3 Juli 2015

Setiap Hari adalah Ramadan, Setiap Malam adalah Lailatul Qadar

Ahmad Rizky M. Umar

Ramadhan adalah bulan pelatihan. Setidaknya, itulah yang sering dicerasa-dmahkan oleh para Khatib dan penceramah di berbagai Mesjid di Bulan Ramadhan ini. Rasulullah bersabda, man shaama Ramadhaana imaanan wahtisaban ghufiralahu maa taqaddama min dzanbihi. Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan dengan keimanan dan penuh perhitungan, diampuni oleh Allah dosa-dosa sebelumnya.

Maka, berlomba-lombalah kita untuk berpuasa di bulan Ramadhan, disertai dengan ibadah-ibadah yang menjadi ‘tradisi’ di bulan ini: tadarrus, i’tikaf, dan berbagai amal ibadah lain.

Tetapi bayangkanlah jika semua bulan adalah Ramadhan. Dan setiap malam adalah Lailatul Qadar. Mungkinkah kita beribadah?

Pertanyaan saya mungkin sedikit sufistik, tetapi memberikan sebuah refleksi: jika kita jadikan Ramadhan sebagai bulan untuk melatih diri, menahan diri dari segala macam hawa nafsu,mungkin ibadah kita tidak lagi dimaknai sebatas ritus. Karena setiap harinya adalah Ramadhan, dan setiap malamnya adalah Lailatul Qadar.


*******

Syahdan, Imam al-Ghazali pernah membagi puasa ke dalam tiga jenis: puasa orang awam,khawwas, dan khawwasul khawwas. Pertama, puasa awwam, puasa orang biasa. Puasa dalam tipologi ini oleh Al-Ghazali disebut hanya dengan menahan lapar, dahaga, dan syahwat. Selebih itu tidak ada. Tidak ada nilai samping yang diperoleh dari puasa.

Kedua, puasa khawwas, puasa orang-orang yang shalih. Puasa jenis ini bukan sekadar menahan lapar, tetapi juga ditambah ditambah dengan menjaga lisan, pandangan dan telinganya dari apa-apa yang tidak disukai Allah. Kerangka niat ikhlas dipasang ketika berpuasa. Jenis puasa ini mendapatkan pahala yang lebih daripada kategori pertama.

Ketiga, puasa khawasil khawwas. Seseorang berpuasa dengan menyertakan diri untuk menjaga hati dan kerangka berpikirnya dari penyakit hati. Sehingga, puasa jenis ini meniadakan sesuatu yang berasal dari selain Allah, juga menjadikan puasa sebagai kerangka taqarrub ilallah dari segala bidang. Puasa ini menjadikan dirinya berada di titik nol, untuk kemudian meneruskannya menjadi orang yang taqwa.

Saya ingin memberikan pemaknaan yang sedikit berbeda terhadap konsepsi al-Ghazali ini. Seringkali, puasa kita maknai sebagai ‘ritus ibadah’ di bulan Ramadhan atau hanya dalam konteks hablun minallah. Sisi-sisi sosialnya terlewatkan. Padahal, jika kita percaya bahwa bulan Ramadhan adalah bulan Pelatihan, kita mungkin akan merefleksikan puasa dalam konteks sosial.

Puasa awam sering dimaknai dalam konteks ‘berpuasa yang hanya mendapatkan lapar dan dahaga’. Mungkin bisa juga kita maknai demikian: berpuasa yang hanya dimaknai dalam konteks ibadah mahdhah. Mungkin banyak di antara kita yang berpuasa, tetapi di media sosial masih saja membagikan informasi-informasi yang hoax, tanpa terverifikasi, atau malah menjelek-jelekkan orang lain. Menjatuhkan orang lain

Puasa khawwas mungkin lebih baik: berpuasa dengan menahan diri dari aktivitas-aktivitas sosial yang meresahkan orang lain. Menahan diri dari merugikan orang lain, menjaga lisan dari perkataan yang tidak baik. Berpuasa dengan menahan diri

Puasa khawwasul khawwas, jika meminjam istilah al-Ghazali, adalah puasa yang dirangkai dalam bentuk kesadaran kita sebagai seorang manusia dan bagian dari masyarakat secara keseluruhan. Artinya, berpuasa bukan hanya menahan diri dari perbuatan yang tercela danmembatalkan puasa, tetapi juga menjadikan diri pada ‘titik nol’. Berpuasa adalah menegasikan diri sehingga kesadaran diri kita hanyalah pada Allah.

********

Tetapi mungkin tafsiran semacam itu cukup berat. Mungkinkah kita meniadakan diri kita dan menyerahkan eksistensialitas diri kita kepada Allah semata?

Saya mungkin ingin merefleksikan secara lebih ‘moderat’: mungkin jika kita tidak mampu untuk menjadi seorang yang ‘total’ menjadi hamba Allah, mungkin ada baiknya kita merefleksikan sebuah hadits yang cukup popular: khairunnas ‘anfa’uhum linnas.

Menjadi hamba Allah, dalam konteks sosial, adalah menjadikan diri kita bermanfaat bagi orang lain. Ini saja sudah tidak mudah. Menjadikan diri kita bermanfaat bagi orang lain, dalam maknanya yang paling radikal, adalah menceburkan diri dalam aktivitas-aktivitas perbaikan terhadap masyarakat.

Artinya, berpuasa berarti melatih diri kita untuk meniadakan diri kita dan mendedikasikan diri kita untuk memperbaiki masyarakat. Ini tidak mudah, tetapi sebagai aktivis (mahasiswa ataupun yang bukan mahasiswa) ini mesti dipelajari. Menjadikan diri kita bermanfaat berarti bersifat kritis terhadap bentuk-bentuk ketidakadilan yang ada di masyarakat dan melibatkan diri pada aktivitas pemberdayaan terhadap masyarakat.

Inilah esensinya ‘setiap hari adalah ramadhan’: Setiap hari, sebagai seorang manusia, kita dituntut untuk belajar dan berlatih diri dalam masyarakat. Sebagai seorang individu, kita belajar dan berlatih untuk menahan diri dari aktivitas-aktivitas yang merugikan orang lain. Sebagai seorang hamba Allah, kita belajar untuk berbuat baik terhadap sesame manusia dan sesama ciptaan Allah, serta kritis terhadap orang-orang yang zalim terhadap sesama manusia  dan sesama ciptaan Allah.

‘Setiap malam adalah Lailatul Qadar’. Setiap malam adalah momentum untuk muhasabahdan menyerahkan pengabdian kepada Allah. Artinya, aktivitas kita dalam berbuat baik terhadap sesama manusia tidak sepantasnya diukur hanya dari ukuran-ukuran material keduniaan. Walaupun dalam konteks manfaat, kita harus mengerahkan segala macam upaya untuk menjadikan aktivitas kita bermanfaat, tujuan akhirnya ditujukan kepada Allah. Apresiasi materiil keduniaan yang kita terima, seperti uang, mungkin hanya efek. Ia bukan tujuan yang mendeterminasi keterlibatan kita dalam membangun masyarakat.

Mungkin ini yang dimaksud dengan keikhlasan. Tentu saja tidak mudah. Namun, ia perlu pelatihan dan pembelajaran. Pada titik inilah Ramadhan menemui momentumnya: ia memberikan kita paket pelatihan satu bulan penuh untuk menjadi hamba yang bermanfaat kepada orang lain dan ikhlas dalam berkiprah. Tentu saja, karena ia hanya pelatihan, ia perlu dijadikan kontinyu, berkelanjutan, terus-menerus setiap waktunya.

Dan mungkin dari sini kita bisa merefleksikan: jika setiap hari adalah Ramadhan, dan setiap malam adalah Lailatul Qadar, kita mendedikasikan diri kita untuk pembelajaran dan pelatihan. Setiap momentum hidup kita adalah momentum belajar. Belajar untuk mengubah diri kita dan masyarakat menuju sesuatu yang lebih baik. Dengan kata lain: hidup kita dedikasikan untuk menjadi insane yang bertaqwa, yaitu insan yang secara pribadi konsisten ‘menahan diri’ dari hawa nafsu dan secara sosial mampu terlibat secara organik dalam pelbagai bentuk transformasi sosial! Dan taqwa, dalam bahasa ini, adalah ‘garis finish’ yang mungkin, secara tidak sadar, bisa kita raih jika kita istiqomah.

Karena setiap hari adalah Ramadhan, dan setiap malam adalah Lailatul Qadar, mungkin kita bisa mengatakan: setiap aktivitas kita sudah semestinya mengarah pada transformasi sosial.

Wallahu a’lam bish shawwab.

**) Corat-coret ini dimaksudkan untuk bahan “diskusi” sebelum berbuka puasa bersama teman-teman HMI MPO Cabang Sleman di Tamansari, Yogyakarta, 28 Juni 2015. Beberapa bagian dari tulisan ini muncul dalam buku perdana penulis, Puasa dan Transformasi Sosial (Pustaka Saga, 2015). 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar