oleh: Gading EA
Staf Kebijakan Publik PD KAMMI Surabaya [1]
Kader
KAMMI generasi sekarang pasti mengetahui istilah “Muslim Negarawan”.
Minimal pernah melihatnya tercetak gagah di punggung jaket aktivis.
Namun, banyak yang belum tahu kalau Muslim Negarawan bukanlah konsep
yang sudah eksis sejak KAMMI berdiri. Ia merupakan jawaban atas
kegelisahan, pengalaman, dan pergulatan pemikiran para ideolog KAMMI
setelah tujuh tahun sejak dideklarasikan.
Konsep Muslim
Negarawan ‘ditemukan’ dalam Lokakarya Nasional Kaderisasi KAMMI di
Sukabumi pada tanggal 29 Desember 2005 s.d 1 Januari 2006[2]. Forum
lokakarya tersebut lah yang melahirkan rumusan Manhaj Kaderisasi 1427 H
dimana Muslim Negarawan ditetapkan sebagai outcomes pengkaderan KAMMI[3].
Dalam
manhaj terbaru, Manhaj Kaderisasi 1433 H, pun tidak ada perubahan
signifikan selain detail-detail pengkaderan. Orientasi dasarnya masih
tetap, yakni melahirkan kader yang memiliki karakter Muslim
Negarawan[4]. Sampai sekarang belum ada konsep yang mampu menggeser
Muslim Negarawan dalam diskursus pengkaderan KAMMI.
Pertanyaannya, apakah Muslim Negarawan akan selamanya menjadi orientasi pengkaderan KAMMI?
Badai Belum Datang
Sejak
dideklarasikan tahun 1998, KAMMI belum mengalami gangguan eksternal
yang berarti. Dalam kurun waktu 16 tahun pasca-Reformasi tidak ada
momentum krisis di tingkat nasional yang mengancam keberadaan KAMMI.
Berbeda dengan organisasi yang lebih tua, semisal HMI, yang
keberadaannya pernah terancam G30S/PKI, NKK/BKK, dan pemberlakuan Azas
Tunggal Pancasila, namun masih bisa bertahan hingga sekarang dengan
berbagai catatan di belakangnya.
Praktis selama ini
masalah yang dihadapi KAMMI adalah masalah internal yang tiada
berkesudahan seperti dualisme kader KAMMI-PKS. Sedangkan momen kritis
bagi kader KAMMI paling banter perebutan kursi politik kampus. Jika
dikalkulasi dengan SWOT, treat (ancaman) bagi KAMMI bersifat
tidak langsung seperti globalisasi, penurunan tren gerakan mahasiswa,
dan bukan karena instabilitas politik dalam negeri seperti sebelumnya.
Bukan
berarti penulis mengharapkan kondisi buruk terjadi pada negeri ini.
Hanya saja muncul pertanyaan refleksi, andai suatu saat nanti KAMMI
‘diberi kesempatan’ menghadapi masalah eksternal yang mengancam
eksistensi seperti yang dialami HMI, apakah KAMMI mampu bertahan?
Masihkah Negarawan?
Kita
tentu tidak berharap KAMMI mendapatkan goncangan keras yang sampai
mengancam eksistensinya. Dengan kata lain kita ingin perpolitikan negeri
ini tetap stabil, dan sejauh ini itulah yang terjadi. Sekeras apapun
turbulensi dalam perpolitikan nasional dewasa ini sifatnya temporer
dengan isu-isu rutin yang dari dulu juga begitu. Tidak ada turbulensi
yang sampai mengubah tatanan masyarakat secara fundamental. Artinya,
jika hanya bergerak di ranah politik, KAMMI akan menjalani rutinitas
yang tidak akan pernah ada ujungnya.
Di sisi lain, dunia
kepemudaan sudah mengalami perubahan yang sangat pesat. Partisipasi
pemuda dan mahasiswa dalam membangun bangsa sedang menuju puncaknya.
Bukan di ranah politik, tetapi di bidang kewirausahaan, sosial,
pendidikan, dan bidang lain yang dampaknya bisa dirasakan langsung. Hal
ini seperti yang dikatakan Muhammad Badaruddin, salah satu Ketua PP
KAMMI 2001-2002 dalam Sarasehan Intelegensia KAMMI II Jakarta. Alumnus
UNAIR tersebut mengatakan bahwa KAMMI harus begerak beyond politics[5].
Di sinilah konsep Muslim Negarawan diuji. Masihkah diksi “negarawan” relevan digunakan untuk KAMMI yang memiliki setting multi-paradigma?
Hal
ini pernah dipersoalkan oleh Dharma Setiawan dalam tulisannya yang
berjudul “Muslim Negarawan Dalam Gugatan” di Jurnal KAMMI Kultural[6].
Dharma menganggap penggunaan kata “negarawaan” membuat KAMMI cenderung
terlalu politis dan mengabaikan aspek lain. Ia pun mewacanakan istilah
baru yakni “Homo Islamicus” sebagai kelanjutan bentuk dari
Intelektual Profetik dan “Muslim Moderat” yang diyakininya lebih
holistik dan merepresentasikan gerak KAMMI daripada istilah yang
sekarang dipakai. Sayang sekali, gagasan tersebut tidak ada yang
memberikan tanggapan.
Sebenarnya, jauh sebelum Dharma menulis opini di atas, Rijalul Imam seorang anggota tim Ad Hoc
Perumus Manhaj Kaderisasi 1427 yang ikut menemukan istilah Muslim
Negarawan telah menegaskan bahwa menjadi “negarawan” tidak harus menjadi
birokrat. Dalam Jurnal IBHAR Vol. 2 Bang Rijal menulis, “Perlu diingat,
bahwa menjadi negarawan tidak harus menjadi birokrat. Lapangan
perbaikan bangsa ini terlalu sempit untuk dikerjakan para birokrat.
Namun ‘tidak harus’ bukan berarti tidak boleh. Sah-sah saja kader aktif
mengaplikasikan prinsip gerakannya ‘perbaikan adalah tradisi perjuangan
KAMMI’ di mana pun ia berada.”[7]
Dua gagasan yang
berlawanan ini menjadi menarik diperbincangkan. Di satu sisi kita tidak
bisa mengartikan negarawan secara ketat sebagai politisi atau birokrat
yang memang berkubang di wilayah politik dan negara. Namun di sisi lain,
tafsir apapun tidak bisa mengganti makna dasar negarawan yang berarti
ahli dalam kenegaraan; ahli yang menjalankan negara (pemerintahan)[8].
Titik Rawan
Sampai
di sini kita juga belum bisa tegas menjawab pertanyaan pembuka, apakah
Muslim Negarawan akan selamanya menjadi orientasi pengkaderan KAMMI?
Kita
memang tidak bisa begitu saja menghapus atau menggeser Muslim Negarawan
sebagai identitas KAMMI. Karena ia telah menjadi bagian dari sejarah,
yang seiring berjalannya waktu telah diyakini, diinternalisasi,
didoktrinasi, bahkan disakralkan oleh kader bahwa KAMMI adalah Muslim
Negarawan dan Muslim Negarawan adalah KAMMI. Hal itu dilihat bagaimana
kader KAMMI bangga dengan jargon tersebut.
Yang menjadi
titik rawan adalah ketika diskursus Muslim Negarawan berhenti pada
istilah Muslim Negarawan. Karena bukan hanya jargon atas kata-katanya
yang perlu kita banggakan sebagai sebuah identitas, namun juga bagaimana
pergulatan pemikiran sampai ia lahir dan tumbuh menjadi seperti
sekarang. Rijalul Imam sendiri dalam Sarasehan Intelegensia KAMMI II di
Jakarta berpesan kader KAMMI jangan sampai menutup pintu ijtihad[9].
Ini
bukan soal apakah Muslim Negarawan atau yang lain, tapi tentang
kekosongan narasi dan wacana yang ada di tubuh KAMMI itu sendiri. Pro
dan kontra seharusnya disikapi biasa. Karena dialektika, tesis-antitesis
yang melahirkan sintesis, melahirkan sesuatu yang baru akan lebih
menguatkan KAMMI di saat-saat krisis.
Sekarang, kita
berkesempatan untuk mengisinya. Bebas. Apapun sikapnya, apapun
gagasannya. Untuk itu mari kita mengisi diskursus ini dengan
gagasan-gagasan kita. Sikap kita, tulisan kita, akan memperkaya khazanah ke-KAMMI-an yang ikut menentukan KAMMI di masa mendatang.
Selamat berdiskusi!
_____________________________
[1] Tulisan ini dibuat sebagai pengantar diskusi yang diselenggerakan PD KAMMI Surabaya
[2] Rijalul Imam, Muslim Negarawan Sebagai Orientasi Kaderisasi KAMMI, Jurnal IBHAR Vol. 2 diakses di http://kammikultural.wordpress.com/2013/02/26/ibhar-vol-2-muslim-negarawan-sebagai-orientasi-kaderisasi-kammi/
[3] Manhaj Kaderisasi KAMMI 1427
[4] Manhaj Kaderisasi KAMMI 1433
[5] Badaruddin: KAMMI Harus Bergerak Beyond Politics (Cerita dari Sarasehan Jakarta) http://kammikultural.wordpress.com/2013/03/18/badaruddin-kammi-harus-bergerak-beyond-politics-cerita-dari-sarasehan-jakarta-3/
[6] Dharma Setiawan, Muslim Negarawan Dalam Gugatan, Jurnal KAMMI Kultural http://kammikultural.wordpress.com/2013/02/20/muslim-negarawan-dalam-gugatan/
[7] Rijalul Imam, Muslim Negarawan Sebagai Orientasi Kaderisasi KAMMI, Jurnal IBHAR Vol. 2 diakses di http://kammikultural.wordpress.com/2013/02/26/ibhar-vol-2-muslim-negarawan-sebagai-orientasi-kaderisasi-kammi/
[8] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[9] Rijalul Imam: Jangan Pernah Menutup Pintu Ijtihad (Cerita dari Sarasehan Jakarta-4) http://www.kammikultural.org/2013/03/rijalul-imam-jangan-pernah-menutup.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar