5 Desember 2014

Pribumisasi Islam dan Pribumisasi Hijab (Bagian I)

Oleh: Alikta Hasanah fitri
Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural Surakarta

Prolog
Sore itu, Bidang Perempuan KAMMI Shoyyub UNS menyelenggarakan diskusi perempuan bertema “Hijab, antara Kewajiban dan Tren”. Pemantik diskusi adalah Shofiyyah Zahra (Kabid Perempuan KAMMI UNS) dan Chaerunisa (Sekjend Partai Asmara di Kampus UNS). Shofi berbicara tentang hijab dari segi syariat beserta dalil-dalil yang menyertainya. Ia juga meluruskan pandangan umum yang selama ini berlaku tentang jilbab, khimar, dan hijab. Sementara, Anis menyampaikan kaitan antara hijab dan tren dari perspektif sejarah dan kondisi kontemporer dewasa ini. Setelah kedua pemantik menyampaikan paparannya, secara bergiliran seluruh peserta diskusi menyampaikan argumennya berkaitan dengan penyampaian yang telah disampaikan.

Ketika tiba giliran saya, saya hanya menyampaikan dua hal. Pertama, kaitan antara tokoh perempuan di Minang, adik HAMKA, yang menentang legalitas prostitusi saat masa pendudukan Jepang dengan otobiografi Bung Karno yang ditulis oleh Cindy Adams. Dalam otobiografinya, Bung Karno mengatakan bahwa legalitas prostitusi ia lakukan dengan dua alasan: menjaga kehormatan gadis Minang yang terkenal religius dan memanfaatkan para pelacur sebagai telik sandi (mata-mata) untuk menyelidiki tentara Jepang. Memang, yang ia lakukan kala itu mendapat banyak tentangan dari para ulama maupun tokoh adat, namun toh hal tersebut ia lakukan demi manfaat yang ‘menurutnya’ lebih besar. Namun demikian, saya tak bicara lebih jauh lagi soal ini.

Kedua, saya menyoroti apa yang Yunda Woro (HMI) sampaikan dalam argumennya terkait dengan kontekstualisasi Islam di Indonesia, dimana kita tidak bisa serta merta melakukan arabisasi di segala sektor kehidupan. Sebab, budaya Arab tentunya berbeda jauh dengan budaya Indonesia. Jika Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, konsekuensinya kita tidak boleh bertindak radikal dengan memaksakan budaya Arab dengan budaya yang telah mengakar di Indonesia.

Saya berkomentar cukup singkat soal ini. Dengan mengutip pendapat Gus Dur soal pribumisasi Islam saya tegakkan argumen saya. Bahwa ulama-ulama kita yang terdahulu telah berusaha mengintegrasikan Islam dengan lokalitas setempat, maka sudah kewajiban kita untuk mengokohkan apa yang pernah dibangun sebelumnya. Bukan malah mengkonfrontasikannya dengan arabisasi di segala sektor. Sayangnya, penyampaian yang singkat ini agaknya membawa interpretasi tafsir yang keliru di mata kawan-kawan peserta lain.

Sebab, pada giliran sesudahnya, saya dan Yunda Woro dinilai tidak meyakini bahwa Islam merupakan sistem yang syumul, yang telah mencakup seluruh sendi kehidupan, termasuk budaya. Lebih jauh, pendapat saya dan Yunda Woro disederhanakan dengan “agama harus mengikuti budaya.” Keterbatasan waktu membuat saya tak bisa mengklarifikasi lebih lanjut. Maka, saya berusaha melakukan klarifikasi terhadap penyederhanaan itu dengan menuliskannya dalam beberapa kata sahaja dalam keterbatasan ilmu saya ini.

Pribumisasi Islam

Sebelum melangkah lebih lanjut membahas pribumisasi Islam, terlebih dahulu kita harus melihat kesejarahan Islam nusantara. Historisitas ini penting diketahui, mengingat kebudayaan Islam nusantara merupakan bentuk yang dihasilkan oleh kesejarahan Islam di nusantara. Agaknya, hal ini penting saya utarakan mengingat dalam diskusi kemarin kawan-kawan selalu mengambil contoh dari apa yang terjadi di zaman Rasulullah dan meniadakan dua ribu tahun lebih perjalanan panjang Islam di negeri ini.

Dalam sejarah yang kita ketahui selama ini, Islam dibawa masuk oleh pedagang Arab. Akan tetapi, beberapa fakta sejarah menunjukkan bahwasanya masuknya Islam ke nusantara adalah berkat usaha para da’i yang menganut Islam tasawuf (tentu tanpa menafikam peran pedagang dalam islamisasi nusantara). Maka, tak heran bila corak keislaman nusantara cenderung bersifat sufistik. Namun, karena pengamalan tasawuf ini dianggap menyimpang, gelombang islamisasi kedua yang paripurna dilanjutkan oleh para ulama nusantara yang menuntut ilmu ke Makkah dan kembali berdakwah ke Indonesia dengan mendirikan ragam pesantren.

Pada titik selanjutnya, gelombang islamisasi ini berkembang pesat hingga terbentuklah beberapa kerajaan Islam, mulai di Perlak, Pasai, Goa, Kerajaan Aceh, hingga Mataram. Pola penyebaran ini dipengaruhi oleh corak geo-kultural yang beragam sehingga menghasilkan bentuk-bentuk keislaman yang beragam. Menurut Gus Dur, ada empat pola islamisasi nusantara. Pertama, pola Aceh yang menghadirkan Islam secara kultural. Dengan kultur Islam yang kuat, didirikanlah kerajaan berbasis syariat dimana tidak ada konstitusi lain selain Islam.

Kedua, pola Minangkabau yang tidak memformalkan islamnya melalui politik, sebab, sebelum Islam hadir, suku Minang telah memiliki hukum adatnya sendiri. Hal ini melahirkan perang Paderi. Dalam memoarnya, Bung Hatta berkisah tentang pertentangan antara hukum adat dan hukum Islam ini yang secara kultural dapat diselesaikan melalui prinsipadat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Ketiga, pola Goa. Walaupun sebelum Islam hadir telah ada hukum adat, Islam bisa berjalan seiring adat. Keseiringan Islam dan adat ini berlanjut dengan dua hukum yang berlaku di kerajaan Goa, yakni Islam dan adat.

Keempat, pola Jawa. Pola Jawa sendiri terbagi menjadi dua, yakni Jawa bagian pesisir (pantai utara Jawa) dan Jawa bagian Pedalaman. Jawa bagian pesisir dapat dinilai teguh dengan keislaman yang cukup kuat berakar pada berdirinya pesantren, sementara Islam di pedalaman mengakomodasi budaya peninggalan Hindu-Budha dengan memberinya ruang bebas secara kultural. Dengan melihat konteks historis ini, lahirlah gagasan pribumisasi Islam. Pribumisasi Islam merupakan cara baca dalam melihat proses Islamisasi nusantara. Untuk memudahkan, kita akan melihatnya dalam dua sisi: sebagai metodologi dan mekanisme transformasinya.

Pertama, sebagai metodologi, pribumisasi Islam memang memiliki ranahnya sendiri, yakni Islam sebagai agama hukum yang memiliki seperangkat aturan untuk diterapkan dalam kehidupan dan kebudayaan sebagai bagian tak terpisahkan dari peradaban umat manusia. Agama memuat aturan yang tetap, sedang kebudayaan selalu berubah, ada hal kontradiktif antar keduanya. Pribumisasi Islam hadir sebagai jembatan yang mengharmoniskan hubungan keduanya tanpa adanya lagi kontradiksi.

Kedua, dalam mekanisme transformasinya pribumisasi Islam tak bermaksud melakukan sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Dalam proses ini, pembauran Islam dan budaya tak boleh terjadi. Sebab, pembauran akan menyebabkan hilangnya sifat-sifat asli. Islam tetap harus pada otentitas Islamnya. Bahasa Arab dalam sholat maupun kitab suci tidak boleh diganti dengan bahasa jawa, sebab ini telah menjadi kaidah.

Pribumisasi Hijab?

Hijab yang kita maknai sebagai gabungan antara khimar dan jilbab ini menjadi salah satu kontekstualisasi dari pribumisasi Islam. Bagi golongan skriptualis, berhijab yang syar’i adalah yang sesuai dengan hijab yang dipakai wanita Arab pada umumnya. Jilbab berupa kain panjang seperti terowongan, menjulur sampai ke bawah mata kaki serta khimar yang menjulur hingga menutup dada.

“Wahai Asma’, sesungguhnya perempuan itu apabila telah dewasa tidak layak kelihatan darinya kecuali ini dan ini (sembari beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangan beliau)” (HR Abu Dawud).

Pendapat tentang perempuan harus menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan ini juga disepakati oleh para ulama terdahulu seperti dalam fikih mahzab Hanafi, Zhahiri (Al Muhala karya Ibnu Hazm). Bahkan, seorang ulama salafi, Syaikh Nasiruddin Al Albani dalam Kitab Ar-rad Al Mufhi menyatakan bahwa mereka yang mewajibkan cadar bagi muslimah sebagai “berdalil dengan hadits-hadits dhaif, atsar-atsar lemah, serta atsar-atsar palsu yang mereka ketahui, atau mungkin tidak mereka ketahui.” Beliau menambahkan, “Perempuan-perempuan seperti itu juga tidak mampu bertindak secara luwes dan tangkas di saat keadaan membutuhkan.

Dari hadits-hadits kita bisa mengetahui bahwa perempuan di zaman rasul ikut menyuguhkan makan dan minum para tamu, ikut berperang dengan memberi minum mereka yang kehausan, memberi makan mereka yang kelaparan, mengevakuasi mereka yang terbunuh. Terkadang perempuan sendiri harus ikut berperang saat kondisi mengharuskan. Mungkinkah perempuan-perempuan yang memakai cadar dan kaos tangan mampu melakukan kegiatan dan tugas-tugas semacam itu? Sungguh, tidak mungkin. Kegiatan-kegiatan semacam itu hanya bisa dilakukan tatkala perempuan membuka wajah dan kedua tangan mereka.”

Tentunya, kita telah mengetahui batasan-batasan yang menjadi pakem ketentuan Alloh dan Rasul-Nya sebagaimana apa yang kemarin kita bahas. Namun, kita harus selalu bijak mengakomodasi realitas lokal dalam batasan syariat. Ini tak hanya berlaku dalam konteks kesejarahan, melainkan juga perkembangan zaman yang menjadi weltanschauung sebuah masyarakat. Maka, pribumisasi hijab adalah suatu kemutlakan yang tak dapat ditawar lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar