10 Januari 2015

Apa Artinya Insiden Charlie Hebdo bagi Islam dan Politik Global?

Ahmad Rizky M. Umar
Peneliti dan Aktivis

Tragedi Charlie Hebdo segera menjadi perdebatan publik. Beberapa cendekiawan muslim seperti Tariq Ramadan, Farish Noor, atau Yasir Qady segera mengecam penembakan, namun ada satu hal yang perlu dicermati: apa yang dilakukan oleh Charlie Hebdo dalam beberapa satirnya juga tak bisa diterima. Keduanya, baik penembakan atau kartun satir yang jelas-jelas menghina simbol-simbol identitas Islam, sama-sama keliru dan fatal. 

Tapi mari kita berpikir lebih ke depan. Apa dampak insiden ini bagi tatanan politik global ke depan? Apakah penembakan ini sebentuk 'sinyalemen' pertentangan yang lebih keras antara 'Islam' dan 'Barat'? Apakah bakal ada gelombang baru 'Islamofobia' terutama di negara-negara Eropa? Ataukah  ini sebetulnya sinyal pengaturan keimigrasian yang lebih ketat di negara Barat?

Dalam buku koleksi mereka, Bobby Sayyid dan Abdoolkarim Vakil (2009) mengajak kita untuk berpikir lebih mendalam tentang 'Islamophobia'. Bagi mereka, Islamophobia tidaklah tunggal dan tidak bisa direduksi hanya sekadar sebagai kebencian terhadap Islam dan ajarannya. Ada proses pembentukan identitas di sana, yang, meminjam istilah Tariq Ramadan, melibatkan proses menjadikan 'Islam' sebagai liyan, The-Other, sesuatu yang harus dibenci karena ia bukan 'kita/Barat'. Akibatnya, orang kemudian membenci 'identitas' tanpa kemudian berpikir lebih jauh tentang identitas itu ketika ada sesuatu hal yang memicu benturan, misalnya masalah Charlie Hebdo ini. 

Menurut Tariq, hal ini bisa terjadi di umat Islam, yang karena mereka dijadikan liyan, balik me-liyan-kan 'Barat'. 

Di sinilah letak persoalannya. Kita patut bertanya: apa masalah yang menyebabkan Islamofobia ini terjadi? Masalah identitas/ajaran-kah? atau masalah yang lebih imanen seperti kesalahpahaman, kemiskinan, provokasi, dsb? Atau kita bisa bertanya juga: kenapa sebagian orang keblinger dengan satir-satir itu sementara orang lain (dalam kasus ini, para penembak) sumbu pendek? Dalam kasus Charlie Hebdo, masalahnya sebetulnya berakar pada variabel kedua: soal-soal ekonomi, politik, dan tekanan-tekanan hidup yang semakin berat yang membuat semua orang jadi gampang marah dan bersumbu pendek.

Persoalan Charlie Hebdo mengingatkan kita pada satu hal penting: betapa kesenjangan ekonomi di dunia sebetulnya semakin akut. Problemnya yang dialami Perancis adalah imigrasi: eksodus orang-orang yang ingin mencari penghidupan yang lebih baik. Terutama, sejak Afrika Utara mengalami transisi. Namun, sesungguhnya munculnya orang-orang Muslim ke Eropa ini bukan terjadi pada saat ini saja. Dari dulu, gelombang datangnya orang-orang yang secara kultural berbeda dengan orang-orang Eropa ini juga sudah terjadi. Ada yang kemudian rajin membangun dialog, ada pula yang mengeksklusi dan memencilkan diri.

Karena ada persinggungan antara "Muslim" dan "Barat" ini, maka kerentanan konflik juga besar. Menurut Tariq Ramadan dan juga Talal Asad, kerentanan ini harus diakui. Baik dari Muslim maupun Barat. Dengan mengakui kerentanan, peluang untuk membangun dialog ini bisa dicapai. Inilah, menurut Tariq, tantangan "Muslim Barat" di Eropa. Tentu saja, perlu effort yang lebih untuk membangun dialog kritis itu pasca-tragedi ini.

Nah, problemnya, insiden penembakan di Paris ini membuat kerentanan itu semakin tinggi, dan semakin membuat banyak orang, dari kedua belah pihak, yang enggan mengakui bahwa keduanya terkait. Bahwa Barat berhutang pada Islam dalam banyak hal, terutama kalau menengok sejarah, dan Islam juga banyak berhutang pada Barat (semisal dengan penerjemahan teks-teks Yunani). Problem ini bisa membawa pada satu hal: semakin banyak orang-orang di 'Barat' yang apriori terhadap Islam dan sebaliknya.

Satu cara pandang kemudian muncul: insiden Charlie Hebdo diyakini punya implikasi terhadap Islam: semakin Islam dianggap liyan, semakin mudah pula otoritas-otoritas keamanan 'Barat' menimpakan permusuhan terhadap Islam. Cara pandang ini jelas sangat berbahaya. Tatanan politik global dalam bingkai perspektif ini akan sangat buram bagi umat Islam yang tentu saja tidak semua mendukung penembakan. Orang-orang akan menjadi sangat esensialis dalam memandang Islam dan juga sebaliknya.

Dikutip dari Thomas Piketty (2013)
Tapi, apakah potret semacam itu yang akan kita hadapi ke depan? Tentu saja, masih ada cara pandang yang lain yang lebih kritis dan lebih optimistik! Saya ingin memulainya dengan menggeser cara pandang. Dalam banyak pembicaraan, Charlie Hebdo dianggap persoalan "Islam" vs "Barat". Padahal, problem sesungguhnya bukan terletak di sana, melainkan kesenjangan antara "Utara" yang kapitalistik dengan "Selatan" yang terengah-engah secara ekonomi. Imigrasi dan kehadiran mereka yang bersumbu pendek adalah ekses. Sejatinya, ini masalah ekonomi-politik global. Kajian Thomas Piketty, ekonom Perancis yang terkenal itu, telah menggambarkan kita, semakin kapitalisnya tata ekonomi global yang diiringi oleh globalisasi telah membuat tingkat ketimpangan juga semakin mengenaskan. Resolusi konflik dan resep-resep ekonomi neoliberal yang ditawarkan negara-negara Utara ke Timur Tengah gagal menjawab masalah ini. Perlu ada langkah-langkah yang lebih serius untuk menyelesaikan masalah ini.

Dimensi ekonomi politik global ini tercermin dari dua problem yang tak kunjung terselesaikan, baik di Eropa maupun dunia muslim: (1) imigran-imigran yang termarjinalisasi dalam kerasnya kehidupan di Eropa dan; dan (2) soal-soal transisi ekonomi di negara-negara pasca-otoritarian di Timur Tengah yang stagnan. Persoalan ini menuntut perhatian lebih, terutama karena insiden Charlie Hebdo menyeret orang-orang dari latar belakang ini. Dengan memperhatikan dimensi ekonomi, kita tidak hanya mempersoalkan penembakan tetapi juga kenapa mereka menembak.

Di sisi lain, Islamophobia juga muncul karena persepsi yang keliru tentang Islam! Ini jadi tantangan berikutnya, tidak hanya bagi "Muslim Barat" tetapi juga bagi "Muslim" di belahan dunia yang lain. Perlu keberanian bagi kita bahwa Islam juga bisa bicara sejajar dengan Barat tanpa harus terbebani oleh mereka yang kemudian berlaku kriminal. Dan ini artinya, kita juga perlu memikirkan alternatif-alternatif apa yang bisa diambil agar secara ekonomi kita punya daya tahan lebih dibanding kaum Barat. Ini agenda yang lain.

Dengan demikian, soal Charlie Hebdo ini juga jangan dilepaskan dari konteks materialnya: ekonomi global yang semakin berada di titik nadir. Kita butuh alternatif. Ekonomi Islam harus bisa menjangkau persoalan disparitas ekonomi global ini. Dan mungkin, meminjam bahasa Tariq Ramadan, kita butuh "revolusi intelektual" alih-alih berdebat soal apakah kita harus menerima Charlie Hebdo ataukah tidak.

Referensi
Bobby S. Sayyid dan Abdoolkarim Vakil, eds. (2009). Thinking Through Islamophobia: Global Perspectives. London: Hurst. 

Talal Asad. (1987). "The Idea of Anthropology of Islam"

Tariq Ramadan (2004). Western Muslims and The Future of Islam. Oxford: Oxford University Press. 

Tariq Ramadan. (2013). "Beyond Islamism" diterjemahkan oleh Jurnal KAMMI Kultural

Tariq Ramadan. (2014). "Paris Attack is a Pure Betrayal of Our Religion" Democracy Now. 

Thomas Piketty (2014). Capital in the 21st Century. Boston: Harvard University Press.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar