Arif
Saifurrisal[1], Anis Maryuni Ardi[2] dkk.
Kementrian Pertahanan mempunyai rencana
strategis untuk menciptakan stabilitas keamanan NKRI melalui strategi jangka
menengah dalam kurun tahun 2010-2024. Secara normative kita dapat membaca
proses rencana strategi ini berdasarkan pada kekuatan alutsista. Berdasarkan
tahun anggaran 2012, dengan dana 70 Triliyun, untuk menjaga keutuhan NKRI
sangatlah dana yang minimalis. Angka tersebut hanya bisa digunakan untuk
anggaran belanja dan Protokoler TNI ditambah dengan pembelian senjata adan
alutsista yang kurang memadai. Berikut ini merupakan Rencana Strategi MEF
2010-2024 yang secara berkelanjutan akan diamanahi dibawah periode kepresidenan
SBY dan Presiden terpilih Oktober 2014.
(Sumber: Kementrian
Pertahanan dalam Political Science Fair)
Melihat Agenda Pertahanan Laut kita
Seperti tidak belajar dari sejarah,
Indonesia yang wilayahnya merupakan kepulauan sangat minim sekali dilindungi
dengan armada maritim yang mampu meng-cover
perairan nusantara. Bahkan kabarnya hanya 2 unit kapal selam yang bisa
beroprasi untuk nusantara seluas ini. Jika kita melihat ke belakang, jatuhnya
hindia belanda ke tangan Inggris pada awal 1800an serta jatunya Hindia ke
tangan jepang pada 1940an adalah akibat dari tidak kuatnya pertahanan laut
pemerintah hindia belanda, praktis
Demaklah kerajaan terakhir yang memiliki armada laut yang kuat
dinusantara. Keberanianya menantang portugis di malaka waktu itu adalah bukti
sohih kuatnya armada laut Demak. Walau tentunya tak sekuat Sriwijaya dan
Majapahit. Maka wacana kebijakan Presiden Terpilih (2014-selesai) untuk
memperkuat armada laut Indonesia adalah angin segar untuk pertahanan dan
keamanan bangsa. Tentunya juga bisa memberikan rasa bangga pada rakyak dengan
kuatnya pertahanan laut Nusantara.
Indonesia secara geopolitik melalui
aspek maritime dilihat dari segi perspektif global mempunyai wilayah yang
strategis. Dengan lebih dari 17.000 pulai yang menyebar disepanjang 12 kelautan
dan samudra, ternyata menempati wilayah seluas 13% di permukaan bumi. Namun
yang perlu kita ketahui bersama Negara dengan panjang garis pantai terluas
dalam kilometer ini masih berkutat pada masalah ratifikasi perjanjian kelautan
Internasional. Ada 98 pulau terluar di Indonesia yang belum teratifikasi dan
sebagian kepulauan yang berdekatan dengan laut cina selatan mulai menjadi
perdebatan.
Melalui sector people power, tercatat
jumlah SDM di Indonesia mencapai 238,6 juta jiwa yang terbagi dalam 3 wilayah
waktu dan 742 bahasa ibu. Ini artinya secara geospasial dan kajian
multiculturalism kekayaan ini bisa menjadi anugrah sekaligus petaka melalui
strategi asing “devide and conceur” /
“devide et impera” dengan kajian
historis yang mencukupi, kita bisa melihat bagaimana infasi penjajah masuk
melalui strategi penguasaan maritime kita.
Selain itu perdagangan dunia masih
didominasi oleh perdagangan lintas samudra, secara prinsipil, jalur laut lebih
accessable dan efektif. Jalur perdagangan dunia dibedakan atas 7 choke point
yang 5 diantaranya ada di Indonesia. Tentunya kita masih sadar bahwa selat
malaka merupakan jalur perdagangan sekaligus sarang perompak internasional di
antara 3 negara; Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
(Sumber: Conny R. Bakrie dalam seminar
geopolitik political science fair 2012)
Melihat Agenda Pertahanan Laut kita
Seperti tidak belajar dari sejarah,
Indonesia yang wilayahnya merupakan kepulauan sangat minim sekali dilindungi
dengan armada maritim yang mampu meng-cover
perairan nusantara. Bahkan kabarnya hanya 2 unit kapal selam yang bisa
beroprasi untuk nusantara seluas ini. Jika kita melihat ke belakang, jatuhnya
hindia belanda ke tangan Inggris pada awal 1800an serta jatunya Hindia ke
tangan jepang pada 1940an adalah akibat dari tidak kuatnya pertahanan laut
pemerintah hindia belanda, praktis
Demaklah kerajaan terakhir yang memiliki armada laut yang kuat
dinusantara. Keberanianya menantang portugis di malaka waktu itu adalah bukti
sohih kuatnya armada laut Demak. Walau tentunya tak sekuat Sriwijaya dan Majapahit.
Maka wacana kebijakan Presiden Terpilih (2014-selesai) untuk memperkuat armada
laut Indonesia adalah angin segar untuk pertahanan dan keamanan bangsa. Tentunya
juga bisa memberikan rasa bangga pada rakyak dengan kuatnya pertahanan laut
Nusantara.
Akan tetapi sebelum lebih jauh membahas
penguatan alusista laut kita, nampaknya wacana revolusi mental harus terlebih
dulu menjadi agenda utama. Karena pertahanan terbaik bangsa kata DR. A.H
Nasution dalam Pokok-pokok perang gerilya adalah pertahanan rakyat semesta.
Jangan sampai apa yang dipaparkan Machiavelli dalam El Prince bahwa seringkali runtuhnya suatu benteng bukan karena
kuatnya kekuatan penyerbu, tapi karena rakyat didalam benteng tersebutlah yang
membuka sendiri grendel pintu gerbang. Hati rakyat bersama mereka yang menyerbu
masuk.
Zaman
Demak dan Zaman UNCLOS
Apa sebab Raden Pattah dengan tegas mengirim Adipati Unus
untuk menghalau pangkalan Portugal di malaka. Karena pada saat itu Demak
memiliki sebuah kekuasaan penuh atas tanah dan airnya sendiri. Sehingga agenda
menghalau kapal-kapal portugis di malaka sah-sah saja. Tapi beda cerita dengan
kondisi hari ini ketika pasca perang dunia ke dua negara-negara dalam
perserikatan bangsa-bangsa termasuk Indonesia, telah menyepakati hukum laut Internasional
(UNCLOS) yang mengatur tetek bengek nya segalah hal di perairan dunia. Banyak
diantara pasal-pasal dari perjanjian tersebut yang membuat kita tak kuasa di
negeri sendiri. Pasal 125 menetapkan negara tak berpantai berhak transit
dimanapun dengan tak boleh ada cukai kecuali jika ada pelayanan tertentu. Dalam
huku primitive dagangang sekalipun, yang seperti ini amat merugikan. Pada pasal
21-32 tentang hak lintasan damai banyak dibahas bahwa kapal-kapal asing
termasuk kapal perang berhak melintas asal dalam kondisi damai. Dalam
pasal-pasal ini kita punya kedaulatan benar-benar dilucuti. Benar saja dalam
melintas akan damai tak terjadi suatu apa, tapi siapa tau kapal-kapal tersebut
melintas sambil mengumpulkan data. Apalagi kapal2 kita kalah dalam teknologi.
Yang lebih menegnaskan lagi, di jaman UNCLOS ini segala ketentuan dan segala
sengketa diselesaikan lewat dewan yang berisi pemain lama. Mayoritas para
pemenang dunia kedua.
Jangan
sampai jadi ajang ‘bancakkan’
Kita sudah tahu sama tahu hari ini apa yang dikatakan
Fukuyama dengan The End Of History
benar-benar terjadi. Dunia mulai seragam. Diatur oleh sebuah aturan seragam
yang dibikin pemenang perang dingin. Dan kita hari ini adalah manusia-manusia
tanpa kepala, kata Fukuyama. Seragam dalam inti ideologi. Kapitalisme yang
liberal yang global. Dan jelas sudah bahwa pertahanan fisik tidak akan ada
artinya manakala rakyat dan pemerintah sendiri lebih berpihak pada
Internasionalisme daripada nasionalisme. Memang nasionalisme dan
internasionalisme itu seperti dua wajah dalam sekeping mata uang kata Soekarno.
Maka jangan sampai agenda memperkuat armada laut yang menurut saya menjadi
“muspro” dengan kondisi Indonesia yang tidak merdeka jiwanya ini menjadi agenda
“bancakkan” untuk mengambil margin
dari pengadaan alutsista. Sudah mejadi cerita lawas, bahkan hario kecik dalam
memoir pemikiran militernya menceritakan bahwa bahkan di jaman orang-orang
berjiwa patriotik dulu, PSI Sjahrir main ambil margin gila-gilaan dalam
pengadaan alusista. Nah apalagi di jaman edan sekarang ini.
[1] Sekjen KAMMI Surabaya, Pegiat Diskusi KAMMI kultural
surabaya
[2] Sekjen KAMMI Unair, Pegiat Diskusi KAMMI kultural surabaya
[2] Sekjen KAMMI Unair, Pegiat Diskusi KAMMI kultural surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar