28 November 2014

Pelajaran Morsy untuk Jokowi dan Andriyana

oleh: Ahmad Rizky M. Umar
Editor Jurnal KAMMI Kultural

Pada bulan Maret 2013, beberapa bulan sebelum Kudeta di Mesir,  seorang kolumnis di Harian  Ahram menulis sebuah artikel berjudul "Apa yang tidak dipahami Morsi tentang Reformasi Kepolisian?" Di masa itu, Mesir sedang dilanda gelombang demonstrasi yang menuntut Presiden Morsi untuk mundur. Ia menulis kira-kira seperti ini: 

"Saya tidak akan menyebut-nyebut sikap yang diberikan oleh orang-orang presiden di luar istana. Saya hanya ingin mengingatkan Presiden bahwa mereformasi kepolisian bukan permintaan kecil yang bisa sewaktu-waktu diabaikan. Dan sikap Presiden yang mencoba untuk tidak meng-address masalah ini akan membuat "Pemilu" kehilangan maknanya"
Indonesia memang bukan Mesir, tetapi apa yang terjadi hari ini mirip dengan apa yang terjadi satu setengah tahun silam di Mesir, dengan aktor yang sama sekali berbeda. Saya akan sedikit memutar memori kembali ke tahun-tahun itu. Pada tahun 2011, setelah rezim Mubarak jatuh oleh demonstrasi yang kini kita kenang sebagai Arab Spring, Ikhwanul Muslimin telah muncul sebagai kekuatan terbesar yang siap menggantikan Mubarak di kursi kepresidenan. Seiring dengan proses demokratisasi, Ikhwan merespons dengan membuat partai bernama Hizb al-Hurriyah wal 'Adalah (kemudian kita sebut FJP), bertarung dalam Pemilu, dan kemudian... menang. Di tengah tercerai-berainya kekuatan oposisi Mubarak yang lain, mereka berhasil membangun sebuah kekuatan yang patut diperhitungkan dalam  politik domestik. 

Lalu, setahun kemudian, mereka mencalonkan Mohammad Morsy sebagai Presiden. Setelah perjuangan panjang Pemilihan Presiden dua putaran, mereka menang tipis atas pesaingnya, mantan penerbang dan perdana menteri Mubarak, Ahmad Shafiq. Morsy menjadi presiden dan FJP, bersama Partai Nour bikinan Salafi, menjadi partai terbesar di parlemen. 

Akan tetapi cerita itu cuma awal. Morsy mencanangkan apa yang ia sebut (atau tepatnya, apa yang dirancang oleh Khairat al-Shater dan tanzhim Ikhwan) sebagai Nahdha Project. Program teknokratis-populis yang dirancang untuk recovery ekonomi Mesir. Yah, walau tidak mirip, mengingatkan kita pada Revolusi Mental a la Jokowi. 

Namun sebagaimana dikritik oleh Khaled Fahmy, Kolumnis Ahram itu, ada satu agenda yang dilupakan oleh Morsy: reformasi kepolisian! Morsy boleh saja bekerja, tapi pengabaian yang ia lakukan terhadap reformasi kepolisian Mesir menyebabkan citranya, sebagaimana terbukti di pertengahan tahun 2013, menjadi cukup buruk. 

Selama bertahun-tahun di bawah Mubarak, polisi menjadi entitas yang sangat, meminjam Foucault, panoptik: memata-matai dan mengontrol semua aktivitas warga negara dengan koersi yang mereka miliki. Mesir punya istilah khusus untuk ini: mabahits amn daulah, yang menjadi alat negara untuk merepresi musuh-musuh politiknya. Habiburrahman el-Shirazy menggambarkan bagaimana menakutkannya lembaga ini dalam beberapa novelnya: penangkapan, mata-mata, hingga fitnah bisa berlangsung kapan saja. 

Corak kepolisian yang sangat represif inilah yang kemudian, di masa Morsy, menjadi poin kunci untuk menjelaskan mengapa masa pemerintahannya tidak bisa benar-benar aman. Akhir tahun 2012, Morsy mengeluarkan dekrit yang membuat kekuasaan presidensialnya menjadi sangat kuat. Konteksnya sebetulnya sederhana: agar Majelis Konstitusi bisa bekerja dengan baik tanpa gangguan parlemen. Namun, Dekrit justru memunculkan resistensi yang baru. Walaupun Morsy dan Ikhwan bisa mengegolkan referendum dan menjadikan "Islam" sebagai dasar negara Mesir, ia harus menghadapi tantangan berikutnya: semakin banyak orang yang menutut dirinya mundur. 

Awal tahun 2013 menjadi babak baru dalam politik Mesir: oposisi semakin terkonsolidasi. Apalagi mereka baru saja kalah dalam referendum Konstitusi. Tokoh-tokoh kunci oposisi seperti Ahmed Shafiq, Hamdeen Sabbahi, Muhammad el-Baradei bertemu dan membentuk koalisi yang bernama Front Penyelamat Nasional -koalisi yang lumer namun menjadi penyeimbang kekuasaan Morsy yang kuat. Agak berlebihan mungkin kalau saya menyebut Front itu mirip dengan Koalisi Merah Putih-nya PKS, tapi tujuan Front ini sebetulnya jelas: mengkritik besar-besaran apa yang dilakukan oleh Morsy dan koalisi Islamisnya di istana kepresidenan. 

Namun sayangnya, respons Morsy juga keras. Di sini kritik Fahmy itu jadi penting: Morsy gagal mengontrol para polisinya dan membiarkan mereka memukuli para demonstran di beberapa tempat, terutama di Port Said dan depan istana kepresidenan. Di sisi lain, oposisi itu gagal mengambil alih kursi kekuasaan: mereka justru mendukung gerakan massa yang semakin hari semakin mengkhawatirkan karena selalu berbenturan dengan aparat yang tampang dan mentalnya masih sangat Mubarak. 

Karena kegagalan Morsy melakukan reformasi kepolisian ini, pemberitaan di tahun 2013 bukan dipenuhi oleh kegemilangan Nahdha Project Morsy, tetapi justru oposisi yang semakin banyak turun ke jalan! Mei tahun 2013, giliran pemuda yang turun ke jalan. Satu kelompok pemuda, entah datang dari mana, membentuk poros baru yang namanya Tamarrodl dan kemudian beraliansi dengan oposisi untuk menuntut Morsy mundur. Suara semakin banyak. Tamarrodl membuat petisi untuk menuntut Morsy mundur -mereka mengklaim jutaan suara tanda tangan. 

Klimaksnya sudah kita ketahui semua: militer akhirnya turun tangan. Juli 2013, Morsy ditangkap dan Abdel Fattah al-Sisi (kini jadi presiden) mengambil alih kekuasaan. Situasinya berbalik: polisi justru menangkapi dan merepresi simpatisan Ikhwan. Demokrasi berada dititik darah penghabisan -atau mungkin tidak seburuk itu- di Mesir. 

Apa pelajaran (hikmah) yang bisa dipetik dari cerita Mesir bagi Indonesia? Sekali lagi, Mesir memang bukan Indonesia, tapi peta politiknya mirip sekali: polarisasi kekuatan menjadi terbelah dua. Pemilu 2014 membagi peta politik menjadi dua kekuatan besar, Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat. Mengingatkan kita pada koalisi pro-referendum dan Front Penyelamat Nasional di Mesir. 

Dalam demokrasi, polarisasi itu tentu sah-sah saja. Bahkan biasa. Yang jadi persoalan adalah kontrol atas kekuatan-kekuatan koersif yang diamanahi senjata untuk menjaga keamanan. Khaled Fahmy telah memotret bagaimana kegagalan Morsy memahami problem sederhana bernama 'reformasi kepolisian', juga kegagalannya menciptakan militer yang profesional dan mengembalikan mereka ke barak, menjadi bumerang yang mengantarkan pada kepergiannya dari kursi kepresidenan. 

Jokowi mungkin bukan Morsy. Tapi, mestinya, ada satu hal penting yang harus diambil pelajaran: kepolisian harus dikontrol agar tak menyalahgunakan 'senjata' yang diamanahkan pada mereka. Kejadian di Makassar dan Riau, dimana polisi bertindak sangat represif dengan masuk ke masjid dan memukuli demonstran, adalah hal yang tidak dibenarkan. Terbaru, kita juga mendengar hal yang sama di Rembang. Kali ini lebih parah: polisi menyerang para penolak pabrik semen yang ingin mengaspirasikan penolakannya. Polisi tidak hanya beringas, tapi juga tak bisa dikontrol oleh Presiden yang katanya 'suka blusukan'.

Reformasi Sektor Keamanan macam apa yang ingin ditampilkan jika polisi tak bisa mengendalikan dirinya? Dan ini bukan tugas Kapolri. Belajar dari Morsy, mengendalikan kepolisian adalah tugas Jokowi. Tugas seorang Presiden-lah untuk memastukan polisi dan tentara bekerja secara profesional sesuai dengan yang ditugaskan.

Sementara itu, Andriyana mungkin juga bukan Hamdeen Sabbahi atau aktivis Tamarrodl. Tetapi, dari Mesir, mestinya Andriyana dan aktivis-aktivis KAMMI yang beroposisi di jalanan terhadap kebijakan rezim juga perlu memahami satu hal: bahwa bagaimana-pun tidak sukanya kita dengan kebijakan yang ada, institusi-institusi demokrasi harus tetap dijaga. Aktivis Tamarrodl dan elit Front Penyelamat Nasional smacam Sabbahi atau el-Baradei tidak paham bahwa demokrasi itu adalah harga yang sangat mahal. Menyerahkan demokrasi ke orang-orang yang memegang senjata jauh lebih tercela daripada sepakbola gajah yang ditampilkan PSS dan PSIS. 

Perilaku represif aparat ke aktivis mahasiswa di Riau dan Makassar perlu kita kutuk bersama-sama karena perilaku mereka tak lebih baik dari serdadu ISIS di Iraq. Tapi ada satu hal yang harus pula didorong: reformasi kepolisian! Agar aktivis mahasiswa tidak diadu dengan perwira-perwira muda yang tak tahu apa-apa, hanya mendengar perintah pimpinan. Kalau interpelasi DPR terkait kenaikan harga BBM saja bisa didukung, mengapa agenda penting ini kurang dikawal?

Pendeknya, tentara dan polisi mesti kita dorong supaya profesional. Dan tak perlu masuk ke wilayah yang lebih dalam. Cukuplah pengkhianatan Generasi 66 yang menjual diri kepada tentara diinsyafi: bahwa kita masih punya lembaga yang bisa menyelesaikan persoalan bangsa. Kebebasan dan Demokrasi telah diperjuangkan dengan susah-payah oleh assabiqunal awwalun KAMMI -dan oleh sebab itu ajakan apapun untuk menghancurkan tatanan  itu harus kita tarik bersama-sama.

Belajar dari Morsy, kita akan tahu apa yang akan terjadi ketika konflik dibiarkan berlarut-larut: datangnya Abdel Fattah as-Sisi! Jenderal satu itu bukan tiba-tiba muncul. Ia adalah Menteri Pertahanan yang ditunjuk oleh Morsy sendiri untuk menggantikan seniornya, Marsekal Tantawi. Tapi di tengah kemelut yang gagal diselesaikan orang-orang sipil, orang-orang semacam Sisi muncul. Lengkap dengan senjata dan ketakutan. 

Oleh sebab itu, bagi Jokowi dan Andriyana, yang sedang dalam posisi berhadap-hadapan, tak ada jalan lain selain menarik pelajaran dari Mohammad Morsy dan Hamdeen Sabbahi. Percayalah, ini pembelajaran kita dalam berdemokrasi, bung!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar