4 Juli 2015

Menimbang Gerakan Berbasis Komunitas

Gading EA
Penulis buku "Menjaga Nafas Gerakan", Pegiat Pusat Studi Globalisasi dan Gerakan (PUSGLORA) Surabaya

“Mahasiswa ke mana?” Itulah pertanyaan yang terlontar dari beberapa kalangan terkait aktivitas pergerakan mahasiswa era sekarang yang dianggap tidak lagi mewadahi aspirasi masyarakat. Apakah dugaan bahwa pergerakan mahasiswa sedang lesu itu benar? Atau sebenarnya gerakan mahasiswa sedang bertransformasi ke bentuk yang lain? Jika memang telah bertransformasi, apakah itu akan menjadi pola gerakan baru yang bertahan dalam waktu panjang, atau hanya tren sesaat yang akan padam dalam waktu dekat?

Beberapa bulan belakang, Pusat Studi Globalisasi dan Gerakan (PUSGLORA) memiliki concern untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas. Selain melakukan diskusi secara internal, kami juga telah berdialog dengan beberapa pihak eksternal, baik bertemu secara langsung maupun via media sosial (chatting). Kesimpulan yang bisa kami ambil sejauh ini adalah, mulai maraknya gerakan-gerakan sosial berbasis komunitas yang mulai menggeser minat aktivis mahasiswa untuk berkiprah di organisasi formal–intra kampus maupun ekstra kampus.


Sejarah
Sekarang, mari kita tinggalkan istilah organisasi formal dan gerakan sosial. Di internal PUSGLORA kami lebih suka menyebutnya sebagai Gerakan Modern dan Gerakan Pos-Modern.

Organisasi formal intra kampus seperti BEM, DPM, LDK, maupun  ekstra kampus seperti KAMMI, IMM, HMI, dll. kami sebut sebagai gerakan modern karena munculnya adalah di era berkembangnya modernisme dari Eropa. Ciri utama gerakan ini adalah organisasi yang terstruktur, memiliki –semacam- AD/ART atau aturan internal, program kerja jelas, dan lebih permanen. Di Indonesia, organisasi modern muncul pertama kali ketika zaman pergerakan, seperti Syarikat Islam, Budi Utomo, serta Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Gerakan modern di kalangan mahasiswa yang pertama kali muncul pasca-kemerdekaan adalah Himpunan Mahasiwa Islam (HMI) pada tahun 1947, kemudian Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) pada tahun 1953, setelah itu disusul organisasi ekstra yang lain. Seiring berjalannya waktu muncul bentuk organisasi lain, khususnya intra kampus dalam bentuk Pemerintahan Mahasiswa (Student Government), seperti Senat Mahasiwa (SM), lalu berganti menjadi Dewan Mahasiswa (Dema), hingga bentuk paling terbaru adalah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) –dengan berbagai organisasi turunannya.

Lalu bagaimana dengan gerakan dengan skema Komunitas ini?

Sejauh yang bisa kami amati, awal mulai kebangkitan gerakan sosial berbasis komunitas atau pos-modern adalah sejak Anies Baswedan mendirikan Gerakan Indonesia Mengajar pada tahun 2009. Mungkin Indonesia Mengajar bukan yang pertama, tetapi sejak saat itu gerakan-gerakan serupa –bahkan banyak yang lebih praktis- mulai menjamur di kalangan aktivis mahasiswa. Ciri utama dari gerakan ini adalah tidak memiliki bentuk baku, struktur organisasi hampir tidak ada kecuali hanya struktur sederhana, tidak ada aturan yang mengikat, program kerja satu atau dua dan biasanya sangat aplikatif, serta jangka waktu yang fleksibel.

Jika harus menyebutkan contohnya satu-persatu, akan sangat banyak. Sejauh yang saya tahu ada di Surabaya misalnya FLAC, Kelas Matahari, FFI, Kelas Inspirasi, Sebung, Kampus Peduli, dll. Ada di antara gerakan-gerakan tersebut yang masih eksis, ada juga yang sudah tidak aktif. Gerakan pos-modern memang bisa dibentuk dan dibubarkan sewaktu-waktu, karena tidak ada sesuatu yang membuat mereka bertahan kecuali keinginan dan kesanggupan anggotanya. Apalagi sekarang ada juga gerakan yang basisnya adalah media sosial. Aktivitasnya ada, meskipun secara ragawi mereka tidak pernah bertemu di dunia nyata. Ketika ada musibah misalnya, mereka mampu menggalang dana sekian juta, setelah itu menghilang tak berbekas. Saat ada musibah lagi, mereka muncul kembali, dan seterusnya.

Pilihan

Dulu, untuk bergerak orang harus bergabung di gerakan modern, karena itu adalah satu-satunya cara bisa berkontribusi secara sosial. Pada zaman itu pilihan bergerak terbatas. Tidak sembarang orang bisa berkumpul lalu mendirikan gerakan, kalau tidak memiliki basis massa atau ideologi yang kuat. Selain itu keterbatasan alat komunikasi membuat komunikasi jalur formal dengan surat atau pamflet lebih realistis untuk ditempuh. Berbeda dengan era kebebasan hari ini, setiap orang boleh mendirikan gerakan, hampir tidak ada pembatasan aktivitas, dan teknologi komunikasi sudah semakin pesat.

Meskipun para aktivis yang tergabung di gerakan pos modern tidak secara langsung meninggalkan gerakan modern mereka, tapi nyambi aktif di gerakan pos-modern menjadi pilihan menarik. Apalagi beberapa tahun belakangan, ketika beban akademik semakin berat, sedangkan “karir” di gerakan modern dianggap terlalu lama (harus menunggu per-satu tahun untuk naik posisi), gerakan pos modern yang lebih egaliter menjadi alternatif utama.

Selain itu, seolah ada tren tak tertulis, “hari ini zamannya action”. Jadilah paradigma gerakan “yang penting action” itu muncul. Program-program yang muncul dari gerakan pos-modern pun unik, ada yang hanya mengajar, hanya bagi-bagi, hanya kampanye, dan hanya-hanya yang lain. Bagi mahasiswa yang study oriented pun jenis gerakan seperti ini masih terjangkau untuk diikuti. Sehingga muncul lah yang kami sebut sebagai “Kelas Aktivis Baru”, yakni mereka yang secara tradisional bukan aktivis, tapi tertarik melibatkan diri dalam gerakan setelah melihat aktivitas gerakan pos-modern yang simpel dan tidak ribet tadi.

Jika ada yang berkata kalau hari ini jumlah aktivis mahasiswa turun, bisa jadi itu kurang tepat. Bahkan mungkin jumlahnya bertambah. Yang berkurang adalah proporsi mahasiswa yang aktif di gerakan modern, di mana sebagiannya berpindah ke gerakan pos-modern. Sedangkan yang awalnya sama sekali tidak terlibat gerakan, memutuskan bergabung ke gerakan pos-modern. Sehingga jika parameternya hanya yang terlibat di gerakan modern memang terlihat lebih sedikit, tapi kalau ditotal bisa lebih banyak. Untuk jumlah pastinya masih memerlukan riset lebih lanjut. Ilustrasi bisa lihat gambar.

Ilustrasi 'Demografi' Aktivis MahasiswaIlustrasi 'Demografi' Aktivis Mahasiswa

Dampak

Kita bisa memaknai pos-modern dari dua sudut pandang (ada yang mengatakan tiga): pertama, pos-modern sebagai perlawanan terhadap modernisme. Pendapat pertama ini memiliki konsekuensi bahwa mereka yang bergerak atas nama pos-modernisme berarti sedang menentang otoritasi Eropa/Barat atas klaim modern, yang dampaknya dilapangan adalah suatu gerakan yang lebih sporadis bahkan sampai menegasikan adanya otoritas tertentu yang menjadi pakem sebuah gerakan. Para Punkers di Amerika bisa dikategorikan sebagai pelaku gerakan pos-modern model ini, karena budaya Punk itu sebagai perlawanan terhadap kemapanan dan kapitalisme yang ada di lingkungan mereka.

Pendapat kedua, pos-modern sebagai kelanjutan (post berarti setelah) dari modernisme. Pendapat ini tidak memposisikan pos-modernisme sebagai paham perlawanan, melainkan bentuk lain dari modernisme yang pernah berkembang. Modernisme berubah bentuk karena zaman menghendakinya berubah. Mereka yang awalnya berkecimpung di gerakan modern, lalu merasa bahwa gerakan tersebut tidak relevan, memutuskan untuk beralih ke gerakan pos-modern yang lebih diminati masyarakat dan sesuai perkembangan zaman. Apalagi sekarang pemerintah lebih menghargai gerakan seperti ini, yang lebih kooperatif kepada program-program pemerintah daripada gerakan modern yang konfontratif.

Antara dua pendapat tadi, tampaknya pendapat kedua yang lebih mewarnai gerakan pos-modern hari ini. Ciri-ciri pos-modernisnya memang masih sama, seperti gerakannya yang sporadis, tidak memiliki pakem gerakan tertentu; hanya saja mereka tidak memiliki muatan perlawanan terhadap sistem yang sudah established. Bahkan gerakan semacam ini justru dipelihara oleh sistem karena tidak berpotensi menimbulkan gangguan.

Salah satu lubang yang timbul dari bentuk gerakan pos-modern adalah tidak adanya proses ideologisasi yang mewarnai perjalanan gerakan. Mereka hanya mengenal nilai (value) yang melandasi geraknya, misal nilai kejujuran, saling tolong menolong, dan nilai-nilai praktis lain. Hal ini juga mempertegas era matinya ideologi. Ideologi menjadi hal yang tidak lagi menarik diperbincangkan oleh gerakan-gerakan tersebut karena terkesan melangit dan tidak praktis. Karena banyak yang berpendapat bahwa hari ini adalah eranya action.

Memutuskan

Bagi mereka yang tidak lagi membahas ideologi, berarti ada dua kemungkinan: pertama, dia memang sudah selesai masalah diskurus ideologi, bahkan sudah memilih, sehingga merasa tidak perlu lagi membahasnya. Atau, kedua, dia tidak menyadari bahwa dirinya sedang berpijak pada ideologi tertentu dan memperkuatnya. Kira-kira mana yang sekarang sedang dialami oleh gerakan pos-modern hari ini?

Pertanyaan berikutnya lebih mengarah pada pelaku gerakan modern yang kian hari peminatnya semakin menurun. Apakah gerakan modern perlu mengubah bentuk gerakannya menjadi gerakan pos-modern? Kalau jawabannya perlu, bagaimana caranya—mengingat dua jenis gerakan ini memiliki bentuk dasar yang berbeda? Kalau jawabannya tidak, bagaimana cara mereka menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman—dengan tetap mempertahankan bentuk dasarnya?

Pertanyaan terakhir, apakah bentuk gerakan pos-modernisme ini merupakan zaman baru atau tren sesaat? Mengingat sejauh ini belum ada bukti gerakan pos-modern yang bisa bertahan berdekade-dekade sebagaimana gerakan modern. Ataukah gerakan pos-modern trennya panjang, meskipun nama gerakannya berubah-ubah –sebagaimana organisasi tanpa bentuk (OTB) di era lampau? Pertanyaan-pertanyaan ini masih perlu kita diskusikan dan jawab bersama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar