24 Februari 2013

Berada di Mihwar Apa KAMMI Sekarang?



Oleh: Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural

maruAda satu pertanyaan menarik yang muncul pada sebuah forum diskusi yang suatu ketika saya ikuti bersama kader-kader KAMMI yang lain: berdasarkan teori Mihwar Gerakan KAMMI yang diajukan oleh Rijalul Imam (2010), sedang berada di mana KAMMI sekarang? Benarkah KAMMI sekarang sudah berada pada fase (mihwar) 'rekonstruksi' sebagaimana dihipotesiskan oleh Rijal? Apa buktinya bahwa KAMMI sudah sampai pada fase itu?

Pertanyaan itu sederhana, namun cukup membuat saya dan beberapa kawan berpikir. Jika KAMMI benar sudah mencapai fase 'rekonstruksi', yang berarti langkah gerak KAMMI lebih bersikap aplikatif, akan muncul pertanyaan: 'solusi' apa yang KAMMI tawarkan? Dan mengapa gerakan KAMMI masih mengandalkan aksi-aksi massa jalanan alih-alih forum diskusi yang lebih ilmiah?


Tulisan ini ingin mengulas secara lebih dalam posisi KAMMI dalam mihwar gerakan. Harus diakui, meski sudah secara konseptual dirumuskan, posisi gerak KAMMI tidak sesuai dengan mihwar yang diklaim ada pada dirinya. Saya ingin melihatnya pada beberapa 'kebijakan strategis' PP KAMMI akhir-akhir ini.

Teori Mihwar

Menurut Rijalul Imam, Ada 6 Mihwar Gerakan KAMMI dalam membangun Indonesia. mihwar ini diambil dari teoritisasi prinsip gerakan KAMMI ke dalam perluasan perjalanan dakwah KAMMI. Konsep 'mihwar' gerakan bukan genuine dari rahim tubuh KAMMI. Jika dilihat secara lebih dalam, penggunaan istilah mihwar mencerminkan pengaruh pemikiran Ikhwanul Muslimin dan Jama'ah Tarbiyah yang merujuk pada Majmu' ar-Rasa'il Hasan Al-Banna.

Keenam Mihwar Gerakan yang dimaksud oleh Rijalul Imam (2010) ini antara lain:

Pertama, mihwar 'Ideologisasi' (1980-1998). Kehadiran KAMMI tidak bisa dilepaskan dari keberadaan dakwah kampus yang kemudian melembaga menjadi LDK. Beberapa analis sejarah kelahiran Tarbiyah seperti Burhanuddin Muhtadi dan Ali Said Damanik mencatat era ini sebagai era di mana Tarbiyah mulai dibangun, melalui suntikan pemikiran Ikhwanul Muslimin yang dibawa oleh beberapa mahasiswa Indonesia di Timur Tengah.

Kedua, mihwar 'resistensi' (1998-2004). Krisis multidimensi yang menerpa Indonesia, berujung pada tuntutan penggulingan rezim yang telah berkuasa selama 32 tahun. KAMMI kemudian melakukan perlawanan atas rezim yang ada, yang ingin mengganti Orde Baru dengan modus otoriterisme baru.

Ketiga, mihwar 'reformulasi' (2004-2009). Pemilu 2004 menjadi titik tolak masa transisi demokrasi ke masa demokratisasi. Di masa ini rakyat Indonesia ditantang untuk mereformulasi seluruh landasan kebijakan negaranya agar lebih demokratis dan berkeadilan.

Keempat, mihwar 'rekonstruksi'. Perbaikan dalam kacamata mihwar gerakan harus bersipat aplikatif. Hal ini dapat diterjemahkan dengan cara bagaimana agar konsepsi-konsepsi Islam yang telah digali itu dapat di masyarakatkan dan didukung oleh masyarakat, terutama masyarakat berbasis kompetensi. KAMMI mulai melakukan rekayasa sosial dan mengaplikasikan konsep yang sudah diformulasikan itu di masyarakat.

Kelima, mihwar 'leaderisasi' atau 'negarawan. KAMMI harus leading di berbagai sector, oleh karena itu mereka harus saling mendukung atas berbagai proyek kebaikannya. Mereka juga harus terlatih dalam persemaian kepemimpinan ummat agar nilai-nilai Islam seperti syura dan ukhuwah menjadi panduan yang kuat.

Keenam, mihwar 'internasionalisasi'. Jika umat Islam telah memahami bahwa 'setiap orang mu'min bersaudara' dengan baik dan dapat mengoperasikannya dengan baik dengan daya dukung yang kuat, maka saat-saat ini umat Islam Indonesia harus merealisasikan ukhuwah alamiyah dengan menjalin kerjasama internasional. Pada titik inilah 'leadership' KAMMI dituntut untuk memberikan persaudaraan yang lebih mendunia.

Kritik atas Teori Mihwar

Dalam kacamata saya, teori Rijalul Imam di atas mengandung dua kelemahan mendasar. Pertama, secara konseptual., teori mihwar sangat positivistik. Ini terlihat dari kecenderungan Rijal untukmemberikan posisi 'tahun-tahun' di mana mihwar tersebut akan terlaksana. Hal ini problematis. Mengapa landasan tahun itu diberikan hanya bersifat 'lima-tahunan', mengikuti siklus Pemilu? Ini perlu dipertanyakan lebih jauh.

Jika argumennya adalah bahwa Pemilu memberikan perubahan bagi kehidupan masyarakat, berarti Rijal terjebak pada pandangan yang sangat deterministik, menyempitkan proses perubahan sosial hanya pada satu variabel, sementara ada variabel lain yang dieksklusi karena asumsi tersebut. Hal ini akan memberikan implikasi pada gerakan KAMMI yang terpaku pada satu 'ranah' (Pemilu) dan mengabaikan variabel perubahan sosial lain (analisis tentang 'Perubahan Sosial' dalam perspektif KAMMI lihat Amin Sudarsono, "Ijtihad Membangun Basis Gerakan").

Kedua, secara praktis, teori mihwar tidak memberikan penjelasan mengenai prasyarat kondisi objektif yang dapat menjadi 'penanda' bahwa salah satu mihwar telah terlampaui. 'Mihwar' diberikan sebagai panduan perencanaan strategis gerakan KAMMI. Namun, Rijal tidak memberikan penjelasan mengenai kondisi material objektif apa yang menjadi prasyarat sebuah mihwar terlampaui. Sebagai contoh, apa 'parameter' KAMMI sudah masuk pada fase 'reformulasi', baik pada karakter gerakan maupun kondisi sosial-politik di lapangan?

Alih-alih memberikan gambaran prasyarat material objektifnya, Rijal justru memberikan angka tahun sebagai penanda, yang berarti menggeneralisir setiap aktivitas gerakan KAMMI hanya pada satu variabel tertentu (semisal Pemilu). Padahal kondisi internal organisasi KAMMI belum tentu siap mendukung itu, karena sebaran KAMMI di tiap daerah yang tidak merata (terutama Daerah dan Wilayah yang baru saja dimekarkan). Perlu mempertimbangkan kondisi daerah.

Sehingga, teori mihwar gerakan sangat rentan disalahpahami. Tanpa kejelasan mengenai kondisi objektif material atas terpenuhinya idealisasi mihwar, atau tanpa menyertakan variabel-variabel lain dalam konteks perubahan sosial yang diinginkan KAMMI, teori mihwar bisa saja menjerumuskan KAMMI ke dalam jurang pragmatisme atau pemenuhan eksistensi gerakan di saat yang tidak tepat, sehingga bisa kontraproduktif atas masa depan gerakan KAMMI sendiri.

Namun demikian, bukan berarti teori Mihwar kita tolak. Terlepas dari kritik-kritik yang saya ajukan di atas, teori mihwar akan memberikan KAMMI kemudahan dalam menyusun strategi dan taktik. Rijalul Imam, sebagai salah seorang pemikir besar gerakan KAMMI, sudah memberikan kontribusi berharga mengenai perencanaan strategis gerakan KAMMI. Tentu saja, dengan melepaskan kecenderungan positivistik dan lebih mempertajam analisis atas kondisi sosial lapangan yang riil.

Berada di Mana KAMMI Sekarang? 

Mari kembali pada pertanyaan yang diajukan oleh seorang kawan di atas. Berada pada mihwar apa KAMMI sekarang? Jika mengikuti analisis Rijalul Imam, KAMMI seharusnya berada pada fase 'rekonstruksi'. Artinya, gerakan KAMMI lebih bersifat memperbaiki sistem sosial-politik-ekonomi-budaya bangsa ini yang, tentu saja, disandarkan di atas 'solusi Islam' yang telah diformulasikan di fase sebelumya.

Kita perlu mengkritisi analisis ini. Benarkah KAMMI sudah sampai pada fase 'rekonstruksi'? Fase rekonstruksi mengandaikan adanya formulasi atas solusi-solusi permasalahan bangsa (Karena dalam prinsip gerakan KAMMI, solusi Islam adalah tawaran perjuangan KAMMI). Persoalannya, solusi seperti apa yang sudah KAMMI formulasikan dan KAMMI tawarkan?

Pertanyaan ini penting untuk dipikirkan kembali. Kita bisa lihat pada rekomendasi Rapimnas dan sikap-sikap gerakan KAMMI selama ini, pada beberapa isu yang di-address. Beberapa contoh perlu jadi renungan.

Dalam merespons isu Century, sikap yang dibuat oleh PP KAMMI (berdasarkan hasil Rapimnas) adalah tuntaskan kasus Century, Tangkap Boediono sebagai otak intelektual kasus Century, Adili Sri Mulyani sebagai dalang Century. Argumennya, terjadi malpraktek keuangan yang “membunuh” masa depan rakyat Indonesia, sebagaimana disitir dari statement Ketua Umum PP KAMMI (Sabili, 20/2).

Argumen dan sikap ini perlu diapresiasi sebagai eksistensi gerakan politik ekstraparlementer KAMMI, tetapi juga menyisakan pertanyaan: setelah Boediono dan Sri Mulyani diadili, apa yang KAMMI tawarkan untuk memulihkan kesehatan dunia perbankan dan ekonomi Indonesia? Century tentu saja bukan sekadar persoalan hukum, tapi juga persoalan ekonomi yang berada di bawah ancaman krisis global. Analisis ekonomi, lebih dari sekadar argumen hukum, mutlak diperlukan, karena berkenaan dengan upaya menyelamatkan ekonomi Indonesia.

Dan tentu saja, tidak hanya tawaran 'solusi' yang diajukan, melainkan juga strategi perbaikan. Apakah KAMMI sudah menyiapkan jejaring profesional untuk mengaplikasikan analisis ekonomi yang telah dibuat? Siapkah infrastruktur penunjang KAMMI untuk merealisasikan konsep yang telah dibuat? Ini akan menjadi pertaruhan yang besar, jika KAMMI benar-benar masuk pada mihwar 'rekonstruksi' sebagaimana analisis Rijalul Imam di atas.  

Kita bisa lihat juga pada isu-isu gerakan lain yang diambil oleh KAMMI. Jika dilacak di dunia maya, sorotan media atas KAMMI lebih banyak berkutat pada aksi-aksi jalanan, seperti aksi menolak money politics di Jawa Barat (Detik, 22/2), Demo Tutup Aurat di Aceh (Tribun, 16/2), atau aksi 'tuntaskan century' di Yogyakarta (Sabili, 20/2). Aksi itu sah saja, namun berita-berita yang menyorot KAMMI pada wilayah keilmuan, sosial, atau model-model gerakan sosial 'baru' (meminjam Ernesto Laclau & Chantal Mouffe) tak sebanyak aksi KAMMI di wilayah politik yang sangat praktis.

Mungkin, beberapa pemberitaan positif seperti Gerakan KAMMI Mengajar atau artikel-artikel kader KAMMI yang bertebaran di berbagai media massa dan jurnal ilmiah bisa menjadi semacam pengecualian positif dalam konteks ini.

Aksi jalanan sah-sah saja. Tidak ada masalah dengan itu. Tetapi, hal ini menyiratkan suatu hal: karakter gerakan KAMMI masih belum mencapai fase atau mihwar 'reformulasi', melainkan baru sebatas 'resistensi'. KAMMI bahkan belum mencapai fase 'reformulasi' apalagi 'rekonstruksi'. Sejak 1998 hingga kini, gerakan KAMMI masih berada pada diskursus resistensi terhadap rezim politik yang berkuasa, dengan model-model aksi yang hampir tak berubah sejak KAMMI didirikan 15 tahun silam

Memang, KAMMI memainkan peran-peran yang cukup baik sebagai sebuah gerakan massa yang melakukan counter atas rezim politik yang berkuasa. Tetapi, KAMMI belum memainkan perannya untuk memberikan 'solusi Islam' sebagai tawaran gerakan KAMMI. Apalagi, menerjemahkan solusi tersebut pada strategi perbaikan yang praksis, dengan jejaring profesional/teknokrat yang siap mengaplikasikan teori tersebut.

Lantas, apakah kondisi ini masih perlu dibiarkan? Jawaban sebenarnya terletak pada pengurus KAMMI yang berada di posisi struktural. Tetapi, sebagai seorang kader KAMMI yang masih ingin mencintai KAMMI dengan sederhana, saya mencoba untuk memberikan beberapa tawaran gerak.

Memindah Posisi 'Mihwar'

KAMMI perlu bergerak untuk terus maju. Sesuai dengan perencanaan strategis yang diajukan oleh Rijalul Imam dalam teori Mihwar Gerakan KAMMI, saya melihat bahwa KAMMI perlu maju dari posisinya yang sekarang di fase rekonstruksi menjadi fase reformulasi. Dan tentu saja, untuk memindahkan posisi mihwar gerakan KAMMI tersebut, dibutuhkan upaya-upaya transformatif agar KAMMI bisa menuntaskan perubahan di dalam dirinya.

Saya mencoba memberikan beberapa tawaran yang mungkin bisa jadi pertimbangan kawan-kawan di struktur pengurus KAMMI.

Pertama, memindahkan constraint gerakan KAMMI dari gerakan massa menjadi gerakan pengetahuan. Memang, sudah menjadi habitus KAMMI sebagai 'gerakan politik', dalam artian ia mengusahakan perubahan masyarakat secara transformatif dan melakukan perlawanan atas struktur-struktur kekuasaan. Tetapi, gerakan politik ini sudah semestinya berpindah fokus, dari politik praktis yang berbasis pada aksi jalanan, negosiasi dan deal-deal kekuasaan, menjadi politik pengetahuan yang berbasis pada riset, data, analisis yang komprehensif berdasarkan disiplin keilmuan yang relevan.

Memindah gerakan politik praktis menjadi politik pengetahuan tidak membuang semangat 'transformasi' yang difahami KAMMI dalam politiknya. Tetapi, semangat transformasi tersebut perlu diisi oleh pengetahuan. Sehingga, KAMMI bisa leading dalam memandu transformasi sosial yang diharapkan. KAMMI mesti menggali kembali turats-turats Islam, melakukan komparasi atas teori-teori sosial yang ada, dan melakukan elaborasi sehingga terbentuk pemikiran dan wacana Islam baru yang bisa menjadi tawaran solusi atas permasalahan sosial yang ada. Atau, dengan kata lain, menemukenali 'ontologi' yang menjadi unit analisis KAMMI dalam menjawab tantangan zaman.

Kedua, segera mengembangkan lokus-lokus pengetahuan di tubuh KAMMI. Dulu, KAMMI DIY sudah sempat menggagas lokus keilmuan dan forum diskusi profesional. Ada pula konsep lain seperti Kaderisasi Berbasis Kompetensi yang mensyaratkan kader untuk punya kafa'ah ilmiyah dan kekuatan akademik memadai. Semuanya meniscayakan adanya lokus pengetahuan dalam tubuh gerakan KAMMI.

Sudah saatnya, Daurah Marhalah kita tidak sekadar mengajarkan disiplin atau militansi dalam forum-forumnya, tetapi juga kesempatan debat, diskusi, asah otak, atau asah pengetahuan dengan model pembelajaran orang dewasa (andragogi) yang sudah diterapkan dalam sistem instruktur KAMMI. Sudah saatnya pula,aksi-aksi yang KAMMI lakukan didahului oleh diskusi, debat, pemahaman, hingga riset agar punya dasar argumentasi yang kuat dan dapat dipertanggung jawabkan.

Ketiga, mentradisikan budaya baca, tulis, dan diskusi (BTD) secara kultural dan mensinergikannya dengan agenda struktural. Tradisi BTD adalah landasan untuk membentuk sebuah gerakan intelektual. Tanpa mereka, intelektual akan masuk pada ruang kosong. Dan untuk mentradisikannya, tidak cukup taklimat dari pemandu MK. Perlu ada ruang artikulasi yang lebih bebas, yang memungkinkan kader berinteraksi tanpa rasa terpaksa/terbebani. Di ruang itulah 'kultural' menemukan tempatnya.

Sudah saatnya 'kultural' tidak dianggap sebagai 'orang bandel', 'anak nakal', 'barisan sakit hati', atau ungkapan stereotype lain. Agenda struktural pasti menyisakan ruang-ruang kosong yang perlu diisi. Di sanalah ruang kultural bermain, agar agenda gerakan KAMMI bersifat tawazun (seimbang). KAMMI memerlukan orang-orang progresif yang dapat mendinamisasi organisasi, sehingga produksi pengetahuan tidak tersumbat dan berjalan lancar.

Keempat, membuka katup-katup demokratisasi secara internal. Konsekuensi dari 'perpindahan' mihwar adalah perpindahan aras metodologi gerakan. Maka, transformasi tidak hanya dilakukan pada 'cara KAMMI memahami eksternal', tetapi juga pada internal gerakan KAMMI. Doktrin mesti diganti dengan Karya Ilmiah. Ideologi menjadi Ontologi. dan yang terpenting, struktur yang hierarkis dan tertutup mesti digantikan oleh struktur yang demokratis, terbuka, namun tetap menjaga soliditas organisasi.

KAMMI mesti berani untuk bergerak melampaui 'induk'-nya, Jamaah Tarbiyah, yang mengambil basis pemikiran dari Ikhwanul Muslimin. Sebagaimana gerakan 6 April di Mesir yang berani melampaui kebekuan Maktab Irsyad Ikhwan dan akhirnya menyulut api revolusi 2011, atau AKP yang berani melampaui pemikiran Islamisme Ikhwan klasik dengan Post-Islamisme yang ditawarkan Ghul dan Erdogan, KAMMI juga mesti bergerak progresif. Caranya, mendemokratiskan kultur gerakan dan secara internal membuka ruang-ruang perdebatan yang tadinya tertutup oleh dalih 'siriyatut tanzim'.

Artinya, wilayah-wilayah keamniyahan di tubuh KAMMI mesti didefinisikan ulang. Sudah saatnya mitos bahwa KAMMI harus berada di bawah subordinat entitas politik tertentu kita pertanyakan asumsi dasarnya. Sudah saatnya pula, iklim internal gerakan KAMMI didemokratisasi. Kritik tak perlu dilarang. Justru, jadikanlah kritik sebagai alat untuk memperkuat organisasi. Begitu juga dengan dinamika. Biarkanlah KAMMI dewasa dengan konflik, pertarungan, tetapi tetap syar'i dan berbasis pada pengetahuan.

Inilah yang mungkin diinginkan oleh Abul A'la Al-Mady ketika membentuk Partai Wasat tahun 1996, atau yang dipikirkan Erdogan ketika ia membentuk AKP di awal 2000an. KAMMI harus berubah, melakukan pelampauan atas entitas 'induk'-nya, dan benar-benar menjadi diri KAMMI sendiri, dengan segala keterbatasan, kekurangan, dan kealpaannya. Tak perlu kembali pada romantisme masa lalu, sebagaimana diingatkan Yusuf Maulana dan Muthia Esfand dalam dua artikelnya.

Mungkin masih banyak hal yang bisa KAMMI lakukan. Tetapi, dalam konteks sekarang, jika KAMMI ingin segera beranjak pada mihwar selanjutnya, ia harus melakukan transformasi-diri; menjadikan dirinya demokratis, berbasis pengetahuan, mengenal wacana-wacana gerakan dan punya tradisi intelektual yang terbina secara kultural, hingga punya kompetensi profesional yang matang dan terjejaring. Mungkin, hal sedikit ini yang bisa saya tawarkan untuk KAMMI ke depan.

Ikhtitam

Saya yakin KAMMI dapat memindahkan posisi mihwar-nya di masa kini. Tetapi tentu saja, perpindahan itu, meminjam ungkapan Al-Juwaini, perlu usaha nalar yang  keras dan perjuangan yang sulit dan lama (jahd an-nafs wa badzl al-qarihah). Artinya, KAMMI mesti menuntut ilmu di era globalisasi postmodern seperti sekarang. Dan artinya, KAMMI perlu menyesuaikan diri dengan kondisi material objektif kekinian pada zamannya, sesuai hukum-hukum sejarah yang berlaku pada masanya.

Sebagaimana diungkap oleh Akh Zulfikhar, Kaderisasi KAMMI Bantul, dalam sebuah forum diskusi, KAMMI perlu berubah dari gerakan sosial menjadi 'gerakan sosial baru'. Artinya, perlu memberi tawaran dan variasi gerakan baru untuk menjawab tantangan zaman yang kian kompleks. Ini bukan berarti KAMMI melupakan sejarah dan tradisi lamanya, tetapi lebih mengakrabkan diri dan mendialogkan kepentingannya dengan kondisi objektif sosial-politik saat ini.

Solusi Islam adalah jiwa perjuangan KAMMI. Mari resapi prinsip gerakan yang menjadi acuan fase 'reformulasi' ini dengan membaca, menulis, diskusi, dan... bergerak bersama zamannya. Karena KAMMI adalah anak zaman. Dan akan tampil sebagai pembaharu yang membawa perubahan zaman ke arah perbaikan.... Semoga!

Nashrun minallah wa fathun qariib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar