Oleh: Yusuf
Maulana
Penulis buku "Aktivis Bingung Eksis", "Konservatif Ilmiah", dll.
Nama Yahya
ibn Ishaq al-Rawandi (827-911 M)
terbilang amat asing dalam kajian filsafat Islam. Menurut Ibrahim Madkur dalam Fii
al-Falsafah al-Islaamiyyah, yang dinukil oleh A. Khudori Saleh (2014), Ibnu
Rawandi tergolong murid cerdas dalam majelis kaum Muktazilah. Sayang, Ibnu
Rawandi di kemudian hari berbalik arah menyerang kelompok lamanya itu. Tidak
hanya itu, ia pun meragukan bahkan menyerang ajaran Islam. Prinsip kenabian,
baginya, bertentangan dengan akal sehat. Demikian pula syariat-syariat yang
dibawa Islam, tidak masuk akal. Akal sudah memadai untuk menggapai kebenaran
tanpa harus melibatkan agama, sebab toh ia anugerah dari sang Maha Pencipta.
Ibnu
Rawandi begitu kesengsem pada filsafat. Filsafat, sebagaimana diyakini sebagian
orang, tak lain aktivitas mencari kebenaran tertinggi. Sayang, akal kemudian
mencampakkan keberadaan wahyu Ilahi. Melibatkan wahyu dianggap tidak keren.
Sebaliknya, mencukupkan pada akal belaka malah dipandang keren: tengah
beraktivitas bak filosof. Di kelompok inilah Ibnu Rawandi melanjutkan
kesengsemnya berfilsafat dengan memfanatiki kekuatan akalnya. Ia tidak canggung
untuk mencela habis keyakinan yang pernah dijalaninya.
Kisah
mengagumi hingga berujung menyegalakan filsafat ternyata dialami juga oleh Ibnu
Zakaria al-Razi (865-925 M). Sebagaimana dituliskan A. Khudori Saleh, al-Razi
juga menolak konsep kenabian dengan tiga alasan. Pertama, akal telah memadai
untuk membedakan baik dan buruk. Kedua, semua orang terlahir dengan kecerdasan
yang sama, hanya pengembangan dan pendidikan yang membedakan. Maka, tidak ada
alasan untuk mengistimewakan beberapa orang untuk membimbing yang lain. Ketiga,
ajaran para nabi sendiri ternyata berbeda, padahal mereka berbicara atas nama
Tuhan yang sama.
Akal,
sekali lagi, memperlihatkan kekuatannya hingga menembus keyakinan diri yang
mantap bahwa kenabian adalah sia-sia. Sungguh “luar biasa” jalan pencapaian
al-Razi sampai seperti itu. Menyimpulkan bahwa tidak boleh ada yang
diistimewakan sebagai pembimbing yang lain, ditambah senantiasa ada perbedaan
antar-nabi. Filsafat tampaknya telanjur merasuki al-Razi tanpa memikirkan
konsekuensi apabila nabi “dibunuh” dari pikiran berarti ada keterputusan dengan
wahyu. Wahyu kiranya yang hendak dimatikan, alih-alih meragukan kenabian. Sebab
menegasikan kenabian sama artinya merobohkan sekaligus wahyu dan tatanan yang
dibangun oleh sebuah dien—Islam dalam hal ini.
Kita
cukupkan uraian soal dua filosof mbalelo di atas. Keyakinan dan
keteguhan pada simpulan akal diri mereka sesungguhnya sejajar sebagai—dalam
bahasa para pengkaji posmo—logos. Tidak hanya nilai, tapi juga isme dan
dien itu sendiri. Ya, tentang ideologi, isme, ataupun dien akal.
Tuhannya adalah akal, nabinya adalah sel syaraf-syaraf yang melingkupi kerja
otak manusia. Kitab sucinya berupa penalaran lewat silogisme beraturan
tertentu.
Keasyikan
mencicipi filsafat boleh jadi lahirkan kesilapan sebagaimana dua nama tadi.
Parameternya tentu dengan worldview Islam. Cara pandang yang tidak hanya
tabu mempermasalah, malahan meletakkan wahyu sebagai titik sentral
menganalisis. Pelajaran berarti dari kegigihan mereka berdua adalah kepedihan
bahkan kenaifan. Sayangnya, justru mereka fanatiki tanpa membuka ruang untuk
melihat dengan sudut yang tidak berpaku pada akal kebanggaan masing-masing.
Saya ingin meletakkan dua filosof di atas untuk menjelaskan tentang kekaguman berlebihan
pada ide baru, atau ide yang jadi tren dan pasaran. Ide yang karenanya niscaya
untuk diikuti lantaran sarat gengsi. Ide yang datang belakangan sebetulnya,
tapi dianggap sebagai pembaruan dan terobosan sarat kebaikan. Adanya filsafat
begitu memesona Ibnu Rawandi dan al-Razi. Akal yang jadi tema sentral seolah
memuaskan dahaga pencarian batin keduanya.
Tema
sentral bisa juga terkait gagasan radikalisme. Radikalisme menempatkan diri
sebagai logos untuk menyingkirkan ide-ide lainnya yang lebih dulu ada. Ya,
ketika makna, konsep kunci, cakupan hingga dataran praktis dimonopoli tafsirannya
oleh kalangan pemegang kuasa. Di sini, kekuasaan dan pengetahuan (yang
melibatkan para akademisi) bekerja erat. Mendefinisikan dan mengotak-kotakkan
kenyataan yang ada di tengah masyarakat. Acuan dan rujukannya pada kerja
pemikir bentukan negara ini. Sekurang-kurangnya menggunakan kerangka berpikir
yang dipakai para akademisi yang
bersekutu dengan kekuasaan mendefinisi radikalisme.
Untuk
memuja teori dan konsep radikalisme, kepatutan adab yang dituntut agama bisa
terlupakan. Karena kekaguman pada radikalisme, semua kalangan dipaksakan untuk
masuk dalam kerangka berpikir yang dibanggakan. Maka, sebagaimana Ibnu Rawandi
dan al-Razi yang sudah jatuh cinta pada akal, demikianlah yang terjadi pada
mereka dengan kekasih bernama radikalisme. Menjadikan radikalisme sebagai
narasi mendefinisikan orang lain, termasuk saudara sekeyakinan sendiri.
Radikalisme sebagai ayat untuk menjelaskan yang lain (liyan) sesuai preposisi
dan asumsi yang dipercayainya.
Soal benar
atau tidak, sahih atau sesat, logis atau irasional, semua seperti tunduk pada
kerangka bersusun yang dianggap ilmiah. Terlebih lagi ketika wacana didukung
kekuatan negara sepenuhnya. Jadilah wacana semisal akal dan radikalisme kian
kokoh dan menguat sebagai dogma. Meski awalnya diyakini sebagai kebaikan dan
jalan menuju kebenaran sejati, dogma baru ini malah menghancurkan para pesaing
yang ada. Tidak ingin ada suara berbeda selain kebenaran yang diyakini. Tidak
mengherankan apabila pengerasan dan militansi pun hadir. Begitulah yang
didapati pada kedua filosof tadi, berani meninggalkan komunitas lamanya dan
balik menentang keras.
Radikalisme
semua diyakini sebagai pemetaan untuk melihat kelompok (terutama) keagamaan
yang memegang kuat doktrin. Tidak sebatas memegang doktrin yang sering dinilai
tekstual (literer di mata para kritikusnya), berikutnya hadir kekerasan di
ruang publik. Kekerasan lisan hingga tindakan nyata meneror. Pikiran untuk
memetakan belakangan “gatal” untuk turut menstigma. Objektif dan jujur sudah
berbaur dengan isi kepala dan motif bawah sadar yang senantiasa bergolak untuk
direnung-pikirkan.
Sebagian
peneliti dan/atau akademisi yang berbicara radikalisme pada subjek bernama
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesa (KAMMI) tidak kurang mengidap penyakit
serupa dua filosof tadi. Ada yang bertitel peneliti LIPI, lantang berteriak
KAMMI sebagai kelompok radikal, tanpa menjelaskan lebih panjang detail maksud
retorikanya. Publik kadung menangkap curiga terhadap statemennya. Tudingan
berbalik penelitian mengabaikan kemungkinan premis yang disusun berganti peran
sebagai bahan propaganda. Sebab, isi pikiran dan prasangka sudah tebal
berkerak, tidak ingin disingkirkan oleh kenyataan sebenarnya. Logos untuk
mengharuskan ciri-ciri yang diketahui secara dangkal sebagai ciri kelompok
radikal, melupakan tanggung jawab sang peneliti untuk bertindak dingin ketika
memverifikasi setiap informasi.
Namun yang
terjadi, justru kenyataan di lapangan (yang tidak bersesuaian dengan premis
untuk publik) malah gagal ditarik dalam kesimpulan tanpa dengki. Hanya dengan
ciri-ciri mengajarkan ini dan itu, entitas yang dituju seperti KAMMI langsung
dikotakkan sebagai ciri gerakan radikal. Signifikansi dan alat ukurnya tidak
lagi penting karena sejak semula memang sudah meyakini keabsolutan pikirannya.
Ya, bahwa KAMMI mencirikan kekuatan anak muda radikal.
Celakanya,
lapisan konseptual sang peneliti ditelan mentah-mentah oleh seorang guru besar
kampus negeri keislaman. Sang guru besar kembali mengulang wacana yang
diyakininya absah bahwa mahasiswa kampus negeri umum mudah dicekoki doktrin dan
radikalisme. Sang guru besar malah membanggakan anak didiknya yang kritis
terhadap setiap pemikiran. Logos sang guru besar adalah mengunggulkan kekuatan
mahasiswa kampus Islam, dan sebaliknya meremehkan kalangan mahasiswa kampus umum—utamanya
dari fakultas sains.
Sang guru
besar diam-diam dan tanpa disadari sudah melakukan kepongahan dengan meletakkan
mahasiswanya superior di atas mahasiswa fakultas sains. Seolah kekuatan nalar
mahasiswa sains hanya kuat secara instrumentalis belaka; hanya cocok jadi
pesuruh dari para penalar. Menyia-nyiakan kepintaran untuk kemudian menerima
setiap bujukan ajaran baru kendati itu sesat. Tidak jelas bagaimana mengukur
hikmah dan kebijakan dari fakta yang ditemui sang guru besar.
Begitulah, ketika nilai dan prasangka sudah menguat
lebih dulu—lebih-lebih dari sebuah pencarian panjang—maka akan mudah dipegang
erat-erat. Diyakini sepenuh hati seolah kebenaran itu sendiri otomatis ada
padanya. Yang dianutinya niscaya absolut, sementara di luarnya masih perlu
koreksi hingga penganuliran. Bila untuk menghapuskan kecintaan pada ajaran
Islam dan kenabian saja bisa diperbuat para pengagum akal, akan lebih mudah
lagi melupakan peran sejarah kelompok perubahan semisal KAMMI oleh para
pengkaji tema radikalisme. Radikalisme dengan sekian ciri dan indikatornya
sudah jadi ayat mutlak untuk dipegang dan enggan diperdebatkan. Melampaui semua
kemungkinan berbeda, termasuk pendapat dan gagasan milik dirinya dari
kesilapan.
Akhirnya, penisbatan kalangan peneliti ataupun
akademisi senior terhadap KAMMI tidak perlu direspons dengan panik. Kedewasaan
aktivis KAMMI dalam umur 18 tahun perlu ditempa dengan penilaian, anggapan,
hingga stereotip ala orang lain. Bisa jadi ngawur
dan kacau logika sertai argumentasinya, tapi bagaimanapun juga itu pengaya
khazanah. Dalam keterbatasan mereka ada ruang untuk mengoreksi dan menempatkan
KAMMI sesuai lajur semestinya. []
https://drive.google.com/file/d/1yiHoydNprAnPuJaSfqdLXH-P1KSWbN6X/view?usp=drivesdk
BalasHapus