Judul Buku : Dunia Tanpa Sekolah
Penulis : M Izza Ahsin
Penerbit : Read! (Mizan Group)
Jumlah Halaman : 252
Halaman
Cetakan : April
2007
Peresensi : Sofistika C. Ediwindra *)
Refleksi
atas bacaan terhadap novel Dunia Tanpa Sekolah
Dunia
Tanpa Sekolah merupakan judul sebuah buku karangan Muhammad Izza Ahsin Sidqi.
Buku atau lebih tepatnya novel yang mengisahkan sepenggal rangkaian
perjalanan hidup nyata sang penulis ini memang memukau. Seperti judulnya, novel
ini menceritakan kehidupan pribadi penulis yang mengaksikan suatu hal 'radikal'
: MEMILIH TIDAK SEKOLAH.
Tidak
sekolah? Yang benar saja? Pasti seputaran begitu yang kita lontarkansaat
membayangkan terlebih membaca buku yang merupakan seri Read! Dari tiga
seri Read, Write and Imagine. Penulis menuturkan dengan rinci hal yang ia
hadapi saat menentukan pilihan keluar dari sekolah. Ia memilih untuk tidak
bersekolah. Awalnya saya pun hampir mengatakan bahwa penulis ini gila. Alasan
utama ia keluar dari sekolah yakni ingin fokus menulis. Hanya itu? Mau jadi apa
dia kelak? Apa Anda akan berkomentar demikian?
Dari pada
memusingkan aneka pertanyaan yang menyeruak, saya merumuskanbeberapa
pembelajaran utama dalam kisah yang dibukukan ini.
Pertama, pembelajaran akan
lemahnya pendidikan, hingga kini. Izza bukan merupakan anak bodoh (atau dicap
bodoh) di kelasnya. Meski demikian, sekolah baginya bak sebuah penjara.
Seorang
Izza lahir dari keluarga yang well-educated. Orang tuanya, terutama sang
ayah merupakan sosok teladan hingga Izza lahir sebagai pembelajar keras.
Kegemaran membaca telah dipupuk dan mendarah daging dalam diri Izza. Tak salah jika
di usia kelas 3 SMP ia telah mengoleksi 600an buku. Kegandrungan ayahnya pada
buku tentang pendidikan radikal, quantum learning, dll lah yang
menjadi inspirasi keputusan besarnya yakni untuk tidak sekolah.
Landasan
keluarnya ia dari pendidikan formal lebih kepada alasan ideologis yang memang
menitik beratkan pendidikan yang compang-camping ini. Pendidikan dipandang
terbatas dan sempit oleh masyarakat. Pendidikan yang sejatinya menjadi sumur
inspirasi pembentukan karakter masyarakat dan bangsa malah menanamkan esensi
sebaliknya.
Sindrom
sekolah telah mengalir ke seluruh peredaran darah dan menekan otakku. Merampok
kebahagiaanku. Aku semakin tidak betah di sekolah. Ditambah lagi dengan
keberadaan guru penghancur mental. Guru yang merendahkan martabat murid di depan
umum. Guru yang tidak mempergunakan jangka sebagai alat mengajar, melainkan
sebagai alat menghajar. Guru yang membuat kelas jadi sesunyi kuburan dengan
dalih menciptakan suasana kondusif.
Sekolah seperti memenjarakanku dalam ketidakpastian dan hanya mengotori otakku, menghambat impianku. Sekolah itu seperti susah payah menimba air dari dalam sumur, lalu mengguyurnya ke tempat semula. Sebagai seorang remaja yang ingin terus belajar dalam arti sebenarnya, aku tidak ingin tersesat di sekolah.
Oleh sebab itu, aku memutuskan untuk keluar dari sekolah formal dan menciptakan sekolahku sendiri. Aku memilih melawan arus secara frontal; membebaskan diri sepenuhnya, tapi juga harus berani mendapat tantangan beratdari luar. Yaitu, dari orang-orang yang menganggap anak yang tidak inginsekolah, tetapi ingin belajar adalah lelucon; sedangkan anak yang sekolah,tetapi tidak belajar adalah biasa.
Sekolah seperti memenjarakanku dalam ketidakpastian dan hanya mengotori otakku, menghambat impianku. Sekolah itu seperti susah payah menimba air dari dalam sumur, lalu mengguyurnya ke tempat semula. Sebagai seorang remaja yang ingin terus belajar dalam arti sebenarnya, aku tidak ingin tersesat di sekolah.
Oleh sebab itu, aku memutuskan untuk keluar dari sekolah formal dan menciptakan sekolahku sendiri. Aku memilih melawan arus secara frontal; membebaskan diri sepenuhnya, tapi juga harus berani mendapat tantangan beratdari luar. Yaitu, dari orang-orang yang menganggap anak yang tidak inginsekolah, tetapi ingin belajar adalah lelucon; sedangkan anak yang sekolah,tetapi tidak belajar adalah biasa.
Di
sini Izza telah sampai pada titik klimaksnya yang mana jarang dijumpai pada anak
seusianya. Izza muak pada bangku pendidikan formal. Ini menjadi kritik sekaligus
tamparan bagi kita semua baik pemimpin negara, elit pemerintahan, terlebih
elemen yang terlibat langsung dengan pendidikan. Seorang Izza di usia yang tak
lebih dari 15an tahun telah memikirkan bahwa sekolah tidak menghasilkan banyak
selain manusia robot yang pasif lagi tak berkembang potensinya. Ia menggugat
pelajaran yang menumpuk banyaknya, PR, belum lagi guru yang kerap melakukan
kekerasan verbal hingga fisik dan kurang kreatif dalam mendidik dan
mengembangkan potensi anak.
Tohokan
ini juga berlaku bagi saya dan banyak teman yang tengah mengenyambangku
pendidikan tinggi di bidang pendidikan (keguruan). Menjadikan sekolah sebagai
hal yang menyenangkan mesti diusahakan agar jangan sampai terlambat, dominasi
anak Indonesia menganggap sekolah adalah beban. Bagi saya, sekolah pun penting
tak hanya dalam tataran akademis saja. Sekolah memang mestinya tak dibatasi
sebagai sebuah bangunan di mana ada satu guru kelas dengan banyak murid dan meja
kursi. Kita guru, pendidik, mestinya menyadari betapa sangat miskinnya jika
potensi anak yang beraneka ragam itu kita paksa dengan tanpa mempertimbangkan
perkembangan potensi dominan anak baik melalui metode pengajaran maupun lainnya.
Kedua, karakter Izza. Karakter
Izza sangat layak untuk menjadibahan pembelajaran dalam hal ini. Konstruksi
pendidikan keluarganya yang sangat gandrung terhadap aktivitas membaca membuat
sosok Izza sedemikian pesat pemikirannya. Izza yang ternyata satu tahun lebih
tua di atas saya dalam masaSMPnya telah mengoleksi 600an buku. Buku yang dibaca
di usianya pun berbobot yang rerata berbicara seputar terobosan di bidang
pendidikan seperti QuantumLearning, dll.
Kedua
orang tua Izza memiliki semangat mencari ilmu yang tinggi. Bahkan bagi mereka
sekeluarga, hiburan terbaik adalah berbelanja ke toko buku. Ini tentu akan
berimbas pada karakter Izza yang pembelajar, kritis, bahkan jiwa sastranya telah
tumbuh sedemikian unik di usia mudanya. Izza juga mengidolakan tokoh dibidang
ilmu pengetahuan seperti Edison, Einstein, juga Rasulullah SAW yang cerdas dan
terberdayakan potensinya walau tanpa sekolah.
Karakter
yang dibentuk orang tua Izza selayaknya menjadi pembelajaran bagi kita orang
dewasa, orang tua maupun guru, bahwa budaya literasi yakni membaca, menulis,
berdiskusi, sangat perlu ditumbuhkan dan dicontohkan dalam keluarga. Tanpanya,
memang esensi sekolah rawan akan menjuruskan pada kerja atau uang saja.
Penanaman pada diri anak akan pentingnya belajar sebagai ladang mencariilmu
mesti benar dan lurus. Jangan sampai kita menekan anak untuk meraih nilai tinggi
saja terlebih dengan iming-iming materi tertentu. Adalah tidak
mengapa mencerahkan anak sejak kecil bahwa ilmulah yang akan menuntunnya menjadi
sosok yang kuat dan pemimpin ke depan. Ilmu dan belajar bukan ajang
meninggikan pangkat, meraih gelar, atau meningkatkan gaji saja.
Ketiga, soal dukungan orang tua.
Hal ketiga yang saya rasa mencoloksaya tangkap dari novel ini adalah soal
dukungan orang tua Izza. Saya pun takbisa membayangkan bagaimana jika kelak
anak-anak saya memutuskan tidak mau bersekolah. Mungkin tanggapan saya akan
tidak berbeda dengan ayah-ibu Izza yang semula frustasi, malu, marah,
bertengkar, dll. Untuk itulah saya belajar. Mungkin di era sekarang keberadaann homeschooling
sudah jauh lebih diterima. Akan tetapi, akar masalahnya ada pada dukungan kita
sebagai orangtua. Memahami benar kemauan anak dengan mendiskusikannya baik sebab
musababnya, memberikan anak pandangan akan konsekuensi, dll akan jauh lebih
berterima. Semoga kita tidak terlambat menyadari bahwa dukungan kita sebagai
orang dewasa, orangtua, sangat besar dalam diri anak dalam hal apapun.
Demikian
sedikit ulasan refleksi saya atas bacaan novel Dunia Tanpa Sekolah. Semoga pun
novel ini menjadi refleksi para pemuka pendidikan agar tak jenuh dan tak pernah
berhenti meneruskan formulasi terbaik untuk mutu pendidikan nomor 'wahid' di
negara kita, yakni pendidikan yang melejitkan potensi iman dan ilmu anak.
Sekali
lagi, tulisan ini hanyalah refleksi tanpa menyentuh ke jawaban pertanyaan
'Sanggupkah dunia tanpa sekolah?'. Semoga jawaban kita temukan dalam bentuk aksi
bukan sekadar kata.
Wallahu
a’lam bish showab.
sebagaimana telah diterbitkan dalam http://sofistikacarevy.com/sanggupkah-dunia-tanpa-sekolah/ dan di publikasikan ulang via Jurnal KAMMI Kultural
Tidak ada komentar:
Posting Komentar