KATA PENGANTAR
untuk Buku Ahmad Rizky M. Umar, Puasa dan Transformasi Sosial (Pustaka Saga, Surabaya, 2015)
“Ramadhan
juga perlu menjadi sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat atas dirinya,
serta pemenuhan hak-haknya yang gagal diberikan oleh sistem kapitalisme yang
predatoris. Inilah relevansi Islam Transformatif untuk memberikan tawaran
jawaban atas hal tersebut”
(Ahmad Rizky Mardhatillah Umar)
Pertama
kali mulai mengaji ilmu di Jogja 2011, saya bertemu dengan Umar (panggilan akrab penulis, ed.). Tidak banyak yang
spesial dari kawan yang berasal dari Kalimantan Selatan ini , kecuali mungkin kesukannya terhadap
musik melayu, tulisan, dan, terutama
narasinya yang selalu hidup. Banyak tulisannya yang bertebaran di beberapa
Jurnal dan media massa (online dan cetak,
nasional dan lokal) yang memberi perspektif menarik, wa bil khusus dalam persoalan politik dan
sosial.
Bersama beliau, saya sempat terlibat menghidupkan Forum Diskusi Kultural (lihat www.kammikultural.org). Sebuah ikhtiar untuk membangun gagasan-gagasan
transformatif di tubuh organisasi yang
berusia
17 tahun, serta menjaga narasi
sederhana untuk tidak terseret arus politik yang begitu hedonis. Usaha ini didukung oleh jaringan kawan-kawan di Jakarta,
Lampung, Jogja, Solo, Malang, Surabaya,
hingga di daerah lain yang berusaha menjaga nyala api gerakan mahasiswa Islam dengan cara
yang sangat sederhana: menulis. Saya senang sekali ketika mendengar Umar akan
melanjutkan studi pascasarjananya.
Buku
perdana yang ditulisnya ini sangat menarik dan memberikan pemaknaan yang
mendalam atas praktik keagamaan kita
di Bulan Ramadhan yang telah hanya menjadi ‘ritualisme’, bukan semacam ‘realisme’ yang
membebaskan. Di buku ini, Umar
keluar dari pakem pemikir aktifis muslim yang berbicara agama hanya dalam
tradisi tekstual. Umar membangun kesadaran dari ajaran Islam yang paling
fundamental—yang acapkali dianggap selesai
dalam pemaknaan umunya para agamawan berfikir. Ada sejenis gugatan terhadap tradisi beragama dan pemikiran keagamaan
yang menghinggap lama dalam kehidupan
Islam di Indonesia yang dialami oleh kita semua. Melalui buku ini dan tulisan-tulisannya yang lain, Umar
mulai memaknai kembali kiprah dan
pemikiran dari tokoh-tokoh Islam bangsa ini seperti KH Ahmad
Dahlan, HOS. Tjokroaminoto,
Nurcholish Madjid, Gus Dur, Kuntowijoyo, Moeslim Abdurahman, dan juga dengan sebuah keberanian. menghargai pemikiran-pemikiran Amien Rais—sosok intelektualnya sebelum
bertransformasi menjadi politikus selepas Reformasi.
Puasa
dalam kerangka Islam transformatif, sebagaimana diangkat dalam buku ini,
bisa menjadi diskusi yang panjang dan saling menumbuhkan untuk semakin mengasah
kepekaan kita terhadap realitas sosial. Sebagai
seorang yang
hidup di kota kecil Metro Lampung ini, saya
menyadari
perdebatan-perdebatan keagamaan kita harus juga didaratkan terhadap masalah
sosial yang berkelindan di sekitar kita. Misalnya, sebagai seorang muslim, kita dituntut untuk menampilkan nuansa
Islam yang peduli terhadap penindasan—kasus masyarakat Samin Vs Semen di
Rembang Jawa Tengah, Konflik Tanah dan pendidikan di Moro-moro, Mesuji Lampung,
Reklamasi Teluk Benoa di
Bali, serta masalah-masalah lain yang tentu saja merupakan
bagian dari realitas kita sebagai bangsa Indonesia.
Puasa
dalam dimensi sosial mengajarkan kita untuk merasakan—lebih peka—terhadap kaum mustad’afin
yang selama ini termarjinalkan oleh struktur kapitalisme yang menindas.
Kritik Umar menarik bukan hanya pada tuduhannya untuk memberi penyadaran untuk
melawan kapitalisme global, tapi juga mengkritik praktik struktur Agama yang
tidak membangun kesadaran “bergerak”.
Dalam hal ini, wajah
Ormas, Partai, Lembaga Negara berwajah Islam patut dicurigai sedang kehilangan
‘api’ bahkan menikmati ‘debu’ ketidaksadarannya
untuk membela mereka yang tertindas.
Puasa
seyogyanya membangun kesadaran kultural untuk menegakkan dua perkara penting, yang bisa saya sebut sebaga
‘Sholat Sosial” dan “Zakat Pembebasan”. “Sholat
Sosial”
adalah kesadaran untuk bergerak bersama, berjamaah dalam berpikir, sujud saling
menyadari penindasan di lingkup sosial kita yang harus diselesaikan secara
komprehenshif. Kesadaran ini bukan
hanya terletak pada lapangan politik,
atau kerja-kerja keduniaan yang
hanya memberi kenikmatan sesaat. Adapun “zakat pembebasan” adalah sikap untuk mengeluarkan
harta kita untuk membangun pemberdayaan ummat, mencerdaskan kesadaran ummat
dengan melepaskan cangkang egonya masing-masing.
Membongkar
tradisi dan membangkitkan gerakan/pemikiran
Islam transformatif memang tidak semudah yang dibayangkan. Akan tetapi, Umar menarasikan dua
kemungkinan yaitu Pengetahuan dan pengorganisasian. Pengetahuan adalah
kerja-kerja yang butuh kesabaran kultural. Maka menulis, diskusi menjadi bagian
penting pengetahuan dapat diradiasikan. Sedangkan pengorganisasian membutuhkan
lapangan sosial yang bisa jadi berbeda-beda. Kesetiaan kita semua—walaupun
berbeda lapangan sosial—untuk membela mereka yang terpinggirkan akan menemukan
muara yang sama yaitu Islam yang transformatif.
Artinya, aktivis-aktivis muslim juga perlu membangun dan mengombinasikan tradisi “intelektual
kolektif” --sebagaimana disebut sosiolog Perancis Pierre
Bourdieu-- dengan gerakan transformatif lainnya untuk membela
mereka yang tertindas.
Semoga
buku ini bisa membangun kesadaran kolektif bagi kita semua untuk setia belajar
untuk menggapai pengetahuan, dan setia bergerak untuk mengasah pengorganisasian
di level apapun. Saya tutup tulisan ini dengan tagline Majelis Cangkir
Kamisan,”Semua orang adalah guru dan semua tempat adalah sekolah”. Selamat
membaca dan segeralah
menjadi muslim yang transformatif!
Dharma Setyawan
Pendiri Majelis Kamisan Cangkir, Metro dan Dosen STAIN Lampung
Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural
Website anda memberi banyak manfaat terhadap perkembangan teknologi
BalasHapusTerima kasih telah berbagi
BalasHapusSaya sangat menyukai website anda dan postingan didalamnya
BalasHapusPostingan anda sangat berguna bagi saya, terima kasih
BalasHapusTerima kasih atas infonya bro
BalasHapusKunjungi website diatas ini
BalasHapusTeruslah berbagi bro
BalasHapus