26 Mei 2015

Melawan Pembodohan! Sebuah Cerita dari Moro-Moro

Oleh: Dharma Setyawan
Peneliti Sai Wawai Institute Kota Metro dan Komunitas Cangkir Kamisan,
Pegiat Forum Diskusi Kultural Lampung

Sedih sekali saya mendengar kawan-kawan SD Moro-Dewe mulai minggu depan harus bersekolah di sekolah induk yang jaraknya 20 kilo meter. Induknya yang lama masih di Tulang Bawang Barat, seluruh usaha telah dilakukan, advokasi lewat KOMNAS HAM, membuat film kampanye, demonstrasi. Dukungan media lokal, nasional bahkan asing belum juga mengubah keputusan Bupati. Saya mendapat kabar, inilah pilihan terbaik yang dapat ditempuh karena anak-anak akan segera ujian, kalau mereka tidak mengambil langkah ini, mereka tak bisa naik kelas. Masyarakat patungan untuk menyewa mobil Truk mengantar jemput anak-anak tersebut sekolah” 

Kata-kata di atas adalah pesan yang muncul dari seorang kawan—sengaja disamarkan namanya—di group Komunitas Cangkir Kamisan yang mengabarkan berita duka pendidikan di kawasan Moro-Moro Mesuji. Penulis cukup memahami kesedihan kawan tersebut. Beliau kami ketahui sebagai orang yang lama hidup membersamai masyarakat yang tidak kunjung usai dihantam badai kekuasaan yang pongah. Sejak  masih menempuh kuliah sarjana politik semester akhir di Lampung, beliau memilih datang sendirian di daerah konflik tanah yang telah banyak memakan korban tersebut. 

Terhitung 11 Tahun Beliau terus berjuang bukan hanya soal membantu mengadvokasi tanah warga tapi juga hak politik, membersamai hidup bersama warga, mendampingi mereka untuk solid berorganisasi dan sampai dirinya menempuh Doktor, tetap setia berkunjung ke Moro-Moro, sebuah entitas masyarakat yang tidak ada hubungan darah sedikitpun.

Penulis menyaksikan sendiri saat Beliau mengajak bersama kawan-kawan Cangkir Kamisan untuk mengadvokasi pendidikan yang akan ditutup oleh Bupati Khamamik. Sekolah yang didirikan dari tangan warga sendiri, sebuah bangunan yang sebenarnya tidak layak umumnya untuk sarana pendidikan di sebuah negara yang sudah merdeka 60 tahun. Jauh sebelum itu, beliau juga adalah seorang aktivis sebuah organisasi pergerakan progresif- yang fokus membela rakyat atas tanah. 

Warga Moro-moro adalah warga yang mendiami lahan Register 45 dan mengalami konflik vis-a-vis dengan perusahaan. Ribuan orang begitu merindukan Bung tersebut, yang terhitung 7 bulan tidak menengok mereka karena sibuk membangun rumah bersama di Komunitas Cangkir Kamisan.

Penulis tertegun mendengar seorang kakek tua, yang sejak tahun 1997 mulai datang di kawasan tersebut berucap,’’Bung—memanggil sang Kawan—kok lama gak datang ke sini? Kami tidak tenang kalau lama gak dikunjungi.” Penulis cukup memahami beban psikologis ribuan warga Moro-moro yang hidup di negara merdeka tapi tidak memiliki hak atas tanah, Kartu Tanda Penduduk dan terakhir diancamnya pendidikan anak-anak oleh penguasa lokal. 

Penulis tidak ingin terlalu jauh membahas konflik tanah yang sudah lama menjadi alat kepentingan kekuasaan. Kini kita semua dihadapkan pada kekuasaan yang jelas-jelas melakukan upaya pembodohan struktural terhadap keturunan warga Moro-moro. Dalam hal ini, kekuasaan punya kepentingan memecah belah kesolidan rakyat yang selama ini berjuang mandiri mendirikan sekolah tanpa dibantu pemerintah. 

Pemerintah bukannya berterimakasih kepada rakyatnya. Mereka justru berupaya menutup sekolah. Ketakutan Bupati sangat beralasan karena sangat mungkin kecerdasan anak-anak Moro-Moro kelak dapat mengancam perusahaan dan kekuasaan.

Nelson Mandela berucap,”pendidikan adalah alat yang sangat efektif mengubah dunia”. Ternyata, negara ini tak kunjung siuman memaknai pentingnya pendidikan sebagai kekuatan membangun bangsa dan negara. Bupati Mesuji mungkin juga seorang terpelajar. Maka dari itu, setidaknya dia juga mesti memahami bahwa seorang calon pemimpin harus menempuh pendidikan. Bahwa apa yang dia dapat hari ini menjadi seorang pemimpin adalah proses panjang pendidikan yang ditempuh dari lapangan formal dan non-formal. Lalu, emosi kita semua kemudian bangkit dan me;ledak dengan kebijakan bupati yang menutup sekolah. Ini jelas bertentangan Pasal 31 Undang-undang yang menyatakan bahwa pada dasarnya hak semua warga.

Filsuf Muslim Hassan Hanafi dalam bukunya, Dari Akidah ke Revolusi menyatakan bahwa,”kebodohan kadangkala tercermin pada sikap tidak mengenal diri sendiri dan kesadaran sejarah yang kita jalani, tidak adanya program nasional yang dicita-citakan rakyat, memintarkan rakyat serta membangun pondasinya, hingga akhirnya mereka hanyalah sebuah bola hampa tanpa tahu tradisi dan kesadaran sosial.”

Segala macam usaha telah dilakukan. Baik dengan membuat film dokumenter yang diputar di 40 kota dan 5 negara, meluncurkan petisi pihak kementrian pendidikan dan kehutanan, melakukan demonstrasi, melapor ke KOMNAS HAM, dan menjual kaos untuk pendidikan anak Moro-Moro, menggalang dana. Namun, semuanya tetap tidak mengetuk hati sang Bupati. Negara jelas absen dengan persoalan ini. Namun kami tidak menyerah, kami akan memproduksi film lanjutan sebagai sebuah perlawanan mengabarkan kepada dunia tentang nasib pendidikan anak-anak Mesuji. 

Terakhir, radio SBS australia mewawancarai seorang kawan tersebut tentang ekslusi pendidikan warga Moro-Moro. semoga ikhtiar ini disambut oleh banyak kalangan untuk menggugat Bupati Mesuji dan tidak menutup sekolah SD Moro-Dewe. 

Penulis ingin menutup tulisan ini dengan ucapan Bung Karno,”Orang tidak bisa mengabdi kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia, Tuhan bersemayam digubuknya si miskin.”. Selamatkan pendidikan anak Moro-Moro. 

***Sekilas tentang Pendidikan di Moro-Moro, Mesuji dapat dilihat pada tautan berikut:




courtesy of Youtube. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar