26 Juli 2015

Transformasi Puasa untuk Kaum Mustad’afin


KATA PENGANTAR  
untuk Buku Ahmad Rizky M. Umar, Puasa dan Transformasi Sosial (Pustaka Saga, Surabaya, 2015)
 
“Ramadhan juga perlu menjadi sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat atas dirinya, serta pemenuhan hak-haknya yang gagal diberikan oleh sistem kapitalisme yang predatoris. Inilah relevansi Islam Transformatif untuk memberikan tawaran jawaban atas hal tersebut” 
(Ahmad Rizky Mardhatillah Umar)

Pertama kali mulai mengaji ilmu di Jogja 2011, saya bertemu dengan Umar (panggilan akrab penulis, ed.). Tidak banyak yang spesial dari kawan yang berasal dari Kalimantan Selatan ini , kecuali mungkin kesukannya terhadap musik melayu, tulisan, dan, terutama narasinya yang selalu hidup. Banyak tulisannya yang bertebaran di beberapa Jurnal dan media massa (online dan cetak, nasional dan lokal) yang memberi perspektif menarik, wa bil khusus dalam persoalan politik dan sosial. 

Bersama beliau, saya sempat terlibat menghidupkan Forum Diskusi Kultural (lihat www.kammikultural.org). Sebuah ikhtiar untuk membangun gagasan-gagasan transformatif di tubuh organisasi yang berusia 17 tahun, serta menjaga narasi sederhana untuk tidak terseret arus politik yang begitu hedonis. Usaha ini didukung oleh jaringan kawan-kawan di Jakarta, Lampung, Jogja, Solo, Malang, Surabaya, hingga di daerah lain yang berusaha menjaga nyala api gerakan mahasiswa Islam dengan cara yang sangat sederhana: menulis. Saya senang sekali ketika mendengar Umar akan melanjutkan studi pascasarjananya.


Buku perdana yang ditulisnya ini sangat menarik dan memberikan pemaknaan yang mendalam atas praktik keagamaan kita di Bulan Ramadhan yang telah hanya menjadi ‘ritualisme’, bukan semacam ‘realisme’ yang membebaskan. Di buku ini, Umar keluar dari pakem pemikir aktifis muslim yang berbicara agama hanya dalam tradisi tekstual. Umar membangun kesadaran dari ajaran Islam yang paling fundamental—yang acapkali dianggap selesai dalam pemaknaan umunya para agamawan berfikir. Ada sejenis gugatan terhadap tradisi beragama dan pemikiran keagamaan yang menghinggap lama dalam kehidupan Islam di Indonesia yang dialami oleh kita semua. Melalui buku ini dan tulisan-tulisannya yang lain, Umar mulai memaknai kembali kiprah dan pemikiran dari tokoh-tokoh Islam bangsa ini seperti KH Ahmad Dahlan, HOS. Tjokroaminoto, Nurcholish Madjid, Gus Dur, Kuntowijoyo, Moeslim Abdurahman, dan juga dengan sebuah keberanian. menghargai pemikiran-pemikiran Amien Rais—sosok intelektualnya sebelum bertransformasi menjadi politikus selepas Reformasi. 

Puasa dalam kerangka Islam transformatif, sebagaimana diangkat dalam buku ini, bisa menjadi diskusi yang panjang dan saling menumbuhkan untuk semakin mengasah kepekaan kita terhadap realitas sosial. Sebagai seorang yang hidup di kota kecil Metro Lampung ini, saya menyadari perdebatan-perdebatan keagamaan kita harus juga didaratkan terhadap masalah sosial yang berkelindan di sekitar kita. Misalnya, sebagai seorang muslim, kita dituntut untuk menampilkan nuansa Islam yang peduli terhadap penindasan—kasus masyarakat Samin Vs Semen di Rembang Jawa Tengah, Konflik Tanah dan pendidikan di Moro-moro, Mesuji Lampung, Reklamasi Teluk Benoa di Bali, serta masalah-masalah lain yang tentu saja merupakan bagian dari realitas kita sebagai bangsa Indonesia. 

Puasa dalam dimensi sosial mengajarkan kita untuk merasakan—lebih peka—terhadap kaum mustad’afin yang selama ini termarjinalkan oleh struktur kapitalisme yang menindas. Kritik Umar menarik bukan hanya pada tuduhannya untuk memberi penyadaran untuk melawan kapitalisme global, tapi juga mengkritik praktik struktur Agama yang tidak membangun kesadaran “bergerak”. Dalam hal ini, wajah Ormas, Partai, Lembaga Negara berwajah Islam patut dicurigai sedang kehilangan ‘api’ bahkan menikmati ‘debu’ ketidaksadarannya untuk membela mereka yang tertindas. 

Puasa seyogyanya membangun kesadaran kultural untuk menegakkan dua perkara penting, yang bisa saya sebut sebaga ‘Sholat Sosial” dan “Zakat Pembebasan”. Sholat Sosial adalah kesadaran untuk bergerak bersama, berjamaah dalam berpikir, sujud saling menyadari penindasan di lingkup sosial kita yang harus diselesaikan secara komprehenshif. Kesadaran ini bukan hanya terletak pada lapangan politik, atau kerja-kerja keduniaan yang hanya memberi kenikmatan sesaat. Adapun “zakat pembebasan adalah sikap untuk mengeluarkan harta kita untuk membangun pemberdayaan ummat, mencerdaskan kesadaran ummat dengan melepaskan cangkang egonya masing-masing. 

Membongkar tradisi dan membangkitkan gerakan/pemikiran Islam transformatif memang tidak semudah yang dibayangkan. Akan tetapi, Umar menarasikan dua kemungkinan yaitu Pengetahuan dan pengorganisasian. Pengetahuan adalah kerja-kerja yang butuh kesabaran kultural. Maka menulis, diskusi menjadi bagian penting pengetahuan dapat diradiasikan. Sedangkan pengorganisasian membutuhkan lapangan sosial yang bisa jadi berbeda-beda. Kesetiaan kita semua—walaupun berbeda lapangan sosial—untuk membela mereka yang terpinggirkan akan menemukan muara yang sama yaitu Islam yang transformatif. 

Artinya, aktivis-aktivis muslim juga perlu membangun dan mengombinasikan tradisi “intelektual kolektif” --sebagaimana disebut sosiolog Perancis Pierre Bourdieu-- dengan gerakan transformatif lainnya untuk membela mereka yang tertindas. 

Semoga buku ini bisa membangun kesadaran kolektif bagi kita semua untuk setia belajar untuk menggapai pengetahuan, dan setia bergerak untuk mengasah pengorganisasian di level apapun. Saya tutup tulisan ini dengan tagline Majelis Cangkir Kamisan,”Semua orang adalah guru dan semua tempat adalah sekolah”. Selamat membaca dan segeralah menjadi muslim yang transformatif!

Dharma Setyawan
Pendiri  Majelis Kamisan Cangkir, Metro dan Dosen STAIN Lampung
Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural

7 komentar: