Muhammad Sadli Umasangaji
Aktivis KAMMI Ternate, Tinggal di Maluku Utara
Istilah Gerakan Sipil Keummatan’ adalah sebuah frase yang tertuang dalam Rencana Strategis KAMMI Periode 2013-2015 dengan tahapan implementasinya hingga 2024. Padanan frase ini, mungkin memiliki makna yang mirip dengan ‘Masyarakat Sipil’ ataupun ‘Masyarakat Madani’. Tulisan ini akan mengulas relevansi frase ini untuk masa depan gerakan mahasiswa dan, secara lebih luas, Gerakan Islam di Indonesia.
Masyarakat
Otentik dan Cita-Cita Gerakan KAMMI
Konsepsi KAMMI sebagai “Gerakan Sipil
Keumatan” ini kemudian mengundang pertanyaan lanjutan: apa yang sebenarnya
ingin dituju oleh KAMMI dengan konsepsi tersebut? Sayyid Qutbh menuliskan Islam
tidak akan mampu menuaikan perannya kecuali apabila ia tampil dalam sebuah
masyarakat, yakni tampil dalam suatu umat (ummah;
komunitas pemeluk agama). Manusia tidak akan mau mengindahkan, lebih-lebih
pada masa sekarang, seruan akidah semata, mereka enggan memandang bukti nyata
dalam kehidupan kekinian.
Mengutip kata-kata penyair Ralph Waldo
Emerson, “Anda berpikir saya adalah anak
dari lingkungan, saya menciptakan lingkungan saya sendiri”. Dan kata-kata
sastrawan, George Bernard Shaw, “Orang
sering menyalahkan situasi dan lingkungan mereka. Saya tidak percaya pada
lingkungan. Orang-orang yang berhasil adalah mereka yang mencari lingkungan
yang mereka inginkan, dan bila mereka tidak menemukannya, mereka
menciptakannya”. Dari pernyataan ini membuat penulis berpikir, salah satu
tujuan “Gerakan Sipil Keumatan” adalah mewujudkan ummah sebagai masyarakat otentik. KAMMI harus berperan dalam proses
penciptaan masyarakat, tidak hanya masyarakat yang ber-ideologi Islam tetapi
juga berkebudayaan dan pengetahuan Islam.
Masyarakat otentik menurut penulis adalah
masyarakat yang memiliki rasa tanggung jawab kepada Sang Ilahi yang didorong
oleh adanya kesadaran mengenai hakikat diri sebagai makhluk moral-spiritual,
makhluk sosial-emosional, makhluk yang berhukum pada kebenaran, dan makhluk
ekonomi-politik. Mengutip taujih Ustad Hilmi Aminuddin, maka masyarakat otentik
adalah masyarakat yang bertanggung jawab kepada keIslaman (agama), bertanggung
jawab kepada dakwah (menyeru kepada kebaikan), bertanggung jawab kepada
nasional, bertanggung jawab kepada Internasional, bertanggung jawab atas
kemanusiaan dengan menempatkan jiwa persatuan, semangat bermusyawarah,
menghargai pluralitas (tetapi bukan pluralisme), bersikap moderat, semangat
hidup berbangsa dan bernegara. Dengan itu masyarakat otentik merupakan
individu-individu yang terdiri dari pembelajar, pemimpin dan titik akhirnya
manusia guru.
Manusia adalah satu-satunya makhluk
ciptaan yang dibekali kemampuan untuk ‘belajar tentang’, agar ia dapat ‘belajar
menjadi’ dengan cara ‘belajar melakukan’. Karena tugas, tanggung jawab, dan
panggilan pertama seorang manusia adalah menjadi pembelajar. Sedangkan
pelajaran pertama dan terutama yang perlu dipelajarinya adalah belajar
menjadikan dirinya semanusiawi mungkin.
‘Belajar tentang’ erat definisinya dengan
mempelajari ‘teori-teori’ terkait sesuatu. Hasil dari belajar tentang adalah
mengetahui sesuatu. ‘Belajar melakukan’ berarti mempraktikkan sesuatu. ‘Belajar
menjadi’ berarti proses untuk memanusiawikan dirinya. Belajar tentang manusia
berarti mempelajari biologi, psikologi, sosiologi, antropologi, psikologi,
filsafat, teologi, dan berbagai kajian ilmu yang meletakkan manusia sebagai
objek dan teori. Lalu ‘belajar melakukan’ berarti mencoba menerapkan perilaku
dan kebiasaan tertentu yang menurut teori hanya dapat dilakukan oleh manusia.
Dan ‘belajar menjadi’ yakni ia harus belajar dengan merenungkan hakikat dirinya
terlebih dahulu, mencari jati dirinya, menghayati keberadaannya sebagai apa dan
siapa.Belajar tentang identik dengan knowledge
(ilmu pengetahuan), belajar melakukan identik dengan skill (kemampuan), dan belajar menjadi identik dengan wisdom (ilmu kehidupan).
Hal ini menjelaskan pendefinisian terhadap
‘hidup untuk belajar’ dan ‘belajar untuk hidup’. ‘Belajar untuk hidup’ berarti
untuk mendapatkan pekerjaan, memperoleh jabatan, dan sebagainya, maka ia akan
menjadi ‘pemburu gelar’ dan atribut-atribut simbolis kepriyayian yang tidak
esensial. Mereka akan merasa puas bila sudah diwisuda dan merasa sudah tamat
belajar. Ini membuat mereka berhenti membaca dan menulis setelah usai sekolah
atau lulus universitas. Mereka sudah dianugerahi surat tanda tamat belajar,
sudah kelar, tidak perlu belajar lagi. ‘Hidup untuk belajar’ maka ia tidak
memandang gelar atau simbol-simbol seperti ijazah dan diploma, bahkan juga
semua implikasi kenikmatan hidup yang menyertainya. Yang terpenting adalah
mengeluarkan potensi dirinya dan membuat dirinya menjadi nyata bagi sesamanya.
Dan, proses ini tidak pernah selesai hingga waktunya usai. (Jakob Sumardjo
dalam Harefa, 2008).
Tapi yang terpenting adalah kesadaran akan
keterpaduan antara belajar tentang, belajar melakukan, belajar menjadi, knowledge, skill, wisdom, hidup untuk
belajar dan belajar untuk hidup agar bertumbuh semakin bertanggung jawab atas
diri sendiri dan menolak pendiktean atau pemaksaan kehendak dari apapun yang
berada di luar diri. Mampu menyatakan, mengaktualisasi, mengeluarkan,
potensi-potensi yang dipercayakan Sang Pencipta akan dirinya. Semakin berdaya,
semakin merdeka, dan semakin manusiawi.
Mengaktualisasi segenap potensi dengan
mana ia diciptakan, menjadi otentik dalam arti unik dan tak terbandingkan
dengan yang apapun atau siapapun yang bukan dirinya. Ia adalah manusia yang
berproses atau belajar untuk memanusiawikan dirinya.
Dalam hal ini penulis menempatkan KAMMI
sebagai belajar menjadi, wisdom, dan
hidup untuk belajar. Sebagai bentuk tugas pertama manusia dalam proses menjadi
dirinya yang sebenarnya adalah menerima tanggung jawab untuk menjadi pembelajar
bukan hanya di gedung sekolah dan perguruan tinggi tetapi terlebih penting lagi
dalam konteks kehidupan. Dengan itu maka imagine
KAMMI dalam masyarakat otentik terbagi atas pembelajar (kaderisasi KAMMI),
pemimpin (visi KAMMI), dan manusia guru (cita-cita kader KAMMI).
Pembelajar. Menurut Andiras Harefa (2008),
setiap manusia yang bersedia menerima tanggungjawab untuk melakukan dua hal
penting, yakni pertama, berusaha mengenali hakikat dirinya, potensi, dan
bakat-bakat terbaiknya, dengan selalu berusaha mencari jawaban yang lebih baik
tentang beberapa pertanyaan eksistensial seperti “siapakah aku?”, “darimanakah
aku datang?”, “kemanakah aku akan pergi?”, “apakah yang menjadi tanggungjawabku
dalam hidup ini?”, dan “kepada siapa aku harus percaya?”, dan kedua, berusaha
sekuat tenaga untuk mengaktualisasi segenap potensinya itu, mengekspresikan dan
menyatakan dirinya sepenuh-penuhnya, seutuh-utuhnya dengan cara menjadi dirinya
sendiri dan menolak untuk dibanding-bandingkan dengan segala sesuatu yang
‘bukan dirinya’.
Pembelajaran sebenarnya mendapatkan inti
artinya untuk menjadi sangat manusiawi (humanis). Melalui pembelajaran kita
menciptakan kembali diri kita. Melalui pembelajaran kita dapat melakukan
sesuatu yang tidak dapat pernah kita lakukan sebelumnya. Melalui pembelajaran
kita merasakan kembali dunia dan hubungan kita dengan dunia tersebut. Melalui
pembelajaran kita memperluas kapasitas kita untuk menciptakan, menjadi bagian
dari proses pembentukan kehidupan (Peter Senge dalam Harefa, 2008).
Pemimpin. Menurut Max DePree, seni
kepemimpinan adalah memerdekakan orang untuk melakukan apa yang seharusnya
mereka lakukan dengan cara yang paling efektif dan semanusiawi mungkin. Dwi D
Eisenhower menyebutkan kepemimpinan sebagai seni dalam mempengaruhi orang lain
untuk melakukan apa yang menurut Anda harus dilakukan, karena ia ingin
melakukan hal itu. Dan Ross Perot mendefinisikan kepemimpinan adalah
pemberdayaan sekelompok orang agar berhasil mencapai suatu sasaran bersama.
Dalam melakukan hal itu, Anda harus menyentuh seluruh potensi mereka. (Harefa,
2008). Tentunya definisi tentang kepemimpinan sangatlah beragam tapi tiga
definisi ini yang paling penulis sukai.
Manusia guru. Ini merupakan titik fokus
penulis dalam menempatkan kader KAMMI dalam masyarakat otentik. Ada beberapa
kriteria dalam hal ini.
Pertama, mereka adalah orang-orang yang melepaskan
kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasi primordialnya
(suku-suku bangsa, partai-partai politik, golongan, dan seterusnya) untuk
mengabdi dalam kancah memperjuangkan kepentingan sebuah negara kebangsaan dan
bahkan kemanusiaan universal. Konsistensi mereka dalam menembus batas-batas
ikatan-ikatan kelompok dan organisasi primordial itu, membuat mereka tidak
dapat lagi diklaim sepenuhnya sebagai bagian atau milik dari suatu organisasi
atau kelompok primordial tertentu. Mereka adalah milik bersama atau milik semua
manusia.
Kedua, meski adakalanya sangat sulit untuk
dihindarkan, tetapi perjuangan mereka pada dasarnya dilandasi oleh semangat
anti-kekerasan (non-violence action),
karena mereka amat mencintai perdamaian.
Ketiga, mereka secara konsisten
melandaskan sikap hidup dan perbuatannya pada keyakinan nurani, bukan hanya
pada ilmu pengetahuan maupun kerja keras. Karena itu mereka mendemonstrasikan
intergritas moral secara amat meyakinkan, meski tak selalu sempurna, dan rela
mengorbankan dirinya untuk mempertahankan hal itu.
Keempat, karena sikap hidup dan perbuatan
mereka selalu diarahkan dari dalam, maka tiga hal dasar yang selalu menjadi
fokus perhatian mereka adalah kebenaran, keadilan, cinta kasih dalam arti yang
seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya.
Kelima, pusat perhatian mereka tidak hanya
menciptakan suatu negara kebangsaan (identitas politik), tetapi lebih dari itu,
menciptakan suatu komunitas masyarakat manusia yang memperlakukan dan
diperlakukan semanusiawi mungkin.
Keenam, dalam setiap perjuangannya mereka
tidak menganggap kedudukan, harta, dan kekuasaan sebagai tujuan akhir tetapi
lebih menganggap semua itu sebagai saran untuk suatu maksud yang lebih mulia.
Ketujuh, perjuangan mereka secara langsung
maupun tidak, selalu melahirkan dan menumbuhkembangkan pengharapan masyarakat
tentang kemungkinan terciptanya masyarakat manusia yang lebih manusiawi di masa
depan. Dengan demikian mereka sesungguhnya menabur tanpa henti benih-benih
kehidupan masyarakat bangsa dan umat manusia untuk masa yang akan datang
(Harefa, 2008).
Sehingga wujud KAMMI sebagai gerakan
kepemudaan yang disatukan oleh ikatan akidah, dipersaudarakan
oleh iman, dan bekerja untuk kepentingan agama yang memandang suatu
ketidakpuasan yang mendalam mengenai realitas faktual masa kini dibarengi
dengan suatu pandangan yang amat tajam mengenai kemungkinan menciptakan
realitas baru di masa depan, yang secara mendasar lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar