26 November 2014

KAMMI sebagai "Gerakan Sipil Keumatan" (Bagian 3-Habis)

Muhammad Sadli Umasangaji
Aktivis KAMMI Ternate, Tinggal di Maluku Utara

Istilah Gerakan Sipil Keummatan’ adalah sebuah frase yang tertuang dalam Rencana Strategis KAMMI Periode 2013-2015 dengan tahapan implementasinya hingga 2024. Padanan frase ini, mungkin memiliki makna yang mirip dengan ‘Masyarakat Sipil’ ataupun ‘Masyarakat Madani’. Tulisan ini akan mengulas relevansi frase ini untuk masa depan gerakan mahasiswa dan, secara lebih luas, Gerakan Islam di Indonesia.

Masyarakat Otentik dan Cita-Cita Gerakan KAMMI
Konsepsi KAMMI sebagai “Gerakan Sipil Keumatan” ini kemudian mengundang pertanyaan lanjutan: apa yang sebenarnya ingin dituju oleh KAMMI dengan konsepsi tersebut? Sayyid Qutbh menuliskan Islam tidak akan mampu menuaikan perannya kecuali apabila ia tampil dalam sebuah masyarakat, yakni tampil dalam suatu umat (ummah; komunitas pemeluk agama). Manusia tidak akan mau mengindahkan, lebih-lebih pada masa sekarang, seruan akidah semata, mereka enggan memandang bukti nyata dalam kehidupan kekinian.

Mengutip kata-kata penyair Ralph Waldo Emerson, “Anda berpikir saya adalah anak dari lingkungan, saya menciptakan lingkungan saya sendiri”. Dan kata-kata sastrawan, George Bernard Shaw, “Orang sering menyalahkan situasi dan lingkungan mereka. Saya tidak percaya pada lingkungan. Orang-orang yang berhasil adalah mereka yang mencari lingkungan yang mereka inginkan, dan bila mereka tidak menemukannya, mereka menciptakannya”. Dari pernyataan ini membuat penulis berpikir, salah satu tujuan “Gerakan Sipil Keumatan” adalah mewujudkan ummah sebagai masyarakat otentik. KAMMI harus berperan dalam proses penciptaan masyarakat, tidak hanya masyarakat yang ber-ideologi Islam tetapi juga berkebudayaan dan pengetahuan Islam.

Masyarakat otentik menurut penulis adalah masyarakat yang memiliki rasa tanggung jawab kepada Sang Ilahi yang didorong oleh adanya kesadaran mengenai hakikat diri sebagai makhluk moral-spiritual, makhluk sosial-emosional, makhluk yang berhukum pada kebenaran, dan makhluk ekonomi-politik. Mengutip taujih Ustad Hilmi Aminuddin, maka masyarakat otentik adalah masyarakat yang bertanggung jawab kepada keIslaman (agama), bertanggung jawab kepada dakwah (menyeru kepada kebaikan), bertanggung jawab kepada nasional, bertanggung jawab kepada Internasional, bertanggung jawab atas kemanusiaan dengan menempatkan jiwa persatuan, semangat bermusyawarah, menghargai pluralitas (tetapi bukan pluralisme), bersikap moderat, semangat hidup berbangsa dan bernegara. Dengan itu masyarakat otentik merupakan individu-individu yang terdiri dari pembelajar, pemimpin dan titik akhirnya manusia guru.

Manusia adalah satu-satunya makhluk ciptaan yang dibekali kemampuan untuk ‘belajar tentang’, agar ia dapat ‘belajar menjadi’ dengan cara ‘belajar melakukan’. Karena tugas, tanggung jawab, dan panggilan pertama seorang manusia adalah menjadi pembelajar. Sedangkan pelajaran pertama dan terutama yang perlu dipelajarinya adalah belajar menjadikan dirinya semanusiawi mungkin.

‘Belajar tentang’ erat definisinya dengan mempelajari ‘teori-teori’ terkait sesuatu. Hasil dari belajar tentang adalah mengetahui sesuatu. ‘Belajar melakukan’ berarti mempraktikkan sesuatu. ‘Belajar menjadi’ berarti proses untuk memanusiawikan dirinya. Belajar tentang manusia berarti mempelajari biologi, psikologi, sosiologi, antropologi, psikologi, filsafat, teologi, dan berbagai kajian ilmu yang meletakkan manusia sebagai objek dan teori. Lalu ‘belajar melakukan’ berarti mencoba menerapkan perilaku dan kebiasaan tertentu yang menurut teori hanya dapat dilakukan oleh manusia. Dan ‘belajar menjadi’ yakni ia harus belajar dengan merenungkan hakikat dirinya terlebih dahulu, mencari jati dirinya, menghayati keberadaannya sebagai apa dan siapa.Belajar tentang identik dengan knowledge (ilmu pengetahuan), belajar melakukan identik dengan skill (kemampuan), dan belajar menjadi identik dengan wisdom (ilmu kehidupan).

Hal ini menjelaskan pendefinisian terhadap ‘hidup untuk belajar’ dan ‘belajar untuk hidup’. ‘Belajar untuk hidup’ berarti untuk mendapatkan pekerjaan, memperoleh jabatan, dan sebagainya, maka ia akan menjadi ‘pemburu gelar’ dan atribut-atribut simbolis kepriyayian yang tidak esensial. Mereka akan merasa puas bila sudah diwisuda dan merasa sudah tamat belajar. Ini membuat mereka berhenti membaca dan menulis setelah usai sekolah atau lulus universitas. Mereka sudah dianugerahi surat tanda tamat belajar, sudah kelar, tidak perlu belajar lagi. ‘Hidup untuk belajar’ maka ia tidak memandang gelar atau simbol-simbol seperti ijazah dan diploma, bahkan juga semua implikasi kenikmatan hidup yang menyertainya. Yang terpenting adalah mengeluarkan potensi dirinya dan membuat dirinya menjadi nyata bagi sesamanya. Dan, proses ini tidak pernah selesai hingga waktunya usai. (Jakob Sumardjo dalam Harefa, 2008).

Tapi yang terpenting adalah kesadaran akan keterpaduan antara belajar tentang, belajar melakukan, belajar menjadi, knowledge, skill, wisdom, hidup untuk belajar dan belajar untuk hidup agar bertumbuh semakin bertanggung jawab atas diri sendiri dan menolak pendiktean atau pemaksaan kehendak dari apapun yang berada di luar diri. Mampu menyatakan, mengaktualisasi, mengeluarkan, potensi-potensi yang dipercayakan Sang Pencipta akan dirinya. Semakin berdaya, semakin merdeka, dan semakin manusiawi.

Mengaktualisasi segenap potensi dengan mana ia diciptakan, menjadi otentik dalam arti unik dan tak terbandingkan dengan yang apapun atau siapapun yang bukan dirinya. Ia adalah manusia yang berproses atau belajar untuk memanusiawikan dirinya.

Dalam hal ini penulis menempatkan KAMMI sebagai belajar menjadi, wisdom, dan hidup untuk belajar. Sebagai bentuk tugas pertama manusia dalam proses menjadi dirinya yang sebenarnya adalah menerima tanggung jawab untuk menjadi pembelajar bukan hanya di gedung sekolah dan perguruan tinggi tetapi terlebih penting lagi dalam konteks kehidupan. Dengan itu maka imagine KAMMI dalam masyarakat otentik terbagi atas pembelajar (kaderisasi KAMMI), pemimpin (visi KAMMI), dan manusia guru (cita-cita kader KAMMI).

Pembelajar. Menurut Andiras Harefa (2008), setiap manusia yang bersedia menerima tanggungjawab untuk melakukan dua hal penting, yakni pertama, berusaha mengenali hakikat dirinya, potensi, dan bakat-bakat terbaiknya, dengan selalu berusaha mencari jawaban yang lebih baik tentang beberapa pertanyaan eksistensial seperti “siapakah aku?”, “darimanakah aku datang?”, “kemanakah aku akan pergi?”, “apakah yang menjadi tanggungjawabku dalam hidup ini?”, dan “kepada siapa aku harus percaya?”, dan kedua, berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasi segenap potensinya itu, mengekspresikan dan menyatakan dirinya sepenuh-penuhnya, seutuh-utuhnya dengan cara menjadi dirinya sendiri dan menolak untuk dibanding-bandingkan dengan segala sesuatu yang ‘bukan dirinya’.

Pembelajaran sebenarnya mendapatkan inti artinya untuk menjadi sangat manusiawi (humanis). Melalui pembelajaran kita menciptakan kembali diri kita. Melalui pembelajaran kita dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat pernah kita lakukan sebelumnya. Melalui pembelajaran kita merasakan kembali dunia dan hubungan kita dengan dunia tersebut. Melalui pembelajaran kita memperluas kapasitas kita untuk menciptakan, menjadi bagian dari proses pembentukan kehidupan (Peter Senge dalam Harefa, 2008).

Pemimpin. Menurut Max DePree, seni kepemimpinan adalah memerdekakan orang untuk melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan dengan cara yang paling efektif dan semanusiawi mungkin. Dwi D Eisenhower menyebutkan kepemimpinan sebagai seni dalam mempengaruhi orang lain untuk melakukan apa yang menurut Anda harus dilakukan, karena ia ingin melakukan hal itu. Dan Ross Perot mendefinisikan kepemimpinan adalah pemberdayaan sekelompok orang agar berhasil mencapai suatu sasaran bersama. Dalam melakukan hal itu, Anda harus menyentuh seluruh potensi mereka. (Harefa, 2008). Tentunya definisi tentang kepemimpinan sangatlah beragam tapi tiga definisi ini yang paling penulis sukai.

Manusia guru. Ini merupakan titik fokus penulis dalam menempatkan kader KAMMI dalam masyarakat otentik. Ada beberapa kriteria dalam hal ini. 

Pertama, mereka adalah orang-orang yang melepaskan kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasi primordialnya (suku-suku bangsa, partai-partai politik, golongan, dan seterusnya) untuk mengabdi dalam kancah memperjuangkan kepentingan sebuah negara kebangsaan dan bahkan kemanusiaan universal. Konsistensi mereka dalam menembus batas-batas ikatan-ikatan kelompok dan organisasi primordial itu, membuat mereka tidak dapat lagi diklaim sepenuhnya sebagai bagian atau milik dari suatu organisasi atau kelompok primordial tertentu. Mereka adalah milik bersama atau milik semua manusia.

Kedua, meski adakalanya sangat sulit untuk dihindarkan, tetapi perjuangan mereka pada dasarnya dilandasi oleh semangat anti-kekerasan (non-violence action), karena mereka amat mencintai perdamaian.

Ketiga, mereka secara konsisten melandaskan sikap hidup dan perbuatannya pada keyakinan nurani, bukan hanya pada ilmu pengetahuan maupun kerja keras. Karena itu mereka mendemonstrasikan intergritas moral secara amat meyakinkan, meski tak selalu sempurna, dan rela mengorbankan dirinya untuk mempertahankan hal itu.

Keempat, karena sikap hidup dan perbuatan mereka selalu diarahkan dari dalam, maka tiga hal dasar yang selalu menjadi fokus perhatian mereka adalah kebenaran, keadilan, cinta kasih dalam arti yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya.

Kelima, pusat perhatian mereka tidak hanya menciptakan suatu negara kebangsaan (identitas politik), tetapi lebih dari itu, menciptakan suatu komunitas masyarakat manusia yang memperlakukan dan diperlakukan semanusiawi mungkin.

Keenam, dalam setiap perjuangannya mereka tidak menganggap kedudukan, harta, dan kekuasaan sebagai tujuan akhir tetapi lebih menganggap semua itu sebagai saran untuk suatu maksud yang lebih mulia.

Ketujuh, perjuangan mereka secara langsung maupun tidak, selalu melahirkan dan menumbuhkembangkan pengharapan masyarakat tentang kemungkinan terciptanya masyarakat manusia yang lebih manusiawi di masa depan. Dengan demikian mereka sesungguhnya menabur tanpa henti benih-benih kehidupan masyarakat bangsa dan umat manusia untuk masa yang akan datang (Harefa, 2008).

Sehingga wujud KAMMI sebagai gerakan kepemudaan yang disatukan oleh ikatan akidah, dipersaudarakan oleh iman, dan bekerja untuk kepentingan agama yang memandang suatu ketidakpuasan yang mendalam mengenai realitas faktual masa kini dibarengi dengan suatu pandangan yang amat tajam mengenai kemungkinan menciptakan realitas baru di masa depan, yang secara mendasar lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar