh lagi, Karl Marx menyatakan bahwa agama adalah candu. Agama adalah suatu
sistem, keyakinan, dan tata ke-Tuhan-an yang diciptakan oleh kaum borjuis untuk
mengendalikan kaum proletar. Atas nama spirit ‘ke-Tuhan-an’, kaum borjuis
ber-kehendak sesuka hati untuk mengeksploitasi kaum proletar. Hal ini justeru
berkebalikan dengan Neitzsche yang menganggap bahwa agama diciptakan oleh kelas
proletar dalam rangka untuk memberikan spirit ketabahan atas penderitaan yang
dialami oleh mereka selama ini. ‘Tuhan’ pun menjadi pegangan penderitaan bagi
kaum proletar. Wajarlah jikalau Friedrich Nietzsche menganggap bahwa “Tuhan
telah mati”, sebab dengan adanya Tuhan, justeru masyarakat merasa nyaman dengan
penderitaan dan kemiskinannya.
Namun,
apakah pernyataan Nietzsche tersebut tidak menjadi kontradiktif, -sebagaimana
diterangkan oleh Murthahari- ketika justeru Nietzsche sendirilah yang
menyarankan bahwa sudah saatnya kaum miskin diberanguskan, mereka adalah
orang-orang yang tidak layak untuk hidup di dunia dan menjadi beban bagi
negara.
Pertanyaannya
adalah, lalu agama manakah yang dimaksud dalam rekam jejak Karl Marx dan
Friedrich Nietzsche? Untuk membicarakan perihal ini, perlu kiranya kita untuk
membuka kembali sejarah keagamaan Barat –yang menjadi ketakutan mereka- dimasa
lalu.
Eirich
Fromm menjelaskan bahwa dalam babak pertama evolusi agama di Barat, Tuhan
digambarkan sebagai penguasa Mutlak. Dia yang menciptakan alam dan manusia, dan
jika Dia tidak menyukai mereka, Dia bisa menghancurkan apa yang telah Dia ciptakan.
Tapi kekuasaan mutlak Tuhan atas manusia ini diimbangi oleh ide bahwa manusia
adalah saingan Tuhan yang potensial. Manusia bisa menjadi Tuhan hanya jika dia
bisa makan dari pohon pengetahuan dan buah dari pohon kehidupan. Selanjutnya,
dengan adanya kewenangan mengubah Perjanjian lama menuju Perjanjian baru yang
mengatas namakan “ke-Tuhan-an” oleh sang editor Alkitab untuk menempatkan
manusia ke arah yang lebih maju, yaitu dengan menjadikan Tuhan sebagai dzat
yang berhenti menjadi penguasa mutlak. Tuhan berubah dari yang “mutlak” menjadi
monarki (konstitusional). Tuhan telah kehilangan kebebasan untuk bertindak
secara sewenang-wenang, dan manusia mendapat kebebasan untuk menentang Tuhan
atas nama janji Tuhan sendiri. Manusia diberikan kebebasan yang sempurna oleh
Tuhan, bahkan kebebasan dari Tuhan itu sendiri. Disinilah letaknya, versi
Alkitab digunakan untuk menyokong ide baru atau hukum agama, hal itu kerap
dikutip keluar konteks, dan interpretasi digunakan padanya seringkali melenceng
jauh dari arti sebenarnya. Bahkan, pada saat terjadi distorsi, umumnya Alkitab
lebih banyak menampung versi kepentingan kelompok tertentu dengan dalih
“kebergunaan” ketimbang tafsir dari konteks yang terjadi secara keseluruhan.
Pertanyaannya
adalah, mengapa perubahan radikal terhadap konsep ke-Tuhan-an Barat itu
terjadi? Jonathan Lyons mengemuka-kan tentang salah satu kemunduran masyarakat
Eropa pada masa lalu justeru dikarenakan oleh kehendak pemuka agama yang mereka
anut itu sendiri. Tindak kekerasan, peran gereja dalam memberanguskan kemajuan
akal pikiran ‘untuk berpikir kritis dan ilmiah terhadap ajaran agama’
masyarakat Eropa pun terus terjadi. Perihal tersebut dilakukan atas nama
Alkitab, atas nama otoritas Gereja. Tak pelak, sebagian para pemuka agama
justeru menganjurkan tindak kekerasan terhadap para penyebar ilmu yang tidak
sesuai dengan kepentingan keilmuan gereja.
Anna
Comnena seakan menggambarkan masyarakat Eropa pada masa itu, selain ditimpa
kebodohan –karena diberanguskannya tradisi berpikir kritis dan pendidikan-,
mereka adalah orang-orang yang hanya mengandalkan fanatisme, mereka kotor,
kurang makan, sakit, dan kelelahan- . Anna Comnena mengungkapkan “situasi saat
itu lebih parah dan mengerikan daripada wabah kelaparan.”
Ketika
Kita Lupa akan Sejarah Masa Lalu
Di
saat keterpurukan seperti itulah, Adelard, salah seorang pemuda yang berasal
dari Inggris berhijrah dari Eropa untuk menelusuri dunia Arab, berpindah dari
satu kota ke kota yang lainnya, hingga ia pun takjub dengan dunia Arab pada
saat itu. Hingga akhirnya, disanalah dia menemukan rahasia zaman yang terkubur
selama enam abad di balik kekacauan yang timbul oleh dunia Kristen Barat.
Pengelana Inggris ini segera memahami kekuatan pengetahuan Arab untuk mengubah
dunia yang dia kenal selama ini. Dengan pengetahuan yang berasal dari
masyarakat Muslim lah yang diperjuangkan oleh Adelard dari Bath, telah mengubah
lanskap intelektual Eropa. Jangkauannya meluas hingga abad ke-16 dan
seterusnya, mendasari karya terobosan Copernicus dan Galileo. Ibnu Rusyd,
seorang filsuf Muslim dari Spanyol untuk pertama kalinya memperkenalkan
pemikiran rasionalis kepada Eropa Barat. Canon of Medicine (Al-Qanun fi
At-Tibb) karya Ibnu Sina menjadi teks standar di Eropa hingga tahun 1600-an.
Sebagaimana
diungkapkan oleh Jonathan Lyons, melalui kehadiran perkembangan ilmu –baik
sains maupun filsafat- yang dikembangkan oleh kalangan muslim inilah, telah
berhasil mengubah Barat yang terbelakang menjadi penguasa sains dan teknologi.
Laksana “eliksir” –dari kata al-iksir dikalangan ahli kimia saat itu-
yang bisa mengubah logam dasar menjadi emas, diakui atau tidak sains Arab telah
sangat mengubah Kristen abad pertengahan. Untuk pertama kalinya setelah
berabad-abad, Eropa akhirnya membuka mata pada dunia di sekitarnya. Perjumpaan
dengan sains Arab ini bahkan menghidupkan kembali ilmu mengenali waktu yang
lenyap di kalangan Kristen Barat pada awal Abad Pertengahan.
Dikala
Sejarah Dunia yang “Disamakan”
Dari
perihal diatas, maka timbullah pertanyaan selanjutnya, apakah setiap sejarah
agama sama sebagaimana yang dipandang oleh Karl Marx, David Hume, Auguste
Comte, Friedrich Neitzsche, dsb?
Tentunya,
seharusnya dunia ilmiah masa kini mampu menerangkan wilayah objektivitasnya
diatas prinsip ilmu yang subjektif. Dunia ilmiah masa kini menjadi semakin
rancu, ketika sebuah sejarah dan pandangan keagamaan yang terjadi di Barat
harus disamakan dalam memandang sejarah dan pandangan keagamaan yang terjadi di
seantero dunia yang lainnya. Atas nama otoritas ilmu, kita bebas berkehendak untuk
seakan-akan mencoba menyamakan pandangan sejarah keagaamaan yang sama, namun
sejatinya amatlah berbeda. Mereka lupa, bahwa bangunan keilmuan dunia Arab yang
menjadi inspirasi mereka justeru bermula dari spirit keagamaan dalam Islam.
Sejarah
keagamaan yang menindas di Barat telah menjadi “traumatik” tersendiri bagi
masyarakat Barat itu sendiri. Perkembangan sains Islam yang berkembang di Barat
telah membukakan mata mereka untuk mencapai kemajuan mereka, membuka pikiran
mereka untuk berkehendak terhadap sesuatu hingga terjadilah revolusi pemikiran
yang menentang otoritas keagamaan yang terjadi pada Renaissance, yang
berarti ‘dilahirkan’, tentu mencerminkan iklim intelektual pada masa di mana
orang Barat merasa dirinya dilahirkan ke dunia baru dengan kemungkinan-kemungkinan
baru; suatu kesadaran baru akan kekuatan dan potensinya.
S.M.N
Al Attas menyatakan, jikalau Renaissance dilahirkan, maka englightenment
bagi orang Barat merujuk pada proses ‘pendewasaan’ yang menganggap manusia bisa
memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Setelah pemikiran Kant di abad ke-18,
metafisika dalam dunia Barat hanya dianggap sebagai penuntun yang tidak
diperlukan lagi dan menipu dalam mencapai realitas dan kebenaran, sehingga
harus ditinggalkan oleh manusia yang rasional dan berfikir.
Atas
dasar kebencian terhadap agama yang pernah menistakan mereka, mereka pun ,
menistakan kebenaran agama yang haq, atau jikalau tidak menistakan agama
lamanya, yang mereka lakukan adalah dengan cara mengkonstruksi pedoman agama
mereka sendiri untuk disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan ekonomi-politik
mereka itu sendiri. Hal ini senada dengan William James yang berpendapat
bahwa hakikat kewujudan Tuhan sebagai satu aspek ajaran agama tidaklah penting;
sebab yang terpenting adalah jikalau kepercayaan tersebut boleh memberikan
kesejahteraan kepada orang yang mempercayainya. Perihal ini pula lah yang
menjadi kegelisahan E.L. Mascall yang menyatakan bahwa bukannya dunia yang
diubah oleh Kristian, tetapi Kristianlah yang diubah oleh dunia.
Kehidupan
tradisi ilmu Barat pun memiliki kesamaan dengan tradisi kehidupan Yahudi. Abba
Eban menggambarkan; mereka menghayati suatu kegairahan mencari makna “passion
for meaning” yang telah membuat mereka berusaha mengarungi segala kesusahan
sepanjang sejarah, dan mereka pun memberikan keutamaan terhadap ilmu yang
menegasikan relasinya dengan Tuhan, yang mampu membebaskan diri daripada
kemelaratan dan penindasan.
Kehidupan
pun semakin pragmatis, semangat terhadap kemajuan hanyalah yang dimaksud untuk
mencapai kemajuan ditentukan dengan kepemilikan terhadap suatu benda, alat
produksi, atau pun kekayaan terhadap individu. Ilmu untuk kesejahteraan
individu!. Kemenangan ruhaniah bagi mereka adalah ketika mereka memenangkan
kekayaan jasmaniahnya. Perihal inilah yang dijadikan konsepsi oleh Max Weber
sebagai “The Capitalism and Protestant Ethic”. Sedangkan Eirich Fromm
lebih menekankan bahwa sesungguhnya Barat memiliki dua agama, yang pertama
ialah agama formal, yaitu Kristen atau pun Yahudi, yang kedua adalah “agama
rahasia” yaitu agama kapitalisme itu sendiri.
Sebagai
penutup, menarik kiranya kita menoleh Murtadha Murthahari yang menggambarkan
bahwa persepsi Barat terhadap apa-apa yang kita sebut sebagai prinsip-prinsip
kemanusiaan, kemuliaan, dan kehormatan manusia, semuanya adalah omong kosong.
Akan tetapi mereka menambahkan bahwa terdapat nilai-nilai yang bersifat ilusi,
yang jika diterima akan memberikan manfaat kepada manusia. Tetapi jika tidak
memberikan manfaat, ia tidak berarti apa-apa. Mereka melihat bahwa kekayaan
dunia, tampan, memiliki banyak uang, adalah kekayaan yang abadi, yang mampu
membahagiakan dirinya sendiri, maka sifat kehewanannya pun muncul untuk tiada
pernah puas mencari kekayaan, sebagaimana yang digambarkan Georg Simmel, uang
yang awalnya hanyalah sebatas alat untuk transaksi, namun kini ia menjadi
tujuan untuk dicari, dan diperhambakan, akan tetapi ia lupa, bahwa dibalik
kekayaan materil itu ada hal yang jauh lebih penting, yaitu kekayaan mata batin
dan fitrah kita sendiri.
Nuun..
Wal Qolami Wamaa Yasturuun..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar