Oleh: Robert Edy Sudarwan
Penggiat di KAMMI
”Tulisan
ini adalah refleksi perjalanan di tengah gegap gembitnya KAMMI dalam karyanya
untuk Indonesia baik secara kultur atau pun struktur. Sekedar untuk mengingat
dan mengukur diri, sebagai cermin yang harapannya dapat di jadikan cara untuk melihat
diri sendiri untuk lebih baik dan bertahan dalam dinamika pergerakan kepemudaan
di Indonesia,”.
Kehadiran KAMMI sejak 1998
dalam kancah gerakan di Indonesia tentu tidak dapat lepas dari visi besarnya. Dengan
karakter gerakan yang bukan hanya sebagai oganisasi masa, namun juga organisasi
pengkaderan. Organisasi ini menjadikan kader sebagai komponen utama dalam
mencapai visinya, dan mau tidak mau di pertemukan pada banyaknya masalah dalam
proses kaderisasinya.
Pengkaderan dalam
hal ini diartikan sebagai sistem yang terdiri dari beberapa
tahapan untuk menanamkan nilai jati diri kader KAMMI dalam mencapai tujuan
bersama. Pada proses ini secara formal, tentu ada yang bertindak sebagai subjek
dan objek. Subjek adalah mereka yang diamanahi sebagai pelaksana pengkaderan, sedangkan
objek adalah sasaran pengkaderan yang tidak lain adalah kader itu sendiri.
Usia Kader KAMMI
Dalam rentang pengkaderan
ada masa/waktu yang niscaya menjadi variabel penting dalam pembentukan kader. Secara
tidak langsung usia produktif saat kuliah itu akan menentukan keberadaan
mahasiswa di KAMMI, baik sebatas sebagai kader atau juga menjadi pengurus
KAMMI. Hal tersebut akan menjadi masalah jika tidak disiasati dengan baik.
Masalah usia kader yang
paling penting adalah kondisi dimana proses pengkaderan dan jenjang hirarki
kepengurusan tidak berbanding lurus dengan kondisi usia dimana kader itu
kuliah. Mahasiswa pada umumnya menjalani proses kuliah selama 4 tahun - 5
tahun untuk jenjang S-1, dan struktur di KAMMI membutuhkan pos-pos yang harus
di isi oleh para kadernya. Secara organisasi KAMMI membutuhkan suport energi yang cukup dalam mengolah
organisasi, namun disisi lain, individu-individu di KAMMI harus menjalankan
kewajiban kuliah dan menyelesaikannya dengan baik.
Perjalanan kader untuk
mendapat perlakuan kaderisasi dari AB 1 hingga memasuki jenjang AB 3 adalah
bukan hal sederhana, butuh waktu dan proses yang konsisten untuk mencapai titik
tersebut. Kepengurusan di KAMMI pun tidak dapat terlepas dari jenjang
kaderisasi, AD-ART jelas mengatur akan hal tersebut. Bahwa pengurus PD, PW dan PP
minimal AB2, dan untuk menjadi Ketua PK adalah AB2, menjadi Ketua PD, PW dan Ketua
Bidang/Departemen di PP adalah AB 3.
Usia kader saat di kampus
menjadi pengurus PK idealnya dari tahun ke-1 hingga ke-2, namun pada
kenyataanya usia kader kader KAMMI yang masih di Kampus juga memiliki aktifitas
yang padat. Kader KAMMI banyak yang memiliki ruang karya dan gerak yang tidak
juga semua bisa intens secara
kepengurusan di PK. Pada tahun pertama dan ke dua mereka akan fokus di internal
kampus, mulai dari menjadi pengurus BEM maupun UKM.
Tahun ke-tiga adalah tahun
dimana kader menempati posisi penting di kampus, sebagai pengurus ORMAWA atau
UKM mereka menempati posisi leader. Kondisi ini sangat tidak memungkinkan kader
untuk ditarik menjadi punggawa PK, walaupun ada yang bisa demikian. Lantas pada
tahun ke-empat kader baru bisa kembali ke-KAMMI dengan membawa PR tugas akhir (baca:
Skripsi) dan beban KKN atau Magang yang harus mereka jalani. Di tahun ini kader
baru bisa intens mengurus Komisariat dengan bayangan mereka harus cepat lulus.
Dan hal ini adalah kondisi umum yang biasa terjadi di kampus dan komisariat
yang penulis tarik garis kesimpulan, lantas kapan para kader dapat masuk dalam
struktru lebih atas?.
Solusi untuk mengatasi
pengisian pos dan ruang tersebut banyak telah dilakukan oleh para pendahulu,
baik dengan program akselerasi jenjang kader, hingga peningkatan kuantitas
dengan asumsi kader dapat lebih banyak yang dipilih dan di tempatkan dalam
ruang-ruang karya. Usaha tersebut sampai saat ini dirasa kurang efektif jika
melihat kondisi kepenguruan di seluruh Indonesia, dari semua level. Dengan
adanya kader dan kondisi kepengurusan PK yang demikian mau tidak mau upaya
percepatan dilakukan, dan itupun memakan waktu hingga tahun ke-tiga para kader
baru dapat menjadi Pengurus Daerah. Tahun yang hanya sosok-sosok pilihan dan
terseleksi dengan waktu yang akan tetap konsisten dan bertahan hingga masuk di
kepengurusan PD.
Kondisi diatas tentu akan
menjadi masalah yang sangat krusial dalam kepengurusan PW. Kader-kader yang
sudah mulai masuk dalam dunia karya (baca: bekerja), atau memilih harus pulang
ke kampung halaman, mau tidak mau akan dihadapkan pada persoalan dimana dia
harus tetap menjadi fungsionaris di KAMMI atau tidak. Sehingga ketidakoptimalan
kepengurusan PW itu tidak dapat disalahkan secara sepihak pada kepengurusan PW,
namun ada hirarki dan jenjang yang begitu panjang di KAMMI yang sulit dilalui
oleh para kader pada zaman ini.
Keberadaan
PW KAMMI
Semangat keberadaan
kepengurusan PW yang menggantikan Teritorial di KAMMI pada era 2008-2009 an adalah
upaya untuk menjadikan struktur KAMMI ada pada basis Propinsi hingga Kabupaten.
Persebaran struktur KAMMI hingga pada basis Kabupaten/Kota di Indonesia di
nilai cukup signifikan, namun keberadaan PW yang memayungi PD dan berada pada
kuadran propinsi hingga saat ini pun masih sangat dirasa kurang optimal.
Kondisi PW yang demikian tidak lepas dari pasokan SDM yang akan berada di PD
yang pada beberapa daerah sangat terbatas personelnya.
Kondisi kepengurusan yang
demikian ini tentu tidak bisa kita biarkan begitu saja. Karena tidak dapat
dipungkiri, ketika potensi dan energi habis terseleksi dengan waktu, jenjang
hirarki yang demikian panjang akan sangat sulit untuk melahirkan
kader yang
dapat
berkarya di PW. Hal ini akan berdampak juga pada bagaimana PP ke depan, yang
mau tidak mau harus di isi orang-orang yang siap dan total dalam mengurus KAMMI.
Dengan demikian maka perlu keberadaan kepengurusan PW KAMMI harus di evaluasi
dan ditindaklanjuti untuk tetap ada atau dibekukan
ataupun
diganti dengan format lain.
Secara kinerja beban tugas
yang ada dalam kepengurusan PW sebenarnya dapat dilaksanakan oleh PD, dari
pelaksanaan Kaderisasi dan penyikapan isu-isu daerah baik level kabupaten/kota
hingga propinsi, sudah mampu dilaksanakan oleh PD. Dan dari masing-masing PD penulis
menawarkan untuk di kordinatori oleh teritorial yang tugasnya secara fungsional
tidak terlalu berat dan dapat dilaksanakan oleh beberapa orang saja. Tawaran
yang demikian kiranya akan menjadi sesuatu yang dinilai mundur kebelakang, dan kembali
pada era masa lalu. Namun, demi menjaga SDM produktif untuk dapat mengurus KAMMI
secara optimal, tidak ada salahnya jika penulis melemparkan wacana yang
demikian.
Dengan demikian, menurut
penulis keberadaan kepengurusan PW saat ini sebaiknya dikembalikan fungsinya ke
Teritorial. Mengingat secara umum kondisi PW yang secara struktur kurang dapat
optimal dengan problem usia kaderisasi. Jika problem utamanya bukan pada usia
kaderisasi kader di KAMMI, tetapi pada hal lain, maka struktur PW bisa untuk dipertahankan.
Pembahasan yang demikian tentu tidak akan menjadi sesuatu hal yang konkrit jika
tidak diselesaikan pada forum pembahasan AD/ART. Dan pembahasan AD/ART untuk
meninjau kembali atau merubah hanya ada di forum Muktamar. Dengan demikian
penulis jauh-jauh hari melemparkan wacana demikian untuk akhirnya dapat menjadi
bahan perbincangan teman-teman penggiat KAMMI se-Indonesia, terlepas dari
pro-kontra nya tidaklah menjadi masalah.
Jakarta, 24 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar