oleh: Abdul Jabbar
Ketua Umum KAMMI Kalimantan Barat
Prolog
Ideologi merupakan gagasan dasar dari sebuah komunitas bangsa berdasarkan pandangan hidup dan pengalaman empiriknya untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang menyangkut kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tidak dapat disangkal bahwa setiap bangsa dan negara harus memiliki dan mengembangkan sebuah ideologi. Rapuh serta tegarnya bangsa dan negara amat ditentukan oleh kekuatan sebuah ideologi dalam menghadapi tantangan dan ujiannya. Tantangan dan ujian tersebut, menurut Alfian (2000) meliputi 3 dimensi yaitu dimensi idealitas, realitas dan fleksibilitas. Demikian pula halnya dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia.
Mendialogkan Pancasila merupakan suatu keniscayaan, tidak hanya pada spektrum filosofis namun juga pada tataran teknis. Bahkan dengan prinsip bahwa Pancasila sebagai ideologi terbuka telah membuat diskusi yang tidak ada habisnya. Buya Hamka misalnya, yang mengkritik Sukarno atas tafsir beliau yang menyatakan bahwa perasan Pancasila itu akan menjadi satu prinsip saja, yaitu “Gotong Royong”. Sebagai balasan, Buya Hamka malah berpendapat bahwa Pancasila tidak perlu diperas namun cukup dicari akar tunggangnya yaitu “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Tulisan ini tidak bermaksud hadir diantara perdebatan tokoh-tokoh tersebut, akan tetapi diharapkan dapat menjadi perspektif baru dalam memahami Pancasila sebagai ideologi bangsa kita. Di sini, Pancasila diletakkan sebagai dasar untuk memahami periodisasi penegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga Indonesia bisa berada dalam wujudnya yang paripurna, menyatu ke dalam dasar-dasar normatif Pancasila tersebut.
Prolog
Ideologi merupakan gagasan dasar dari sebuah komunitas bangsa berdasarkan pandangan hidup dan pengalaman empiriknya untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang menyangkut kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tidak dapat disangkal bahwa setiap bangsa dan negara harus memiliki dan mengembangkan sebuah ideologi. Rapuh serta tegarnya bangsa dan negara amat ditentukan oleh kekuatan sebuah ideologi dalam menghadapi tantangan dan ujiannya. Tantangan dan ujian tersebut, menurut Alfian (2000) meliputi 3 dimensi yaitu dimensi idealitas, realitas dan fleksibilitas. Demikian pula halnya dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia.
Mendialogkan Pancasila merupakan suatu keniscayaan, tidak hanya pada spektrum filosofis namun juga pada tataran teknis. Bahkan dengan prinsip bahwa Pancasila sebagai ideologi terbuka telah membuat diskusi yang tidak ada habisnya. Buya Hamka misalnya, yang mengkritik Sukarno atas tafsir beliau yang menyatakan bahwa perasan Pancasila itu akan menjadi satu prinsip saja, yaitu “Gotong Royong”. Sebagai balasan, Buya Hamka malah berpendapat bahwa Pancasila tidak perlu diperas namun cukup dicari akar tunggangnya yaitu “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Tulisan ini tidak bermaksud hadir diantara perdebatan tokoh-tokoh tersebut, akan tetapi diharapkan dapat menjadi perspektif baru dalam memahami Pancasila sebagai ideologi bangsa kita. Di sini, Pancasila diletakkan sebagai dasar untuk memahami periodisasi penegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga Indonesia bisa berada dalam wujudnya yang paripurna, menyatu ke dalam dasar-dasar normatif Pancasila tersebut.
Periodisasi Pancasila dan Sejarah Peradaban Islam
Pada sila pertama: Ketuhanan yang Maha Esa. Buya Hamka dalam suatu
kritiknya terhadap Soekarno menyatakan bahwa kita perlu menemukan akar tunjang
dari Pancasila, dan itu adalah sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa.
Konteksnya, dalam penegakan NKRI
seharusnya terjadi periodisasi penegakan aqidah terlebih
dahulu tehadap kehidupan masyarakat. Sampai pada tahap ini, maka evaluasi
pertama adalah sejauh mana implementasi hal ini telah dilakukan.
Sangat jelas bahwa penegakan aqidah merupakan
hal yang sangat penting dan berpengaruh sangat besar bagi tegaknya suatu
negara. Hal ini mungkin kurang disadari oleh kita semua, sehingga perjuangan
penegakan NKRI ini menjadi parsial dan tidak menyentuh hal-hal yang sangat
esensi, yaitu aqidah.
Padahal, posisi sila pertama menjadi
pijakan bagi kita untuk memulai
perjuangan: pelurusan aqidah atas
Ketuhanan yang Maha Esa. Nilai-nilai ketuhanan yang terkandung dalam sila ini,
meminjam istilah Hamka, adalah akar tunjang bagi bangsa ini agar dapat diakui
dalam kehidupan internasional. Selain itu, pada dasarnya bangsa Indonesia memang telah
memiliki tempat tersendiri dalam kehidupan beragama yaitu sebagai negara dengan
penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Identitas keberagamaan ini seharusnya dapat ditonjolkan dan menjadi kekayaan tersendiri
bagi bangsa ini.
Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila
ini merupakan merupakan langkah kedua
penegakan NKRI setelah perbaikan aqidah. Jika pada periode pertama
aspek aqidah lah yang paling ditekankan, maka periode ini menekankan pada
aspek akhlak. Permasalahan utama kita hari ini adalah pada
dekadensi moral pada seluruh tingkatan umur dan kelas masyarakat. Hal ini perlu
dicermati dengan sungguh-sungguh dan dipahami agar kita tidak terjebak dalam
usaha yang menguras tenaga.
Proses pertama dan kedua ini memang sangan berkaitan
erat, perbaikan aqidah tentu akan dapat diukur dari mulianya akhlak. Dalam siroh, kedua proses ini terjadi di Makkah yang notabene belum melembaga dalam bentuk negara. Bayangkan
pengaruh yang terjadi, jika negara mengambil peran dalam proses pertama dan
kedua ini. Namun, hal tersebut bukan berarti kita perlu menunggu pelembagaan untuk bergerak dalam pelurusan
aqidah dan perbaikan akhlak. Ini harus disadari oleh setiap individu yang
menginginkan perbaikan yang mendasar di negeri ini.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Dalam perspektif siroh, sila ini sejajar dengan
makna Iqomatu ad-Daulah (Penegakan Negara), periode ini berlangsung
sejak tahun kesepuluh kenabian hingga tahun pertama Hijrah. Inilah fase yang
selanjutnya harus kita lewati guna menyatukan kembali entitas kebangsaan kita. Jika
menilik perjuangan Rasulullah, maka pada periode ini memang berlangsung sangat
singkat. Ini adalah periode transisi yang sangat penting dan menentukan masa
depan suatu bangsa.
Barangkali, proses inilah yang belum dilewati oleh
bangsa ini, atau malah terlewati dengan cara yang kurang tepat. Memang ada
Bhineka Tunggal Ika sebagai pemersatu entitas
yang berbeda bagi Indonesia,
namun layaknya suatu negara yang penuh dengan entitas, maka proses menuju
persatuan bukanlah suatu hal mudah. Jika belajar dari sejarah dan konteks masa
kini, isu disintegrasi bangsa selalu hangat (bahkan panas), serta telah memakan anak bangsa dalam jumlah yang sangat
banyak. Ini adalah bukti kegagalan kita menerapkan sila ketiga. Tentunya
hal ini tak terlepas dari kegagalan
penerapan sila pertama dan kedua, serta tidak sistematisnya kita dalam memahami
Pancasila.
Pada periode ini, dalam konteks siroh nabawiyah, Rasulullah para
sahabat memperkuat struktur kenegaraannya. Sebetulnya, Indonesia sangat beruntung karena simpul persatuan itu
lebih banyak daripada simpul-simpul yang digunakan Rasulullah. Namun, jika
kita menilik sejarah, justru simpul-simpul ini dirusak oleh pemerintah dengan dalih yang
kontradiktif yaitu penegakan Negara. Korban terbesar perusakan
ini adalah mereka yang telah
berhasil melalui proses pertama dan kedua: pelurusan aqidah dan perbaikan akhlaq.
Akibatnya, hingga saat ini, kita
kekurangan sumber daya untuk menegakkan negara. Memperbanyak sumber daya yang akan menjadi simpul persatuan, yaitu
mereka yang berqidah lurus dan berakhlak mulia adalah rekomendasi
yang mungkin dilakukan.
Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan. Sila ini sangat tepat disandingkan dengan proses keempat dalam konteks siroh nabawiayah, yaitu Ad-Daulah wa Tastbiti Da’a’miha (Negara dan Penguatan Pilar-Pilarnya). Jika dalam
sejarah pilar negara madinah adalah piagam madinah, bangunan masjid dan
persaudaraan Muhajirin dan Anshor, maka
sebenarnya yang paling asasi dan yang ingin dibangun oleh Rasulullah adalah
suatu sistem yang mulia, yaitu sistem syuro. Sebetulnya, Indonesia juga telah menegaskan hal ini, sistem syuro, sebagai sistem yang akan
digunakan dalam pengelolaan negara. Usaha ini seharusnya tidak berhenti pada
simbol yang tercantum dalam sila keempat Pancasila ini, tetapi harus merasuk
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila
ini merupakan gambaran tujuan dari
eksistensi kita sebagai negara yang akan memberikan kesejahteraan bagi seluruh
rakyatnya. Jika dalam siroh nabawiyah, periode kelima ini dinamakan Intisyaru ad-Da’wah fi al-Ardhi (ekspansi dakwah ke seluruh permukaan bumi). Hal
ini memang sesuai dengan watak islam sendiri yaitu universal. Periode kelima ini harus dimaknai sebagai pemerataan
kesejahteraan di seluruh aspek dan wilayah geografis negara. Ketidakmerataan kesejahteraan yang kita temukan hari ini,
merupakan suatu tantangan yang menunjukkan bahwa proses yang harus kita lalui
sebagai bangsa masih sangat panjang.
Epilog
Terakhir,
perlu dipahami bahwa dialog ini bermaksud untuk menyadarkan kita betapa semua
pihak bertanggungjawab dalam menegakkan eksistensi kita sebagai suatu
bangsa. Di samping itu, pemahaman
Pancasila sebagai suatu periode perjuangan sangat penting agar terjadi fokus
agenda dan kejelasan target dalam aktivitas kebangsaan, baik politik, hukum
maupun ekonomi.
Perlu
adanya analisis yang mendalam dan ketegasan atas periode yang telah kita
lewati, karena periodisasi perjuangan itu adalah suatu keniscayaan.
Jika kita terus larut dalam permasalahan dan memandangnya secara parsial, otomatis
kebijakan untuk menanggulangi permasalahan itu pun akan sporadis, tidak
efisien, dan bahkan kontraproduktif. Sekali
lagi, belajar dari sejarah, marilah kita menegakkan eksistensi negara ini
dengan paradigma Pancasila yang komprehensif.
Wallahualam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar