17 Januari 2015

Titik Rawan Muslim Negarawan: Sebuah Kritik


oleh: Gading EA
Staf Kebijakan Publik PD KAMMI Surabaya [1]

Kader KAMMI generasi sekarang pasti mengetahui istilah “Muslim Negarawan”. Minimal pernah melihatnya tercetak gagah di punggung jaket aktivis. Namun, banyak yang belum tahu kalau Muslim Negarawan bukanlah konsep yang sudah eksis sejak KAMMI berdiri. Ia merupakan jawaban atas kegelisahan, pengalaman, dan pergulatan pemikiran para ideolog KAMMI setelah tujuh tahun sejak dideklarasikan.

Konsep Muslim Negarawan ‘ditemukan’ dalam Lokakarya Nasional Kaderisasi KAMMI di Sukabumi pada tanggal 29 Desember 2005 s.d 1 Januari 2006[2]. Forum lokakarya tersebut lah yang melahirkan rumusan Manhaj Kaderisasi 1427 H dimana Muslim Negarawan ditetapkan sebagai outcomes pengkaderan KAMMI[3].

Dalam manhaj terbaru, Manhaj Kaderisasi 1433 H, pun tidak ada perubahan signifikan selain detail-detail pengkaderan. Orientasi dasarnya masih tetap, yakni melahirkan kader yang memiliki karakter Muslim Negarawan[4]. Sampai sekarang belum ada konsep yang mampu menggeser Muslim Negarawan dalam diskursus pengkaderan KAMMI.

Pertanyaannya, apakah Muslim Negarawan akan selamanya menjadi orientasi pengkaderan KAMMI?


Badai Belum Datang
Sejak dideklarasikan tahun 1998, KAMMI belum mengalami gangguan eksternal yang berarti. Dalam kurun waktu 16 tahun pasca-Reformasi tidak ada momentum krisis di tingkat nasional yang mengancam keberadaan KAMMI. Berbeda dengan organisasi yang lebih tua, semisal HMI, yang keberadaannya pernah terancam G30S/PKI, NKK/BKK, dan pemberlakuan Azas Tunggal Pancasila, namun masih bisa bertahan hingga sekarang dengan berbagai catatan di belakangnya.

Praktis selama ini masalah yang dihadapi KAMMI adalah masalah internal yang tiada berkesudahan seperti dualisme kader KAMMI-PKS. Sedangkan momen kritis bagi kader KAMMI paling banter perebutan kursi politik kampus. Jika dikalkulasi dengan SWOT, treat (ancaman) bagi KAMMI bersifat tidak langsung seperti globalisasi, penurunan tren gerakan mahasiswa, dan bukan karena instabilitas politik dalam negeri seperti sebelumnya.

Bukan berarti penulis mengharapkan kondisi buruk terjadi pada negeri ini. Hanya saja muncul pertanyaan refleksi, andai suatu saat nanti KAMMI ‘diberi kesempatan’ menghadapi masalah eksternal yang mengancam eksistensi seperti yang dialami HMI, apakah KAMMI mampu bertahan?

Masihkah Negarawan?
Kita tentu tidak berharap KAMMI mendapatkan goncangan keras yang sampai mengancam eksistensinya. Dengan kata lain kita ingin perpolitikan negeri ini tetap stabil, dan sejauh ini itulah yang terjadi. Sekeras apapun turbulensi dalam perpolitikan nasional dewasa ini sifatnya temporer dengan isu-isu rutin yang dari dulu juga begitu. Tidak ada turbulensi yang sampai mengubah tatanan masyarakat secara fundamental. Artinya, jika hanya bergerak di ranah politik, KAMMI akan menjalani rutinitas yang tidak akan pernah ada ujungnya.

Di sisi lain, dunia kepemudaan sudah mengalami perubahan yang sangat pesat. Partisipasi pemuda dan mahasiswa dalam membangun bangsa sedang menuju puncaknya. Bukan di ranah politik, tetapi di bidang kewirausahaan, sosial, pendidikan, dan bidang lain yang dampaknya bisa dirasakan langsung. Hal ini seperti yang dikatakan Muhammad Badaruddin, salah satu Ketua PP KAMMI 2001-2002 dalam Sarasehan Intelegensia KAMMI II Jakarta. Alumnus UNAIR tersebut mengatakan bahwa KAMMI harus begerak beyond politics[5].

Di sinilah konsep Muslim Negarawan diuji. Masihkah diksi “negarawan” relevan digunakan untuk KAMMI yang memiliki setting multi-paradigma?

Hal ini pernah dipersoalkan oleh Dharma Setiawan dalam tulisannya yang berjudul “Muslim Negarawan Dalam Gugatan” di Jurnal KAMMI Kultural[6]. Dharma menganggap penggunaan kata “negarawaan” membuat KAMMI cenderung terlalu politis dan mengabaikan aspek lain. Ia pun mewacanakan istilah baru yakni “Homo Islamicus” sebagai kelanjutan bentuk dari Intelektual Profetik dan “Muslim Moderat” yang diyakininya lebih holistik dan merepresentasikan gerak KAMMI daripada istilah yang sekarang dipakai. Sayang sekali, gagasan tersebut tidak ada yang memberikan tanggapan.

Sebenarnya, jauh sebelum Dharma menulis opini di atas, Rijalul Imam seorang anggota tim Ad Hoc Perumus Manhaj Kaderisasi 1427 yang ikut menemukan istilah Muslim Negarawan telah menegaskan bahwa menjadi “negarawan” tidak harus menjadi birokrat. Dalam Jurnal IBHAR Vol. 2 Bang Rijal menulis, “Perlu diingat, bahwa menjadi negarawan tidak harus menjadi birokrat. Lapangan perbaikan bangsa ini terlalu sempit untuk dikerjakan para birokrat. Namun ‘tidak harus’ bukan berarti tidak boleh. Sah-sah saja kader aktif mengaplikasikan prinsip gerakannya ‘perbaikan adalah tradisi perjuangan KAMMI’ di mana pun ia berada.”[7]

Dua gagasan yang berlawanan ini menjadi menarik diperbincangkan. Di satu sisi kita tidak bisa mengartikan negarawan secara ketat sebagai politisi atau birokrat yang memang berkubang di wilayah politik dan negara. Namun di sisi lain, tafsir apapun tidak bisa mengganti makna dasar negarawan yang berarti ahli dalam kenegaraan; ahli yang menjalankan negara (pemerintahan)[8].

Titik Rawan
Sampai di sini kita juga belum bisa tegas menjawab pertanyaan pembuka, apakah Muslim Negarawan akan selamanya menjadi orientasi pengkaderan KAMMI?

Kita memang tidak bisa begitu saja menghapus atau menggeser Muslim Negarawan sebagai identitas KAMMI. Karena ia telah menjadi bagian dari sejarah, yang seiring berjalannya waktu telah diyakini, diinternalisasi, didoktrinasi, bahkan disakralkan oleh kader bahwa KAMMI adalah Muslim Negarawan dan Muslim Negarawan adalah KAMMI. Hal itu dilihat bagaimana kader KAMMI bangga dengan jargon tersebut.

Yang menjadi titik rawan adalah ketika diskursus Muslim Negarawan berhenti pada istilah Muslim Negarawan. Karena bukan hanya jargon atas kata-katanya yang perlu kita banggakan sebagai sebuah identitas, namun juga bagaimana pergulatan pemikiran sampai ia lahir dan tumbuh menjadi seperti sekarang. Rijalul Imam sendiri dalam Sarasehan Intelegensia KAMMI II di Jakarta berpesan kader KAMMI jangan sampai menutup pintu ijtihad[9].

Ini bukan soal apakah Muslim Negarawan atau yang lain, tapi tentang kekosongan narasi dan wacana yang ada di tubuh KAMMI itu sendiri. Pro dan kontra seharusnya disikapi biasa. Karena dialektika, tesis-antitesis yang melahirkan sintesis, melahirkan sesuatu yang baru akan lebih menguatkan KAMMI di saat-saat krisis.

Sekarang, kita berkesempatan untuk mengisinya. Bebas. Apapun sikapnya, apapun gagasannya. Untuk itu mari kita mengisi diskursus ini dengan gagasan-gagasan kita. Sikap kita, tulisan kita, akan memperkaya khazanah ke-KAMMI-an yang ikut menentukan KAMMI di masa mendatang.

Selamat berdiskusi!

_____________________________

[1] Tulisan ini dibuat sebagai pengantar diskusi yang diselenggerakan PD KAMMI Surabaya

[2] Rijalul Imam, Muslim Negarawan Sebagai Orientasi Kaderisasi KAMMI, Jurnal IBHAR Vol. 2 diakses di http://kammikultural.wordpress.com/2013/02/26/ibhar-vol-2-muslim-negarawan-sebagai-orientasi-kaderisasi-kammi/

[3] Manhaj Kaderisasi KAMMI 1427

[4] Manhaj Kaderisasi KAMMI 1433

[5] Badaruddin: KAMMI Harus Bergerak Beyond Politics (Cerita dari Sarasehan Jakarta) http://kammikultural.wordpress.com/2013/03/18/badaruddin-kammi-harus-bergerak-beyond-politics-cerita-dari-sarasehan-jakarta-3/

[6] Dharma Setiawan, Muslim Negarawan Dalam Gugatan, Jurnal KAMMI Kultural http://kammikultural.wordpress.com/2013/02/20/muslim-negarawan-dalam-gugatan/

[7] Rijalul Imam, Muslim Negarawan Sebagai Orientasi Kaderisasi KAMMI, Jurnal IBHAR Vol. 2 diakses di http://kammikultural.wordpress.com/2013/02/26/ibhar-vol-2-muslim-negarawan-sebagai-orientasi-kaderisasi-kammi/

[8] Kamus Besar Bahasa Indonesia

[9] Rijalul Imam: Jangan Pernah Menutup Pintu Ijtihad (Cerita dari Sarasehan Jakarta-4) http://www.kammikultural.org/2013/03/rijalul-imam-jangan-pernah-menutup.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar