30 November 2014

Meninjau Kembali Keberadaan PW KAMMI

Oleh: Robert Edy Sudarwan
Penggiat di KAMMI

”Tulisan ini adalah refleksi perjalanan di tengah gegap gembitnya KAMMI dalam karyanya untuk Indonesia baik secara kultur atau pun struktur. Sekedar untuk mengingat dan mengukur diri, sebagai cermin yang harapannya dapat di jadikan cara untuk melihat diri sendiri untuk lebih baik dan bertahan dalam dinamika pergerakan kepemudaan di Indonesia,”.

Kehadiran KAMMI sejak 1998 dalam kancah gerakan di Indonesia tentu tidak dapat lepas dari visi besarnya. Dengan karakter gerakan yang bukan hanya sebagai oganisasi masa, namun juga organisasi pengkaderan. Organisasi ini menjadikan kader sebagai komponen utama dalam mencapai visinya, dan mau tidak mau di pertemukan pada banyaknya masalah dalam proses kaderisasinya.

Pengkaderan dalam hal ini diartikan sebagai sistem  yang terdiri dari beberapa tahapan untuk menanamkan nilai jati diri kader KAMMI dalam mencapai tujuan bersama. Pada proses ini secara formal, tentu ada yang bertindak sebagai subjek dan objek. Subjek adalah mereka yang diamanahi sebagai pelaksana pengkaderan, sedangkan objek adalah sasaran pengkaderan yang tidak lain adalah kader itu sendiri.

Usia Kader KAMMI

Dalam rentang pengkaderan ada masa/waktu yang niscaya menjadi variabel penting dalam pembentukan kader. Secara tidak langsung usia produktif saat kuliah itu akan menentukan keberadaan mahasiswa di KAMMI, baik sebatas sebagai kader atau juga menjadi pengurus KAMMI. Hal tersebut akan menjadi masalah jika tidak disiasati dengan baik.

Masalah usia kader yang paling penting adalah kondisi dimana proses pengkaderan dan jenjang hirarki kepengurusan tidak berbanding lurus dengan kondisi usia dimana kader itu kuliah. Mahasiswa pada umumnya menjalani proses kuliah selama 4 tahun - 5 tahun untuk jenjang S-1, dan struktur di KAMMI membutuhkan pos-pos yang harus di isi oleh para kadernya. Secara organisasi KAMMI membutuhkan suport energi yang cukup dalam mengolah organisasi, namun disisi lain, individu-individu di KAMMI harus menjalankan kewajiban kuliah dan menyelesaikannya dengan baik.

Perjalanan kader untuk mendapat perlakuan kaderisasi dari AB 1 hingga memasuki jenjang AB 3 adalah bukan hal sederhana, butuh waktu dan proses yang konsisten untuk mencapai titik tersebut. Kepengurusan di KAMMI pun tidak dapat terlepas dari jenjang kaderisasi, AD-ART jelas mengatur akan hal tersebut. Bahwa pengurus PD, PW dan PP minimal AB2, dan untuk menjadi Ketua PK adalah AB2, menjadi Ketua PD, PW dan Ketua Bidang/Departemen di PP adalah AB 3.

Usia kader saat di kampus menjadi pengurus PK idealnya dari tahun ke-1 hingga ke-2, namun pada kenyataanya usia kader kader KAMMI yang masih di Kampus juga memiliki aktifitas yang padat. Kader KAMMI banyak yang memiliki ruang karya dan gerak yang tidak juga semua bisa intens secara kepengurusan di PK. Pada tahun pertama dan ke dua mereka akan fokus di internal kampus, mulai dari menjadi pengurus BEM maupun UKM.

Tahun ke-tiga adalah tahun dimana kader menempati posisi penting di kampus, sebagai pengurus ORMAWA atau UKM mereka menempati posisi leader. Kondisi ini sangat tidak memungkinkan kader untuk ditarik menjadi punggawa PK, walaupun ada yang bisa demikian. Lantas pada tahun ke-empat kader baru bisa kembali ke-KAMMI dengan membawa PR tugas akhir (baca: Skripsi) dan beban KKN atau Magang yang harus mereka jalani. Di tahun ini kader baru bisa intens mengurus Komisariat dengan bayangan mereka harus cepat lulus. Dan hal ini adalah kondisi umum yang biasa terjadi di kampus dan komisariat yang penulis tarik garis kesimpulan, lantas kapan para kader dapat masuk dalam struktru lebih atas?.

Solusi untuk mengatasi pengisian pos dan ruang tersebut banyak telah dilakukan oleh para pendahulu, baik dengan program akselerasi jenjang kader, hingga peningkatan kuantitas dengan asumsi kader dapat lebih banyak yang dipilih dan di tempatkan dalam ruang-ruang karya. Usaha tersebut sampai saat ini dirasa kurang efektif jika melihat kondisi kepenguruan di seluruh Indonesia, dari semua level. Dengan adanya kader dan kondisi kepengurusan PK yang demikian mau tidak mau upaya percepatan dilakukan, dan itupun memakan waktu hingga tahun ke-tiga para kader baru dapat menjadi Pengurus Daerah. Tahun yang hanya sosok-sosok pilihan dan terseleksi dengan waktu yang akan tetap konsisten dan bertahan hingga masuk di kepengurusan PD.

Kondisi diatas tentu akan menjadi masalah yang sangat krusial dalam kepengurusan PW. Kader-kader yang sudah mulai masuk dalam dunia karya (baca: bekerja), atau memilih harus pulang ke kampung halaman, mau tidak mau akan dihadapkan pada persoalan dimana dia harus tetap menjadi fungsionaris di KAMMI atau tidak. Sehingga ketidakoptimalan kepengurusan PW itu tidak dapat disalahkan secara sepihak pada kepengurusan PW, namun ada hirarki dan jenjang yang begitu panjang di KAMMI yang sulit dilalui oleh para kader pada zaman ini.

Keberadaan PW KAMMI

Semangat keberadaan kepengurusan PW yang menggantikan Teritorial di KAMMI pada era 2008-2009 an adalah upaya untuk menjadikan struktur KAMMI ada pada basis Propinsi hingga Kabupaten. Persebaran struktur KAMMI hingga pada basis Kabupaten/Kota di Indonesia di nilai cukup signifikan, namun keberadaan PW yang memayungi PD dan berada pada kuadran propinsi hingga saat ini pun masih sangat dirasa kurang optimal. Kondisi PW yang demikian tidak lepas dari pasokan SDM yang akan berada di PD yang pada beberapa daerah sangat terbatas personelnya.

Kondisi kepengurusan yang demikian ini tentu tidak bisa kita biarkan begitu saja. Karena tidak dapat dipungkiri, ketika potensi dan energi habis terseleksi dengan waktu, jenjang hirarki yang demikian panjang akan sangat sulit untuk melahirkan kader yang dapat berkarya di PW. Hal ini akan berdampak juga pada bagaimana PP ke depan, yang mau tidak mau harus di isi orang-orang yang siap dan total dalam mengurus KAMMI. Dengan demikian maka perlu keberadaan kepengurusan PW KAMMI harus di evaluasi dan ditindaklanjuti untuk tetap ada atau dibekukan ataupun diganti dengan format lain.

Secara kinerja beban tugas yang ada dalam kepengurusan PW sebenarnya dapat dilaksanakan oleh PD, dari pelaksanaan Kaderisasi dan penyikapan isu-isu daerah baik level kabupaten/kota hingga propinsi, sudah mampu dilaksanakan oleh PD. Dan dari masing-masing PD penulis menawarkan untuk di kordinatori oleh teritorial yang tugasnya secara fungsional tidak terlalu berat dan dapat dilaksanakan oleh beberapa orang saja. Tawaran yang demikian kiranya akan menjadi sesuatu yang dinilai mundur kebelakang, dan kembali pada era masa lalu. Namun, demi menjaga SDM produktif untuk dapat mengurus KAMMI secara optimal, tidak ada salahnya jika penulis melemparkan wacana yang demikian.

Dengan demikian, menurut penulis keberadaan kepengurusan PW saat ini sebaiknya dikembalikan fungsinya ke Teritorial. Mengingat secara umum kondisi PW yang secara struktur kurang dapat optimal dengan problem usia kaderisasi. Jika problem utamanya bukan pada usia kaderisasi kader di KAMMI, tetapi pada hal lain, maka struktur PW bisa untuk dipertahankan. Pembahasan yang demikian tentu tidak akan menjadi sesuatu hal yang konkrit jika tidak diselesaikan pada forum pembahasan AD/ART. Dan pembahasan AD/ART untuk meninjau kembali atau merubah hanya ada di forum Muktamar. Dengan demikian penulis jauh-jauh hari melemparkan wacana demikian untuk akhirnya dapat menjadi bahan perbincangan teman-teman penggiat KAMMI se-Indonesia, terlepas dari pro-kontra nya tidaklah menjadi masalah.

Jakarta, 24 November 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar