30 Maret 2016

Kerangka Dinamis Menangani Konflik Organisasi: Catatan 18 Tahun KAMMI

Oleh: Anis Maryuni Ardi
Pengurus PP KAMMI 2015-2017, Mahasiswa S2 Universitas Pertahanan (UNHAN)

Delapan belas tahun bukanlah perjalanan yang mudah bagi sebuah organisasi untuk menemukan bentuk ideal. Tumbuh dalam waktu yang cukup lama memerlukan konsistensi dan persistensi dalam pengelolaannya. Basis keanggotaan yang tersebar secara meluas di berbagai kampus di Indonesia, menjadikan heterogenitas dalam organisasi ini sangat kentara. Meskipun begitu, entitas pemersatu sebagai mahasiswa muslim menjadikan visi mudah disebarluaskan. Secara struktural, pastilah akan muncul dinamika dan berbagai konflik dalam mengelola KAMMI sebagai organisasi yang independen. Melalui kesempatan ini, penulis mencoba melihat pola seni mengelola konflik yang ada pada tataran kepengurusan pusat dalam 2 (dua) periode estafet kepemimpinan.

* * *
Perbedaan pada hakikatnya bisa memberikan manfaat dan sekaligus bisa menciptakan krisis. Huruf China untuk kata krisis terdiri dua huruf yang berarti bahaya dan peluang (James & Gilliland, 2005). Akibat krisis, rnaka suatu organisasi pastilah berubah. Krisis mendorong cara-cara baru, pilihan-pilihan baru, intervensi baru dan kekuatan untuk menyelesaikan masalah. Maka harus diyakini bahwa karena krisislah suatu organisasi berkembang dengan pesat.

Mengambil kajian psiko-politik dari Platon, akar konflik dari manusia adalah berasal dari pertentangan daya (prinsip) yang ada dalam jiwa manusia dimana pertentangan prinsip ini jika tidak dikendalikan dapat menghancurkan seorang individu itu sendiri. Menurut Platon, terdapat tiga prinsip yang ada dalam jiwa manusia:

Pertama, prinsip untuk belajar (rasional) yaitu prinsip rasional yang membuat manusia kadang tidak menuruti begitu saja rasa laparnya. Padahal rasa lapar adalah sebuah tanda untuk makan. Walaupun rasa lapar ini normalnya harus dipenuhi , namun faktanya terkadang terdapat sesuatu penolakan. Che Guevara pernah menyatakan bahwa manusia bukan seonggok perut. Sesungguhnya kami rela lapar demi martabat,” Katanya.

Kedua, prinsip untuk merasa marah (thumos). Thumos bukan hanya sekedar rasa amarah semata, karena yang dimaksud adalah soal rasa marah moral dan rasa marah akan skandal moral yang dilihat. Thumos merupakan hasrat atau semangat yang meluap-luap. Dan ketiga, prinsip untuk hasrat bersenang-senang (ephitumia) yang berkaitan dengan nafsu dan keinginan, bukan kebutuhan. Untuk yang ketiga ini penulis merasa tidak perlu menjelaskannya lebih jauh.

Dalam gerakan sangat naif jika kita hanya melihat pada sisi aktivisme dan ideologisasi saja. Proses pengendalian dan penyelesaian konflik, juga merupakan ruang kerja yang jelas, bagaimana suatu kepengurusan bisa merekonsiliasi “despute” atau ketegangan yang dapat mengganggu berjalannya organisasi secara umum. Dalam kepengurusan pusat KAMMI periode 2013-2015 sempat berlangsung reintegrasi di beberapa daerah. Sampai pada periode kepengurusan 2015-2017 rekonsiliasi ini berhasil menemukan titik cerah. Artinya, kerja estafet antar periodisasi kepengurusan tidak putus dan tetap terpelihara walaupun dengan strategi kepemimpinan yang berbeda.

Pertanyaannya, bagaimana strategi PP KAMMI dalam mengelola dinamika tersebut?

Dengan adanya intervensi sosial, kata strategi merujuk pada pengertian Si Kahn, yaitu peta jalan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Untuk itu diperlukan perencanaan hingga mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Si Khan, Organizing: A guide for a grass root leaders, 1981). Untuk menjalankan strategi yang telah ditetapkan dibutuhkan suatu taktik dan aktivitas-aktivitas yang spesifik. Serangkaian kegiatan untuk pemberdayaan bagi masyarakat yang tidak diuntungkan pada suatu wilayah tertentu, secara partisipatif dengan bertumpu kepada kerangka teori dan metodologi psikologi sosial yang tepat guna. Strategi intervensi sepenuhnya diarahkan oleh visi dari intervensi.

Di tahun ke-18 ini, tren dinamika yang muncul adalah mengorganisir internal agar kepengurusan menjadi efektif dan optimal. Secara pribadi penulis melihat pasca musyawarah kerja nasional belum ada aktualisasi wacana yang mengarah pada evaluasi tegas pengurus yang dilihat dari kinerjanya. Dalam suatu tatanan struktur, adanya tata ulang (reshuffle) bukanlah sesuatu yang patut dihindari, juga dilaksanakan. Pengurus dalam konteks ini harus selesai secara ideologis dan komitmen bekerja dalam tatanan yang disepakati secara kolektif. Sebagai konsekuensi spirit jayakan Indonesia 2045, kerja kolektif harus diutamakan melalui basis kompetensi dan profesionalitas.

Dalam menjawab dinamika konflik dalam bentuk perang wacana dan potensi perpecahan, Pengurus Pusat mampu mengatasi dengan hasil yang cukup positif, namun gerakan ini tidak boleh dibesarkan oleh daya spiritualitas dan intuisi saja. Budaya sungkan untuk melakukan evaluasi tidak boleh dipelihara. Keseriusan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi tidak bisa dibenturkan dengan rasa sungkan. Struktur harus lebih artikulatif terhadap kebutuhan gerakan. Dalam berbagai persoalan, belum begitu nampak pola dinamisasi yang menonjol.

Usulan penulis adalah menciptakan sebuah sistem yang mampu mengkuantifikasi produktifitas bidang, pengurus maupun program, mekanisme evaluasi yang berkelanjutan dan pergantian ini merujuk pada sistem yang berkelanjutan. Sehingga ketika masuk dalam periode akhir kepengurusan, tidak ada missing link dalam penyelesaian tupoksi yang sudah di rencanakan melalui aktivitas-aktifitas yang spesifik. []

1 komentar:

  1. https://drive.google.com/file/d/1yiHoydNprAnPuJaSfqdLXH-P1KSWbN6X/view?usp=drivesdk

    BalasHapus