27 Januari 2015

Liberalisasi, Liberasi, dan Literasi: Tanggapan untuk Arif Saifurrisal


Oleh: Gading EA
Warga KAMMI Surabaya, Ketua KAMMI Universitas Airlangga 2012-2013
“Maka jika hari ini muncul kecaman terhadap kelompok yang disebut-sebut sebagai Islam Liberal, sebenarnya islam sendiri adalah sebuah agama yang liberal.”
Kalimat pembuka di atas saya kutip dari tulisan saudara Arif Syaifurrisal yang berjudul “Islam dan Liberalisme” di Jurnal KAMMI Kultural tanggal 1 Januari 2015 (lih. http://www.kammikultural.org/2015/01/islam-dan-liberalisme.html). Ada yang perlu diluruskan dari tulisan beliau karena dapat mengundang kesalahpahaman terhadap konstruksi pemikiran yang hendak beliau bangun.

Pertama, yang perlu diluruskan adalah tidak jelasnya definisi liberalisme, liberasi, dan liberal dalam tulisan tersebut. Meskipun memiliki akar kata yang sama, ketiga definisi tersebut tidak dapat disamakan. Oleh karena itu, sangat rancu ketika saudara Arif mengatakan bahwa Islam adalah agama yang liberal berdasar konsep liberasi Kuntowijoyo.

Kedua, tentang kesimpulan saudara Arif di akhir tulisan bahwa kaum muslimin harus memiliki pemikiran liberal dan berpikiran merdeka. Meskipun dalam kalimat berikutnya dijelaskan bahwa yang dimaksud adalah membebaskan kaum muslimin dari keterjajahan pemikiran, istilah liberal di sini tidak menemukan konteksnya.

Lalu, bagaimana seharusnya memandang liberalisme, liberalisasi, liberasi, dan liberal, serta memaknami tulisan saudara Arif dengan benar? Berikut penjelasannya:

Liberalisme
Liberalisme adalah paham yang mencita-citakan masyarakat yang memiliki persamaan hak dan menjunjung tinggi kebebasan berpikir bagi individu yang seluas-luasnya. Paham ini menolak adanya batasan apapun baik dari negara maupun agama. Orang yang menjujung tinggi paham ini dapat dikatakan liberal dan usaha mewujudkannya disebut liberalisasi.

Akar liberalisme adalah peradaban Barat yang sekular. Paham ini dipakai untuk melawan dominasi Gereja dan Kerajaan, yang kemudian berkembang menolak dominasi Tuhan, agama, dan negara atas individu manusia. Oleh karena itu hak privat di negara liberal sangat dijaga, termasuk kebebasan untuk beragama atau tidak. Negara ada untuk menjaga hak privat tersebut.

Liberalisme juga masuk ke ranah kehidupan lain, seperti dalam ekonomi liberal misalnya: pasar sebisa mungkin bersih dari intervensi negara. Sehingga, ketika muncul pasar bebas hal itu sama artinya dengan pasar liberal. Pun demikian dengan seni beraliran liberal yang bebas tanpa adanya batasan. Mereka menganggap seni adalah ekspresi yang tidak boleh dihalangi.

Ketika liberalisme masuk ke dalam Islam, muncul pemahaman bahwa tidak ada otoritas dalam penafsiran Al-Qur’an. Setiap orang bebas menafsirkan dengan pemikirannya masing-masing. Mereka juga berpandangan ajaran Islam perlu dimodernkan karena sudah tidak sesuai zaman. Itulah mengapa orang-orang liberal menolak ortodoksi pesantren dan kelompok fundamentalis yang mereka anggap konservatif atau kolot.

Liberasi
Kuntowijoyo menelurkan konsep liberasi bertolak dari ayat Al-Qur’an yang berbunyi, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS Ali Imran 110).

Dalam ayat tersebut Kuntowijoyo menyebut terdapat pesan profetik yang menjadi misi Intelektual Muslim, yakni: ta’muruunabilma’ruuf (menyeru kepada yang makruf) yang kemudian disebut misi humanisasi; tanhauna’anilmunkar (mencegah dari yang munkar) atau misi liberasi; dan tu’minuunabillaah (beriman kepada Allah) yang menjadi misi transendensi.

Misi liberasi atau pembebasan ini mengarah pada pembebasan manusia dari ketertindasan, khususnya bagi golongan mustadh’afin (tertindas secara sosial-politik) dan dhu’afa wal masakin (tertindas secara ekonomi). Konsep liberasi ini juga dikenal dalam ideologi marxisme dan turunannya meskipun memiliki beberapa perbedaan mendasar.

Jadi maksud dari liberasi adalah pembebasan dalam konteks sosial, bukan ideologi yang menganut paham kebebasan atau liberalisme. Justru keduanya saling bertentangan. Karena liberalisme adalah akar dari kemunkaran dan ketidakadilan struktur pengetahuan, sosial, politik, dan ekonomi yang harus dilawan dengan liberasi.

Bukan Liberalisasi
Saya memahami pembebasan yang dimaksud saudara Arif dalam tulisannya. Hanya saja penggunaan istilah yang kurang tepat membuat apa yang beliau tulis justru terlihat sebagai proses liberalisasi –bukan liberasi-. Sehingga wajar ketika ada yang bereaksi atas tulisan tersebut. Apalagi kader KAMMI banyak yang terlibat usaha membendung arus liberalisasi.

Meskipun sudah disampaikan bahwa liberalisme yang dimaksud bukanlah liberalisme à la Barat, kurangnya penjelasan tentang liberalisme à la Islam yang dimaksud membuat pembaca bingung dan langsung mengasosiasikan liberalisme dengan konsep pakemnya yang sudah diulas di awal. Ataukah yang dimaksud liberalisme Islam adalah liberasi itu sendiri? Kita perlu membedahnya satu persatu. Beliau menulis:

Maka jika hari ini muncul kecaman terhadap kelompok yang disebut-sebut sebagai Islam Liberal, sebenarnya islam sendiri adalah sebuah agama yang liberal. Memerdekaan penganutnya dari ketergantungan terhadap apapun, dari penghambaan terhadap apapun, dari ketaatan terhadap apapun, tidak kepada organisasi, tidak kepda partai, tidak kepada perkumpulan, tidak kepada suatu anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. “laa ilaaha” tidak ada tuhan, begitu dikatakan dalam syahadat, “illallah” selain Allah rabbul 'alamin.

Beliau juga sempat mengutip Kredo Gerakan KAMMI, “kami adalah orang-orang yang berpikir dan berkehendak merdeka”. Bahkan ayat laa ikraha fiddin (QS Al Baqarah 256) –tidak ada paksaan dalam agama- dijadikan sandaran bahwa manusia bisa merdeka dari Tuhan.

Pun pernyataan tersebut juga berkaitan dengan Paradigma Gerakan Dakwah Tauhid pertama: gerakan pembebasan manusia dari berbagai bentuk penghambaan kepada materi, nalar, sesama manusia dan lainnya, serta mengembalikan pada tempat sesungguhnya yakni Allah swt.

Pertanyaannya, apakah benar kutipan-kutipan tersebut merupakan liberalisme dan bermaksud meniadakan otoritas bagi manusia dalam beragama?

Dalam kredo misalnya, versi lengkapnya adalah: “Kami adalah orang-orang yang berpikir dan berkehendak merdeka. Tidak ada satu orang pun yang bisa memaksa kami bertindak. Kami hanya bertindak atas dasar pemahaman, bukan taklid, serta atas dasar keikhlasan, bukan mencari pujian atau kedudukan.”

Kredo di atas bukanlah liberalisme yang membuat orang jadi liberal. Kalau itu liberalisme maka bunyinya menjadi, “Tidak ada satu orang pun yang bisa memaksa kami tidak bertindak.” Karena liberalisme menolak sesuatu yang menghalangi mereka bertindak. Sedangkan dalam kredo tindakan seorang kader dibatasi oleh pemahaman dan keikhlasan.

Untuk ayat, laa ikraha fiddin (tidak ada paksaan dalam beragama), masih ada kelanjutannya, “sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS Al Baqarah 256). Maksudnya dengan akalnya manusia seharusnya bisa memahami bahwa tidak ada pilihan lain selain mengikuti kebenaran. Karena telah jelas mana yang benar dan mana yang sesat.

Oleh karena itu apa yang disampaikan saudara Arif bukanlah liberalisme, namun lebih mengarah ke liberasi, khususnya liberasi sistem pengetahuan. Kuntowijoyo (2006) menerangkan bahwa liberasi sistem pengetahuan adalah usaha-usaha untuk membebaskan manusia dari sistem pengetahuan materialistis dan dari dominasi struktur. Sekali lagi, ini ada pada konteks sosial bukan ideologi.

Kebebasan Berpikir

Berikutnya yang perlu dijelaskan adalah tentang kebebasan berpikir. Saudara Arif menulis:

Mereka yang teralu khawatir dengan keberadaan orang orang yang berpikir dan berkehendak merdeka sebenarnya adalah orang-orang yang sedang terjajah. Terjajah oleh apa? Sederhananya: terjajah oleh suatu pakem, terjajah oleh suatu statuta, terjajah oleh suatu manhaj, mereka yang sebenarnya tidak abadi dan harus senantiasa berubah mengikuti zaman. Sebab, yang dijamin permanen sampai akhir zaman hanya Al-Quran. Padahal Al-Quran berkali-kali menekankan pada kita pentingnya berpikir, menggunakan akal (afalaa ta'qiluun?). Berpikir dan bertindak merdeka.

Memang, kebebasan berpikir adalah salah satu elemen penting dalam konsep kebebasan dalam Islam. Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili (2005) dalam bukunya “Kebebasan dalam Islam” menyebut kebebasan berpikir sebagai bagian dari Syariat Islam untuk membebaskannya dari segala keraguan, tahayul, khurafat, adat, serta kebiasaan buruk.

Berpikir adalah kewajiban dalam Islam sehingga kita dalam melihat suatu fenomena harus berdasarkan pertimbangan akal sehat. Bahkan kebebasan berpikir adalah elemen penting dalam berpolitik. Rasulullah saw. bersabda bahwa jihad yang paling utama adalah mengungkapkan kebenaran kepada penguasa yang zhalim. Hal itu bisa dilakukan ketika ada kebebasan berpikir.

Pertanyaannya, seberapa jauh kebebasan berpikir dapat dilakukan? Az-Zuhaili berpendapat bahwa ada tiga batasan dalam kebebasan berpendapat: (1) tidak boleh mengakibatkan fitnah dan perpecahan umat Islam; (2) tidak boleh berakibat menyebarkan pembangkangan, hawa nafsu dan bid’ah di antara umat Islam; dan (3) tidak boleh mendatangkan penghinaan atau kata-kata kotor atau membicarakan rahasia orang lain.

Dalam tulisan saudara Arif disebutkan tidak perlu terikat pada suatu pakem tertentu, kita hanya perlu mengikuti Al-Qur’an. Masalahnya, kita tidak bisa mengikuti Al-Qur’an tanpa terikat pada pakem yang telah dibuat para ‘ulama. Karena dalam Islam ijtihad hanya boleh dilakukan oleh mereka yang ahli di bidangnya, baik dalam urusan agama maupun dunia. Jika tidak hal itu akan menimbulkan fitnah, perpecahan, pembangkangan, dan hal lain yang ditulis Az-Zuhaili.

Jadi, kebebasan berpikir kita dibatasi oleh ilmu pengetahuan yang kita miliki. Sehingga orang yang dapat berpikir dan berkehendak merdeka bukanlah orang liberal, melainkan orang yang berilmu. Ketika kita belum memiliki ilmunya, kewajiban kita untuk mencari tahu kepada orang yang memiliki otoritas di bidang tersebut.

Literasi
Seringkali atas dasar kebebasan berpikir kita menafsirkan sebuah teks atau pendapat tidak sesuai dengan konteksnya. Hal ini seringkali menyebabkan kerancuan dan kesalahpahaman, baik dalam membaca maupun menuangkannya ke dalam tulisan. Itulah mengapa subjudul penutup ini saya beri nama literasi.

Dalam melakukan kegiatan literasi, membaca dan menulis, kita harus bijak. Membaca dengan cermat, tidak sembarangan, dan harus memahami teks secara utuh apa maksud penulis. Tidak hanya berdasarkan kutipan teks saja. Setelah itu, dalam menuangkannya ke dalam tulisan juga harus jelas dan utuh sesuai dengan konteks yang ada.

Hanya dengan itu nikmat kebebasan berpikir ini akan membuat kita semakin bijak, menambah ilmu pengetahuan, dan juga akan memperkaya khazanah keilmuan dalam kehidupan.

Wallahua’lam bishshawab..


Sumber Bacaan:
1. Amin Sudarsono, Ijtihad Membangun Basis Gerakan, (Jakarta: Muda Cendekia, 2010)
2. Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006)
3. Wahbah Az-Zuhaili, Kebebasan dalam Islam, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2005)
4. http://id.wikipedia.org/wiki/Liberalisme
5. http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_Sosial_Profetik
6. http://hamidfahmy.com/liberalisasi-pemikiran-islam/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar