9 November 2014

Patron, Mentor, Idola

Kontribusi untuk Diskusi tentang KAMMI dan Fahri Hamzah

oleh: Yusuf Maulana
Alumni KAMMI


Dalam pematangan gerakan, aktivis tetap butuh patron dan mentor. Jauh sebelum Republik ini berdiri, pengaderan para pejuang bangsa senantiasa diselubungi dengan peneladanan dan pengidolaan. Logis saja manakala anak didik mengikuti-habis setiap yang dikatakan patron maupun mentor. Bukan semata karena ada keyakinan barakahnya ridha sang patron ataupun mentor, melainkan juga karena ada ikatan kuat untuk selalu berbuat lebih baik.


Bagi saya, hal itulah yang muncul ketika membaca tulisan adinda Umar, "Melupakan Fahri Hamzah dari Pikiran KAMMI" dan tulisan-tulisan tanggapannya dari Zahra, Dharma, Faqih, dan Alikta. Saya ingin mengarifi tulisan tersebut sebagai sebuah auto-kritik terhadap KAMMI, sekaligus juga ingin memberikan catatan bahwa dalam setiap pergerakan, tak terkecuali gerakan mahasiswa, ada semacam kegalauan ketka harus berinteraksi dengan senior. Ia bisa menjadi patron, mentor, atau dalam kasus yang lebih khusus: idola. 


Dua Teladan
Memiliki patron dan mentor juga tidak risih diperbuat Soekarno, Kartosoewirjo, Alimin, dengan menetapkan Oemar Said Tjokroaminoto selaku figur utama. Menjadikan ‘Sang Raja Jawa tanpa Mahkota’ boleh jadi awalnya sekadar ketundukan senioritas usia dan keilmuan. Tapi, seiring perkembangan kejiwaan dan kecenderungan intelektual (juga ideologi), patron dan mentor mengubah aras pengajaran menjadi pendidikan. Bila semula semuanya diarahkan, pada akhirnya sang murid menentukan sikap. Dan ini sudah menjadi tanggung jawab mereka, mengingat sang mentor sudah memberikan dasar-dasar bersikap. Bahwa kemudian ada perbedaan kutub ideologi, ini konsekuensi dari deliberasi berwacana.

Kendati memiliki warna-warni pemikiran dari para murid, tidak berarti kita secara gegabah layak menyebut ini sebuah ‘keberhasilan’, ‘kemenangan’ ataupun ‘pemanusiaan’. Sudut pandang mana yang kita pilih bakal menentukan hasil penilaian. Bagi islamis, pengaderan ala Tjokroaminoto bisa disebut parsial atau bahkan gagal. Anak didik kok malah bertentangan ideologi dengan gurunya. Tapi, lain bila kacamata yang dipakai pendidikan deliberasi yang tidak berurat pada sendi keislaman, sudah tentu pujianlah yang bakal dilayangkan pada Tjokroaminoto.

Saya pribadi menilai, patron dan mentoring Tjokroaminoto belum seideal—sebut saja—Ahmad Hassan. Tokoh pembaru dari Persatuan Islam (Persis) ini dalam kurun waktu yang hampir sama juga berposisi serupa Tjokroaminoto. Salah satu anak didiknya adalah Natsir. Menariknya, murid-murid A Hassan nyaris bertipe islamis (kelak di kemudian hari banyak mewarnai arus berpikir Masyumi). Jadi, bila Tjokro ‘berhasil’ hadirkan anak didik yang bercorak plural, tidak demikian dengan Hassan.

Menariknya, walau Hassan membawa keislaman puritan, tidak berarti patron yang dikembangkan anak didiknya berwujud fanatisme. Ide-ide Natsir memang paralel dengan pemikiran Hassan, tapi Natsir tetap berkembang menjadi dirinya sesuai zamannya. Dan Natsir tidak merasa perlu untuk terbebani oleh kebesaran nama sang mentor. Siapa rakyat Republik yang tidak kenal Tuan Hassan, yang gemar menantang berdebat tokoh-tokoh selebritas politik mana pun? Natsir, uniknya, ambil sisi esensi; bukan simbolik dari Hassan. Dalam beberapa bangunan argumentasi dan penarikan logika, Hassan dan Natsir memang sama saat mendebat Soekarno. Tapi, Natsir berhasil lepas dari bayangan patron dan mentornya dari segi intelektual. Saat yang sama, guru dan murid ini masih tetap seperti saudara kendati sang anak didik sudah jadi orang di pemerintahan.

Di Jawa, kohesi keluarga yang tulus ala Hassan dan anak-anak didiknya mungkin tidak didapati Tjokroaminoto. Hubungan fanatisme di awal dan di kemudian hari terpolar dalan aneka ideologi pun hanya lahirkan ‘formalisme’ mentor dan patron. Keintiman mentor dan patron seperti setengah paksa. Yang ada peniruan diam-diam dari sang murid pada aspek tertentu yang tidak diberikan sang guru. Ambil contoh retorika Tjokroaminoto yang ditiru Soekarno juga kadernya yang lain. Meski awalnya diam-diam, tetapi Tjokroaminoto akhirnya tahu dan melempangkan jalan.   

Kuasa Uang
Dua tokoh mentor bangsa saya sebut untuk menjelaskan dominasi ideologi dan perjuangan revolusioner dalam mendidik kader. Sebagai patron dan mentor, mereka perkuat identitas awal para tokoh yang kemudian mewarnai perjuangan Indonesia dengan segala plus-minusnya. Tentu saja, faktor lingkungan dan dialektika perjalanan intelektual masing-masing anak didik amat besar. Itu yang menjelaskan mengapa anak-anak didik Tjokroaminoto ‘berubah’ dan berbeda dengan dirinya. Di sisi lain, Natsir juga tidak selalu menarik garis sikap yang pasti sama dengan Hassan.

Aras gerakan, sepanjang pengetahuan saya, selalu meletakkan penghormatan ideologi hingga akhirnya terbangun kepemilikan patron dan mentor. Menariknya, usai negeri ini relatif stabil secara perekonomian, kekuatan uang juga patut dipertimbangkan. Terutama—seperti dalam tulisan ini—gerakan pemuda/mahasiswa. Kekuatan patron dan mentor juga berarti ada faktor ekonomi. Kesinambungan perjuangan gerakan tidak bisa menafikan uang yang didapat dari senior yang dipatroni ataupun dimentori. Tidak selalu berlaku demikian, memang, hanya sudah jamak penetrasi senioritas dalam memengaruhi aras berpikir junior.

Dalam konteks inilah, terbelahnya aktivis pergerakan ketika menerima patron berbasiskan uang (walau bukan satu-satunya) menjadi fenomena biasa. Sebagai anak muda, ada yang realistis atas terbatasnya dana untuk operasional pergerakan; ada pula yang ingin menjaga kesucian gerakan. Tarik-menarik semacam ini justru sebuah fenomena menarik bila tiap kubu sama-sama kuat. Sayangnya, dalam banyak praktik, yang idealis biasanya minoritas. Mereka dianggap menutup mata atas andil senior.

‘Intervensi’ patron dan mentor dalam konteks gerakan tidak selalu terjadi pada tokoh pendiri, tetapi juga pada figur tertentu yang kadung jadi idola akibat akses dana dan jaringan. Bisa disederhanakan, ideologi pendiri hanya faktor kesekian setelah dana dan jaringan. Kemudahan dana taktits yang diberikan melupakan cara berpikir radikal ala anak-anak muda.

Berawal dari dana, kemudian berjalan menukik ke cara berpikir. Inilah sebuah kekeliruan berpikir. Kecemasan ataukah bukan yang jelas aktivis mahasiswa sering kali ‘ketakutan’ untuk menjadi dirinya bila berhadapan dengan sang patron atau mentor yang juga penyandang dana. Posisinya lebih kuat daripada figur yang sekadar asketis alias zuhud tapi produktif sumbangkan ide bagi organisasi.

Semakin dalamnya pengaruh patron, mentor cum penyandang dana, galibnya lahirnya aklamasi pengidolaan. Resistensi jelas selalu ada, tetapi akan dianggap sumbang. Bila ini yang terjadi, masa depan organisasi patut diprihatinkan. Seolah masa depan terefleksikan dari kiprah dan atraksi sang patron dan mentor tadi.

Menghilangkan begitu saja jejak pemikiran sang patron dan mentor tipe tersebut jelas tidak mudah. Sama artinya membangun kesadaran baru secara massal di organisasi. Riak-riak perlawanan bisa menjadi banjir perpecahan di tubuh pergerakan. Belum lagi bila sang patron betul-betul menghentikan aliran dananya. Gerakan kaum muda yang berhenti idealis karena dihentikannya aliran dana, sudah tentu bukan referensi yang baik dalam merawat Indonesia ke depan.


Yang dibutuhkan bagi gerakan yang ‘terkorporasikan' (sebuah ungkapan untuk menyebut kooptasi yang menyenangkan dan dinikmati para aktivis) adalah mulai berani jujur memikirkan masa depan organisasi. Bukan semata kelangsungan periode kepengurusan. Berpikir jangka pendek sudah seharusnya digantikan dengan berpikir jangka menengah dan panjang.

Ada masanya harus mengendapkan kebergegasan anak muda dengan selalu mengidolakan kekinian tokoh yang masif diberitakan media. Perlu ada pluralitas ketokohan agar pengiodalaan berjalan alamiah. Bukan karena terpaksa lantaran sang tokoh adalah penyandang dana. Kedekatan dengan patron dan mentor yang rutin memberikan bantuan seyogianya dikuatkan dari segi pemikiran. Saya tidak yakin, tokoh yang rutin mensponsori gerakan akan berhenti membantu hanya karena idenya ditentang. Bila demikian, ada baiknya aktivis mahasiswa mulai berangsur hanya menimba sisi positif saja dari sang figur. Sungguh, tokoh atau figur yang hanya ingin idenya dipakai aktivis (tapi tidak mau ide juniornya direspeki) bom waktu bagi organisasi idealis seperti gerakan mahasiswa.

Pada akhirnya, kunci untuk mengembalikan spirit gerakan bukan pada tokoh atau patron tertentu. Sang aktivislah yang menentukan untuk mandiri atau terus terkorporasi. Mandiri di sini jangan diartikan membebaskan diri dari ‘keluarga jamaah’ organisasi. Bukan, bukan demikian. Berbedanya Soekarno dan Alimin dengan Tjokroaminoto tidak berarti melupakan sendiri yang mendasar bagi rakyat pribumi: memerdekakan negeri kelahiran. Perbedaan jalan berpikir dan bersikap dengan patron dan mentor penyandang dana adalah biasa; sebiasa kita selaku manusia sering berbeda pendapat. Maka, mengaitkan untuk terus sama sebagai satu rumah besar jelas tidak tepat.

Di sisi lain, memaksakan untuk keluar dari tokoh yang kadung banyak membantu jelas sebuah ‘bencana’ bagi kebanyakan rekan seorganisasi. Harus ada jalur kultural untuk membuat strategi budaya dan adab yang cerdas. Pertama, masivikasi aktivitas intelektual. Kedua, penguatan adab gerakan berbasiskan ilmu; bukan dana. Ketiga, seperti sudah disebut di atas, mempluralitaskan penokohan dengan beragam ranah. Keempat, isu kemandirian dana operasional hanya utopia selagi tidak ada keberanian untuk menjadi anak yang dewasa. Uang boleh diterima, tetapi sikap dan cara pemanfaatan uang tadi harus sesuai dengan jati diri kita. Ya, bak anak yang sudah tahu untuk apa uang jajan itu dipergunakan. Meyakinkan orangtua bahwa uang jajannya dipergunakan bukan untuk kemudaratan, pastilah orangtua senang betapapun awalnya selalu curiga dan berprasangka bakal menikam dari belakang.

Memisahkan figur dan cara berpikir juga tidak relevan. Figur akan selalu melekatkan cara berpikir. Pun demikian, cara berpikir, akan selalu memiliki rekam jejak figur bahkan sekadar gaya bicara ke publik. Sama artinya kita menolak eksistensi orangtua selaku manusia dan pendidik di rumah. Yang lebih dibutuhkan adalah meyakinkan orangtua bahwa diri kita sudah dewasa dan matang. Meski awalnya disinisi, aktivis yang mandiri pastilah akan bisa menentukan sikap. Kelak di kemudian hari bisa menokohkan diri secara alamiah tanpa harus ‘memanfaatkan’ ketokohan patron dan mentor.

Bila Soekarno, Natsir, Kartosoewirjo, Alimin bisa, mengapa generasi pemuda sekarang tidak berani melakukannya? Fokus pada ideologi dan visi perjuangan. Bukan melulu cemas atas efek meninggalkan patron dan mentor yang kadung berjasa besar. Dengan demikian ritus kultur individu di kalangan gerakan mahasiswa bisa berganti menjadi kekerabatan kritis yang terus berdialektis. Sungguh, sebuah amal jariah apa yang membanggakan para senior bila ide-ide dan artikulasi politiknya dikoreksi dan disintesiskan anak-anak didiknya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar