3 September 2014

[ULASAN BUKU] Sanggupkah Dunia Tanpa Sekolah?




Judul Buku : Dunia Tanpa Sekolah


Penulis : M Izza Ahsin


Penerbit : Read! (Mizan Group)


Jumlah Halaman : 252 Halaman


Cetakan : April 2007


Peresensi : Sofistika C. Ediwindra *)



Refleksi atas bacaan terhadap novel Dunia Tanpa Sekolah

Dunia Tanpa Sekolah merupakan judul sebuah buku karangan Muhammad Izza Ahsin Sidqi. Buku atau lebih tepatnya novel yang mengisahkan sepenggal rangkaian perjalanan hidup nyata sang penulis ini memang memukau. Seperti judulnya, novel ini menceritakan kehidupan pribadi penulis yang mengaksikan suatu hal 'radikal' : MEMILIH TIDAK SEKOLAH.

Tidak sekolah? Yang benar saja? Pasti seputaran begitu yang kita lontarkansaat membayangkan terlebih membaca buku yang merupakan seri Read! Dari tiga seri Read, Write and Imagine. Penulis menuturkan dengan rinci hal yang ia hadapi saat menentukan pilihan keluar dari sekolah. Ia memilih untuk tidak bersekolah. Awalnya saya pun hampir mengatakan bahwa penulis ini gila. Alasan utama ia keluar dari sekolah yakni ingin fokus menulis. Hanya itu? Mau jadi apa dia kelak? Apa Anda akan berkomentar demikian?

Dari pada memusingkan aneka pertanyaan yang menyeruak, saya merumuskanbeberapa pembelajaran utama dalam kisah yang dibukukan ini.
Pertama, pembelajaran akan lemahnya pendidikan, hingga kini. Izza bukan merupakan anak bodoh (atau dicap bodoh) di kelasnya. Meski demikian, sekolah baginya bak sebuah penjara.

Seorang Izza lahir dari keluarga yang well-educated. Orang tuanya, terutama sang ayah merupakan sosok teladan hingga Izza lahir sebagai pembelajar keras. Kegemaran membaca telah dipupuk dan mendarah daging dalam diri Izza. Tak salah jika di usia kelas 3 SMP ia telah mengoleksi 600an buku. Kegandrungan ayahnya pada buku tentang pendidikan radikal, quantum learning, dll lah yang menjadi inspirasi keputusan besarnya yakni untuk tidak sekolah.




Landasan keluarnya ia dari pendidikan formal lebih kepada alasan ideologis yang memang menitik beratkan pendidikan yang compang-camping ini. Pendidikan dipandang terbatas dan sempit oleh masyarakat. Pendidikan yang sejatinya menjadi sumur inspirasi pembentukan karakter masyarakat dan bangsa malah menanamkan esensi sebaliknya.

Sindrom sekolah telah mengalir ke seluruh peredaran darah dan menekan otakku. Merampok kebahagiaanku. Aku semakin tidak betah di sekolah. Ditambah lagi dengan keberadaan guru penghancur mental. Guru yang merendahkan martabat murid di depan umum. Guru yang tidak mempergunakan jangka sebagai alat mengajar, melainkan sebagai alat menghajar. Guru yang membuat kelas jadi sesunyi kuburan dengan dalih menciptakan suasana kondusif.

Sekolah seperti memenjarakanku dalam ketidakpastian dan hanya mengotori otakku, menghambat impianku. Sekolah itu seperti susah payah menimba air dari dalam sumur, lalu mengguyurnya ke tempat semula. Sebagai seorang remaja yang ingin terus belajar dalam arti sebenarnya, aku tidak ingin tersesat di sekolah.

Oleh sebab itu, aku memutuskan untuk keluar dari sekolah formal dan menciptakan sekolahku sendiri. Aku memilih melawan arus secara frontal; membebaskan diri sepenuhnya, tapi juga harus berani mendapat tantangan beratdari luar. Yaitu, dari orang-orang yang menganggap anak yang tidak inginsekolah, tetapi ingin belajar adalah lelucon; sedangkan anak yang sekolah,tetapi tidak belajar adalah biasa.

Di sini Izza telah sampai pada titik klimaksnya yang mana jarang dijumpai pada anak seusianya. Izza muak pada bangku pendidikan formal. Ini menjadi kritik sekaligus tamparan bagi kita semua baik pemimpin negara, elit  pemerintahan, terlebih elemen yang terlibat langsung dengan pendidikan. Seorang Izza di usia yang tak lebih dari 15an tahun telah memikirkan bahwa sekolah tidak menghasilkan banyak selain manusia robot yang pasif lagi tak berkembang potensinya. Ia menggugat pelajaran yang menumpuk banyaknya, PR, belum lagi guru yang kerap melakukan kekerasan verbal hingga fisik dan kurang kreatif dalam mendidik dan mengembangkan potensi anak.

Tohokan ini juga berlaku bagi saya dan banyak teman yang tengah mengenyambangku pendidikan tinggi di bidang pendidikan (keguruan). Menjadikan sekolah sebagai hal yang menyenangkan mesti diusahakan agar jangan sampai terlambat, dominasi anak Indonesia menganggap sekolah adalah beban. Bagi saya, sekolah pun penting tak hanya dalam tataran akademis saja. Sekolah memang mestinya tak dibatasi sebagai sebuah bangunan di mana ada satu guru kelas dengan banyak murid dan meja kursi. Kita guru, pendidik, mestinya menyadari betapa sangat miskinnya jika potensi anak yang beraneka ragam itu kita paksa dengan tanpa mempertimbangkan perkembangan potensi dominan anak baik melalui metode pengajaran maupun lainnya.

Kedua, karakter Izza. Karakter Izza sangat layak untuk menjadibahan pembelajaran dalam hal ini. Konstruksi pendidikan keluarganya yang sangat gandrung terhadap aktivitas membaca membuat sosok Izza sedemikian pesat pemikirannya. Izza yang ternyata satu tahun lebih tua di atas saya dalam masaSMPnya telah mengoleksi 600an buku. Buku yang dibaca di usianya pun berbobot yang rerata berbicara seputar terobosan di bidang pendidikan seperti QuantumLearning, dll.

Kedua orang tua Izza memiliki semangat mencari ilmu yang tinggi. Bahkan bagi mereka sekeluarga, hiburan terbaik adalah berbelanja ke toko buku. Ini tentu akan berimbas pada karakter Izza yang pembelajar, kritis, bahkan jiwa sastranya telah tumbuh sedemikian unik di usia mudanya. Izza juga mengidolakan tokoh dibidang ilmu pengetahuan seperti Edison, Einstein, juga Rasulullah SAW yang cerdas dan terberdayakan potensinya walau tanpa sekolah.

Karakter yang dibentuk orang tua Izza selayaknya menjadi pembelajaran bagi kita orang dewasa, orang tua maupun guru, bahwa budaya literasi yakni membaca, menulis, berdiskusi, sangat perlu ditumbuhkan dan dicontohkan dalam keluarga. Tanpanya, memang esensi sekolah rawan akan menjuruskan pada kerja atau uang saja. Penanaman pada diri anak akan pentingnya belajar sebagai ladang mencariilmu mesti benar dan lurus. Jangan sampai kita menekan anak untuk meraih nilai tinggi saja terlebih dengan iming-iming materi tertentu. Adalah tidak mengapa mencerahkan anak sejak kecil bahwa ilmulah yang akan menuntunnya menjadi sosok yang kuat dan pemimpin ke depan. Ilmu dan belajar bukan ajang meninggikan pangkat, meraih gelar, atau meningkatkan gaji saja.

Ketiga, soal dukungan orang tua. Hal ketiga yang saya rasa mencoloksaya tangkap dari novel ini adalah soal dukungan orang tua Izza. Saya pun takbisa membayangkan bagaimana jika kelak anak-anak saya memutuskan tidak mau bersekolah. Mungkin tanggapan saya akan tidak berbeda dengan ayah-ibu Izza yang semula frustasi, malu, marah, bertengkar, dll. Untuk itulah saya belajar. Mungkin di era sekarang keberadaann homeschooling sudah jauh lebih diterima. Akan tetapi, akar masalahnya ada pada dukungan kita sebagai orangtua. Memahami benar kemauan anak dengan mendiskusikannya baik sebab musababnya, memberikan anak pandangan akan konsekuensi, dll akan jauh lebih berterima. Semoga kita tidak terlambat menyadari bahwa dukungan kita sebagai orang dewasa, orangtua, sangat besar dalam diri anak dalam hal apapun.

Demikian sedikit ulasan refleksi saya atas bacaan novel Dunia Tanpa Sekolah. Semoga pun novel ini menjadi refleksi para pemuka pendidikan agar tak jenuh dan tak pernah berhenti meneruskan formulasi terbaik untuk mutu pendidikan nomor 'wahid' di negara kita, yakni pendidikan yang melejitkan potensi iman dan ilmu anak.

Sekali lagi, tulisan ini hanyalah refleksi tanpa menyentuh ke jawaban pertanyaan 'Sanggupkah dunia tanpa sekolah?'. Semoga jawaban kita temukan dalam bentuk aksi bukan sekadar kata.

Wallahu a’lam bish showab.

*) Penulis adalah Pimpinan Redaksi Eramadina Online || Pegiat Lider-Pro Edu, KomunitasMahasiswa Pecinta Pendidikan || Pegiat Diskusi KAMMI Kultural

sebagaimana telah diterbitkan dalam
http://sofistikacarevy.com/sanggupkah-dunia-tanpa-sekolah/ dan di publikasikan ulang via Jurnal KAMMI Kultural

Tidak ada komentar:

Posting Komentar