8 Oktober 2014

PERTAHANAN MARITIM, PEMBANGUNAN KARAKTER KEBANGSAAN

Arif Saifurrisal[1], Anis Maryuni Ardi[2] dkk.

Kementrian Pertahanan mempunyai rencana strategis untuk menciptakan stabilitas keamanan NKRI melalui strategi jangka menengah dalam kurun tahun 2010-2024. Secara normative kita dapat membaca proses rencana strategi ini berdasarkan pada kekuatan alutsista. Berdasarkan tahun anggaran 2012, dengan dana 70 Triliyun, untuk menjaga keutuhan NKRI sangatlah dana yang minimalis. Angka tersebut hanya bisa digunakan untuk anggaran belanja dan Protokoler TNI ditambah dengan pembelian senjata adan alutsista yang kurang memadai. Berikut ini merupakan Rencana Strategi MEF 2010-2024 yang secara berkelanjutan akan diamanahi dibawah periode kepresidenan SBY dan Presiden terpilih Oktober 2014.

                           (Sumber: Kementrian Pertahanan dalam Political Science Fair)


Melihat Agenda Pertahanan Laut kita

Seperti tidak belajar dari sejarah, Indonesia yang wilayahnya merupakan kepulauan sangat minim sekali dilindungi dengan armada maritim yang mampu meng-cover perairan nusantara. Bahkan kabarnya hanya 2 unit kapal selam yang bisa beroprasi untuk nusantara seluas ini. Jika kita melihat ke belakang, jatuhnya hindia belanda ke tangan Inggris pada awal 1800an serta jatunya Hindia ke tangan jepang pada 1940an adalah akibat dari tidak kuatnya pertahanan laut pemerintah hindia belanda, praktis  Demaklah kerajaan terakhir yang memiliki armada laut yang kuat dinusantara. Keberanianya menantang portugis di malaka waktu itu adalah bukti sohih kuatnya armada laut Demak. Walau tentunya tak sekuat Sriwijaya dan Majapahit. Maka wacana kebijakan Presiden Terpilih (2014-selesai) untuk memperkuat armada laut Indonesia adalah angin segar untuk pertahanan dan keamanan bangsa. Tentunya juga bisa memberikan rasa bangga pada rakyak dengan kuatnya pertahanan laut Nusantara.

Indonesia secara geopolitik melalui aspek maritime dilihat dari segi perspektif global mempunyai wilayah yang strategis. Dengan lebih dari 17.000 pulai yang menyebar disepanjang 12 kelautan dan samudra, ternyata menempati wilayah seluas 13% di permukaan bumi. Namun yang perlu kita ketahui bersama Negara dengan panjang garis pantai terluas dalam kilometer ini masih berkutat pada masalah ratifikasi perjanjian kelautan Internasional. Ada 98 pulau terluar di Indonesia yang belum teratifikasi dan sebagian kepulauan yang berdekatan dengan laut cina selatan mulai menjadi perdebatan.

Melalui sector people power, tercatat jumlah SDM di Indonesia mencapai 238,6 juta jiwa yang terbagi dalam 3 wilayah waktu dan 742 bahasa ibu. Ini artinya secara geospasial dan kajian multiculturalism kekayaan ini bisa menjadi anugrah sekaligus petaka melalui strategi asing “devide and conceur” / “devide et impera” dengan kajian historis yang mencukupi, kita bisa melihat bagaimana infasi penjajah masuk melalui strategi penguasaan maritime kita.

Selain itu perdagangan dunia masih didominasi oleh perdagangan lintas samudra, secara prinsipil, jalur laut lebih accessable dan efektif. Jalur perdagangan dunia dibedakan atas 7 choke point yang 5 diantaranya ada di Indonesia. Tentunya kita masih sadar bahwa selat malaka merupakan jalur perdagangan sekaligus sarang perompak internasional di antara 3 negara; Indonesia, Malaysia, dan Singapura. 

            (Sumber: Conny R. Bakrie dalam seminar geopolitik political science fair 2012)

Melihat Agenda Pertahanan Laut kita

Seperti tidak belajar dari sejarah, Indonesia yang wilayahnya merupakan kepulauan sangat minim sekali dilindungi dengan armada maritim yang mampu meng-cover perairan nusantara. Bahkan kabarnya hanya 2 unit kapal selam yang bisa beroprasi untuk nusantara seluas ini. Jika kita melihat ke belakang, jatuhnya hindia belanda ke tangan Inggris pada awal 1800an serta jatunya Hindia ke tangan jepang pada 1940an adalah akibat dari tidak kuatnya pertahanan laut pemerintah hindia belanda, praktis  Demaklah kerajaan terakhir yang memiliki armada laut yang kuat dinusantara. Keberanianya menantang portugis di malaka waktu itu adalah bukti sohih kuatnya armada laut Demak. Walau tentunya tak sekuat Sriwijaya dan Majapahit. Maka wacana kebijakan Presiden Terpilih (2014-selesai) untuk memperkuat armada laut Indonesia adalah angin segar untuk pertahanan dan keamanan bangsa. Tentunya juga bisa memberikan rasa bangga pada rakyak dengan kuatnya pertahanan laut Nusantara.

Akan tetapi sebelum lebih jauh membahas penguatan alusista laut kita, nampaknya wacana revolusi mental harus terlebih dulu menjadi agenda utama. Karena pertahanan terbaik bangsa kata DR. A.H Nasution dalam Pokok-pokok perang gerilya adalah pertahanan rakyat semesta. Jangan sampai apa yang dipaparkan Machiavelli dalam El Prince bahwa seringkali runtuhnya suatu benteng bukan karena kuatnya kekuatan penyerbu, tapi karena rakyat didalam benteng tersebutlah yang membuka sendiri grendel pintu gerbang. Hati rakyat bersama mereka yang menyerbu masuk.

Zaman Demak dan Zaman UNCLOS

            Apa sebab Raden Pattah dengan tegas mengirim Adipati Unus untuk menghalau pangkalan Portugal di malaka. Karena pada saat itu Demak memiliki sebuah kekuasaan penuh atas tanah dan airnya sendiri. Sehingga agenda menghalau kapal-kapal portugis di malaka sah-sah saja. Tapi beda cerita dengan kondisi hari ini ketika pasca perang dunia ke dua negara-negara dalam perserikatan bangsa-bangsa termasuk Indonesia, telah menyepakati hukum laut Internasional (UNCLOS) yang mengatur tetek bengek nya segalah hal di perairan dunia. Banyak diantara pasal-pasal dari perjanjian tersebut yang membuat kita tak kuasa di negeri sendiri. Pasal 125 menetapkan negara tak berpantai berhak transit dimanapun dengan tak boleh ada cukai kecuali jika ada pelayanan tertentu. Dalam huku primitive dagangang sekalipun, yang seperti ini amat merugikan. Pada pasal 21-32 tentang hak lintasan damai banyak dibahas bahwa kapal-kapal asing termasuk kapal perang berhak melintas asal dalam kondisi damai. Dalam pasal-pasal ini kita punya kedaulatan benar-benar dilucuti. Benar saja dalam melintas akan damai tak terjadi suatu apa, tapi siapa tau kapal-kapal tersebut melintas sambil mengumpulkan data. Apalagi kapal2 kita kalah dalam teknologi. Yang lebih menegnaskan lagi, di jaman UNCLOS ini segala ketentuan dan segala sengketa diselesaikan lewat dewan yang berisi pemain lama. Mayoritas para pemenang dunia kedua.

Jangan sampai jadi ajang ‘bancakkan’  

            Kita sudah tahu sama tahu hari ini apa yang dikatakan Fukuyama dengan The End Of History benar-benar terjadi. Dunia mulai seragam. Diatur oleh sebuah aturan seragam yang dibikin pemenang perang dingin. Dan kita hari ini adalah manusia-manusia tanpa kepala, kata Fukuyama. Seragam dalam inti ideologi. Kapitalisme yang liberal yang global. Dan jelas sudah bahwa pertahanan fisik tidak akan ada artinya manakala rakyat dan pemerintah sendiri lebih berpihak pada Internasionalisme daripada nasionalisme. Memang nasionalisme dan internasionalisme itu seperti dua wajah dalam sekeping mata uang kata Soekarno. Maka jangan sampai agenda memperkuat armada laut yang menurut saya menjadi “muspro” dengan kondisi Indonesia yang tidak merdeka jiwanya ini menjadi agenda “bancakkan” untuk mengambil margin dari pengadaan alutsista. Sudah mejadi cerita lawas, bahkan hario kecik dalam memoir pemikiran militernya menceritakan bahwa bahkan di jaman orang-orang berjiwa patriotik dulu, PSI Sjahrir main ambil margin gila-gilaan dalam pengadaan alusista. Nah apalagi di jaman edan sekarang ini.

[1] Sekjen KAMMI Surabaya, Pegiat Diskusi KAMMI kultural surabaya
[2] Sekjen KAMMI Unair, Pegiat Diskusi KAMMI kultural surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar