oleh: M. Sadli Umasangaji
Anggota Biasa KAMMI Kota Ternate
Pria Sumbawa itu
yang kini telah menjadi Wakil Ketua DPR-RI, dan juga menjabat sebagai Wakil
Sekjen Partai Keadilan Sejahtera. Sudah umum diketahui bahwa Fahri Hamzah
merupakan dekralator KAMMI atau Ketua Umum KAMMI pertama.
Saya telah membaca sebuah adu gagasan yang dilakukan oleh ‘para kader
KAMMI’ mengenai Fahri Hamzah. Pertama, tulisan Ahmad Rizky Mardhatillah Umar yang judul “Melupakan FahriHamzah dari Pikiran KAMMI”. Kedua, tulisan Tsurayya Zahra, “SedikitBerbeda Pendapat Dengan Umar Tentang Fahri Hamzah di Dunia KAMMI”. Ketiga,
tulisan Faqih Addien Al Haq, “Mendulang Nilai,Memutus Rantai : Menyingkap Tirai KAMMI (Pendapat untuk Melupakan Fahri Hamzahdari Cara Berfikir KAMMI)”. Keempat, Dharma Setyawan, “KAMMI Merdeka danMetafor Fahri Hamzah”. Kelima, tulisan Alikta Hasnah Safitri, “Melampaui Konflik dalam Kesatuan”. dan Keenam, nasehat dari Yusuf Maulana berjudul Patron, Mentor, dan Idola
Tulisan ini mungkin
tidak mengikuti alur dari tulisan yang ada itu, walaupun dalam alur tulisan
itupun dikatakan ada proses ‘mis-presepsi’ dari tulisan awal. Tulisan ini
mungkin menghasilkan alur lain dengan pandangan subjektif sebagai bentuk
tanggapan terhadap tulisan yang ada, titik realitisnya adalah pandangan dari
kader KAMMI di daerah, daerah nan jauh, di Timur.
Dari alur tulisan
di atas itu dalam pandangan saya, ada tiga wacana yang berkembang sebetulnya,
pertama, hegemoni Fahri Hamzah sebagai akar PKS-KAMMI, kedua, patron Fahri
Hamzah membuat KAMMI terjebak pada patron politik praktis, hingga miskin
imajinasi, ketiga, perlu patron-patron dengan gaya baru di luar gerakan partai
politik sebagai gaya KAMMI.
“Hegemoni” Fahri Hamzah
Mungkin benar yang
dituliskan oleh Ahmad Rizky
Mardhatillah Umar, “Ketika pimpinan Ketua DPR baru saja terpilih beberapa pekan lalu, banyak
kader-kader KAMMI yang tersenyum sumringah. Rupanya, ada semacam perasaan
bangga di dada mereka setelah mengetahui kalau Fahri Hamzah, sang mantan Ketua
Umum yang dulu disebut-sebut "pendiri" KAMMI, menjadi Wakil Ketua
DPR”. Memang benar adanya, saya termasuk salah satu kader yang bahkan
menuliskan ini sebagai masa-masa fase leaderisasi kader KAMMI (Alumni KAMMI).
Hal ini pula ditambah dengan beberapa kader KAMMI (alumni KAMMI) Maluku Utara
yang turut menjadi anggota DPRD (sebagai politisi PKS) di berbagai daerah di
Maluku Utara.
Ada benarnya pula
bahwa Fahri Hamzah memang icon KAMMI yang bahkan menenggelamkan berbagai
icon-icon KAMMI yang lain. Gaya Fahri Hamzah yang cenderung frontal dalam
berbicara bahkan dinilai sebagai ‘ciri khas gaya anak KAMMI’. Bahkan
buku-bukunya Fahri Hamzah turut menjadi buku-buku yang dilahap oleh kader-kader
KAMMI.
Kader mungkin
bahkan lebih mengenal Fahri Hamzah dibandingkan Fitra Arsil, Haryo Setyoko,
Muhammad Badarudin, Muhammad Hermawan, ataupun senior yang lain. Fahri
Hamzah bukan hanya sekedar icon KAMMI, tapi juga telah menjadi tokoh PKS. Atau
dalam pandangan kader KAMMI sebagai icon KAMMI yang sukses sebagai tokoh di
PKS.
Olehnya itu adalah
hal yang benar dikatakan oleh Ahmad Rizky
Mardhatillah Umar, “Fahri Hamzah memang sudah tidak di KAMMI lagi, tapi ada satu warisan
yang ia tinggalkan: patronase KAMMI terhadap PKS. Bergabungnya Fahri, dan
aktivis-aktivis generasinya, dengan PKS, menandai satu episode baru terhadap
KAMMI: politik patronase yang terbangun secara tidak sadar antara KAMMI dengan
partai berlambang padi hitam ini”. Ditambah tokoh-tokoh KAMMI seperti Andi
Rahmat dan Akbar Zulfakar yang juga sebagai politisi PKS yang jauh lebih
dikenal oleh kader-kader KAMMI dibanding dengan Ketua-Ketua atau Pimpinan-Pimpinan
KAMMI Pusat lainnya.
Dari alur ini maka
kesan yang timbul adalah kader KAMMI yang cemerlang karirnya adalah kader yang
terlibat dalam partai politik (PKS), baik secara struktural, sebagai politisi,
hingga pada konteks kultural. Bagi saya tidaklah salah. Tapi yang seharusnya
dipahami oleh KAMMI bahwa gerakan KAMMI tidak hanya terbatas dalam kontribusi
yang menghasilkan kader-kader sebagai politisi. Mungkin ini salah satu titik
kritikan yang saya pahami dari maksud Akhuna Ahmad Rizky Mardhatillah Umar.
Ada beberapa alasan
menurut saya sehingga tokoh KAMMI yang terlibat sebagai politisi PKS jauh lebih
dikenal terutama untuk di kalangan pusat (tokoh KAMMI pusat). Pertama,
keterlibatannya di partai terutama sebagai politisi yang dianggap kader sebagai
jenjang keberlanjutan dari gerakan mahasiswa, terutama ketika ia sukses di
partai politik. Kedua, senior-senior itu lebih tertokoh di media (kalangan
pusat) sehingga lebih ditokohkan di kalangan kader-kader. Ketiga, hegemoni PKS
di dalam tubuh KAMMI, yang membuat senior yang tertokoh di partai, lebih
ditokohkan di KAMMI.
Hegemoni PKS (di
daerah) jauh lebih kuat dibanding dengan hegemoni PP KAMMI. Bahkan dinamika PP
KAMMI dengan KAMMI Nasional, hampir tidak dirasakan di daerah (khususnya KAMMI
Maluku Utara, Kota Ternate, mungkin). KAMMI Kota Ternate benar-benar terisolasi
dari hegemoni KAMMI Pusat dan KAMMI Nasional. Karena KAMMI Kota Ternate sendiri
‘terisolasi’ dalam dirinya sendiri dengan ‘fenomenanya sendiri’. Sebagai kader
KAMMI Kota Ternate, dinamika itu tidak terasa dengan kondisional KAMMI Kota
Ternate. KAMMI Kota Ternate memiliki fenomena keKAMMIannya sendiri. Mungkin
sama halnya dengan KAMMI daerah-daerah lain.
Hegemoni PKS, dapat
dibagi dalam konteks kesadaran dan ketidak-kesadaran. Dalam konteks
ketidak-kesadaran, maka KAMMI dapat dikatakan independen sesuai dengan
konstitusinya. Sedangkan dalam konteks kesadaran dapat dilihat dalam konteks
kultural dan relasi atau partisipasi politik. Secara kultural, hegemoni PKS
atau lebih enak disebut sebagai gerakan dakwah tarbiyah, dapat terlihat dari
pengkaderan-pengkaderan KAMMI, liqo-liqo KAMMI, dan ini mungkin sisi baiknya.
Karena secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa hegemoni gerakan dakwah
tarbiyah dalam konteks pengkaderan jauh lebih partisipasitif dalam tubuh KAMMI
di daerah dibandingkan PP KAMMI.
Sejatinya, mungkin partisipasi kultural
inilah yang menjamaah relasi KAMMI - Gerakan Dakwah Tarbiyah yang diimplikasi
dari konteks kesadaran dakwah bukan semata-mata kesadaran struktural organisasi
atau struktural partai atau gerakan politik, tapi ini pulalah yang menghasilkan
partisipasi politik.
Dengan alasan ini, maka sesungguhnya (‘sudah sama-sama
kita tahu’) bukan Fahri Hamzah yang jadi akar PKS tapi PKS (Gerakan Dakwah
Tarbiyah) dan Fahri Hamzah saling satu padu dalam akar tubuh KAMMI. Tapi
seutuhnya KAMMI juga membutuhkan trend-trend baru di luar dari tokoh politik,
seperti tokoh pendidikan, pemikir, intelektual, ekonom, peneliti, penulis,
dosen, teknokrat, dan lain-lainya yang seutuhnya juga menjadi basis gerakan
sebagai pengembangan gerakan dakwah.
Hal lain, dari
relasi dan partisipasi politik itulah yang membuat KAMMI memiliki faksi-faksi
baru didalam tubuhnya sendiri. Sebut saja faksi-faksi itu seperti KAMMI
Nasional, KAMMI Kultural, di luar dari PP KAMMI.
KAMMI Kultural
misalkan. Bagi saya sebuah faksi KAMMI yang baik. Dimana faksi yang bagi saya
ke depan bakal menghasilkan intelektual-intelektual KAMMI, konseptor KAMMI.
Faksi-faksi di dalam tubuh organisasi dapat disebut baik selama faksi-faksi itu
saling berbenturan. Tapi kritikan saya kepada KAMMI Kultural adalah tidak
adanya pengembangan gerakan KAMMI Kultural untuk daerah-daerah lain, terkhusus
daerah Indonesia Timur, KAMMI Kultural hanya dominan di daerah-daerah Jawa.
Patron Baru
“Gerakan-gerakan
KAMMI seperti dikuras: dituntut untuk aksi dengan massa yang banyak, tuntutan
politik yang "wah", tapi tidak jelas ke mana tujuannya. Hal-hal
semacam ini menjadi lahan subur bagi broker-broker partai. Ke mana KAMMI harus
mencari dana untuk membiayai gerakannya yang mahal itu? KAMMI tentu beda dengan
NGO yang punya strategi fundraising canggih dan network yang kuat. Di
sisi lain, KAMMI juga tidak dikelola secara profesional -tidak punya sumber
pemasukan tetap dan mekanisme pengelolaan keuangan yang baku. Maka, jadilah
aktivis KAMMI, di berbagai daerah di Indonesia, mencari channel pada
abang-abangnya di partai politik. Jelas, mereka bukan orang yang dermawan untuk
gerakan; ada kepentingan yang tersirat (maupun tersurat) dari
sumbangan-sumbangan yang mereka berikan itu”.
Apa yang
dikatakan Ahmad Rizky Mardhatillah
Umar mungkin menjadi perenungan. Tapi kalau dilihat dari sisi ini hubungan relasi
PKS-KAMMI sekali lagi mungkin adalah ‘ruang kultural’ sehingga fundraising
bukan hanya terbatas pada aksi tapi juga turut andil dalam daurah-daurah maupun
musyawarah-musyawarah.
Walaupun kesadaran
kultural inilah yang bagi saya tidak hanya menghasilkan kesadaran senior yang
hanya terlibat secara struktural sebagai politisi, tapi ada pula senior yang
tetap peduli pada KAMMI karena alasan kultural. Di Maluku Utara misalkan saya
melihat konseptor KAMMI, bahkan tidak terlibat sebagai politisi. Tapi itu bukan
titik pentingnya, titik pentingnya adalah patron baru di luar patron tukang
demo berafiliasi menjadi politisi.
Patron baru yang
diharapkan tentunya dari rahim KAMMI lahirlah seperti tokoh pendidikan,
pemikir, intelektual, ekonom, peneliti, penulis, dosen, teknokrat tidak hanya
sekedar tokoh politik. KAMMI mungkin perlu menghasilkan pemikir seperti
Nurcholish Madjid misalkan yang tidak terlibat dalam partai politik tapi
tertokoh dalam HMI bahkan bangsa Indonesia. Bahkan KAMMI perlu mengkader para
kadernya untuk tergerus menjadi manusia guru, yang diistilahkan sebagai guru
bangsa.
Kalau ditanya
senior KAMMI yang membuat saya terkesan, selain dari tokoh sekelas Fahri
Hamzah, maka tokoh yang membuat terkesan lainnya adalah tokoh-tokoh seperti
Rijalul Imam, dan pula Yusuf Maulana. Mungkin saya tidak mengenal dekat beliau
(Yusuf Maulana). Tapi dia salah seorang kader yang saya kagumi. Terutama karena
saya ketika terlibat di KAMMI sebagai Pengurus Departemen Kehumasan, ya kalau
tidak salah setahu saya, beliau adalah salah satu Pengurus KAMMI yang terlibat
di Departemen Kehumasan. Materi-materi kehumasannya untuk kader, menarik,
gagasan dan opini-opinyanya menarik, ia produktif dalam menulis.
Walaupun saya hanya
mengenalnya dalam tulisan di Buku “Mengapa Aku Mencintai KAMMI” tentang “Lelaki
yang Memilih Menikah dengan Pena dan Buku”. Kekaguman saya ketika ia produktif
dalam menulis dan tanpa melabeli dirinya sebagai ‘kader KAMMI’ dalam
tulisan-tulisannya yang dimuat di media, alasan emosional ‘kader KAMMI’. Dan
ditambahkan ketika kini ia adalah seorang editor. Dan tanpa jarang diketahui
dia adalah salah satu penggagas ‘Paradigma Gerakan KAMMI’.
Dengan itu KAMMI
Kultural seharusnya dari pegiat-pegiat kulturalnya perlu mencatat dan
membukukan gagasan-gagasan keKAMMIannya seperti halnya Agus Salim Sitompul yang
mensejarah catatan ke-HMI-an-nya.
Sehingga dengan itu
ada pandang yang jauh lebih utuh terhadap KAMMI dan konsepsi ‘Muslim
Negarawan’-nya. Konsepsi ‘Muslim Negarawan’-nya KAMMI seharusnya tidak terbatas
kepada seorang politisi. Tapi seorang yang dengan kesadaran akan manhaj
Islaminya, ia menjadi bagian sebagai masyarakat Islami yang siap sebagai
pemimpin dan juga siap sebagai rakyat. Jadi apapun kader itu, ia tetap kokoh dengan
fikrahnya sebagai ‘Muslim Negarawan’. Minimal fikrah ‘Muslim Negarawan’ itulah
yang menjadi kesadaran kulturalnya dalam mewujudkan cita-cita KAMMI, sebagai
kader aktif dan paska KAMMI.
Di lain hal, dengan
itu seperti harapan KAMMI Kultural, KAMMI mampu melahirkankader-kader
dengan Al-Farabi baru. Al-Farabi yang dituliskan oleh Muhammad Natsir,“Hidup
bersahaja di alam materi sebagai fakir, tapi memegang kendali di alam ruhani
sebagai raja”. Al-Farabi adalah seorang tukang kebun dan bekerja siang hari untuk tuannya. Akan
tetapi, tapi kita juga melihat sosok Al-Farabi sebagai penguasa di jagad pemikiran dan dirinya dalam hidupnya. Al-Farabi hanya tidak menulis saat dua hari
–yaitu saat malam pertama menikah dan saat Ayahnya meninggal.
Diriwayatkan
bahwa Al-Farabi, adalah seorang yang amat bersahaja, yang mencari sesuap pagi -
sesuap petang sebagai tukang jaga kebun. Walaupun demikian kefakiran yang
dideritanya, tapi sedikitpun tidak menghalanginya bekerja terus dalam dunia
falsafah. Siang hari ia menyingsingkan lengan baju sebagai tukang kebun, malam
memegang kalam, memutar otak selaku filosof, diterangi oleh pelita kecil yang
mengijap. Ia memberi sejarah dan komentar atas falsafah Aristoteles dan Plato,
serta memperbandingkan paham kedua filosof itu dengan Agama Islam.
Kalau KAMMI bisa
belajar dari Al-Farabi, mungkin KAMMI-pun akan mampu menghasilkan pemikir tak
hanya tokoh politik semacam bang Fahri. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar